BAGAIMANAKAH JUAL BELI MURABAHAH?
Oleh Ustadz Kholid Syamhudi
Selasa, 8 Desember 2009 16:35:18 WIB
Dewasa ini berkembang dalam skala besar lembaga keuangan berlabel syariat dengan menawarkan produk-produknya menggunakan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat bingung dengan istilah-istilah tersebut dan ragu, apakah semua produk tersebut benar-benar jauh dari pelanggaran terhadap syariat, ataukah hanya rekayasa semata?
Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini, maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut ditinjau dari fikih Islam.
Istilah jual beli Murabahah (Ba`i al-Murabahah) banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan cukup menjanjikan. Sehingga hampir semua lembaga keuangan syari'at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modalnya.[1]
NAMA LAIN JUAL BELI MURABAHAH
Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syariat ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
1. Al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`.
2. Al-Murabahah lil-Wa'id bi asy-Syira`.
3. Ba`i al-Muwâ'adah.
4. Al-Murabahah al-Mashrafiyah.
5. Al-Muwâ'adah 'ala al-Murabahah.[2]
Di Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).[3]
DEFINISI JUAL-BELI MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ),
yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan)[4]. Sedangkan menurut definisi para ulama terdahulu, ialah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui[5]. Hakikatnya, ialah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui oleh dua belah pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga –misalnya- penjual mengatakan, modalnya adalah seratus ribu rupiah, dan saya jual kepada anda dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan:
Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka, "saya menjual barang ini dengan sistem Murabahah", … Rukun akad ini ialah sepengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya; karena hal itu diketahui oleh kedua belah pihak, maka jual belinya shahîh, dan (sebaliknya) bila tidak diketahui maka (jual beli itu) batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini dibolehkan, tidak ada khilaf (perbedaan) di antara ulama; sebagaimana hal ini disampaikan Ibnu Qudaamah. Bahkan Ibnu Hubairah, dalam masalah ini menyampaikan adanya ijma'. Demikian juga al-Kaasaani).[6]
Demikian, jual beli Murabahah yang terdapat dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Adapun jual beli Murabahah yang kini telah marak digulirkan, tidak berbentuk demikian. Jual beli Murabahah yang sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari'at lebih komplek dari pada yang berlaku dimasa lalu [7]. Oleh karena itu, para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi Islam memberikan definisi berbeda; sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda? Di antaranya ialah sebagai berikut.
1. Bank merealisasikan permintaan orang yang bertransaksi dengannya, dengan dasar, pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah), yakni dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut, dengan keuntungan yang disepakati di awal transaksi.[8]
2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah, agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang, baik yang barak bergerak ataupun tidak. Kemudian, setelah itu nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut, dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjual barang dimaksud kepadanya dengan harga di depan atau di belakang, dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembelian di muka.[9]
3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana cukup untuk membayar kontan nilai barang yang ingin dibeli, sedangkan si penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian, lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.[10]
4. Jual beli ini berkaitan dengan tiga pihak, yaitu penjual, pembeli, dan bank –yang berperan- sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Dalam hal ini, Bank tidak membeli barang tersebut, kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya, dan adanya janji memberi di muka.[11]
Berdasarkan keempat uraian di atas, cukup jelaslah untuk memberikan gambaran mengenai jual beli Murabahah KPP ini.
BENTUK GAMBARAN JUAL-BELI MURABAHAH
Berdasarkan empat uraian di atas dan prakteknya di tengah masyarakat, maka lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ke dalam tiga bentuk.
1. Pelaksanaan janji yang terikat oleh kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya di muka.[12]
Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan yang memohon dari lembaga keuangan tersebut untuk membeli barang tertentu dan sifat tertentu. Kemudian keduanya bersepakat, dengan ketentuan, lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan (itu) terikat, (yaitu) harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya, baik nilai, ukuran, tempo, maupun keuntungannya.[13]
2. Pelaksanaan janji (al-Muwâ'adah) yang tidak mengikat kedua belah pihak.
Yaitu, nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan. Kemudian, di antara kedua pihak itu terjadi perjanjian, dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan, sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.[14]
3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Demikian ini yang dipraktekkan oleh Bank Faishol al-Islami di Sudan.
Hal itu dengan ketentuan, akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah, sehingga nasabah memiliki hak khiyâr (memilih) dengan melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi, atau menggagalkannya.[15]
PERNYATAAN PARA ULAMA TERDAHULU TENTANG JENIS JUAL-BELI MURABAHAH
Permasalahan jual belia Murabahah KPP ini, sebenarnya bukan perkara kontemporer dan baru (nawâzil), namun telah dijelaskan para ulama terdahulu.
Imam asy-Syafi'i berkata:
Apabila seseorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata "belilah itu, dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian," lalu ia membelinya, maka jual belinya dibolehkan. Dan yang mengatakan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyâr)," apabila ia ingin, maka ia akan melakukan jual-beli; dan bila tidak, maka ia akan tinggalkan.
Demikian juga jika ia berkata "belilah untukku barang tersebut," lalu ia mensifatkan jenis barangnya, atau "barang" jenis apa saja yang kamu sukai, dan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu," semua ini sama, diperbolehkan pada yang pertama; dan pada semua yang diberikan ada hak pilih (khiyâr).
Sama juga, dalam hal ini yang disifatkan apabila mengatakan "belilah, dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo," maka jual beli pertama diperbolehkan, dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua.
Apabila keduanya memperbaharui (akadnya), maka boleh; dan bila berjual beli seperti itu, dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut), maka ia termasuk dalam dua hal: (1) berjual beli sebelum penjual memilikinya, (2) berada dalam spekulasi (mukhatharah).[16]
Imam ad-Dardiir dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir (3/129), ia mengatakan: "Al-'inah, ialah jual beli oleh orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli, tetapi (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada yang memintanya; setelah membelinya, ia boleh memberikan (menjualnya) kepada yang meminta barang, kecuali jika yang minta menyatakan "belilah dengan sepuluh secara kontan, dan saya akan mengambilnya darimu dengan dua belas secara tempo," maka jual beli ini dilarang, karena di dalamnya terdapat tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat); karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut dan akan membayarnya (sejumlah) dua belas setelah jatuh tempo".[17]
Jelaslah, dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu, bahwasanya mereka menyatakan, pemesan (pembeli) tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga ditegaskan oleh The Islamic Fiqih Academy (Majma' al-Fiqih al-Islami), bahwa jual beli Muwâda'ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli Murabahah dengan syarat al-Khiyâr untuk kedua pihak yang melakukan transaksi, seluruhnya maupun salah satunya. Apabila tidak ada hak al-Khiyâr, maka tidak boleh, karena al-Muwâ'adah yang mengikat (al-Mulzâmah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri; dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang menjual sesuatu yang tidak dimilikinya.[18]
Syaikh 'Abdul-'Aziz bin Bâz ketika ditanya tentang jual beli ini, beliau menjawab: "Apabila barang tidak berada dalam kepemilikan orang yang menghutangkannya, atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya, maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga, dan jual beli di antara keduanya tidak sempurna hingga barang tersebut merupakan kepemilikan si penjual".[19]
HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG TIDAK MENGIKAT (GHAIRU AL-MULZÂM)
Bentuk Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:
1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
Dalam hal ini, yang râjih adalah boleh, seperti disebutkan dalam pendapat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah. Karena dalam bentuk ini tidak ada ikatan kewajiban untuk menyempurnakannya dengan transaksi ataupun mengganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak, maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut berspekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu pihak berpaling dari keinginannya (menggagalkannya), maka tidak ada kewajiban yang mengikatnya, dan tidak ada satupun akibat yang harus ditanggungnya.[20]
2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang, karena termasuk dalam kategori al-'Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah, dan inilah yang dirâjihkan Syaikh Bakr Abu Zaid.[21]
HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG MENGIKAT
Untuk mengetahui hukum ini, maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.
Langkah Proses Murabahah KPP Bentuk Ini
Muamalah jual beli Murabahah KPP melalui beberapa tahapan, di antara yang terpenting ialah sebagai berikut :
1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas,
b. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu (yang terkait) dalam pembelian barang tersebut.
2. Lembaga keuangan mempelajari proposal yang diajukan nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang:
a. mengadakan perjanjian yang mengika,
b. membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji,
c. penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji,
d. lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a. penentuan harga barang,
b. penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam harga,
c. penentuan nisbat keuntungan (profit),
d. penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Demikian, secara umum tahapan dalam proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, halaman 261-162. Sedangkan di dalam buku Bank Syari'at dari Teori ke Praktek (hlm. 107) memberikan skema Ba`i Murabahah sebagai berikut: [Ma'af Gambar skema Ba'i Murabahah tidak ditampilkan]
Adanya Aqad Ganda (Murakkab) Dalam Murabahah KPP[22]
Dari keterangan di atas maka jual beli Murabahah KPP dapat disimpulkan sebagai berikut di bawah ini.
1. Ada tiga pihak yang terkait, yaitu:
a. pemohon atau pemesan barang, dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan,
b. penjual barang kepada lembaga keuangan,
c. lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
2. Ada dua akad transaksi, yaitu:
a. akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan,
b. akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
3. Ada tiga janji, yaitu:
a. janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang,
b. janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membeli barang untuk pemohon,
c. janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
Dari sini, jelaslah, bahwa jual beli Murabahah KPP ini merupakan jenis akad berganda (al-'Uqûd al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji, dan ada tiga pihak.
Setelah meneliti muamalah dan tahapan prosesnya, akan nampak jelas adanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan, bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab, yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak, yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.
Berdasarkan hal ini, maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat, sehingga dapat dikatakan dengan ungkapan "belikan untuk saya barang, dan saya akan memberikan keuntungan kepada anda dengan jumlah sekian". Hal ini, karena pada akad pertama, barang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar, janji mengikat untuk membelinya.
Dengan melihat muamalah ini dari seluruh tahapan dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya, maka jelaslah, bahwa ia merupakan Mu'amalah Murakkabah secara umum, dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat padanya janji mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad dan tidak saling terikat, sehingga jelas, hukumnya pun berbeda.
HUKUMNYA
Yang râjih dalam masalah ini, ialah tidak dibolehkan, dengan beberapa argumen, di antaranya :
1. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum adanya kepemilikan penjual atas barang dimaksud, maka itu termasuk dalam larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dilarang menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut, pada hakikatnya adalah akad. Dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan, maka ini merupakan akad batil yang dilarang; karena lembaga keuangan, ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.
2. Muamalah seperti ini termasuk al-Hîlah (rekayasa) atas hutang dengan bunga; karena hakikat transaksinya ialah menjual uang dengan uang yang lebih besar darinya secara tempo dengan perantaraan adanya barang penghalal di antara keduanya.
3. Murabahah jenis ini termasuk dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam hadits:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ n عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli" [HR at-Tirmidzi, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa' al-Ghalil, 5/149]
Al-Muwâ'adah, apabila mengikat kedua belah pihak, maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga dalam muamalah itu terdapat dua akad dalam satu jual beli.[23]
KETENTUAN DIBOLEHKANNYA MURABAHAH
Syaikh Bakar bin 'Abdillah Abu Zaid memberikan penjelasan tentang ketentuan dibolehkannya jual beli Murabahah KPP ini dengan menyebutkan tiga hal.
