Kamis, 21 April 2011

Karena di akhirat nanti tidak ada lagi dinar dan dirham


Meminta Pembebasan dari Kezhaliman yang Pernah Dilakukannya.

Imam at- Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, ia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Semoga Alloh merahmati seorang hamba yang saudaranya memiliki hak karena kezhaliman yang pernah dilakukan olehnya, baik menyangkut kehormatan maupun harta, kemudian ia pun meminta pembebasan kepadanya sebelum ia dituntut. Karena di akhirat nanti tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia memiliki kebajikan, maka diambil dari kebajikannya. Jika ia tidak memiliki kebajikan, maka keburukan mereka dipikulkan kepadanya”.

Shahih. Syaikh al- Albani Rahimahulloh menilai Shahih. Lihat as- Silsilah ash- Shahiihah (No. 3265), Shahiih Sunan at- Tirmidzi Wa Dha’iifihi (No. 2419). Sebelumnya ia mendha’ifkannya dalam Dha’if al- Jaami’ (No. 3112), kemudian menshahihkannya dengan murtabi’ dan syahidnya yang kuat.

Hadits ini asalnya terdapat dalam al- Bukhori dari haditsnya. Ia mengatakan, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa memiliki kezhaliman yang pernah ia lakukan pada seseorang, baik menyangkut kehormatannya maupun selainnya, maka hendaklah ia meminta penghalalan darinya pada hari ini, sebelum tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia memiliki kebajikan, maka diambilkan dari kebajikannya. Jika ia tidak memiliki kebajikan, maka diambilkan dari keburukan sahabatnya, lalu dipikulkan kepadanya”.

Al- hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani dalam Fat-hul Baari (VII/ hal. 360) mengatakan,

“Barangsiapa memiliki tanggungan kezhaliman pada saudaranya”
-huruf Laam, pada sabdanya, ‘Lahu’ (untuknya) bermakna ‘Ala (atasnya), yakni, Siapa yang memiliki tanggungan kezhaliman pada saudaranya. Ini disebutkan dalam ar- Riqaaq dari riwayat Malik, dari al- Maqburi dengan lafazh, “Barangsiapa pernah berbuat kezhaliman pada saudaranya”. Juga diriwayatkan oleh Imam at- Tirmidzi dari jalur Zaid bin Abi Unaisah, dari al- Maqburi, “Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala merahmati seorang hamba yang pernah berbuat kezhaliman pada saudaranya”.

“Baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu”. Ini termasuk menghubungkan sesuatu yang umum pada sesuatu yang khusus. Termasuk di dalamnya harta dengan aneka macamnya, dan luka, hingga tamparan dan semisalnya. Dalam riwayat at- Tirmidzi, “Baik kehormatan maupun Harta”.

Sabdanya, “Sebelum tidak ada lagi dinar dan dirham”, Yakni pada Hari Kiamat. Hal itu disebutkan dalam riwayat ‘Ali bin al- Ja’d dari Ibnu Abi Dzi’-b pada riwayat al- Isma’ili.

Sabdanya, “Diambilkan dari keburukan pemiliknya”, yakni Orang yang didzalimi, “Lalu dipikulkan kepadanya”, yakni kepada orang yang berbuat Zhalim. Dalam riwayat Malik, “Lalu dicampakkan padanya”. Hadits ini telah dikeluarkan oleh Imam Muslim yang semakna dengannya dari jalur lainnya, dan redaksinya lebih jelas daripada ini, dengan lafazh,

“Sesungguhnya Orang yang bangkrut dari umatku ialah Orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa dan zakat, namun ia datang dalam keadaan telah mencaci maki fulan, menumpahkan darah fulan, dan memakan harta fulan, lalu fulan yang ini diberi dari kebajikan- kebajikannya, dan fulan yang lain diberi dari kebajikan- kebajikannya. Jika kebajikan- kebajikannya telah habis sebelum menyelesaikan tanggungannya, maka diambilkan dari dosa- dosa mereka, lalu diberikan kepadanya, dan ia dicampakkan ke dalam Neraka”.

(Tuhfatul Ahwadzi (VI/ hal. 209) oleh al- Mubarakfuri. Dan Faidh al- Qadir (IV/ hal. 35) oleh al- Munawi).

Hal ini tidak bertentangan dengan ayat Al- Qur’an yang berbunyi,

“..Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain..”
(QS. Al- An’aam: 164).

Karena ia hanyalah disiksa karena perbuatannya dan kezhalimannya. Ia tidak dihukum karena selain dosa dirinya, bahkan karena dosanya. Kemudian kebajikan ditukar dengan keburukan sesuai keadilan Alloh yang Maha Benar pada para hamba- Nya. Sebagian kalangan berpendapat tentang sah nya membebaskan diri dari suatu yang tidak dikenal dari hadits ini. Menurut Ibnu Baththal Rahimahulloh, “bahkan di dalamnya berisi hujjah tentang disyaratkannya ta’yin (menentukan), karena sabdanya, “mazhlimah (hak yang dizhalimi) menunjukkan bahwa ia sudah diketahui kadarnya”.

Ibnul Munir Rahimahulloh mengatakan, “Dalam hadits hanyalah disebutkan bahwa orang yang dizhalimi itu akan menuntut dari orang yang menzhaliminya, hingga ia bisa mengambil darinya sesuai kadar haknya. Ini disepakati. Sesungguhnya yang diperselisihkan hanyalah mengenai apabila orang yang dizhalimi itu menggugurkan haknya di dunia, apakah disyaratkan diketahui kadarnya? Sementara hadits ini bersifat mutlak”. Wallohu A’lam.

Sumber: ‘Amalan2 Yang Mendatangkan Rahmat Alloh ‘Azza Wa Jalla’. Hal. 124- 131. Abu ‘Abdurrahman Sulthan ‘Ali. Pustaka Ibnu ‘Umar. Bogor.

Tidak ada komentar: