Jumat, 09 Juli 2010

Mendahulukan Orang lain dalam masalah ibadah, DIBENCI. Namun dalam masalah lainnya, DISUKAI.

Kaidah Fiqh:
AL IITSAARU FIL QUROBI MAKRUUHUN WA FII GHOIRIHAA MAJBUUBUN
Mendahulukan Orang lain dalam masalah ibadah, DIBENCI. Namun dalam masalah lainnya, DISUKAI.
Oleh Ust. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf Hafidzahulloh.

Makna Kaidah:
Itsar adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri, kebalikannya adalah Atsaroh yang bermakna mendahulukan kepentingan dirinya sendiri sebelum orang lain. Itsar ada dua macam:

Pertama, Itsar dalam perkara duniawi
Ini adalah perkara yang sangat dianjurkan bagi umat Islam. Alloh Subhaanahu wa ta’ala sangat menyenangi dan mencintainya. Perhatikan Firman Alloh Ta’ala:

“Dan orang-orang yang telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajiriin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajiriin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajiriin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Hasyr (59): 9).

Itsar inilah yang tercatat dengan tinta emas dalam perjalanan hidup para


Shahabat Radhialloohu 'anhum.



“Dari Umar bin Khoththob Radhialloohu 'anhu berkata: ‘Suatu hari Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk bershodaqoh, dan saat itu saya memiliki harta. Saya pun bergumam: ‘Hari ini saya akan mengalahkan Abu Bakr, saya akan sedekahkan separuh hartaku’. Maka Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu wahai Umar?” Umar Radhialloohu 'anhu menjawab: ‘Separuhnya lagi’, Ternyata datanglah Abu Bakr Radhialloohu 'anhu membawa semua hartanya, maka Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam bertanya: “lalu apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?”, Maka Abu Bakr Radhialloohu 'anhu menjawab, ‘Saya tinggalkan untuk mereka Alloh dan Rosul-Nya”.

HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan sanad Hasan. Lihat Tahqiq Misykah: 6021

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'anhu berkata: ‘Ada seseorang yang datang kepada Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: ‘Wahai Rasululloh, saya sangat lemah’, Maka Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam menanyakan pada para istrinya, ternyata tidak ada makanan apapun di rumah. Maka Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak adakah seseorang yang mau menjamu tamu malam ini, semoga Alloh merahmatinya”. Maka salah satu Shahabat Anshor berkata: ‘Saya wahai Rasululloh’. Lalu dia pulang menemui istrinya dan berkata: ‘Ini adalah tamunya Rasululloh, jangan sembunyikan makanan apapun’. Istrinya menjawab: ‘Kita tidak punya makanan apapun kecuali makanan untuk anak-anak’. Dia pun bilang: ‘Jika anak-anak ingin makan malam, maka tidurkanlah mereka, lalu matikan lampu dan mala mini biarlah kita lapar’. Istrinya itu mengerjakan perintah suaminya. Keesokan harinya Shahabat Anshor tadi datang pada Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam , lalu beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Alloh heran (atau tertawa) terhadap perbuatan fulan dan fulanah’. Lalu Alloh menurunkan firman-Nya, QS. Al-Hasyr(59): 9’. (HR. al-Bukhori).



Kedua Itsar dalam perkara Ibadah
Mendahulukan orang lain dalam perkara ibadah adalah sesuatu yang dibenci, karena masing-masing orang diperintahkan untuk mengagungkan Alloh Ta’ala. Oleh karenanya, jika dia tidak melakukannya dan hanya melimpahkan pada orang lain, maka ini adalah termasuk tindakan kurang adab kepada Alloh Ta’ala.

Dengan beberapa contoh berikut semoga bias dipahami:
1. Kalau si Zaid mempunyai air yang hanya cukup untuk wudhu satu orang, sedangkan saat itu dia membutuhkan wudhu, juga temannya yang saat itu sedang bersama dia, maka kewajiban Zaid adalah menggunakan air itu untuk berwudhu dan biarkanlah temannya itu bertayammum. Tidak boleh bagi Zaid untuk mempersilahkan temannya wudhu sedangak dirinya sendiri bertayammum.

2. Kalau ada seseorang yang hanya mempunyai satu pakaian yang menutup aurot, dan saat itu datang waktu sholat, sedangkan dia punya saudara yang tidak mempunyai pakaian yang menutup aurot, maka kewajiban yang punya tadi untuk sholat terlebih dahulu menggunakan pakaian tersebut baru kemudian nantinya dia pinjamkan kepada saudaranya, dan tidak boleh baginya untuk mendahulukan saudaranya tersebut dalam perkara ibadah.

3. Kalau ada seseorang yang berada di posisi Shaf pertama, maka dia tidak boleh mundur ke shof kedua untuk mempersilahkan orang lain menempati posisinya. Walloohu a’lamu.

(Lihat Asybah wan Nadho-ir, asy-Suyuthi hal. 116, Asybah Wan Nadho-ir, Ibnu Nujaim Hal. 119, al-Wajiz Dr. al-Burnu Hal. 162).

Sumber: Majalah al-Furqon Edisi 7 Tahun ke Sembilan: Shofar 1431H/ Januari-Februari 2010. Hal. 28-29.


Kamis, 01 Juli 2010

Wasiat Nabi Kepada Abu Dzarr al-Ghifari Radhialloohu 'anhu

Wasiat Nabi Kepada Abu Dzarr al-Ghifari Radhialloohu 'anhu

Dari Abu Dzarr Radhialloohu ‘anhu, ia berkata,

“Kekasihku (Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam) berwasiat kepadaku dengan tujuh (7) hal: (1) Supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) dianjurkan agar aku memperbanyak ucapan LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Alloh), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Alloh, dan (7) beliau melarang agar aku tidak meminta-minta sesuatupun kepada manusia”.

Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Imam-imam Ahlul hadits: di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/ 159)
2. Imam ath-thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (II/ 156, No. 1649), dan lafadz hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalan Shahiih-nya (No. 2041-al-Mawaarid)
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (I/ 214, No. 521)
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (X/ 91).

Dishahihkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahulloh dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (No. 2166).

Fiqih Hadits (Keempat)
Memperbanyak ucapan: ‘LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH’ (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Alloh).




Mengapa Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kalimat ‘Laa Haulaa Wa Laa Quwwata Illaa Billaah? Jawabannya: Karena kalimat tersebut adalah salah satu perbendaharaan-perbendaharaan Surga.

Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abdulloh bin Qais:

“Wahai ‘Abdulloh bin Qais, ucapkanlah ‘LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, karena sesungguhnya ia satu dari perbendaharaan dari perbendaharaan Surga”

(Hadits Shahiih, diriwayatkan oleh al-Bukhori (No. 6384), Muslim (No. 2704), dan Abu Dawud (No. 1526) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhialloohu ‘anhu).

Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Perbanyaklah mengucapkan LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH, karena sesungguhnya kalimat ini adalah satu perbendaharaan dari perbendaharaan Surga”.

(Hadits Shahiih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 333) dari Shahabat Abu Hurairah Radhialloohu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah No. 1528).

Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa kalimat Laa haulaa Wa Laa Quwwata Illaa Billaah adalah perbendaharaan di bawah ‘Arsy. (Hadits Shahiih, diriwayatkan oleh Ahmad (V/ 159), dari Shahabat Abu Dzarr al-Ghifari Radhialloohu ‘anhu.



Sesungguhnya ucapan Laa haulaa Wa Laa Quwwata Illaa Billaah selain mempunyai fadhilah (keutamaan) yang banyak, kalimat ini juga mempunyai makna yang dalam, yaitu melepaskan diri kita dari segala apa yang kita merasa mampu untuk melakukannya dan kita serahkan semua urusan kepada Alloh. Sesungguhnya yang dapat menolong dalam semua aktivitas kita hanyalah Alloh Ta’ala. Dan ini adalah makna ucapan kita setiap kali melakukan Sholat,

“IYYAAKA NA’BUDU WA IYYAAKA NASTA’IINU”

‘Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”.
(QS. Al-Faatihah: 5).

Dan kalimat ini adalah makna dari do’a yang sering kita ucapkan dalam akhir sholat kita,

“ALLOOHUMMA ‘AINNII ‘ALAA DZIKRIKA, WA SYUKRIKA, WA KHUSNI ‘IBAADATIKA”

“Ya Alloh, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu”

(Hadits Shahiih, diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 1522, an-nasaa’I (III/ 53), Ahmad (V/ 245), dan al-Hakiim (1/ 173, III/ 273) beliau menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Pada hakikatnya seorang hamba tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Alloh. Seorang penuntut ilmu tidak akan mungkin duduk di majelis ilmu, melainkan dengan pertolongan Alloh; seorang guru tidak akan mungkin dapat mengajarkan ilmu yang bermanfaat melainkan dengan pertolongan Alloh, begitupun seorang pegawai tidak mungkin dapat bekerja, melainkan dengan pertolongan Alloh.



Seorang hamba tidak boleh sombong dan merasa bahwa dirinya mampu untuk melakukan segala sesuatu, seorang hamba seharusnya menyadari bahwa segala apa yang dilakukannya semata- mata karena pertolongan Alloh. Sebab, jika Alloh tidak menolong maka tidak akan mungkin dia dapat melakukan sesuatu. Artinya, dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba berarti telah menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan dirinya dan menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan Alloh. Dan Alloh adalah Dzat yang dituju oleh seluruh makhluk.

Alloh Ta’ala berfirman:

“ALLOOHUSH SHOMADU”

“Alloh tempat meminta segala sesuatu” (QS. Al-Ikhlaash: 2)

Oleh karena itu, kita harus selalu meminta pertolongan kepada Alloh Ta’ala. Semua kebutuhan, kemampuan, dan kemuliaan kita datangnya dari Alloh. Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila engkau meminta, mintalah kepada Alloh, dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Alloh”

(Hadits Shahiih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi No. 2516 dan selainnya, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas Radhialloohu 'anhuma).

Jangan sampai kita menjadi seperti Qarun, dan orang-rang sepertinya. Alloh Ta’ala mengisahkan perkataan Qarun dalam Al-Qur’an mengenai kekayaan yang ia peroleh: Alloh Ta’ala berfirman:

“Dia (Qarun) berkata ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku..” (QS. Al-Qashash: 78)

Jangan sekali-kali kita menunjukkan kehebatan diri kita karena kita dilahirkan dalam keadaan lemah.

Alloh Ta’ala berfirman:

“…Karena manusia diciptakan (bersifat) lemah”. (QS. An-Nisaa’: 28).

Walloohu a’lamu.

Sumber: ‘Wasiat Nabi Kepada Abu Dzarr al-Ghifari Radhialloohu 'anhu” oleh Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at-Taqwa. Hal. 8-9, 70 – 76.