1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi, baik secara tertulis maupun lisan sebelum adanya barang kepemilikan dan sebelum serah terima.
2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang oleh salah satu pihak, baik nasabah maupun lembaga keuangan, namun tanggung jawab barang kembali kepada lembaga keuangan.
3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi milik lembaga keuangan.[24]
Demikianlah, hukum jual beli ini menurut pendapat para ulama. Mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan jual beli Murabahah.
Wabillahit-taufiq.
Maraji`:
1. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at -Tathbîq, Prof. Dr. 'Abdullah ath-Thayâr, Dar al-Wathan, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H.
2. Fiqhu al-Muyassar Qismu al-Mu'amalât, Prof. Dr. Abdullah ath-Thayâr, Prof. Dr. 'Abdulah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Musa, Dar al-Wathan, Cetakan Pertama, Tahun 1425 H.
3. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasah Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyah, Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-'Imrâni, Kunuz Isybiliya`, Cetakan Pertama, Tahun 1427 H.
4. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Gema Insani Press, Cetakan Kesembilan, Tahun 2005 M.
5. Fiqhu an-Nawâzil, Qadhaya Fiqhiyah al-Mu'asharah, Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Muassasah ar-Risalah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H.
6. Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional MUI, Edisi Revisi, Tahun 2006 M, Cetakan Ketiga, Tahun 1427 H, dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, Prof. Dr. Abdullah Ath-Thayâr, hlm. 307.
[2]. Lihat al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 260-261.
[3]. Bank Syari'ah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 103.
[4]. Al-Qâmus al-Muhith, hlm. 279.
[5]. Al-'Uqûd al-Murakkabah, hlm. 257.
[6]. Dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin 'Abdillah Abu Zaid, 2/64. Lihat juga al-Mughni (4/259), al-Ifashah (2/350), Bada`i ash-Shanâ`i (7/92).
[7]. Dialog di rumah penulis dengan pegawai salah satu lembaga keuangan syari'at, Kamis, 3 April 2008 M, ba'da 'Ashar.
[8]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 257. Lihat Ba`i al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`, karya Sâmi Hamud dalam kumpulan Majalah Majma' al-Fiqh al-Islami, Edisi kelima (2/1092).
[9]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakabah, hlm. 257. Lihat Ba`i al-Murabahah Kamâ Tajriha al-Bunûk al-Islamiyah, Muhammad al-Asyqar, hlm. 6-7.
[10]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 258.
[11]. Ibid.
[12]. Fiqih Nawazil, 2/90.
[13]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[14]. Lihat Fiqih Nawazil (2/90) dan al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[15]. Lihat al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, hlm. 308.
[16]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88-89.
[17]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88.
[18]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 267.
[19]. Dinukil dari al-Bunûk al-Islamiyah, hlm. 308. Lihat Majalah al-Jami'ah al-Islamiyah, Edisi I, Tahun Kelima, Rajab 1392, hlm. 118.
[20]. Lihat Fiqih Nawazil, 2/90.
[21]. Ibid
[22]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 265-266.
[23]. Silahkan merujuk kepada kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah (hlm. 267-284) dan Fiqih Nawazil (2/ 83-96).
[24]. Fiqih Nawazil, 2/97, dengan sedikit perubahan.
SUMBER: http://www.almanhaj.or.id/content/2591/slash/0
Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "IKATLAH ILMU DENGAN TULISAN". [Hasan, HR. Ibnu 'Abdil Barr dalam al- Jaami' (I/ 306, No. 395) dari Shahabat Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu. Lihat Takhrij lengkapnya dalam 'Silsilah ash- Shahiihah, No. 2026, dan Shahiih al- Jaami'ish Shaghiir, No. 4434].
Rabu, 09 Desember 2009
Kamis, 03 Desember 2009
SUDAHKAH DIRIMU SELAMAT DARI SIFAT SOMBONG? [2-End]
SUDAHKAH DIRIMU SELAMAT DARI SIFAT SOMBONG? [2-End]
4. Diberi minuman berupa nanah penghuni neraka. Dari Abu Syu’aib radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Orang yang sombong di hari kiamat akan dikumpulkan semisal semut merah kecil dalam bentuk orang laki-laki, lalu semut kecil itu mengerumuni mereka di setiap tempat, lalu mereka digiring ke penjara yang ada di neraka jahannam yang diberi nama bulas, lalu api yang menyala-nyala itu membakar mereka, dan orang-orang yang sombong diberi minum dari nanah penghuni neraka”. (HR. Tirmidzi dihasankan oleh al-Albaniy dalam Shohihut Tarhiib: 3/ 3588).
5. Mendapatkan murka Alloh ta’ala. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menganggap besar dirinya dan bersikap sombong ketika berjalan, ia akan menemui Alloh dalam keadaan Alloh amat marah kepanya”. (HR. Hakim dan perowinya dapat dipercaya).
6. Mereka perusak diri dan umat. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang dituruti, dan seorang yang membanggakan dirinya sendiri”. (Mu’jam Aushoth ath-Thobroni: 5/328 dihasankan oleh al-Albaniy dalam Silsilah ash-Shahiihah: 4/ 412).
7. Mungkin saja dihukum di dunia.
Salamah bin Akwa’ berkata: “Ada seorang laki-laki makan dengan tangan kiri, Rasulullah berkata: ‘Makanlah dengan tangan kananmu’. Lalu dia berkata: ‘Saya tidak bisa’. Lalu beliau shallallahu ‘alahi wasallam bertanya: ‘kamu tidak bisa? (padahal dia mampu) Tidalah engkau enggan makan dengan tangan kanan melainkan karena sombong’. Lalu orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. (HR. Muslim: 6/ 109).
8. Alloh ta’ala tidak mengajaknya bicara dan tidak melihatnya. Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Ada tiga orang, Alloh tidak mengajak bicara kepada mereka pada hari kiamat dan Alloh tidak membersihkan dosa mereka, dan tidak melihat mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja pendusta, dan orang miskin yang sombong”. (HR. Muslim 1/ 368).
4. Diberi minuman berupa nanah penghuni neraka. Dari Abu Syu’aib radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Orang yang sombong di hari kiamat akan dikumpulkan semisal semut merah kecil dalam bentuk orang laki-laki, lalu semut kecil itu mengerumuni mereka di setiap tempat, lalu mereka digiring ke penjara yang ada di neraka jahannam yang diberi nama bulas, lalu api yang menyala-nyala itu membakar mereka, dan orang-orang yang sombong diberi minum dari nanah penghuni neraka”. (HR. Tirmidzi dihasankan oleh al-Albaniy dalam Shohihut Tarhiib: 3/ 3588).
5. Mendapatkan murka Alloh ta’ala. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menganggap besar dirinya dan bersikap sombong ketika berjalan, ia akan menemui Alloh dalam keadaan Alloh amat marah kepanya”. (HR. Hakim dan perowinya dapat dipercaya).
6. Mereka perusak diri dan umat. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang dituruti, dan seorang yang membanggakan dirinya sendiri”. (Mu’jam Aushoth ath-Thobroni: 5/328 dihasankan oleh al-Albaniy dalam Silsilah ash-Shahiihah: 4/ 412).
7. Mungkin saja dihukum di dunia.
Salamah bin Akwa’ berkata: “Ada seorang laki-laki makan dengan tangan kiri, Rasulullah berkata: ‘Makanlah dengan tangan kananmu’. Lalu dia berkata: ‘Saya tidak bisa’. Lalu beliau shallallahu ‘alahi wasallam bertanya: ‘kamu tidak bisa? (padahal dia mampu) Tidalah engkau enggan makan dengan tangan kanan melainkan karena sombong’. Lalu orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. (HR. Muslim: 6/ 109).
8. Alloh ta’ala tidak mengajaknya bicara dan tidak melihatnya. Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Ada tiga orang, Alloh tidak mengajak bicara kepada mereka pada hari kiamat dan Alloh tidak membersihkan dosa mereka, dan tidak melihat mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja pendusta, dan orang miskin yang sombong”. (HR. Muslim 1/ 368).
Rabu, 02 Desember 2009
SUDAHKAH DIRIMU SELAMAT DARI SIFAT SOMBONG? [1]
SUDAHKAH DIRIMU SELAMAT DARI SIFAT SOMBONG?
Tafsir Surat al- Isro’ : 37-38.
“Dan Janganlah Kamu berjalan di muka Bumi dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus Bumi, dan sekali-kali kamu tidak akan setinggi Gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabb-mu”.
Sombong adalah sifat tercela, dia adalah sifat Iblis la’natullah ‘alaih. Pemicu kesombongan sangat beragam, sombong karena keberhasilan, karena kedudukan, karena keturunan, atau karena golongan. Sifat sombong tidak hanya mengancam orang awam saja, boleh jadi seorang da’i terjangkiti sifat sombong, akan tetapi dia tidak menyadarinya. Sudahkah diri kita selamat dari sifat sombong?.
Makna Ayat Secara Umum
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Alloh Subhanahu wa ta’ala melarang hamba-Nya berlagak sombong dan congkak ketika berjalan, toh mereka tidak akan mampu menembus Bumi. Orang yang sombong akan dihukum seperti yang dijelaskan di dalam hadits yang shohih:
“Sebelum kalian ada orang berjalan dengan sombong, mengenakan baju rangkap, tiba-tiba dibenamkan ke dalam Bumi, lalu dia meronta di dalam tanah sampai hari kiamat,.” (Tafsir Ibnu Katsir: 5/ 76).
Makna Takabbur
Takabbur artinya sombong, congkak, atau angkuh. Inilah makna yang masyhur. Sedangkan hakikat sombong ialah menolak kebenaran ayat Allah ta’ala dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan orang yang merendahkan orang lain. Rasulullah bersabda:
“Sombong adalah menolak kebenaran Islam, dan mengejek manusia”. (HR. Muslim 1/ 327).
Apabila seseorang merendahkan orang lain termasuk sombong, maka bagaimana dengan orang yang menghina orang lain yang mengamalkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang berjenggot dikatakan kambing, orang yang meninggikan potongan kainnya di atas mata kaki dikatakan korban banjir, orang yang menjilati jari-jarinya setelah makan dikatakan orang kelaparan. Padahal ini semua sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka hendaknya orang yang merasa dirinya mukmin, memelihara lisannya dari kata-kata yang merusak agamanya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). (QS. al-Hujurot [49]: 11).
Bahaya dan Hukuman Orang yang Sombong
Ingatlah kisah Fir’aun dan kisah para kaum yang membangkang ajakan Nabi mereka
mereka dihancurkan Alloh ta’ala disebabkan kesombongan mereka menolak risalah yang dibawa oleh para utusan Alloh Subhanahu wa ta’ala.
“Dan betapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman mereka yang tiada didiami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebagian kecil”. (QS. al-Qoshos [28]: 58).
Orang yang takabbur berarti ingin menandingi Alloh ta’ala.,disadari atau tidak. Ini adalah perbuatan syirik, sangat berbahaya, dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman, kecuali apabila mereka bertaubat sebelum meninggal dunia.
1. Orang yang sombong diancam dengan Neraka, Perhatikan hadits yang diriwayatkan Haritshah bin Wahab radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maukah kalian aku beritahu tentang ahli Surga?” Para Shahabat berkata: “Mau”,. Rasulullah bersabda: “Yaitu setiap orang yang lemah dan melemahkan diri, seandainya ia bersumpah demi Alloh, pasti akan dilaksanakan”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Inginkah kalian aku beritahu tentang ahli Neraka?”,.Mereka menjawab: “Mau”.,Beliau bersabda: “Yaitu setiap orang yang kejam, pengumpul dunia yang kikir dan sombong”. (HR. Al-Bukhori 20/ 216).
2. Haram baginya masuk Surga, Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:
“Tiada masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawidari kesombongan”. (HR. Muslim 1/327).
Imam Nawawi rahimahullah berkata: ‘Ulama berselisih dalam memahami hadits ini. Imam al-Khothobi berkata: ‘Hadits ini ada dua makna: pertama bahwa orang itu menolak Iman, maka pelakunya tidak masuk Surga sama sekali, yang Kedua: orang yang hatinya tidak ada kesombongan, maka dia berhak masuk Surga”. (Syarh Muslim 1/194).
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Mereka tidak masuk Surga bersama orang yang bertakwa, sehingga Alloh ta’ala melihatnya. Ada kalanya dihukum terlebih dahulu, dan ada kalanya dimaafkan”. (al-Kaba’ir: 1/47).
3. Menjadi ahli Neraka, Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Neraka dan Surga saling berdebat, lalu neraka berkata: ‘Aku dimasuki oleh orang-orang yang suka menindas dan sombong’.,Surga berkata: ‘Aku dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan miskin’. Lalu Alloh berfirman kepada Neraka: “Kamu adalah siksa-Ku, Aku menyiksa denganmu siapa yang Aku kehendaki’. (Atau Alloh berfirman: ‘Aku menimpakan bencana denganmu kepada orang yang Aku kehendaki’) dan Alloh berfirman kepada Surga: ‘Kamu adalah Rahmat-Ku. Aku limpahkan rohmat berupa kamu kepada siapa yang Aku kehendaki’. “Dan masing-masing kamu memiliki penghuni sampai penuh”. (HR. Al-Bukhori 6/2771).
Sumber: Majalah al-furqon edisi 4 tahun ke 9/ Dzulqo'dah 1430H Oktober/ Nopember 2009 hal.6 s.d. 8.
Tafsir Surat al- Isro’ : 37-38.
“Dan Janganlah Kamu berjalan di muka Bumi dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus Bumi, dan sekali-kali kamu tidak akan setinggi Gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Rabb-mu”.
Sombong adalah sifat tercela, dia adalah sifat Iblis la’natullah ‘alaih. Pemicu kesombongan sangat beragam, sombong karena keberhasilan, karena kedudukan, karena keturunan, atau karena golongan. Sifat sombong tidak hanya mengancam orang awam saja, boleh jadi seorang da’i terjangkiti sifat sombong, akan tetapi dia tidak menyadarinya. Sudahkah diri kita selamat dari sifat sombong?.
Makna Ayat Secara Umum
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Alloh Subhanahu wa ta’ala melarang hamba-Nya berlagak sombong dan congkak ketika berjalan, toh mereka tidak akan mampu menembus Bumi. Orang yang sombong akan dihukum seperti yang dijelaskan di dalam hadits yang shohih:
“Sebelum kalian ada orang berjalan dengan sombong, mengenakan baju rangkap, tiba-tiba dibenamkan ke dalam Bumi, lalu dia meronta di dalam tanah sampai hari kiamat,.” (Tafsir Ibnu Katsir: 5/ 76).
Makna Takabbur
Takabbur artinya sombong, congkak, atau angkuh. Inilah makna yang masyhur. Sedangkan hakikat sombong ialah menolak kebenaran ayat Allah ta’ala dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan orang yang merendahkan orang lain. Rasulullah bersabda:
“Sombong adalah menolak kebenaran Islam, dan mengejek manusia”. (HR. Muslim 1/ 327).
Apabila seseorang merendahkan orang lain termasuk sombong, maka bagaimana dengan orang yang menghina orang lain yang mengamalkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang berjenggot dikatakan kambing, orang yang meninggikan potongan kainnya di atas mata kaki dikatakan korban banjir, orang yang menjilati jari-jarinya setelah makan dikatakan orang kelaparan. Padahal ini semua sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka hendaknya orang yang merasa dirinya mukmin, memelihara lisannya dari kata-kata yang merusak agamanya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). (QS. al-Hujurot [49]: 11).
Bahaya dan Hukuman Orang yang Sombong
Ingatlah kisah Fir’aun dan kisah para kaum yang membangkang ajakan Nabi mereka
mereka dihancurkan Alloh ta’ala disebabkan kesombongan mereka menolak risalah yang dibawa oleh para utusan Alloh Subhanahu wa ta’ala.
“Dan betapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman mereka yang tiada didiami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebagian kecil”. (QS. al-Qoshos [28]: 58).
Orang yang takabbur berarti ingin menandingi Alloh ta’ala.,disadari atau tidak. Ini adalah perbuatan syirik, sangat berbahaya, dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman, kecuali apabila mereka bertaubat sebelum meninggal dunia.
1. Orang yang sombong diancam dengan Neraka, Perhatikan hadits yang diriwayatkan Haritshah bin Wahab radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maukah kalian aku beritahu tentang ahli Surga?” Para Shahabat berkata: “Mau”,. Rasulullah bersabda: “Yaitu setiap orang yang lemah dan melemahkan diri, seandainya ia bersumpah demi Alloh, pasti akan dilaksanakan”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Inginkah kalian aku beritahu tentang ahli Neraka?”,.Mereka menjawab: “Mau”.,Beliau bersabda: “Yaitu setiap orang yang kejam, pengumpul dunia yang kikir dan sombong”. (HR. Al-Bukhori 20/ 216).
2. Haram baginya masuk Surga, Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:
“Tiada masuk Surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawidari kesombongan”. (HR. Muslim 1/327).
Imam Nawawi rahimahullah berkata: ‘Ulama berselisih dalam memahami hadits ini. Imam al-Khothobi berkata: ‘Hadits ini ada dua makna: pertama bahwa orang itu menolak Iman, maka pelakunya tidak masuk Surga sama sekali, yang Kedua: orang yang hatinya tidak ada kesombongan, maka dia berhak masuk Surga”. (Syarh Muslim 1/194).
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Mereka tidak masuk Surga bersama orang yang bertakwa, sehingga Alloh ta’ala melihatnya. Ada kalanya dihukum terlebih dahulu, dan ada kalanya dimaafkan”. (al-Kaba’ir: 1/47).
3. Menjadi ahli Neraka, Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Neraka dan Surga saling berdebat, lalu neraka berkata: ‘Aku dimasuki oleh orang-orang yang suka menindas dan sombong’.,Surga berkata: ‘Aku dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan miskin’. Lalu Alloh berfirman kepada Neraka: “Kamu adalah siksa-Ku, Aku menyiksa denganmu siapa yang Aku kehendaki’. (Atau Alloh berfirman: ‘Aku menimpakan bencana denganmu kepada orang yang Aku kehendaki’) dan Alloh berfirman kepada Surga: ‘Kamu adalah Rahmat-Ku. Aku limpahkan rohmat berupa kamu kepada siapa yang Aku kehendaki’. “Dan masing-masing kamu memiliki penghuni sampai penuh”. (HR. Al-Bukhori 6/2771).
Sumber: Majalah al-furqon edisi 4 tahun ke 9/ Dzulqo'dah 1430H Oktober/ Nopember 2009 hal.6 s.d. 8.
Senin, 30 November 2009
NUR MUHAMMAD SHALLALLAHU "ALAIHI WASALLAM
NUR MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM
Assalamu’alaikum Warohmatullah. Apakah dibenarkan kita mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah manusia biasa seperti kita, dia makan, dan minum seperti kita, dia tidur seperti kita, untuk menepis anggapan bahwa Rasullullah adalah nur yang mana segala sesuatu diciptakan karena nur-nya? Terima kasih atas penjelasannya. (H.A. Sidoarjo).
Jawab:
Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Perkataan di atas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia biasa adalah masih global., di dalamnya masih mengandung makna yang benar dan makna yag bathil. Oleh karena itu, sebaiknya perkataan di atas dilengkapi supaya tidak mengandung makna bathil dengan semisal perkataan bahwa ‘Rasulullah adalah manusia biasa seperti kita, beliau makan, minum, tidur, sehat, sakit, akan mengalami kematian seperti kita, akan tetapi beliau dikhususkan oleh Alloh ta’ala dengan kenabian, wahyu dan risalah. Beliau diutus untuk semua manusia sebagai Rohmatan Lil ‘Alamin, pemberi peringatan dan kabar gembira bagi manusia, demikianlah yang diwahyukan oleh Alloh ta’ala sebagaimana firmannya:
“Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Rabb yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya”. (QS.al-Kahfi [18]: 110).
Adapun anggapan bahwa Rasulullah adalah Nur, maka inipun perlu diperinci. Jika Rasulullah
dianggap sebagai nur dalam artian cahaya petunjuk yang menerangi dan menunjukkan kepada jalan Alloh, dan membedakan antara yang haq dengan yang bathil, maka ini adalah benar. Sebagaimana firman Alloh:
“Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu banyak dari isi al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu nur/ cahaya dari Alloh, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Alloh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Alloh mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus”. (QS. al-Maidah [5]: 15-16).
Tetapi jika dianggap bahwa badan Nabi adalah nur (cahaya) atau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nur yang merupakan sifat Alloh ta’ala (bukan makhluk-Nya), maka ini adalah bathil. Karena jasad Nabi adalah sama dengan manusia biasa, terbentuk dari daging, tulang dan semisalnya. Beliau diciptakan dari air ayah dan ibunya seperti hal nya kita. Beliau makan, minum, dan melakukan segala aktivitas yang kita laukan , bahkan beliau mempunyai bayangan seperti kita jika berada di bawah matahari (berbeda dengan orang yang menganggap jasadnya adalah nur yang tidak mempunyai bayangan). Hal ini didasari oleh hadits:
“Malaikat diciptakan dari cahaya, iblis diciptakan dari bara api, sedangkan Adam diciptakan dari apa yang telah disebutkan buat kalian”. (HR. Muslim dan lainnya).
Syaikh al-Albaniy Rahimahullah berkata: Hadits ini memberi isyarat tentang bathil-nya hadits yang terkenal (yang sering) diucapkan orang, seperti hadits:
“Pertama kali yang diciptakan Alloh adalah nur Nabimu wahai Jabir”
Beliau menambahkan bahwa demikian pula hadits-hadits semisal yang di dalamnya ada ucapan bahwa Nabi Muhammad diciptakan dari Nur, Maka sungguh (hadits di atas, tentang penciptaan Malaikat) menjadi dalil yang sangat gamblang bahwasanya hanya para Malaikat yang diciptakan dari nur. Sedangkan Nabi Adam ‘Alaihissalam beserta anak cucunya tidak (diciptakan dari Nur). (Silsilah Ahadits Shohiihah: 1/820).
Sumber: Majalah Alfurqon Edisi 4 tahun ke 9/ Dzulqo’dah 1430H (Oktober/ November 2009) Hal 4-5.
Assalamu’alaikum Warohmatullah. Apakah dibenarkan kita mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah manusia biasa seperti kita, dia makan, dan minum seperti kita, dia tidur seperti kita, untuk menepis anggapan bahwa Rasullullah adalah nur yang mana segala sesuatu diciptakan karena nur-nya? Terima kasih atas penjelasannya. (H.A. Sidoarjo).
Jawab:
Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Perkataan di atas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia biasa adalah masih global., di dalamnya masih mengandung makna yang benar dan makna yag bathil. Oleh karena itu, sebaiknya perkataan di atas dilengkapi supaya tidak mengandung makna bathil dengan semisal perkataan bahwa ‘Rasulullah adalah manusia biasa seperti kita, beliau makan, minum, tidur, sehat, sakit, akan mengalami kematian seperti kita, akan tetapi beliau dikhususkan oleh Alloh ta’ala dengan kenabian, wahyu dan risalah. Beliau diutus untuk semua manusia sebagai Rohmatan Lil ‘Alamin, pemberi peringatan dan kabar gembira bagi manusia, demikianlah yang diwahyukan oleh Alloh ta’ala sebagaimana firmannya:
“Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Rabb yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya”. (QS.al-Kahfi [18]: 110).
Adapun anggapan bahwa Rasulullah adalah Nur, maka inipun perlu diperinci. Jika Rasulullah
dianggap sebagai nur dalam artian cahaya petunjuk yang menerangi dan menunjukkan kepada jalan Alloh, dan membedakan antara yang haq dengan yang bathil, maka ini adalah benar. Sebagaimana firman Alloh:
“Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu banyak dari isi al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu nur/ cahaya dari Alloh, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Alloh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Alloh mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus”. (QS. al-Maidah [5]: 15-16).
Tetapi jika dianggap bahwa badan Nabi adalah nur (cahaya) atau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nur yang merupakan sifat Alloh ta’ala (bukan makhluk-Nya), maka ini adalah bathil. Karena jasad Nabi adalah sama dengan manusia biasa, terbentuk dari daging, tulang dan semisalnya. Beliau diciptakan dari air ayah dan ibunya seperti hal nya kita. Beliau makan, minum, dan melakukan segala aktivitas yang kita laukan , bahkan beliau mempunyai bayangan seperti kita jika berada di bawah matahari (berbeda dengan orang yang menganggap jasadnya adalah nur yang tidak mempunyai bayangan). Hal ini didasari oleh hadits:
“Malaikat diciptakan dari cahaya, iblis diciptakan dari bara api, sedangkan Adam diciptakan dari apa yang telah disebutkan buat kalian”. (HR. Muslim dan lainnya).
Syaikh al-Albaniy Rahimahullah berkata: Hadits ini memberi isyarat tentang bathil-nya hadits yang terkenal (yang sering) diucapkan orang, seperti hadits:
“Pertama kali yang diciptakan Alloh adalah nur Nabimu wahai Jabir”
Beliau menambahkan bahwa demikian pula hadits-hadits semisal yang di dalamnya ada ucapan bahwa Nabi Muhammad diciptakan dari Nur, Maka sungguh (hadits di atas, tentang penciptaan Malaikat) menjadi dalil yang sangat gamblang bahwasanya hanya para Malaikat yang diciptakan dari nur. Sedangkan Nabi Adam ‘Alaihissalam beserta anak cucunya tidak (diciptakan dari Nur). (Silsilah Ahadits Shohiihah: 1/820).
Sumber: Majalah Alfurqon Edisi 4 tahun ke 9/ Dzulqo’dah 1430H (Oktober/ November 2009) Hal 4-5.
Selasa, 10 November 2009
Dapatkah Do’a Merubah Takdir..?
Dapatkah Do’a Merubah Takdir..?
Soal:
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh. Apakah benar bahwa takdir bisa dirubah dengan do’a?, mohon penjelasannya. (Rohmat –Lamongan).
Jawab:
Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh. Benar, takdir bisa dirubah dengan do’a, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tidak ada yang dapat mencegah takdir kecuali do’a”. (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrok: 1/ 493, dari hadits Tsauban, dan dihasankan oleh al-Albaniy dalam Shohih at-Targhib wat-Tarhib: 2/ 129).
Makna hadits ini ialah bahwa do’a itu adalah sebab/ jalan untuk mendapatkan kebaikan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perkara-perkara yang telah ditentukan/ ditakdirkan tetapi diikat dengan sebab tertentu. Jika dipenuhi sebabnya maka terwujudlah apa yang ditakdirkan, namun jika tidak dipenuhi sebabnya maka tidak akan terwujud (sebagaimana yang diharapkan). Apabila
seorang muslim berdo’a kepada Robb-nya, maka dia akan mendapatkan kebaikan, dan jika tidak berdo’a akan terjadi hal yang buruk baginya. Sebagaimana Allah ta’ala menjadikan silaturrahmi sebagai sebab panjangnya umur, dan sebaliknya, memutuskan silaturrahmi sebagai sebab pendeknya umur. Wallohu a’lamu.
(Oleh: Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali AM. Jawaban dinukil dari al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan: 1/ 37).
SUmber= Majalah al-Furqon edisi 4 tahun IX/ Dzulqo'dah 1430H/ OKtober-November 2009 Hal.4
Soal:
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh. Apakah benar bahwa takdir bisa dirubah dengan do’a?, mohon penjelasannya. (Rohmat –Lamongan).
Jawab:
Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh. Benar, takdir bisa dirubah dengan do’a, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tidak ada yang dapat mencegah takdir kecuali do’a”. (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrok: 1/ 493, dari hadits Tsauban, dan dihasankan oleh al-Albaniy dalam Shohih at-Targhib wat-Tarhib: 2/ 129).
Makna hadits ini ialah bahwa do’a itu adalah sebab/ jalan untuk mendapatkan kebaikan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perkara-perkara yang telah ditentukan/ ditakdirkan tetapi diikat dengan sebab tertentu. Jika dipenuhi sebabnya maka terwujudlah apa yang ditakdirkan, namun jika tidak dipenuhi sebabnya maka tidak akan terwujud (sebagaimana yang diharapkan). Apabila
seorang muslim berdo’a kepada Robb-nya, maka dia akan mendapatkan kebaikan, dan jika tidak berdo’a akan terjadi hal yang buruk baginya. Sebagaimana Allah ta’ala menjadikan silaturrahmi sebagai sebab panjangnya umur, dan sebaliknya, memutuskan silaturrahmi sebagai sebab pendeknya umur. Wallohu a’lamu.
(Oleh: Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali AM. Jawaban dinukil dari al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan: 1/ 37).
SUmber= Majalah al-Furqon edisi 4 tahun IX/ Dzulqo'dah 1430H/ OKtober-November 2009 Hal.4
Senin, 02 November 2009
SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA (2)- Lanjutan
Berikut ini kami nukilkan perkataan beberapa Imam sebagai bukti dari atas apa yang telah kami sebutkan:
1. Ibnu Taimiyyah berkata: “Paling jauh dalam hal bahwa Umar menyebutkan sebagai bid’ah yang dianggap baik, namun merupakan penamaan menurut tinjauan bahasa saja, bukan menurut syara’. Karena bid’ah dalam pengertian bahasa meliputi segala apa yang dikerjakan pertama kali tanpa mempunyai contoh sebelumnya. Adapun bid’ah menurut syara’ adalah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syara’. (Tafsiiru Ibni Katsiir, terhadap surat al-Baqarah ayat 117).
2. Ibnu Katsir berkata: “Bid’ah itu ada dua macam: (1) terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut syara’, seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (2) terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menrut bahasa, sebagaimana perkataan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab mengenai perbuatannya ketika mengumpulkan orang-orang untuk sholat tarawih dan secara kontinyu: “Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. (Jaami’ul ‘Uluum Wal Hikam,. No. 28 dengan sedikit perubahan).
3. Ibnu Rajab berkata: “Adapun apa yang terdapat pada perkataan para ulama salaf mengenai adanya anggapan baik terhadap sebagian bid’ah maka yang dimaksud adalah bid’ah lughawiyyah (bid’ah menurut bahasa), bukan
syar’iyyah (menurut agama). Di antaranya adalah perkataan Umar: “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
Maksudnya adalah bahwa perbuatan tersebut belum ada dengan cara demikian pada saat itu, namun sebelumnya ia mempunyai asal dari syariat yang dijadikan rujukan. (Tafsiirul Manaar (9/660) melalui Ilmu Ushulul Bida’ oleh Ali Hasan, hal. 95).
4. Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Sesungguhnya kata bid’ah itu digunakan dalam dua makna: (1) Penggunaan secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya. Menurut makna ini, maka benarlah perkataan mereka yang menyatakan bahwa bid’ah itu bisa dihukumi dengan lima hukum syari’at (wajib, sunnah, dst). (2) Diantaranya adalah perkataan Umar saat mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada satu imam dalam sholat tarawih: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah’. (3) Dalam pengertian syar’i (agama), maknanya adalah: segala sesuatu dari urusan agama yang belum pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa beliau dalam masalah-masalah aqidah, ibadah, dan pengharaman sesuatu secara syar’i. Inilah yang terdapat dalam hadits: ‘Fainna Kulla Muhdatsatin Bid’ah, Wa Kulla Bid’atin Dholaalah’.
Dan Bid’ah menurut syara’ ini yang ada hanyalah kesesatan belaka, sebab Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya dan telah mencukupkan dengan (agama)tersebut nikmat-Nya terhadap Makhluk-nya. Maka tak seorangpun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhak menambah-nambah sesuatu terhadap agama ini, baik terhadap masalah aqidah, ibadah, maupun syi’ar-syi’ar agama. Begitu pula tidak boleh mengurangi sesuatupun dari agama ini maupun merubah tata caranya, seperti mengubah sholat-sholat jahriyyah (yang dikeraskan suara di dalamnya) menjadi sholat sirriyyah (yang tidak dikeraskan suara di dalamnya) atau sebaliknya. Demikian pula tidak boleh mengubah ibadah yang bersifat mutlak (umum) menjadi sesuatu yang dibatasi dengan waktu atau tempat tertentu, atau mesti dilakukan secara kolektif atau perorangan tanpa ada dasarnya dari agama. (Ditakhrij oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/ 379).
Bersambung,..
1. Ibnu Taimiyyah berkata: “Paling jauh dalam hal bahwa Umar menyebutkan sebagai bid’ah yang dianggap baik, namun merupakan penamaan menurut tinjauan bahasa saja, bukan menurut syara’. Karena bid’ah dalam pengertian bahasa meliputi segala apa yang dikerjakan pertama kali tanpa mempunyai contoh sebelumnya. Adapun bid’ah menurut syara’ adalah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syara’. (Tafsiiru Ibni Katsiir, terhadap surat al-Baqarah ayat 117).
2. Ibnu Katsir berkata: “Bid’ah itu ada dua macam: (1) terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut syara’, seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (2) terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menrut bahasa, sebagaimana perkataan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab mengenai perbuatannya ketika mengumpulkan orang-orang untuk sholat tarawih dan secara kontinyu: “Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. (Jaami’ul ‘Uluum Wal Hikam,. No. 28 dengan sedikit perubahan).
3. Ibnu Rajab berkata: “Adapun apa yang terdapat pada perkataan para ulama salaf mengenai adanya anggapan baik terhadap sebagian bid’ah maka yang dimaksud adalah bid’ah lughawiyyah (bid’ah menurut bahasa), bukan
syar’iyyah (menurut agama). Di antaranya adalah perkataan Umar: “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
Maksudnya adalah bahwa perbuatan tersebut belum ada dengan cara demikian pada saat itu, namun sebelumnya ia mempunyai asal dari syariat yang dijadikan rujukan. (Tafsiirul Manaar (9/660) melalui Ilmu Ushulul Bida’ oleh Ali Hasan, hal. 95).
4. Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Sesungguhnya kata bid’ah itu digunakan dalam dua makna: (1) Penggunaan secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya. Menurut makna ini, maka benarlah perkataan mereka yang menyatakan bahwa bid’ah itu bisa dihukumi dengan lima hukum syari’at (wajib, sunnah, dst). (2) Diantaranya adalah perkataan Umar saat mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada satu imam dalam sholat tarawih: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah’. (3) Dalam pengertian syar’i (agama), maknanya adalah: segala sesuatu dari urusan agama yang belum pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa beliau dalam masalah-masalah aqidah, ibadah, dan pengharaman sesuatu secara syar’i. Inilah yang terdapat dalam hadits: ‘Fainna Kulla Muhdatsatin Bid’ah, Wa Kulla Bid’atin Dholaalah’.
Dan Bid’ah menurut syara’ ini yang ada hanyalah kesesatan belaka, sebab Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya dan telah mencukupkan dengan (agama)tersebut nikmat-Nya terhadap Makhluk-nya. Maka tak seorangpun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhak menambah-nambah sesuatu terhadap agama ini, baik terhadap masalah aqidah, ibadah, maupun syi’ar-syi’ar agama. Begitu pula tidak boleh mengurangi sesuatupun dari agama ini maupun merubah tata caranya, seperti mengubah sholat-sholat jahriyyah (yang dikeraskan suara di dalamnya) menjadi sholat sirriyyah (yang tidak dikeraskan suara di dalamnya) atau sebaliknya. Demikian pula tidak boleh mengubah ibadah yang bersifat mutlak (umum) menjadi sesuatu yang dibatasi dengan waktu atau tempat tertentu, atau mesti dilakukan secara kolektif atau perorangan tanpa ada dasarnya dari agama. (Ditakhrij oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/ 379).
Bersambung,..
Sabtu, 31 Oktober 2009
SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA (2)
Syubhat Kedua:
Pemahaman mereka terhadap perkataan Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu:
“Inilah sebaik-baik bid’ah”. (I’laamul Muwaqqi’iin (2/282)
Bantahan:
1. Jika kita menerima, bahwa yang dimaksud oleh perkataan Umar adalah sebagaimana mereka inginkan dalam menganggap baik perbuatan bid’ah- sekalipun hal ini tidak bisa diterima- maka sesungguhnya tidak dibenarkan mengkonfrontasikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun dia, baik itu perkataan Abu Bakar sebagai orang terbaik di antara umat sesudah Nabi-Nya, dan tidak pula perkataan Umar, sebagai orang terbaik kedua pada ummat ini setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak bisa dikonfrontasikan dengan ucapan siapapun.
Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata:
“Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kalian justru mengatakan berkata Abu Bakar dan Umar”.
Berkata Umar bin Abdul Aziz:
“Tidaklah diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Ibid)
Berkata Imam As-Syafi’i:
“Telah sepakat (ulama) kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena ada perkataan orang lain”. (Habaqaatul Hanaabilah (2/15) dan al-Ibaanah (1/260).
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berarti dia telah berada di pinggir jurang kehancuran”. (Ditakhrij oleh al-Bukhari No. 1129).
2. Bahwasanya Umar mengeluarkan perkataan tersebut ketika
beliau mengumpulkan orang-orang untuk sholat tarawih., dan Sholat tarawih itu bukanlah suatu bid’ah bahkan merupakan sunnah. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sholat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau sholat pada malam berikutnya maka banyak orang mengikuti beliau, kemudian mereka berkumpul pada malam ke-3 atau ke-4 tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Tatkala datang waktu pagi, beliau bersabda:
“Sungguh aku telah melihat apa yang kalian perbuat (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian melainkan aku khawatir jangan sampai ia akan diwajibkan kepada kalian”. Dan hal ini terjadi pada bulan Ramadhan (kata ‘Aisyah). (al-I’tishaam (1/250).
3. Apabila telah terbukti bahwa apa yang dilakukan oleh Umar itu bukanlah merupakan suatu bid’ah, lalu apa yang dimaksudkan dengan bid’ah dalam ucapan beliau tersebut? Sesungguhnya kata ‘Bid’ah’ dalam ucapan beliau tersebut maksudnya adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan makna menurut syara’ (agama).
Bid’ah menurut bahasa adalah ‘Maa Faila ‘alaa ghoiri mitsaalin saabiqinn’ (apa saja yang dilakukan yang tidak ada contoh sebelumnya). Maka tatkala sholat (tarawih) tersebut tidak dilakukan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa kekhalifahan Umar, berarti bahwa ia merupakan suatu bid’ah menurut tinjauan bahasa, yakni ‘tidak ada contoh sebelumnya’. Adapun menurut tinjauan syara’ (agama) tidaklah demikian, sebab perbuatan itu mempunyai dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berkata Asy-Syaathiby:
“Maka barangsiapa yang menamakannya sebagai bid’ah dalam pengertian semacam itu, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam segi penamaan (istilah). Dan dengan demikian tidak boleh berdalil (dengan pengertian dari segi bahasa tersebut) untuk memperbolehkan melakukan perbuatan bid’ah, sebab hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk pemutarbalikan fakta dari yang sebenarnya”. (Iqtidhaa Shiraathil Mustaqiim,.hal. 276).
Bersambung,.
Pemahaman mereka terhadap perkataan Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu:
“Inilah sebaik-baik bid’ah”. (I’laamul Muwaqqi’iin (2/282)
Bantahan:
1. Jika kita menerima, bahwa yang dimaksud oleh perkataan Umar adalah sebagaimana mereka inginkan dalam menganggap baik perbuatan bid’ah- sekalipun hal ini tidak bisa diterima- maka sesungguhnya tidak dibenarkan mengkonfrontasikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun dia, baik itu perkataan Abu Bakar sebagai orang terbaik di antara umat sesudah Nabi-Nya, dan tidak pula perkataan Umar, sebagai orang terbaik kedua pada ummat ini setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak bisa dikonfrontasikan dengan ucapan siapapun.
Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata:
“Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kalian justru mengatakan berkata Abu Bakar dan Umar”.
Berkata Umar bin Abdul Aziz:
“Tidaklah diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Ibid)
Berkata Imam As-Syafi’i:
“Telah sepakat (ulama) kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena ada perkataan orang lain”. (Habaqaatul Hanaabilah (2/15) dan al-Ibaanah (1/260).
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berarti dia telah berada di pinggir jurang kehancuran”. (Ditakhrij oleh al-Bukhari No. 1129).
2. Bahwasanya Umar mengeluarkan perkataan tersebut ketika
beliau mengumpulkan orang-orang untuk sholat tarawih., dan Sholat tarawih itu bukanlah suatu bid’ah bahkan merupakan sunnah. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sholat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau sholat pada malam berikutnya maka banyak orang mengikuti beliau, kemudian mereka berkumpul pada malam ke-3 atau ke-4 tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Tatkala datang waktu pagi, beliau bersabda:
“Sungguh aku telah melihat apa yang kalian perbuat (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian melainkan aku khawatir jangan sampai ia akan diwajibkan kepada kalian”. Dan hal ini terjadi pada bulan Ramadhan (kata ‘Aisyah). (al-I’tishaam (1/250).
3. Apabila telah terbukti bahwa apa yang dilakukan oleh Umar itu bukanlah merupakan suatu bid’ah, lalu apa yang dimaksudkan dengan bid’ah dalam ucapan beliau tersebut? Sesungguhnya kata ‘Bid’ah’ dalam ucapan beliau tersebut maksudnya adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan makna menurut syara’ (agama).
Bid’ah menurut bahasa adalah ‘Maa Faila ‘alaa ghoiri mitsaalin saabiqinn’ (apa saja yang dilakukan yang tidak ada contoh sebelumnya). Maka tatkala sholat (tarawih) tersebut tidak dilakukan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa kekhalifahan Umar, berarti bahwa ia merupakan suatu bid’ah menurut tinjauan bahasa, yakni ‘tidak ada contoh sebelumnya’. Adapun menurut tinjauan syara’ (agama) tidaklah demikian, sebab perbuatan itu mempunyai dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berkata Asy-Syaathiby:
“Maka barangsiapa yang menamakannya sebagai bid’ah dalam pengertian semacam itu, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam segi penamaan (istilah). Dan dengan demikian tidak boleh berdalil (dengan pengertian dari segi bahasa tersebut) untuk memperbolehkan melakukan perbuatan bid’ah, sebab hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk pemutarbalikan fakta dari yang sebenarnya”. (Iqtidhaa Shiraathil Mustaqiim,.hal. 276).
Bersambung,.
Jumat, 30 Oktober 2009
SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA (1)
SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA.
Syubhat Pertama:
Pemahaman mereka terhadap hadits:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang hasanah(baik) dalam Islam, maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang sayyi’ah (buruk), maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. (Ditakhrij oleh Muslim No. 1017).
Bantahan:
1. Bahwasanya makna ‘Man Sanna’, adalah “barangsiapa yang melakukan suatu amalan sebagai penerapan dari ajaran syari’at yang ada, BUKAN orang yang melakukan suatu amalan sebagai penetapan suatu syari’at yang baru”. Karena itu maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah beramal shaleh sesuai ajaran sunnah nabawiyyah yang ada.
Yang menunjukkan hal ini adalah faktor penyebab disabdakannya hadits itu, yakni sedekah yang disyari’atkan. Sebab disebutkannya hadits tersebut adalah sebagai berikut: Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau memberi semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk bersedekah sampai-sampai nampak kemarahan di wajah beliau kemudian datanglah seorang Anshar dengan sekantong (sedekah) lalu orang-orang (bersedekah) mengikutinya sehingga nampak keceriaan di wajah beliau, maka beliaupun bersabda: “Barangsiapa yang .... dst “ Lafadz hadits ini diriwayatkan ad-Daarimiy, No. 514 (1/ 141) dan dalam riwayat Muslim lebih panjang dari ini.
2. Bahwasanya orang yang mengatakan ‘Man Sanna Fil Islaam Khasanah..’ beliau juga yang mengatakan ‘Kulla Bid’ah Dholaalah..’.
Tidak mungkin akan muncul dari mulut orang yang benar lagi dipercaya suatu perkataan yang mendustakan perkataan yang lain dari beliau sendiri, dan selamanya tidak mungkin perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam saling bertentangan. (al-Ibdaa’ Fii Kamaalis Syar’i Wakhatharil Ibtidaa’ oleh Ibnu ‘Utsaimin, Hal. 19).
Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengamalkan suatu hadits lalu berpaling dari hadits yang lain, sebab hal yang demikian merupakan ciri orang-orang yang beriman terhadap sebagian dari Al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain.
3. Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan ‘Man Sanna..’ (barangsiapa yang yang menerapkan sunnah pertama kali). Dan beliau tidak mengatakan ‘Man ibtida’...’ (barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru dalam agama), dan beliau mengatakan ‘Fil Islaam’ (dalam Islam), sedangkan bid’ah itu bukan dari islam. Beliau mengatakan ‘Hasanah.’ (yang baik), sedangkan bid’ah bukan merupakan sesuatu yang baik. (Ibid, Hal. 20).
Dan jelas sekali perbedaan antara sunnah dan bid’ah, sebab sunnah merupakan suatu jalan yang diikuti dan bid’ah itu merupakan suatu yang dibuat-buat dalam agama.
4. Tidak pernah dinukilkan dari seorangpun dari ulama salaf yang menafsirkan kata “Sunnatun Hasanah..’ dengan arti bid’ah diada-adakan oleh manusia dari diri mereka sendiri.
5. Bahwasanya makna ‘Man Sanna..’ adalah barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah yang pernah ada kemudian hilang lalu dihidupkan kembali. Oleh karena itu, maka jadilah kata “Sunnah” itu disandarkan kepada orang yang menghidupkan sunnah tersebut setelah sunnah ditinggalkan orang.
Dalilnya adalah hadits: “Barangsiapa yang menghidupkan salah satu sunnahku lalu orang-orang ikut mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala dari orang yang ikut mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah lalu mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dari orang yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (Sunan Ibnu Majah, No. 209 dan dishahihkan oleh al-Albaniy).
6. Bahwasanya perkataan beliau ‘Man Sanna Sunnatun Khasanah..” dan “Man Sanna Sunnatun Sayyi’ah..” tidak mungkin kita tafsirkan “menciptakan sesuatu yang baru..”, sebab keberadaannya sebagai suatu yang baik atau buruk itu tidak mungkin diketahui kecuali melalui syari’at agama. Karena itulah maka yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut haruslah baik menurut syara’ atau sebaliknya buruk menurut syara’.
Maka pengertian itu hanya berlaku bagi bentuk sedekah yang telah disebutkan, adapun sedekah yang serupa dengannya merupakan bagian dari sunnah-sunnah yang telah disyari’atkan, sehingga tinggallah kedudukan ‘Sunnah Sayyi’ah (yang buruk)’ itu ditafsirkan sebagai perbuatan maksiyat yang keberadaanya menurut syara’ jelas-jelas maksiyat, seperti membunuh, sebagaimana yang diperingatkan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita) dalam hadits mengenai anak Adam, dimana beliau bersabda: “Sebab dialah yang pertama-tama melakukan sunnah membunuh”. (Lihat al-I’tishaam, oleh as-Syaatibhy, 1/236).
Dan begitu pula bid’ah itu (dikatakan sebagai suatu hal yang buruk), sebab telah ada celaan dan larangan terhadapnya dari syara’. (dikeluarkan oleh al-Bukhari, No.2010).
Bersambung.
Sumber=
Al-Luma’ Fil-Rudd ‘Alaa Muhassiny Al-Bida’ karya Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As-Shahibany Hal. 31-36.
Syubhat Pertama:
Pemahaman mereka terhadap hadits:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang hasanah(baik) dalam Islam, maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang sayyi’ah (buruk), maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. (Ditakhrij oleh Muslim No. 1017).
Bantahan:
1. Bahwasanya makna ‘Man Sanna’, adalah “barangsiapa yang melakukan suatu amalan sebagai penerapan dari ajaran syari’at yang ada, BUKAN orang yang melakukan suatu amalan sebagai penetapan suatu syari’at yang baru”. Karena itu maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah beramal shaleh sesuai ajaran sunnah nabawiyyah yang ada.
Yang menunjukkan hal ini adalah faktor penyebab disabdakannya hadits itu, yakni sedekah yang disyari’atkan. Sebab disebutkannya hadits tersebut adalah sebagai berikut: Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau memberi semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk bersedekah sampai-sampai nampak kemarahan di wajah beliau kemudian datanglah seorang Anshar dengan sekantong (sedekah) lalu orang-orang (bersedekah) mengikutinya sehingga nampak keceriaan di wajah beliau, maka beliaupun bersabda: “Barangsiapa yang .... dst “ Lafadz hadits ini diriwayatkan ad-Daarimiy, No. 514 (1/ 141) dan dalam riwayat Muslim lebih panjang dari ini.
2. Bahwasanya orang yang mengatakan ‘Man Sanna Fil Islaam Khasanah..’ beliau juga yang mengatakan ‘Kulla Bid’ah Dholaalah..’.
Tidak mungkin akan muncul dari mulut orang yang benar lagi dipercaya suatu perkataan yang mendustakan perkataan yang lain dari beliau sendiri, dan selamanya tidak mungkin perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam saling bertentangan. (al-Ibdaa’ Fii Kamaalis Syar’i Wakhatharil Ibtidaa’ oleh Ibnu ‘Utsaimin, Hal. 19).
Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengamalkan suatu hadits lalu berpaling dari hadits yang lain, sebab hal yang demikian merupakan ciri orang-orang yang beriman terhadap sebagian dari Al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain.
3. Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan ‘Man Sanna..’ (barangsiapa yang yang menerapkan sunnah pertama kali). Dan beliau tidak mengatakan ‘Man ibtida’...’ (barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru dalam agama), dan beliau mengatakan ‘Fil Islaam’ (dalam Islam), sedangkan bid’ah itu bukan dari islam. Beliau mengatakan ‘Hasanah.’ (yang baik), sedangkan bid’ah bukan merupakan sesuatu yang baik. (Ibid, Hal. 20).
Dan jelas sekali perbedaan antara sunnah dan bid’ah, sebab sunnah merupakan suatu jalan yang diikuti dan bid’ah itu merupakan suatu yang dibuat-buat dalam agama.
4. Tidak pernah dinukilkan dari seorangpun dari ulama salaf yang menafsirkan kata “Sunnatun Hasanah..’ dengan arti bid’ah diada-adakan oleh manusia dari diri mereka sendiri.
5. Bahwasanya makna ‘Man Sanna..’ adalah barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah yang pernah ada kemudian hilang lalu dihidupkan kembali. Oleh karena itu, maka jadilah kata “Sunnah” itu disandarkan kepada orang yang menghidupkan sunnah tersebut setelah sunnah ditinggalkan orang.
Dalilnya adalah hadits: “Barangsiapa yang menghidupkan salah satu sunnahku lalu orang-orang ikut mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala dari orang yang ikut mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah lalu mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dari orang yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (Sunan Ibnu Majah, No. 209 dan dishahihkan oleh al-Albaniy).
6. Bahwasanya perkataan beliau ‘Man Sanna Sunnatun Khasanah..” dan “Man Sanna Sunnatun Sayyi’ah..” tidak mungkin kita tafsirkan “menciptakan sesuatu yang baru..”, sebab keberadaannya sebagai suatu yang baik atau buruk itu tidak mungkin diketahui kecuali melalui syari’at agama. Karena itulah maka yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut haruslah baik menurut syara’ atau sebaliknya buruk menurut syara’.
Maka pengertian itu hanya berlaku bagi bentuk sedekah yang telah disebutkan, adapun sedekah yang serupa dengannya merupakan bagian dari sunnah-sunnah yang telah disyari’atkan, sehingga tinggallah kedudukan ‘Sunnah Sayyi’ah (yang buruk)’ itu ditafsirkan sebagai perbuatan maksiyat yang keberadaanya menurut syara’ jelas-jelas maksiyat, seperti membunuh, sebagaimana yang diperingatkan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita) dalam hadits mengenai anak Adam, dimana beliau bersabda: “Sebab dialah yang pertama-tama melakukan sunnah membunuh”. (Lihat al-I’tishaam, oleh as-Syaatibhy, 1/236).
Dan begitu pula bid’ah itu (dikatakan sebagai suatu hal yang buruk), sebab telah ada celaan dan larangan terhadapnya dari syara’. (dikeluarkan oleh al-Bukhari, No.2010).
Bersambung.
Sumber=
Al-Luma’ Fil-Rudd ‘Alaa Muhassiny Al-Bida’ karya Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As-Shahibany Hal. 31-36.
Selasa, 27 Oktober 2009
Ringan di Lisan Berat di Timbangan
Ringan di Lisan Berat di Timbangan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah kalimat yang ringan di lisan namun berat di dalam timbangan, dan keduanya dicintai oleh ar-Rahman, yaitu ‘Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’.” (HR. Bukhari [7573] dan Muslim [2694])
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Kedua kalimat ini merupakan penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba.” Beliau juga berpesan, “Wahai hamba Allah, sering-seringlah mengucapkan dua kalimat ini. Ucapkanlah keduanya secara kontinyu, karena kedua kalimat ini berat di dalam timbangan (amal) dan dicintai oleh ar-Rahman, sedangkan keduanya sama sekali tidak merugikanmu sedikitpun sementara keduanya sangat ringan diucapkan oleh lisan, ‘Subhanallahi wabihamdih, subhanallahil ‘azhim’. Maka sudah semestinya setiap insan mengucapkan dzikir itu dan memperbanyaknya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, 3/446).
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Allah dengan nama-Nya ar-Rahman –Yang Maha pemurah-. Hikmahnya adalah –wallahu a’lam- karena untuk menunjukkan keluasan kasih sayang Allah ta’ala. Sebagai contohnya, di dalam hadits ini diberitakan bahwa Allah berkenan memberikan balasan pahala yang banyak walaupun amal yang dilakukan hanya sedikit (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/883)
Subhanallahi Wabihamdih
Makna ucapan subhanallah –Maha suci Allah- adalah;
anda menyucikan Allah ta’ala dari segala aib dan kekurangan dan anda menyatakan bahwa Allah Maha sempurna dari segala sisi. Hal itu diiringi dengan pujian kepada Allah –wabihamdih- yang menunjukkan kesempurnaan karunia dan kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah dan ilmu-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)
Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan dan keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan dan aib, maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa Allah adalah Sang pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk-Nya. Sedangkan keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/argumen yang mewajibkan manusia untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah –tauhid uluhiyah-. Dengan demikian maka kalimat ini mengandung penetapan kedua macam tauhid tersebut –rububiyah dan uluhiyah- (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/885)
Makna pujian kepada Allah
Al-Hamdu atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat-Nya yang sempurna, nikmat-nikmat-Nya yang melimpah ruah, kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya, dan keelokan hikmah-Nya. Allah ta’ala memiliki nama, sifat dan perbuatan yang sempurna. Semua nama Allah adalah nama yang terindah dan mulia, tidak ada nama Allah yang tercela. Demikian pula dalam hal sifat-sifat-Nya tidak ada sifat yang tercela, bahkan sifat-sifat-Nya adalah sifat yang sempurna dari segala sisi. Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji, karena perbuatan-Nya berkisar antara menegakkan keadilan dan memberikan keutamaan. Maka bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 7)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-hamdu adalah mensifati sesuatu yang dipuji dengan sifat-sifat sempurna yang diiringi oleh kecintaan dan pengagungan -dari yang memuji-, kesempurnaan dalam hal dzat, sifat, dan perbuatan. Maka Allah itu Maha sempurna dalam hal dzat, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 10)
Subhanallahil ‘Azhim
Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yang lebih agung dan berkuasa melebihi kekuasaan Allah ta’ala dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada-Nya, tidak ada yang lebih dalam ilmunya daripada-Nya. Maka Allah ta’ala itu Maha agung dengan dzat dan sifat-sifat-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446).
Hal itu menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan Allah ta’ala, inilah sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya. Di dalam bacaan dzikir ini tergabung antara pujian dan pengagungan yang mengandung perasaan harap dan takut kepada Allah ta’ala (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/884-885).
sumber= http://muslim.or.id/doa-dan-wirid/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html
semoga bermanfaat.,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah kalimat yang ringan di lisan namun berat di dalam timbangan, dan keduanya dicintai oleh ar-Rahman, yaitu ‘Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’.” (HR. Bukhari [7573] dan Muslim [2694])
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Kedua kalimat ini merupakan penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba.” Beliau juga berpesan, “Wahai hamba Allah, sering-seringlah mengucapkan dua kalimat ini. Ucapkanlah keduanya secara kontinyu, karena kedua kalimat ini berat di dalam timbangan (amal) dan dicintai oleh ar-Rahman, sedangkan keduanya sama sekali tidak merugikanmu sedikitpun sementara keduanya sangat ringan diucapkan oleh lisan, ‘Subhanallahi wabihamdih, subhanallahil ‘azhim’. Maka sudah semestinya setiap insan mengucapkan dzikir itu dan memperbanyaknya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, 3/446).
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Allah dengan nama-Nya ar-Rahman –Yang Maha pemurah-. Hikmahnya adalah –wallahu a’lam- karena untuk menunjukkan keluasan kasih sayang Allah ta’ala. Sebagai contohnya, di dalam hadits ini diberitakan bahwa Allah berkenan memberikan balasan pahala yang banyak walaupun amal yang dilakukan hanya sedikit (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/883)
Subhanallahi Wabihamdih
Makna ucapan subhanallah –Maha suci Allah- adalah;
anda menyucikan Allah ta’ala dari segala aib dan kekurangan dan anda menyatakan bahwa Allah Maha sempurna dari segala sisi. Hal itu diiringi dengan pujian kepada Allah –wabihamdih- yang menunjukkan kesempurnaan karunia dan kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah dan ilmu-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)
Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan dan keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan dan aib, maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa Allah adalah Sang pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk-Nya. Sedangkan keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/argumen yang mewajibkan manusia untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah –tauhid uluhiyah-. Dengan demikian maka kalimat ini mengandung penetapan kedua macam tauhid tersebut –rububiyah dan uluhiyah- (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/885)
Makna pujian kepada Allah
Al-Hamdu atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat-Nya yang sempurna, nikmat-nikmat-Nya yang melimpah ruah, kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya, dan keelokan hikmah-Nya. Allah ta’ala memiliki nama, sifat dan perbuatan yang sempurna. Semua nama Allah adalah nama yang terindah dan mulia, tidak ada nama Allah yang tercela. Demikian pula dalam hal sifat-sifat-Nya tidak ada sifat yang tercela, bahkan sifat-sifat-Nya adalah sifat yang sempurna dari segala sisi. Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji, karena perbuatan-Nya berkisar antara menegakkan keadilan dan memberikan keutamaan. Maka bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 7)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-hamdu adalah mensifati sesuatu yang dipuji dengan sifat-sifat sempurna yang diiringi oleh kecintaan dan pengagungan -dari yang memuji-, kesempurnaan dalam hal dzat, sifat, dan perbuatan. Maka Allah itu Maha sempurna dalam hal dzat, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 10)
Subhanallahil ‘Azhim
Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yang lebih agung dan berkuasa melebihi kekuasaan Allah ta’ala dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada-Nya, tidak ada yang lebih dalam ilmunya daripada-Nya. Maka Allah ta’ala itu Maha agung dengan dzat dan sifat-sifat-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446).
Hal itu menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan Allah ta’ala, inilah sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya. Di dalam bacaan dzikir ini tergabung antara pujian dan pengagungan yang mengandung perasaan harap dan takut kepada Allah ta’ala (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/884-885).
sumber= http://muslim.or.id/doa-dan-wirid/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html
semoga bermanfaat.,
Rabu, 30 September 2009
MALAM DAN SIANG HANYALAH SEBUAH PERJALANAN
MALAM DAN SIANG HANYALAH SEBUAH PERJALANAN
Oleh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim
Selasa, 29 September 2009 15:57:29 WIB
Saudaraku semuslim…
Malam dan siang hanyalah sebuah perjalanan yang selalu dilalui oleh setiap insan, dia melewatinya selangkah demi selangkah sehingga sampai pada akhir sebuah perjalanan. Jika Anda bisa mempersembahkan sebuah perbekalan pada setiap langkah tersebut, maka lakukanlah, karena tidak lama lagi perjalanan ini akan berakhir, bahkan dia berlari dengan lebih cepat dari yang engkau bayangkan. Maka bekalilah dirimu dalam perjalanan ini dan lakukanlah kewajibanmu, seakan-akan engkau sedang ada dalam perjalanan yang banyak mengandung bahaya para perampok.
Seorang Salaf menulis surat kepada saudaranya (yang isinya), “Wahai saudaraku, engkau berkhayal bahwa engkau selamanya berada di dunia, akan tetapi sebenarnya engkau ada dalam sebuah perjalanan. Engkau digiring dengan cepat, kematian datang menghadangmu, sedangkan dunia telah menggulung tikarnya di belakangmu, umurmu yang telah berlalu sama sekali tidak akan kembali.”[1]
Kita semua berjalan pada kelompok orang-orang yang zuhud, sedangkan kafilah (rombongan) orang-orang yang shalih telah berlalu… bagaimana kita melihat dunia menyatu dengan akhirat… antara zuhud dengan qana’ah. ‘Ali bin Fudhail berkata, “Aku mendengar ayahku berbicara kepada Ibnul Mubarak, ‘Engkau memerintahkan kami untuk hidup dengan zuhud dan kesederhanaan, akan tetapi aku melihat dirimu yang selalu membawa barang dagangan, bagaimana hal ini bisa terjadi?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Abu ‘Ali, aku melakukannya hanya untuk menjaga wajah dan kehormatanku, dan dengannya aku melakukan ketaatan kepada Rabb-ku.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Ibnul Mubarak! Sungguh indahnya hal ini jika ini dilakukan dengan sempurna!!’”
Saudaraku tercinta…
Bagaimana engkau memandang dunia ini? Sungguh indahnya dunia jika ia datang dari pintu yang halal dan digunakan di jalan yang halal. Sesungguhnya pintu-pintu kebaikan sangat banyak dan tidak dapat dihitung: shadaqah, membantu orang yang sangat membutuhkan, menolong orang yang tertimpa musibah, membantu para janda, dan menanggung hidup anak-anak yatim.
Saudaraku…Sufyan pernah berkata, “Jagalah dirimu dari kemarahan Allah dalam tiga hal:
(1) Jagalah dirimu agar tidak lalai pada perintah-Nya,
(2) Jagalah dirimu dari sikap tidak rela akan keputusan-Nya sedangkan Dia melihatmu, dan
(3) Jagalah dirimu dari sikap membenci Rabb-mu ketika engkau meminta kepada-Nya, tetapi engkau tidak mendapatkannya.”
Sesungguhnya yang membagi-bagikan rizki di dunia ini adalah Allah,
karena itu engkau harus rela terhadap pembagian-Nya, sedikit ataupun banyak, datang atau pergi, dunia itu memihakmu ataupun meninggalkanmu, engkau harus rela terhadap apa yang engkau dapatkan. Janganlah hatimu risau karenanya, janganlah engkau membenci apa yang telah Allah tentukan untukmu, dan janganlah engkau melihat orang yang lebih tinggi darimu dalam hal keduniaan. Akan tetapi lihatlah kepada orang-orang shalih dan orang-orang pilihan.
Siapa saja yang ingin hidup lapang
di dalam naungan agama dengan meraih dunia,
maka lihatlah orang yang lebih wara’ (takwa) daripadanya
dan perhatikanlah orang yang lebih miskin dari-nya.[2]
Yang lebih indah lagi dari ungkapan tersebut adalah firman Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia:
"Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya… ." [Thahaa: 131]
Ibrahim al-Asy’ats rahimahullah berkata, “Aku mendengar Fudhail berkata, ‘Rasa takut seorang hamba terhadap Allah sesuai dengan keilmuannya kepada-Nya. Kezuhudan seorang hamba terhadap dunia sesuai dengan keinginannya atas kebahagiaan akhirat. Siapa saja yang beramal dengan ilmu yang ia ketahui, maka dia akan merasa cukup terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui. Dan siapa saja yang mengamalkan sesuatu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan ilmu yang tidak ia ketahui. Siapa saja memiliki prilaku yang jelek, maka jelek pulalah agama, keturunan, dan kehormatannya.”[3]
Sebagian dari orang-orang zuhud berkata, “Aku tidak pernah mengetahui seseorang yang mendengar Surga dan Neraka, kemudian didatangkan kematian kepadanya. Sedangkan ia dalam keadaan tidak melakukan ketaatan kepada Allah sesaat pun, baik dengan berdzikir, shalat, membaca al-Qur-an atau dengan berbuat baik.” Lalu seseorang berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku banyak menangis.” Lalu beliau berkata, “Jika engkau tertawa dengan mengakui kesalahan, itu lebih baik daripada engkau menangis tetapi selalu menampakkan amal. Jika seseorang me-nampakkan amalnya, niscaya amal tersebut tidak akan naik melebihi kepalanya.”
Orang tadi berkata, “Nasihatilah aku!” Beliau pun berkata,
“Tinggalkanlah dunia untuk orang yang tamak kepadanya sebagaimana mereka meninggalkan akhirat. Dan jadilah di dunia ini bagaikan seekor lebah, dia tidak akan makan kecuali yang baik-baik. Dan jika terjatuh, maka dia tidak akan memecahkan atau merobek-robek sesuatu.”[4]
Saudaraku tercinta…
Tidak ada seorang pun yang mengingat kematian melainkan dunia akan menjadi hina dalam pandangannya, akhirnya semua penutup di hadapannya akan terbuka. Sesungguhnya dunia adalah beberapa tahun yang bisa dihitung, sebanyak apa pun materi yang dikumpulkan oleh seseorang dan sebanyak apa pun harta simpanan yang ia miliki, karena di belakang semua itu adalah kematian yang akan menghancurkan semua kelezatan dan memisahkan seseorang dari semua kawannya.
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kematian itu selalu membuka aib dunia, dia tidak akan membiarkan seseorang yang berakal mendapatkan kebahagiaan di dalamnya.” [5]
Kebahagiaan apakah wahai saudaraku, sedangkan dunia begitu adanya?
Dunia telah berseru kepada dirinya,
seandainya di alam ini ada orang yang mendengarnya.
Berapa banyak sang pengumpul harta yang telah aku hancurkan,
harta yang dikumpulkannya.[6]
[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal. 381.
[2]. As-Siyar (VIII/426).
[3]. Al-Ihyaa’ (IV/131).
[4]. As-Siyar (VIII/426).
[5]. Taariikh Baghdaad (XIV/444).
[6]. Thabaqaatusy Syaafi’iyyah (VI/78).
Sumber= http://www.almanhaj.or.id/content/2528/slash/0
Bersama dengan ini Admin ingin menyampaikan turut berduka cita kepada saudara2 / teman/ keluarga yg berada di daerah Sumatera khususnya Padang Jambi dan sekitarnya atas musibah bencana yang dialami. Semoga diberikan keikhlasan dan kesabaran oleh Allah ta'ala dalam menghadapi ujian ini. SMangaTT!!
Oleh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim
Selasa, 29 September 2009 15:57:29 WIB
Saudaraku semuslim…
Malam dan siang hanyalah sebuah perjalanan yang selalu dilalui oleh setiap insan, dia melewatinya selangkah demi selangkah sehingga sampai pada akhir sebuah perjalanan. Jika Anda bisa mempersembahkan sebuah perbekalan pada setiap langkah tersebut, maka lakukanlah, karena tidak lama lagi perjalanan ini akan berakhir, bahkan dia berlari dengan lebih cepat dari yang engkau bayangkan. Maka bekalilah dirimu dalam perjalanan ini dan lakukanlah kewajibanmu, seakan-akan engkau sedang ada dalam perjalanan yang banyak mengandung bahaya para perampok.
Seorang Salaf menulis surat kepada saudaranya (yang isinya), “Wahai saudaraku, engkau berkhayal bahwa engkau selamanya berada di dunia, akan tetapi sebenarnya engkau ada dalam sebuah perjalanan. Engkau digiring dengan cepat, kematian datang menghadangmu, sedangkan dunia telah menggulung tikarnya di belakangmu, umurmu yang telah berlalu sama sekali tidak akan kembali.”[1]
Kita semua berjalan pada kelompok orang-orang yang zuhud, sedangkan kafilah (rombongan) orang-orang yang shalih telah berlalu… bagaimana kita melihat dunia menyatu dengan akhirat… antara zuhud dengan qana’ah. ‘Ali bin Fudhail berkata, “Aku mendengar ayahku berbicara kepada Ibnul Mubarak, ‘Engkau memerintahkan kami untuk hidup dengan zuhud dan kesederhanaan, akan tetapi aku melihat dirimu yang selalu membawa barang dagangan, bagaimana hal ini bisa terjadi?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Abu ‘Ali, aku melakukannya hanya untuk menjaga wajah dan kehormatanku, dan dengannya aku melakukan ketaatan kepada Rabb-ku.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Ibnul Mubarak! Sungguh indahnya hal ini jika ini dilakukan dengan sempurna!!’”
Saudaraku tercinta…
Bagaimana engkau memandang dunia ini? Sungguh indahnya dunia jika ia datang dari pintu yang halal dan digunakan di jalan yang halal. Sesungguhnya pintu-pintu kebaikan sangat banyak dan tidak dapat dihitung: shadaqah, membantu orang yang sangat membutuhkan, menolong orang yang tertimpa musibah, membantu para janda, dan menanggung hidup anak-anak yatim.
Saudaraku…Sufyan pernah berkata, “Jagalah dirimu dari kemarahan Allah dalam tiga hal:
(1) Jagalah dirimu agar tidak lalai pada perintah-Nya,
(2) Jagalah dirimu dari sikap tidak rela akan keputusan-Nya sedangkan Dia melihatmu, dan
(3) Jagalah dirimu dari sikap membenci Rabb-mu ketika engkau meminta kepada-Nya, tetapi engkau tidak mendapatkannya.”
Sesungguhnya yang membagi-bagikan rizki di dunia ini adalah Allah,
karena itu engkau harus rela terhadap pembagian-Nya, sedikit ataupun banyak, datang atau pergi, dunia itu memihakmu ataupun meninggalkanmu, engkau harus rela terhadap apa yang engkau dapatkan. Janganlah hatimu risau karenanya, janganlah engkau membenci apa yang telah Allah tentukan untukmu, dan janganlah engkau melihat orang yang lebih tinggi darimu dalam hal keduniaan. Akan tetapi lihatlah kepada orang-orang shalih dan orang-orang pilihan.
Siapa saja yang ingin hidup lapang
di dalam naungan agama dengan meraih dunia,
maka lihatlah orang yang lebih wara’ (takwa) daripadanya
dan perhatikanlah orang yang lebih miskin dari-nya.[2]
Yang lebih indah lagi dari ungkapan tersebut adalah firman Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia:
"Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya… ." [Thahaa: 131]
Ibrahim al-Asy’ats rahimahullah berkata, “Aku mendengar Fudhail berkata, ‘Rasa takut seorang hamba terhadap Allah sesuai dengan keilmuannya kepada-Nya. Kezuhudan seorang hamba terhadap dunia sesuai dengan keinginannya atas kebahagiaan akhirat. Siapa saja yang beramal dengan ilmu yang ia ketahui, maka dia akan merasa cukup terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui. Dan siapa saja yang mengamalkan sesuatu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan ilmu yang tidak ia ketahui. Siapa saja memiliki prilaku yang jelek, maka jelek pulalah agama, keturunan, dan kehormatannya.”[3]
Sebagian dari orang-orang zuhud berkata, “Aku tidak pernah mengetahui seseorang yang mendengar Surga dan Neraka, kemudian didatangkan kematian kepadanya. Sedangkan ia dalam keadaan tidak melakukan ketaatan kepada Allah sesaat pun, baik dengan berdzikir, shalat, membaca al-Qur-an atau dengan berbuat baik.” Lalu seseorang berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku banyak menangis.” Lalu beliau berkata, “Jika engkau tertawa dengan mengakui kesalahan, itu lebih baik daripada engkau menangis tetapi selalu menampakkan amal. Jika seseorang me-nampakkan amalnya, niscaya amal tersebut tidak akan naik melebihi kepalanya.”
Orang tadi berkata, “Nasihatilah aku!” Beliau pun berkata,
“Tinggalkanlah dunia untuk orang yang tamak kepadanya sebagaimana mereka meninggalkan akhirat. Dan jadilah di dunia ini bagaikan seekor lebah, dia tidak akan makan kecuali yang baik-baik. Dan jika terjatuh, maka dia tidak akan memecahkan atau merobek-robek sesuatu.”[4]
Saudaraku tercinta…
Tidak ada seorang pun yang mengingat kematian melainkan dunia akan menjadi hina dalam pandangannya, akhirnya semua penutup di hadapannya akan terbuka. Sesungguhnya dunia adalah beberapa tahun yang bisa dihitung, sebanyak apa pun materi yang dikumpulkan oleh seseorang dan sebanyak apa pun harta simpanan yang ia miliki, karena di belakang semua itu adalah kematian yang akan menghancurkan semua kelezatan dan memisahkan seseorang dari semua kawannya.
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kematian itu selalu membuka aib dunia, dia tidak akan membiarkan seseorang yang berakal mendapatkan kebahagiaan di dalamnya.” [5]
Kebahagiaan apakah wahai saudaraku, sedangkan dunia begitu adanya?
Dunia telah berseru kepada dirinya,
seandainya di alam ini ada orang yang mendengarnya.
Berapa banyak sang pengumpul harta yang telah aku hancurkan,
harta yang dikumpulkannya.[6]
[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal. 381.
[2]. As-Siyar (VIII/426).
[3]. Al-Ihyaa’ (IV/131).
[4]. As-Siyar (VIII/426).
[5]. Taariikh Baghdaad (XIV/444).
[6]. Thabaqaatusy Syaafi’iyyah (VI/78).
Sumber= http://www.almanhaj.or.id/content/2528/slash/0
Bersama dengan ini Admin ingin menyampaikan turut berduka cita kepada saudara2 / teman/ keluarga yg berada di daerah Sumatera khususnya Padang Jambi dan sekitarnya atas musibah bencana yang dialami. Semoga diberikan keikhlasan dan kesabaran oleh Allah ta'ala dalam menghadapi ujian ini. SMangaTT!!
Rabu, 16 September 2009
MENYENTUH LAWAN JENIS MEMBATALKAN WUDHU..??
MENYENTUH LAWAN JENIS MEMBATALKAN WUDHU..??
SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, saya mau tanya, apakah bila suami istri yang telah berwudhu bersentuhan wudhunya batal..?? atas jawaban ustadz, saya ucapkan banyak terima kasih. (Rilla, Bumi Allah, +62811750XXXX)
JAWAB:
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu..?? Beliau menjawab: “Pendapat yang benar menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu, kecuali jika keluar sesuatu dari kemaluannya. Hal ini berdasarkan hadits shahih (yang artinya): “Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya lalu melaksanakan sholat tanpa mengulang wudhunya”.
Pada dasarnya tidak ada yang membatalkan wudhu kecuali terdapat dalil yang jelas lagi shohih yang menyatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Dan seseorang pada dasarnya diangap telah menyempurnakan wudhunya sesuai dengan dalil syar’i. Dan sesuatu yang telah ditetapkan dalil syar’i tidak bisa digugurkan kecuali dengan dalil syar’i pula.
Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “...atau menyentuh perempuan...” (QS. al-Maidah [5]: 6)
maka jawabnya, yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat ini adalah bersetubuh, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma.
(Fatawa wa Rosa’il Syaikh al-Utsaimin 4/201).
Sumber: Majalah al-Mawaddah edisi ke-1 Tahun ke-3/ Sya’ban 1430H/ Agustus 2009 hal. 48.
SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, saya mau tanya, apakah bila suami istri yang telah berwudhu bersentuhan wudhunya batal..?? atas jawaban ustadz, saya ucapkan banyak terima kasih. (Rilla, Bumi Allah, +62811750XXXX)
JAWAB:
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu..?? Beliau menjawab: “Pendapat yang benar menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu, kecuali jika keluar sesuatu dari kemaluannya. Hal ini berdasarkan hadits shahih (yang artinya): “Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya lalu melaksanakan sholat tanpa mengulang wudhunya”.
Pada dasarnya tidak ada yang membatalkan wudhu kecuali terdapat dalil yang jelas lagi shohih yang menyatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Dan seseorang pada dasarnya diangap telah menyempurnakan wudhunya sesuai dengan dalil syar’i. Dan sesuatu yang telah ditetapkan dalil syar’i tidak bisa digugurkan kecuali dengan dalil syar’i pula.
Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “...atau menyentuh perempuan...” (QS. al-Maidah [5]: 6)
maka jawabnya, yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat ini adalah bersetubuh, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma.
(Fatawa wa Rosa’il Syaikh al-Utsaimin 4/201).
Sumber: Majalah al-Mawaddah edisi ke-1 Tahun ke-3/ Sya’ban 1430H/ Agustus 2009 hal. 48.
Langganan:
Postingan (Atom)