Syubhat Kedua:
Pemahaman mereka terhadap perkataan Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu:
“Inilah sebaik-baik bid’ah”. (I’laamul Muwaqqi’iin (2/282)
Bantahan:
1. Jika kita menerima, bahwa yang dimaksud oleh perkataan Umar adalah sebagaimana mereka inginkan dalam menganggap baik perbuatan bid’ah- sekalipun hal ini tidak bisa diterima- maka sesungguhnya tidak dibenarkan mengkonfrontasikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun dia, baik itu perkataan Abu Bakar sebagai orang terbaik di antara umat sesudah Nabi-Nya, dan tidak pula perkataan Umar, sebagai orang terbaik kedua pada ummat ini setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak bisa dikonfrontasikan dengan ucapan siapapun.
Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata:
“Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kalian justru mengatakan berkata Abu Bakar dan Umar”.
Berkata Umar bin Abdul Aziz:
“Tidaklah diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Ibid)
Berkata Imam As-Syafi’i:
“Telah sepakat (ulama) kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena ada perkataan orang lain”. (Habaqaatul Hanaabilah (2/15) dan al-Ibaanah (1/260).
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berarti dia telah berada di pinggir jurang kehancuran”. (Ditakhrij oleh al-Bukhari No. 1129).
2. Bahwasanya Umar mengeluarkan perkataan tersebut ketika
beliau mengumpulkan orang-orang untuk sholat tarawih., dan Sholat tarawih itu bukanlah suatu bid’ah bahkan merupakan sunnah. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sholat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau sholat pada malam berikutnya maka banyak orang mengikuti beliau, kemudian mereka berkumpul pada malam ke-3 atau ke-4 tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Tatkala datang waktu pagi, beliau bersabda:
“Sungguh aku telah melihat apa yang kalian perbuat (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian melainkan aku khawatir jangan sampai ia akan diwajibkan kepada kalian”. Dan hal ini terjadi pada bulan Ramadhan (kata ‘Aisyah). (al-I’tishaam (1/250).
3. Apabila telah terbukti bahwa apa yang dilakukan oleh Umar itu bukanlah merupakan suatu bid’ah, lalu apa yang dimaksudkan dengan bid’ah dalam ucapan beliau tersebut? Sesungguhnya kata ‘Bid’ah’ dalam ucapan beliau tersebut maksudnya adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan makna menurut syara’ (agama).
Bid’ah menurut bahasa adalah ‘Maa Faila ‘alaa ghoiri mitsaalin saabiqinn’ (apa saja yang dilakukan yang tidak ada contoh sebelumnya). Maka tatkala sholat (tarawih) tersebut tidak dilakukan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa kekhalifahan Umar, berarti bahwa ia merupakan suatu bid’ah menurut tinjauan bahasa, yakni ‘tidak ada contoh sebelumnya’. Adapun menurut tinjauan syara’ (agama) tidaklah demikian, sebab perbuatan itu mempunyai dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berkata Asy-Syaathiby:
“Maka barangsiapa yang menamakannya sebagai bid’ah dalam pengertian semacam itu, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam segi penamaan (istilah). Dan dengan demikian tidak boleh berdalil (dengan pengertian dari segi bahasa tersebut) untuk memperbolehkan melakukan perbuatan bid’ah, sebab hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk pemutarbalikan fakta dari yang sebenarnya”. (Iqtidhaa Shiraathil Mustaqiim,.hal. 276).
Bersambung,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar