SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP KESALAHAN ULAMA. [Resume].
Oleh Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al- ‘Abbad
Tidak seorangpun yang Ma’shum (terpelihara) dari kesalahan selain Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak ada seorang ulama pun yang tidak lepas dari kesalahan. SIAPA YANG SALAH TIDAK BOLEH DIIKUTI KESALAHANNYA, NAMUN KESALAHANNYA TERSEBUT TIDAK BOLEH DIJADIKAN SEBAGAI ALASAN UNTUK MENCELANYA, DAN MENJAUHKAN ORANG LAIN DARINYA. Tetapi kesalahannya yang sedikit tertutup dengan kebenarannya yang banyak.
Dan siapa saja di antara ulama tersebut yang sudah wafat maka dianjurkan untuk mengambil faedah dari Ilmu mereka. Bersamaan dengan itu, perlu kehati- hatian agar tidak mengikuti kesalahannya, serta tak lupa mendo’akannya semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni dan merahmatinya.
Siapa saja yang masih hidup baik ia seorang ulama atau sebagai seorang penuntut ilmu, maka ia perlu diberitahu tentang kesalahannya dengan ramah dan lemah lembut serta menginginkan bagaimana ia bisa terlepas dari kesalahan dan kembali kepada kebenaran.
Ulama- ulama dahulu juga memiliki beberapa kekeliruan dalam sejumlah masalah aqidah. Namun para Ulama dan penuntut ilmu tetap merasa butuh terhadap ilmu mereka. Bahkan buku- buku karangan mereka tetap menjadi rujukan- rujukan yang amat penting bagi orang- orang yang aktif menggali ilmu Syar’i seperti Imam al- Baihaqi Rahimahulloh, Imam an- Nawai Rahimahuloh, dan Ibnu Hajar al- Asqalani Rahimahulloh.
Alangkah Indah perkataan Imam Malik Rahimahulloh, “SETIAP ORANG BERHAK UNTUK DITERIMA ATAU DITOLAK PENDAPATNYA KECUALI PENGHUNI MAKAM INI”. Lalu beliau menunjuk makam Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Inilah berbagai nukilan dari kelompok ahli Ilmu dalam menentukan dan menjelaskan bahwa kesalaahan seorang ulama tertutupi dengan kebenarannya yang banyak,
Sa’id bin Musayyib Rahimahulloh (Wafat 93H) berkata, “Tiada seorang ulama pun, tidak pula seorang yang mulia dan seorang yang memiliki keutamaan, kecuali ia memiliki kelemahan (aib), tetapi barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dibanding kekurangannya, maka kekurangannya tertutupi dengan keutamaannya. Sebagaimana orang yang lebih dominan kekurangannya, akan tertutuplah keutamaannya”.
‘Abdulloh bin al- Mubarak Rahimahulloh (wafat 181H) berkata, “Apabila kebaikan seseorang lebih dominan daripada kejelekannya, maka itu tidaklah disebut sebagai kejelekannya. Dan apabila kejelekan seseorang lebih dominan daripada kebaikannya, maka itu tidaklah disebut kebaikannya”. (Silahkan lihat Siyar A’laam an- Nubala’ karya imam adz- Dzahabi Rahimahulloh, 8/ 352).
Imam Ahmad Rahimahulloh (wafat 241H) berkata, “Tidak seorang pun yang menyebrangi negeri Khurasan seperti Ishaq bin Rahuyah. Walaupun ia berbeda pendapat dengan kita dalam beberapa masalah. Sesungguhnya para ulama senantiasa berselisih pendapat satu sama lainnya”. (Silahkan lihat Siyar A’laam an- Nubala’, 11/ 371).
Abu Hatim bin Hibban Rahimahulloh (wafat 354H), berkata, “Abdul Malik bin Abi Sulaiman adalah seorang ulama pilihan Ahli Kuffah dan termasuk penghafalnya. Kebanyakan orang yang hafal dan meriwayatkan hadits dari hafalannya kemungkinan ada salahnya. Bukanlah suatu keadilan ditinggalkannya hadits seorang perawi yang terpercaya agamanya, disebabkan adanya kesalahan dalam riwayatnya. Jika kita menempuh cara seperti ini (membuang setiap riwayat orang yang salah), maka kita terpaksa menolak hadits az- Zuhri, Ibnu Juraij, ats- Tsauri, dan Syu’bah. Karena mereka adalah para penghafal yang matang. Mereka juga meriwayatkan hadits dari hafalan, sedangkan mereka bukanlah orang yang ma’shum sehingga mereka tidak pernah keliru dalam meriwayatkan hadits. TETAPI DEMI KEHATI- HATIAN DAN YANG LEBIH UTAMA DALAM HAL INI ADALAH DITERIMANYA APA – APA YANG DIRIWAYATKAN OLEH SEORANG YANG KUAT HAFALANNYA, DAN MENINGGALKAN SESUATU YANG TELAH JELAS BAHWA IA KELIRU DI DALAMNYA, SELAMA KEKELIRUAN ITU TIDAK MENCOLOK SEHINGGA LEBIH DOMINAN DARIPADA KEBENARANNYA. Jika hal itu terjadi padanya maka ia berhak untuk ditinggalkan seketika itu juga”. (Silahkan lihat ats- Tsiqaat, 7/97- 98).
Imam adz- Dzahabi Rahimahulloh (wafat 748H) berkata, “Sesungguhnya seorang ulama besar apabila kebenarannya cukup banyak, dan diketahui kesungguhannya dalam mencari kebenaran kemudian ia seorang yang memiliki ilmu yang luas, cerdas, shaleh, wara’, dan mengikuti sunnah, kesalahannya diampuni, maka kita tidak boleh menyesatkan dan menjatuhkannya, atau kita melupakan segala kebaikannya. Suatu hal yang sudah dimaklumi bahwa kita dilarang mencontoh bid’ah dan kesalahannya tersebut, kita mengharapkan semoga ia bertaubat dari kesalahannya tersebut”. (Silahkan lihat Siyar A’laam an- Nubala’, 5/ 271).
Imam Ibnul Qayyim Rahimahulloh (wafat 751H) berkata, “Mengenal keutamaan para Ulama Islam, kehormatan dan hak- hak mereka serta tingkatan mereka, bahwa mereka memiliki keutamaan, ilmu dan nasihat untuk Alloh dan Rasul- Nya, tidaklah mengharuskan kita untuk menerima segala yang mereka katakan. Bila terdapat dalam fatwa- fatwa mereka berbagai masalah yang masih tersembunyi atas mereka apa yang dibawa oleh Rasul Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam lalu mereka berfatwa sesuai dengan ilmu mereka sedangkan yang benar adalah sebailknya, Maka tidak semestinya kita membuang pendapatnya secara keseluruhan, atau mengurangi rasa hormat dan mencela mereka. Dua macam tindakan tersebut adalah melenceng dari keadilan. JALAN YANG ADIL ADALAH DIANTARA KEDUANYA, KITA TIDAK MENYALAHKANNYA SECARA MUTLAK DAN TIDAK PULA MENGANGGAPNYA BERSIH DARI KESALAHAN”. Sampai pada perkataannya,
“Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang syari’at dan realita yang pasti mengetahui bahwa seseorang yang terhormat, memiliki perjuangan dan usaha- usaha yang baik untuk Islam, dia juga seorang yang disegani di tengah- tengah umat Islam, boleh jadi terdapat padanya kekeliruan dan kesalahan yang masih bisa ditolerir bahkan mendapat pahala karena ijtihadnya. MAKA KESALAHANNYA TIDAK BOLEH DIIKUTI NAMUN TIDAK PULA DIJATUHKAN KEHORMATAN DAN KEDUDUKANNYA DARI HATI KAUM MUSLIMIN”. (Silahkan Lihat I’laamul Muwaaqi’iin, 3/ 295).
Ibnu Rajab al- Hanbali Rahimahulloh (wafat 795H) berkata, “ALLOH ENGGAN UNTUK MEMBERIKAN KEMA’SHUMAN BAGI SELAIN KITAB- NYA. SEORANG YANG ADIL ADALAH ORANG YANG MEMAAFKAN KESALAHAN ORANG YANG SEDIKIT KESALAHANNYA, DIBANDINGKAN DENGAN KEBENARANNYA YANG BANYAK”. (Lihat al- Qawa’id, Hal. 3).
Sumber: “Lembutnya Dakwah Ahlus Sunnah”. Hal 63- 77. Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al- ‘Abbad. Pustaka Darul Ilmi. Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar