Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "IKATLAH ILMU DENGAN TULISAN". [Hasan, HR. Ibnu 'Abdil Barr dalam al- Jaami' (I/ 306, No. 395) dari Shahabat Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu. Lihat Takhrij lengkapnya dalam 'Silsilah ash- Shahiihah, No. 2026, dan Shahiih al- Jaami'ish Shaghiir, No. 4434].
Minggu, 21 November 2010
Betulkah Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh mengirim Pahala Bacaan..?
Masyarakat yang mempunyai kebiasaan melakukan kenduri/ tahlilan/ yasinan biasanya mengaku sebagai pengikut madzhab Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh. Bahkan, mereka mengklaim kenduri/ tahlilan/ yasinan adalah ciri khas ajaran madzhab Syafi’i yang harus dilestarikan di bumi madzhab Syafi’i –sebutan mereka terhadap Indonesia- ini. Bagaimana sebenarnya imam asy- Syafi’i dan ulama- ulama besar dari kalangan madzhab Syafi’i berpandangan tentang kenduri/ tahlilan/ yasinan..?
Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh, dalam kitabnya berkata,
“Aku membenci acara berkumpulnya orang di rumah keluarga mayit (ma- tam) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka”. (Al- Um, Juz. 1 hal. 279).
Imam Nawawi Rahimahulloh, seorang imam besar madzhab Syafi’i setelah mengutip perkataan Syafi’i tersebut di dalam kitabnya berkata,
“Ini adalah lafazh beliau dalam kitab Al- Um. Inilah yang diikuti oleh murid- murid beliau. Adapun pengarang kitab ini (al- Muhadzdzab, asy- Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen laiin yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada- adakan dalam agama (muhdats)”. (Majmu’ Syarh al- Muhadzdzab, Juz. 5 hal. 306).
Sebelumnya Imam Nawawi Rahimahulloh juga berkata,
"Pengarang ‘asy- Syamil’ dan lainnya berkata, “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut adalah tidak ada dalil naqli- nya dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah bukan suatu yang disukai”. (al- Majmu’, Juz.5 hal. 320).
Dalam kitab fikih madzhab Syafi’iyah, dikutip bahwa Imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,
“Dan, dibenci menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga, dan seterusnya setelah sepekan. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan secara musiman (seperti haul dan sadranan)”. (I’anatut Thalibin, Juz. 2 hal. 146).
Dalam baris sebelumnya dikutip,
“Dibenci pertamuan dengan penyajian makanan yang disediakan oleh keluarga mayit, karena hal ini hanya dilakukan dalam suasana gembira, kebiasaan itu adalah bid’ah”. (I’anatut Thalibin, Juz.2 Hal. 146).
Makruh dalam konteks ucapan Imam Syafi’i Rahimahulloh dan murid- murid nya tersebut di atas adalah bermakna haram. Tentu, sebagian pembela kenduri./ yasinan/tahlilan membantah pernyataan itu. Tetapi dalam kitab yang sama disebutkan bahwa imam Syafi’i Rahimahulloh menegaskan keharamannya,
“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai- ramai pada hari ke empat puluh, padahal semua itu adalah haram”. (I’anatut Thalibin, juz. 2 Hal. 146- 147).
Jadi Imam Syafi’i sendiri yang menegaskan perbuatan makruh tersebut adalah kebiasaan yang diharamkan. Yang disukai beliau Rahimahulloh adalah sebaliknya, MENYEDIAKAN MAKANAN UNTUK KELUARGA MAYIT. Mungkin kerabat atau tetangganya bisa meringankan kesedihan dan kesibukan keluarga mayit dengan membantu memberikan bantuan berupa makanan yang siap santap. Imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,
“Aku suka kalau tetangga si mayit atau kerabat si mayit menyediakan makanan untuk keluarga si mayit pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya inilah amalan yang Sunnah dan perbuatan ahli kebaikan”. (Al- Hawi Fi Fiqhisy Syafi’i, Juz 3, Hal. 66 dan al- Majmu’ Syarh al- Muhadzdzab, Juz. 5 hal. 319).
Pendapat imam Syafi’i Rahimahulloh dan para muridnya tersebut sesuai dengan larangan yang disebutkan dalam atsar –baik dipandang sebagai ijma’ shahabat atau bahkan taqrir dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam- dan perintah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ketika kaum Muslimin menghadapi kematian tetangganya.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan/ yasinan tidak memiliki argumentasi/dalih melainkan hanya satu dalih saja yaitu istihsan, yaitu menganggap baiknya suatu amalan, dengan dalil- dalil yang bersifat umum. Dalil yang dipegang adalah keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al- Qur’an, berdzikir, ataupun berdo’a, dan anjuran memuliakan tamu sajian hidangan yang diniati sebagai sedekah.
Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Ushul Fiqhisy Syafi’iyyah dikatakan bahwa istihsan yang diartikan dengan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (Al- Qur’an dan As- Sunnah) kepada ketentuan budaya adalah ditolak. Karena itu imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,
“Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan (tanpa dicontohkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam) berarti telah menciptakan hukum syari’at sendiri”. Wallohu A’lam.
Sumber: 'Fatawa: Majalah khusus berisi fatwa ulama Dunia'. Vol. VI/ No. 09. Hal. 5-6. Pustaka at- Turots. Islamic Centre Bin Baaz. Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar