Kaidah Fiqh:
AL IITSAARU FIL QUROBI MAKRUUHUN WA FII GHOIRIHAA MAJBUUBUN
Mendahulukan Orang lain dalam masalah ibadah, DIBENCI. Namun dalam masalah lainnya, DISUKAI.
Oleh Ust. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf Hafidzahulloh.
Makna Kaidah:
Itsar adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri, kebalikannya adalah Atsaroh yang bermakna mendahulukan kepentingan dirinya sendiri sebelum orang lain. Itsar ada dua macam:
Pertama, Itsar dalam perkara duniawi
Ini adalah perkara yang sangat dianjurkan bagi umat Islam. Alloh Subhaanahu wa ta’ala sangat menyenangi dan mencintainya. Perhatikan Firman Alloh Ta’ala:
“Dan orang-orang yang telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajiriin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajiriin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajiriin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Hasyr (59): 9).
Itsar inilah yang tercatat dengan tinta emas dalam perjalanan hidup para
Shahabat Radhialloohu 'anhum.
“Dari Umar bin Khoththob Radhialloohu 'anhu berkata: ‘Suatu hari Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk bershodaqoh, dan saat itu saya memiliki harta. Saya pun bergumam: ‘Hari ini saya akan mengalahkan Abu Bakr, saya akan sedekahkan separuh hartaku’. Maka Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu wahai Umar?” Umar Radhialloohu 'anhu menjawab: ‘Separuhnya lagi’, Ternyata datanglah Abu Bakr Radhialloohu 'anhu membawa semua hartanya, maka Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam bertanya: “lalu apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?”, Maka Abu Bakr Radhialloohu 'anhu menjawab, ‘Saya tinggalkan untuk mereka Alloh dan Rosul-Nya”.
HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan sanad Hasan. Lihat Tahqiq Misykah: 6021
Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'anhu berkata: ‘Ada seseorang yang datang kepada Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: ‘Wahai Rasululloh, saya sangat lemah’, Maka Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam menanyakan pada para istrinya, ternyata tidak ada makanan apapun di rumah. Maka Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak adakah seseorang yang mau menjamu tamu malam ini, semoga Alloh merahmatinya”. Maka salah satu Shahabat Anshor berkata: ‘Saya wahai Rasululloh’. Lalu dia pulang menemui istrinya dan berkata: ‘Ini adalah tamunya Rasululloh, jangan sembunyikan makanan apapun’. Istrinya menjawab: ‘Kita tidak punya makanan apapun kecuali makanan untuk anak-anak’. Dia pun bilang: ‘Jika anak-anak ingin makan malam, maka tidurkanlah mereka, lalu matikan lampu dan mala mini biarlah kita lapar’. Istrinya itu mengerjakan perintah suaminya. Keesokan harinya Shahabat Anshor tadi datang pada Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam , lalu beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Alloh heran (atau tertawa) terhadap perbuatan fulan dan fulanah’. Lalu Alloh menurunkan firman-Nya, QS. Al-Hasyr(59): 9’. (HR. al-Bukhori).
Kedua Itsar dalam perkara Ibadah
Mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah adalah sesuatu yang dibenci, karena masing-masing orang diperintahkan untuk mengagungkan Alloh Ta’ala. Oleh karenanya, jika dia tidak melakukannya dan hanya melimpahkan pada orang lain, maka ini adalah termasuk tindakan kurang adab kepada Alloh Ta’ala.
Dengan beberapa contoh berikut semoga bias dipahami:
1. Kalau si Zaid mempunyai air yang hanya cukup untuk wudhu satu orang, sedangkan saat itu dia membutuhkan wudhu, juga temannya yang saat itu sedang bersama dia, maka kewajiban Zaid adalah menggunakan air itu untuk berwudhu dan biarkanlah temannya itu bertayammum. Tidak boleh bagi Zaid untuk mempersilahkan temannya wudhu sedangak dirinya sendiri bertayammum.
2. Kalau ada seseorang yang hanya mempunyai satu pakaian yang menutup aurot, dan saat itu datang waktu sholat, sedangkan dia punya saudara yang tidak mempunyai pakaian yang menutup aurot, maka kewajiban yang punya tadi untuk sholat terlebih dahulu menggunakan pakaian tersebut baru kemudian nantinya dia pinjamkan kepada saudaranya, dan tidak boleh baginya untuk mendahulukan saudaranya tersebut dalam perkara ibadah.
3. Kalau ada seseorang yang berada di posisi Shaf pertama, maka dia tidak boleh mundur ke shof kedua untuk mempersilahkan orang lain menempati posisinya. Walloohu a’lamu.
(Lihat Asybah wan Nadho-ir, asy-Suyuthi hal. 116, Asybah Wan Nadho-ir, Ibnu Nujaim Hal. 119, al-Wajiz Dr. al-Burnu Hal. 162).
Sumber: Majalah al-Furqon Edisi 7 Tahun ke Sembilan: Shofar 1431H/ Januari-Februari 2010. Hal. 28-29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar