Minggu, 26 September 2010

‎>> Anjuran Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal

‎>> Anjuran Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ

[4] Anjuran Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal

1006- 1 [Shahiih]
Dari Abu Ayyub Radhialloohu 'Anhu bahwa Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka itu bagaikan puasa satu tahun”.

Diriwayatkan oleh: Muslim, Bu Dawud, at- Tirmidzi, an- Nasa’i dan Ibnu Majah. Di sini, di kitab asli, “Dan ath- Tabhrani, dia menambahkan, “Dia berkata, Aku berkata, Sepuluh hari dengan satu hari?’ Dia menjawab, ‘Ya’. Dan rawi- rawinya adalah rawi- rawi yang ash- Shahih”, Saya berkata, akan tetapi ia adalah tambahan yang syadz karena ia menyelisihi seluruh riwayat tsiqah di Muslim, as- Sunan dan lain- lain. Ia ditakhrij dalam al- Irwa’ (4/ 106), diriwayatkan seluruhnya oleh ath- Thabrani dalam al- Mu’jam al- Kabir 4/ 3903- 3916. Adapun tiga pemberi komentar itu maka mereka menshahihkannya bersama pokok haditsnya.

1007- 2-a [Shahiih]
Dari Tsauban, mantan hamba sahaya Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dari Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda,

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka itu adalah satu tahun yang lengkap. ‘Barangsiapa mengamalkan satu kebaikan, maka untuknya adalah sepuluh kebaikan sebagai balasannya’”.

Diriwayatkan oleh: Ibnu Majah.



2- b [Shahiih]
Dan Diriwayatkan pula oleh an- Nasa’i dan lafadznya,

“Alloh membalas satu kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya. Satu bulan sama dengan sepuluh bulan, dan berpuasa enam hari setelah Idul Fitri adalah genap satu tahun”.

‎2- c [Shahiih]
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahiih nya dan lafadznya – dan ini juga salah satu riwayat an- Nasa’i- dan dia bersabda,

“Puasa bulan Ramadhan sama dengan sepuluh bulan, puasa enam hari sama dengan dua bulan, maka itulah puasa satu tahun”.

2- d [Shahiih]
Diriwayatkan juga oleh: Ibnu Hibban dalam Shaiih nya, dan lafadznya,

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dan enam hari bulan Syawal, maka dia telah berpuasa satu tahun”.

1008- 3 [Shahiih Lighairihi]
Diriwayatkan pula oleh Ahmad, al- Bazzar, dan ath- Thabrani, dari hadits Jabir bin Abdullah Radhialloohu 'Anhuma.

1009- 4 [Shahiih]
Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, dan melanjutkannya dengan enam hari di bulan Syawal, maka seolah- olah dia berpuasa satu tahun”.

Diriwayatkan oleh: al- Bazzar, dan salah satu jalannya adalah Shahiih.

Sumber: ‘Shahih at- Targhib Wa at- Tarhib (II): Hadits- hadits Shahih tentang Anjuran & Janji Pahala, Ancaman & Dosa: Sholat Sunnah, Jum’at, Sedekah, Puasa, Hari Raya & Kurban’, Hal 367- 369, Kitab Puasa [4]. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani. Pustaka Sahifa. Jakarta.

‎>> Hadits Shahiih Yang Disalahpahami. [Resume]

>> Hadits Shahiih Yang Disalahpahami. [Resume]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ

Pembahasan Hadits kedua:

“Seseorang dari kalian tidak akan masuk Surga dengan amalnya”.

Diriwayatkan dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Amal seorang hamba dari kalian tidak akan memasukkannya ke Surga”.

Atau beliau bersabda,

“Seseorang dari kalian tidak akan masuk ke Surga dengan amalnya”, Para Shahabat bertanya, “Tidak juga engkau, Wahai Rasululloh?” Beliau menjawab, “Tidak juga aku, kecuali bila Alloh melimpahkan rahmat dan karunia- Nya kepadaku”.

Shahiih, Diriwayatkan oleh: al- Bukhori (al- Mardha/ 5673/ Fath) dan Muslim (Shifah al- Qiyamah/ 2816/ Abdul Baqi).

SEBAGIAN ORANG MEMAHAMI HADITS INI SECARA TERBALIK, KARENA MEREKA MENINGGALKAN AMAL DAN MEREMEHKAN IBADAH, HINGGA MENYEBABKAN MEREKA TIDAK DAPAT MASUK SURGA!!”.

Jika engkau mengajaknya kepada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran, maka ia berkata, “Masalahnya bukan masalah amal, dan tidak ada seorangpun yang masuk Surga dengan amalnya. Seperti agama ini tidak dinilai dari zhahirnya, bahkan tidak pula dengan sholat, puasa dan selainnya. Sesungguhnya kita semua adalah umat Nabi Muhammad. Kita akan masuk Surga dengan karunia dan rahmat- Nya, kemudian dengan syafaat Nabi- Nya. Bukan dengan amal perbuatan!”.

Penulis berkata:
Bagaimana Jadinya jika memahami hadits ini dengan pemahaman yang rusak, terbalik, dan ilmu dusta ini?! Lalu untuk apa ketaatan dan untuk apa beramal?! Jika memang demikian, lalu apa makna dari firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Dan orang- orang yang beriman dan mengerjakan amal- amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar kesanggupannya, mereka itulah penghuni- penghuni Surga, mereka kekal di dalamnya. Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka, mengalir di bawah mereka sungai- sungai dan mereka berkata, “Segala puji bagi Alloh yang telah menunjuki kami kepada (Surga) ini. Dan kami sekali- kali tidak akan mendapat petunjuk jika Alloh tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul- rasul Rabb kami, membawa kebenaran”. Dan diserukan kepada mereka, “Itulah Surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan”.” (QS. Al- A’raf: 42- 43).

DENGAN APAKAH MEREKA MASUK SURGA? “..DENGAN APA YANG KALIAN KERJAKAN”.

Apakah ada pertentangan antara ayat Al- Qur’an dengan Hadits? Di mana ayat menjelaskan bahwa masuk Surga itu berdasarkan amal, sementara hadits menafikan hal itu. Jawabannya: Tidak, bagi siapa yang memahami duduk permasalahannya.

Ayat ini berbicara tentang sebab, sedangkan hadits berbicara tentang masalah setelah sebab sehingga tidak boleh dijadikan sebagai sandaran, bahkan keduanya saling melengkapi. ENGKAU HARUS BERPEGANG PADA SEBAB, DAN BERSANDAR PADA RABB PEMILIK SEBAB. JIKA SEBAB DITINGGALKAN, MAKA ENGKAU BERMAKSIYAT. JIKA ENGKAU ENGKAU BERSANDAR PADA SEBAB, ENGKAU JATUH DALAM KEMUSYRIKAN. KARENANYA, ULAMA MENGATAKAN, “BERPEGANG PADA SEBAB HUKUMNYA WAJIB DAN MENINGGALKANNYA ADALAH KEMAKSYIATAN , SEDANGKAN BERSANDAR PADANYA ADALAH KEMUSYRIKAN”.

Ayat itu menyebutkan tentang sebab, sedangkan hadits mengajak anda untuk yakin kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, bukan kepada sebab. Karena sebab tidak bermanfaat dengan sendirinya. Anda minum obat, tapi mengharap kesembuhan dari Alloh. Atau anda makan dan minum, maka bukan air yang menghilangkan dahaga, bukan pula makanan yang mengenyangkan, dan bukan pula obat yang dengan sendirinya menyembuhkan. Semua itu hanyalah sebab, dan di balik sebab, ada Rabb Pemilik sebab yang mencegah api membakar Ibrahim ‘Alaihis Salam. Jika tidak, maka api membakarnya. Dia mencegah pisau menyembelih Ismail ‘Alaihis Salam, Jika tidak maka pisau itu akan menyembelihnya. Demikian pula Dia mencegah air mengalir dan membawa Musa ‘Alaihis Salam, jika tidak, maka tabiat air adalah mengalir.

Sebab semata tidak dapat berfungsi sedikitpun. Segala urusan itu hanyalah milik Alloh Ta’ala. Dia memerintahkan kita agar berpegang pada sebab sebagai Sunnatulloh yang terus berjalan, yang berbeda dengan perkara- perkara luar biasa seperti mukjizat dan karomah. Di samping berpegang pada sebab, kita bersandar pada Rabb Pemilik sebab.



Sebab- sebab itu tidak dapat mengantarkan kepada tujuan dengan sendirinya, tapi dengan karunia Rabb-nya. Karena itu ayat ini datang untuk menyebutkan aspek sebab:

“Dan diserukan kepada mereka, ‘Itulah Surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan APA YANG DAHULU KAMU KERJAKAN”.” (QS. Al- A’raf: 43).

Kemudian datang hadits yang memberikan nilai keimanan agar yakin kepada Alloh Ta’ala semata, bukan kepada sebab, lewat Sabda Nabi,

“Seseorang dari kalian tidak akan masuk Surga dengan amalnya”. Para Shahabat bertanya, “Tidak juga engkau, Wahai Rasululloh?” Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Tidak juga aku”.

Beliau mengatakan demikian walaupun tinggi kedudukannya, sangat besar ibadah dan amalnya, bahkan selurulh umat dari awal hingga akhir berada dalam timbangan kebajikannya. Kendati demikian, beliau bersabda,

“Tidak juga aku, kecuali Alloh melimpahkan rahmat dan karunia- Nya kepadaku”.

INI ADALAH PELAJARAN MENGENAI KEYAKINAN, KITA WAJIB MEMPELAJARI BAHWA SELURUH URUSAN ITU MILIK ALLOH, ENGKAU TIDAK MEMILIKI KEKUATAN SEDIKITPUN DALAM URUSAN ITU, DAN BAHWA MASUK SURGA ITU, MESKIPUN KARENA KARUNIA ALLOH, TAPI DERAJAT MANUSIA DI SURGA BERBEDA- BEDA, TIDAK DIRAGUKAN LAGI PERBEDAAN INI TERKAIT DENGAN AMALAN.

Di antara mereka ada yang lebih dahulu masuk Surga dan ada yang menyusul, ada yang berada pada tingkat derajat tinggi dan ada yang di bawahnya. Karena Surga itu bertingkat- tingkat, seperti halnya Neraka bertingkat- tingkat.

Jika manusia masuk Surga dengan karuni Alloh, maka kedudukan manusia ditentukan dengan keadilan. Inilah salah satu sisi dari makna hadits, karena masih ada sisi dan makna lain yang tidak bisa dilupakan.

Wahai anak Adam, Anda memiliki amalan- amalan tetapi Alloh Ta’ala memiliki berbagai kenikmatan yang telah dianugerahkan kepada anda. Anda adalah hamba yang memiliki kewajiban, tapi Alloh adalah Rabb yang memiliki banyak anugerah. Maka seber...apa banyak amal ibadah anda bila dibandingkan dengan nikmat Alloh yang diberikan- Nya kepadamu? Bukankah amal- amal yang telah anda lakukan telah diberi balasan dengan berbagai kenikmatan di dunia? Kemudian anda masuk Surga berkat karunia Alloh semata. Wahai manusia, seandainya anda melaksanakan puasa di siang hari, melakukan Sholat malam, dan bertasbih sebagaimana layaknya bernafas.

Apakah semua itu sebanding dengan satu dari sekian banyak nikmat Alloh Ta’ala yang diberikan padamu, seperti nikmat sehat atau nikmat melihat.? Demi Alloh, tidak sebanding.!

Lantas bagaimana dengan nikmat- nikmat yang lain? Kemudian bagaimana dengan Surga yang kenikmatannya di atas semua itu?! Apakah anda tidak mengambil pelajaran dari kisah seorang Bani Israil yang ingin masuk Surga dengan amalnya? Di mana seluruh amal shalihnya ditimbang tapi tidak sebanding dengan kenikmatan satu mata, apalagi nikmat- nikmat lainnya!!.

Ya, Seseorang tidak akan masuk Surga dengan amalnya. Karena amal sebagai penukar Surga- dengan tanpa menghiraukan kenikmatan dunia- adalah seperti orang yang ingin membeli sebuah istana dengan uang recehan. Apakah uang recehan tersebut sebanding dengan harga istana? Apakah uang recehan itu patut menjadi harganya?!
Adapun jika pemilik istana berbuat baik dan memberikan istana itu kepada anda, dengan uang yang anda miliki meskipun sedikit, karena telah berusaha keras dan memberikan segala yang dimiliki, maka istana itu menjadi milik anda.

Inilah Karunia Alloh dan Rahmat- Nya, setelah anda melaksanakan sebab- sebab menurut kadar kesanggupan. Alloh Ta’ala berfirman,
“Maka bertaqwalah kepada Alloh menurut kesanggupanmu”. (QS. At- Taghobun: 16)



JADI ANDA, HARUS MELAKSANAKAN APA YANG MENJADI KEWAJIBAN ANDA DAN BERTAWAKKAL KEPADA ALLOH SUBHANAHU WA TA’ALA.
Adapun bila anda tidur (bermalas- malasan), dan mengatakan, “Wahai Rabb, masukkanlah aku ke Surga dengan Karunia- Mu!” Tidak,..ini tidak benar. Bahkan, ini adalah pemahaman yang terbalik, pemahaman iblis, dan sesat lagi menyesatkan.

Wahai Hamba Alloh! Anda tidak menginginkan apartemen, dan tidak memiliki uang sewa, tidak menginginkan istana, dan tidak punya uang, serta menginginkan pengantin tapi tidak punya maharnya.

Sesungguhnya anda menginginkan Surga, “Ingatlah sesungguhnya barang perniagaan Alloh adalah Surga? Tidak adakah orang yang berusaha mendapatkannya? Tidak adakah orang yang menyerahkan mahar untuk pengantinnya di Surga? Tidak adakah di antara kalian orang yang menyiapkan harga untuk barang mahal tersebut?

Karena itu, BER-AMAL-LAH dan JANGAN MELIHAT AMAL ANDA. Tapi YAKINLAH PADA RABB- MU, YAKINLAH BAHWA ANDA TIDAK AKAN MASUK SURGA DENGAN AMAL ANDA, MELAINKAN KARENA KARUNIA DAN RAHMAT ALLOH. Lihatlah nikmat- nikmat yang Alloh berikan kepada an...da, dan bersungguh- sungguhlah, karena urusan ini harus dilakukan dengan kesungguhan bukan senda gurau. Tinggalkanlah kemalasan, dan jangan terlena dengan angan- angan. Jangan katakan: Kami berbaik Sangka kepada Alloh tapi tidak beramal dan terus- terusan malas. Sebab ada suatu kaum yang terlena dengan angan- angan dan mereka berkata, “Kami berbaik sangka pada Alloh”. Jika mereka berbaik sangka kepada Alloh, niscaya mereka memperbagus amal mereka.

Jauh sekali, jauh sekali! Iman itu tidak diraih dengan angan- angan dan berpangku tangan, sebagaimana halnya Surga tidak dapat dicapai dengan angan- angan. Sungguh mengherankan orang yang mencari Surga dengan tidur- tiduran, dan mengherankan pula orang yang tidak ingin masuk Neraka malah bergegas menuju padanya. Demi Alloh, ini adalah agama, dan ini adalah perkataan penutup para Nabi, dan imam para Rasul. Karenanya, pahamilah dengan baik. Jangan memahaminya dengan sesuka hati, yang akibatnya Alloh Ta’ala akan mencampakkan kalian ke dalam Neraka. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Maka hendaklah orang- orang yang menyalahi perintah- Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. (QS. An- Nuur: 63). Wallohu A’lamu.

Sumber: Hadits Shahih yang Disalahpahami: Buku ini meluruskan hadits2 Shahiih yang disalahartikan dan hadits Maudhu dan Dhaif yang tersebar di Masyarakat. Hal 14- 19. Prof. Dr. Umar bin Abdul Aziz Quraisyi. Pengatar: Dr. Sa’id bin Mushfir al- Qahthani. Pustaka At- Tazkia. Jakarta.

Note: Buku ini insya Alloh bagus. Sumber referensi di dalamnya (kitab2 rujukannya) diambilkan dari kitab2 Ahlus Sunnah yang relevan dengan point2 yang dibahas.

Menjaga Hubungan dengan Pemimpin ‎>> Nasehat Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin:

Menjaga Hubungan dengan Pemimpin ‎>> Nasehat Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ

Segala puji bagi Allah Ta’ala semata, dan kepadaNya kami minta pertolongan. Shalawat kepada Nabi yang diutus, Muhammad bin ‘Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kepada keluarganya, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kiamat.

Sesungguhnya Islam menjelaskan dengan terang akan perkara “semangat di atas ikatan keimanan di antara kaum muslimin”. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka perbaikilah (damaikanlah) hubungan antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertaqwalah kepada Allah agar kalian diberi rahmat“. (QS. Al-Hujurat: 10)

Dari sini berarti memutus hubungan (di antara kaum muslimin) adalah dosa besar di antara dosa-dosa besar yang ada. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibukakan pintu-pintu surga pada hari senin dan kamis, maka diampuni setiap hamba yang muslim selama tidak berbuat syirik kepada Allah, kecuali seseorang yang terdapat kebencian pada saudaranya, lalu dikatakan: Perhatikanlah oleh kalian sampai mereka berdua berdamai. Perhatikanlah oleh kalian sampai mereka berdua berdamai.” (HR. Muslim).

Sesungguhnya seorang muslim yang muwahhid (bertauhid) lagi jujur ketauhidannya, tidak akan membenci dan hasad (dengki) kepada saudaranya. Jika saudaranya merasakan sakit, maka ia pun merasa hal yang sama. Bahkan ia pun akan merasakan bahagia jika saudaranya bahagia. Ia akan berusaha menjaga dirinya dari sekecil mungkin berbuat salah kepada saudaranya.

Dalam hadits dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang paling dibenci oleh Allah adalah seseorang yang suka menentang lagi suka membantah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Tiada lain yang dimaksud adalah orang yang menjerumuskan dirinya ke dalam dosa dengan permusuhan dan perdebatan.

Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mencela (yaitu berbicara dengan perkataan jelek), saling bermusuhan, saling memata-matai, dan melakukan jual beli najsy (menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya). Jadilah hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim).

Dari Abi Ayub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah halal bagi seseorang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, jika bertemu maka (yang satu) berpaling ke sini dan (yang lain) menghindar ke sana. Sebaik-baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Khurasy As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendiamkan saudaranya selama 1 tahun, maka ia seakan-akan telah menumpahkan darahnya.” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani). Dalam hadits lain disebutkan, “Dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau bersahabat dan bersaudara.” (HR. Ahmad. Al-Albani berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Manusia yang memiliki hati dan akal yang sehat lagi menginginkan kebaikan merupakan manusia yang mulia lagi terpuji. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102) وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (103)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berceraiberai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karuniaNya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (pada saat itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya.” (QS. Ali ‘Imran: 102-103)

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ

“Maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (QS. Al-Anfal: 1)

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur: 22)

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)

وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ

“Dan janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu menjadi hilang.” (QS. Al-Anfal: 46)

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas.” (QS. Ali ‘Imran: 105)

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’: 114)



Wahai saudaraku yang menginginkan perbaikan. Aku berikan kabar gembira berupa pahala yang besar lagi terpuji dari Allah Yang Maha Mulia. Asalkan engkau memperbaiki niatmu, mengikhlaskan amalmu kepada Allah Ta’ala semata, mengikuti petunjuk... Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum serta para salafush sholih. Diwajibkan atas kalian menjadi perantara dalam menyampaikan petunjuk dan perbaikan, serta mencintai kebaikan atas manusia, memerintahkan kepada yang ma’ruf, melarang dari perkara yang mungkar dengan cara yang baik dan dengan didasari ilmu (bashiroh). Melakukan hal-hal tadi dengan penuh kesabaran, kelembutan, serta berhati-hati dari sikap ekstrim dan terburu-buru. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan saja, adapun hidayah serta perubahan dan perbaikan adalah di Tangan Allah ‘azza wa jalla.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56)

Kita harus ingat bahwa menentang dan memberontak para pemimpin adalah dosa besar di antara dosa-dosa besar yang ada. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas menggambarkan dengan jelas tentang larangan saling bertikai.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِى فَقَدْ أَطَاعَنِى ، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِى فَقَدْ عَصَانِى

“Barangsiapa yang mentaatiku maka dia telah mentaati Allah. Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang mentaati pemimpin maka ia telah mentaatiku. Barangsiapa yang bermaksiat (enggan taat) kepada pemimpin maka ia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, barangsiapa yang di bawah seorang pemimpin dan ia melihat padanya ada kemaksiatan kepada Allah, maka hendaklah ia membenci kemaksiatannya. Akan tetapi, janganlah (menjadikannya) melepaskan ketaatan kepada pemimpin tersebut.” (HR. Muslim)

Adapun semangat di atas sebab yang menghantarkan kepada persatuan dan saling memahami, maka balasannya di dunia dan di akhirat, dan Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui.

Dari Ubaidah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, mendengar dan taat kepada pemimpinnya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan dari delapan pintu surga.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Ashim dan At-Thobroni)

Aku memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Penyayang agar memberi kepada kita semua petunjuk di atas jalan yang lurus. Semoga Allah memperbaiki niat, amal, perkataan, keyakinan, keadaan, dan akhlaq kita beserta keluarga, keturunan, cucu-cucu kita dengan penuh ampunan. Demikian juga saya memohon kepadaNya agar kita mendapatkan manfaat dan faedah dari apa yang telah kita dengar dan kita bicarakan (nasihat di atas), dan juga memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan memberikan kita rasa saling memaafkan dengan penuh kelembutan, rasa persatuan, tolong menolong, saling bahu-membahu, dan rasa kebersamaan, dan juga menghindarkan kita dari kemarahan dan kebodohan.

Aku memohon kepada Allah Ta’ala agar menjaga ulama-ulama kita dan para pemimpin muslimin kita. Aamiiin.

Segala puji bagi Allah Ta’ala dan shalawat serta salam kepada nabi Muhammad yang tiada nabi sesudahnya, dan kepada keluarganya serta sahabatnya.

Maraji’: Nasihat singkat Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Jibrin rahimahullah.

Penerjemah: Abu Ahmad (Meilana Dharma Putra*) & Ummu Ahmad

Artikel www.muslim.or.id

* Beliau adalah lulusan Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta dan sekarang sedang melanjutkan studi di King Saud University, Riyadh.

Sumber: http://muslim.or.id/manhaj/nasehat-syaikh-%E2%80%98abdullah-al-jibrin-menjaga-hubungan-dengan-pemimpin.html/comment-page-1#comment-60546

Sabtu, 25 September 2010

Sesungguhnya Alloh tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ

DI MANA LETAK TAQWA..?

Telah datang dalil- dalil dari Al- Qur’an dan As- Sunnah bahwa takwa itu terletak di hati. Alloh Ta’ala berfirman,

“Demikianlah (perintah Alloh). Dan barangsiapa mengagungkan syari’at Alloh , maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al- Hajj: 32)

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, ia berkata, “Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“... Seorang muslim itu saudara muslim yang lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh meremehkannya, dan tidak boleh mengejeknya. Takwa itu ada di sini- beliau berisyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah dikatakan kejahatan bagi seseorang yang meremehkan saudaranya semuslim. Setiap muslim adalah haram atas muslim lainnya: Darahnya, Hartanya, dan Kehormatannya”.

Shahiih, HR. Ahmad (II/ 277) dan Muslim (No. 2564 (32)).

Dalam hadits Qudsi yang panjang, yang diriwayatkan oleh Shahabat Abu Dzarr Radhialloohu 'Anhu, di dalamnya disebutkan bahwa Alloh Ta’ala berfirman,

“..Wahai hamba- Ku! Seandainya orang yang pertama dan terakhir kalian, manusia dan jin dari kalangan kalian berada pada satu hati seseorang dari kalian yang paling bertakwa, maka hal itu tidak menambah sedikit pun atas Kerajaan- Ku..”

Shahiih, HR. Muslim (No. 2577)

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, ia berkata, “Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Alloh tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.

Shahiih, HR. Muslim (No. 2564 (34)).

Tentang hadits Qudsi,

“..Wahai hamba- Ku! Seandainya orang yang pertama dan terakhir kalian, manusia dan jin dari kalangan kalian berada pada satu hati seseorang dari kalian yang paling bertakwa..”

al- Hafizh Ibnu Rajab Rahimahulloh mengatakan bahwa di dalamnya terdapat dalil bahwa yang menjadi asal (sumber) dari ketakwaan dan perbuatan fajir (maksiat) adalah hati. Apabila hati itu baik dan bertakwa maka baik pula anggota tubuhnya. Namun apabila hati itu berbuat durhaka maka anggota badannya pun ikut berbuat durhaka, sebagaimana sabda Nabi, “Takwa itu di sini”. (Lihat Jaami’ul Uluum wal Hikam (II/ 47)).

Kemudian Ibnu Rajab melanjutkan bahwa apabila asal takwa adalah di hati maka tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui hakikatnya selain Alloh Subhanahu Wa Ta’ala..”. (Lihat Jaami’ul Uluum wal Hikam (II/ 276)).

OLEH KARENA ITU, SEORANG MUSLIM WAJIB MEMPERBAIKI HATINYA, MENJAUHKANNYA DARI SEGALA APA YANG MEMBAHAYAKANNYA BERUPA SEBAB- SEBAB KEDURHAKAANNYA, SENANTIASA BERDZIKIR KEPADA ALLOH, BERSYUKUR KEPADA- NYA, TETAP TAAT KEPADA- NYA, DAN MEMOHON ...KETEGUHAN DI ATAS KEBENARAN KARENA SESUNGGUHNYA HATI ITU BERADA DI ANTARA JARI- JEMARI ALLOH YANG MAHA PENGASIH, DIA MEMBOLAK- BALIKKANNYA SESUAI DENGAN KEHENDAK- NYA.

TETAPI, MAKNA BAHWA TAKWA BERADA DI HATI ITU TIDAK BERARTI IA SENANTIASA TERSEMBUNYI DAN TIDAK MEMILIKI PENGARUH SAMA SEKALI TERHADAP ANGGOTA BADAN. BAHKAN IA AKAN NAMPAK PADA ANGGOTA BADAN, dalilnya adalah hadits an- Nu’man bin Basyir Radhialloohu 'Anhuma, Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“...Ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.

Shahiih, HR. al- Bukhori (No. 52, 2051), Muslim (No. 1599 (107)), Ahmad (IV/ 267), Abu Dawud (No. 3329, 3330), at- Tirmidzi (No. 1205), an- Nasa-i (VII/ 241), dan Ibnu Majah (No. 3984).



DARI SINI KITA MENGETAHUI KESALAHAN DAN KESESATAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA TAKWA ITU TEMPATNYA DI HATI, TETAPI TIDAK MEMILIKI PENGARUH TERHADAP BADAN DAN ANGGOTA TUBUHNYA.

Di antara orang yang menganggap remeh dan bermalas- malasan dalam agamanya –semoga Alloh memberikan hidayah serta memperbaiki keadaan mereka- apabila perbuatan maksyiat yang nampak- yang mereka kerjakan berkaitan dengan badan dan wajah maupun selain keduanya, seperti berpakaian isbal (pakaian laki- laki yang melewati mata kaki), mencukur jenggot, atau wanita yang tidak berjilbab bahkan bersolek, ketika perbuatan itu diingkari niscaya mereka berkata kepadamu, “Takwa Itu Di Hati”, atau dengan ucapan, “Yang penting hatinya!”. Kita jawab: Benar, perkataan ini benar tetapi yang diinginkan adalah kebathilan. Perkataannya tersebut dapat kita bantah dari beberapa sisi:

Pertama, Sesungguhnya engkau telah melakukan perbuatan yang dilarang yang telah dijelaskan oleh dalil yang shahiih dan jelas.

Kedua, Sesungguhnya engkau telah menceburkan dirimu sendiri ke dalam ancaman Alloh yang sangat keras yang diancamkan oleh Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Ketiga, bahwa hadits- hadits yang engkau bawakan adalah mujmal (global), dan telah ditafsirkan oleh hadits an- Nu’man bin Basyir yaitu sabda beliau,

“Ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. (Lihat al- Ma’aashii Wa Aatsaaruhaa ‘Alal Fard Wal Mujtama’ (hal. 241- 243) dengan sedikit diringkas dan ditambah).

Sumber: ‘TAKWA: Jalan Menuju Sukses Abadi “Surga Disediakan bagi Orang Bertakwa”. Hal 53- 58. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Akhlak yang Baik.

Akhlak Yang Baik.

204/270. Dari Abu ad- Darda', dari Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

"Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan daripada Akhlak yang Baik".

Shahiih, di dalam kitab ash- Shahiihah 876.


205/271. Dari Abdulloh Ibnu Amru berkata, "Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bukanlah orang yang keji dan bukan pula orang yang memerintahkan perbuatan keji, dan beliau pernah bersabda,

"Sebaik- baiknya di antara kamu adalah yang terbaik akhlaknya".

Shahiih, di dalam kitab ash- Shahiihah 286. (HR. Bukhori, 78- Kitab al- Adab, 39- Bab Husnul Khuluqi was-sakha'i wa ma yakrohu Minal- Bukhli. Muslim, 4- Kitab Fadho'il, 16- Katsratu- Hayatihi shallallaahu 'alaihi wa Sallam, Hadits 68).

206/272. Dari Amru Ibnu Syu'aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasanya dia mendengar Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,

"Saya memberitahu kalian tentang hal yang paling saya cintai dan yang paling dekat di antara kalian tempatnya dengan saya pada hari Kiamat?" Lalu kaum (muslimin) terdiam, kemudian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengulangi kalimat itu dua atau tiga kali, maka kaum (muslimin) berkata, 'betul, wahai Rasululloh!' Rasululloh menerangkan, "Mereka yang paling baik akhlaknya".

Shahiih, di dalam kitab ash- Shahiihah No. 792

207/273. Dari Abu Hurairoh radhiallohu 'anhu, bahwa Rasululloh shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik".

Shahiih, di dalam kitab ash- Shahiihah No. 45.




209/275. Dari Abdulloh Ibnu Mas'ud berkata,

"Sesungguhnya Alloh membagi akhlak di antara kalian sebagaimana Alloh membagi rezeki di antara kalian,

dan sesungguhnya Alloh Ta'ala memberi rezeki kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai.

Alloh juga tidak memberikan iman kecuali kepada orang yang dicintai.

Barangsiapa yang menjaga hartanya, takut diperangi musuh dan takut menderita karena (angin) malam, maka hendaknya memperbanyak ucapan:

LAA ILAAHA ILLALLAAH (Tiada Tuhan (*yang berhak disembah) kecuali Alloh),

SUBHANALLAH (Maha Suci Alloh),

ALHAMDULILLAH (Segala Puji bagi Alloh),

dan ALLOOHU AKBAR (Alloh Maha Besar)".

Shahiih Mauquf dan hukumnya Marfu', di dalam kitab ash- Shahiihah No. 2714

217/284. Dari Abu Hurairoh radhiallohu 'anhu berkata, Rasululloh shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,

"Sesungguhnya seorang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang sholat malam (Qiyamul Lail)".

Shahiih, di dalam kitab ash- Shahiihah No. 794- 795,. hadits ini diriwayatkan oleh 'Aisyah yang terdapat dalam riwayat Abu Dawud, 40- Kitab al- Adab, 7- Bab Fi Husnil- Khuluqi.

Sumber: Shahih Adabul Mufrad. Hal. 162-164, 169. Syaikh al- Albani. Pustaka Azzam. Jakarta.



Orang Yang Paling Dicintai Alloh dan Amal Yang Paling Dicintai Alloh

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ

Orang yang Paling Dicintai Alloh dan Amal yang Paling Dicintai Alloh.

Diriwayatkan dari Abdulloh Radhialloohu 'Anhu bahwa seorang lelaki datang menemui Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan berkata,

“Wahai Rasululloh, siapakah orang yang paling dicintai Alloh? Dan amal apakah yang paling dicintai Alloh?”

Maka Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“ORANG YANG PALING DICINTAI ALLOH ADALAH ORANG YANG PALING BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN.

AMAL YANG PALING DICINTAI ALLOH ADALAH KEGEMBIRAAN YANG DIBERIKANNYA KEPADA SEORANG MUSLIM,

ATAU MELEPASKANNYA DARI KESULITAN,

ATAU MELUNASKAN HUTANG- HUTANGNYA,

ATAU MEMBEBASKANNYA DARI RASA LAPAR.

SUNGGUH ANDAIKATA AKU (BERKESEMPATAN) UNTUK BERJALAN MENEMANI SESEORANG UNTUK MENUNAIKAN KEBUTUHANNYA LEBIH AKU SUKAI DARIPADA I’TIKAF DI MASJID INI (YAKNI MASJID AN- NABAWI) SELAMA SEBULAN.

BARANGSIAPA MENAHAN AMARAHNYA NISCAYA ALLOH AKAN MENUTUPI AIBNYA.

BARANGSIAPA MENGEKANG AMARAHNYA YANG IA MAMPU UNTUK MELAMPIASKANNYA NISCAYA ALLOH AKAN MEMENUHI HATINYA DENGAN PENGHARAPAN PADA HARI KIAMAT.

BARANGSIAPA BERJALAN MENEMANI SAUDARANYA UNTUK MENUNAIKAN KEBUTUHANNYA HINGGA SELESAI NISCAYA ALLOH AKAN MENEGUHKAN TAPAK KAKINYA PADA HARI TAPAK- TAPAK KAKI BANYAK YANG TERGELINCIR.

SESUNGGUHNYA AKHLAK YANG BURUK DAPAT MERUSAK AMAL, SEBAGAIMANA CUKA DAPAT MERUSAK MADU”.

Hasan, Diriwayatkan oleh: ath- Thabrani dalam al- Kabir No. III/209, dan XII/ 453, ath- Thabrani dalam ash- Shaghir No. II/ 35, Ibnu Asakir dalam Tarikh- nya No. XVIII/ 1, Ibnu Abid Dunya Dalam Qadhaaul Hawaaij No. 36, al- Mundziri dalam at- Targhiib No. III/ 394, asy- Syajari dalam al- Amali No. II/ 177 serta dicantumkan dalam Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah No. 906 oleh Syaikh al- Albani



Dalam Wasiat yang menyeru kepada setiap kebaikan bagi muslim dan muslimah ini, Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengisyaratkan kepada hamba dan amal yang paling dicintai Alloh. Wahai saudaraku para pembaca marilah bersama- sama kita... menyimak setiap kebaikan yang ada dalam wasiat yang sangat bermanfaat dan luas yang mengajak kepada perkara- perkara yang baik.

Apa yang dimaksud dalam sabda Nabi,

“Orang yang paling dicintai Alloh adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain”.

Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan manfaat di sini bukan hanya dari sisi materi saja. Akan tetapi meliputi berbagai manfaat lainnya seperti nashihat yang baik, masukan yang berguna dan sejenisnya. Seluruh perkara yang engkau mampu memberikan manfaat kepada saudaramu sesama kaum muslimin maka berikanlah, Niscaya engkau termasuk dalam golongan orang- orang yang dicintai Alloh.

Adapun sabda Nabi, “Amal yang paling dicintai Alloh” :

Pertama, Kegembiraan yang engkau berikan kepada seorang muslim.
Kegembiraan di hati seorang muslim bisa terwujud dengan menanyakan keadaannya, bisa terwujud dengan mengunjunginya, bisa terwujud dengan yang lainnya, wajib bagi setiap muslim menjauhkan diri dari seluruh perkara yang bisa menyebabkan kesedihan atas hati saudaranya sesama muslim.

Kedua, Melepaskan seorang muslim dari kesulitan.
Kurbah, artinya kesulitan yang sangat yang membuat seseorang sedih, murung dan susah. Alloh telah menjanjikan melalui lisan Rasul- Nya bahwa Dia akan melepaskan kesulitan- kesulitan di hari Akhirat, siapa saja yang melepaskan kesulitan kaum muslimin di Dunia.
Betapa kita membutuhkannya wahai saudaraku para pembaca yang budiman.

Ketiga, Melunasi hutang- hutangnya.
Sesungguhnya Alloh telah memberi bagian tertentu dari harta zakat bagi orang- orang yang terlilit hutang dan Alloh telah menjadikan bagi mereka hak- hak tertentu dari harta orang- orang kaya. Al- Ghaarimin adalah orang- orang yang terlilit hutang yang harus dilunasinya. Kemudian mereka tidak mendapatkan sesuatu untuk melunasinya. Orang- orang yang berharta dituntut secara syar’i untuk melunasi hutang orang- orang yang terlilit hutang ini.



Keempat, Melepaskannya dari Rasa Lapar.
Melepaskan rasa lapar dari orang- orang yang kelaparan merupakan salah satu amal kebajikan. Alloh akan membalas pelakunya dengan Jannah yang tinggi. Buah- buahan Jannah sangat dekat untuk dipetik. DI dalamnya terdapat kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.

Kelima, Berjalan menemani seseorang untuk menunaikan kebutuhannya lebih aku suakai daripada i’tikaf di masjid ini, yakni Masjid An- Nabawi selama sebulan penuh.

Ini merupakan isyarat keutamaan berjalan menemani kaum muslimin dalam menunaikan kebutuhan mereka yang tidak terdapat di dalamnya kemaksyiatan terhadap Alloh. Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjelaskan bahwa waktu yang digunakan oleh setiap muslim dalam membantu menunaikan kebutuhan saudaranya tidak akan terbuang sia- sia.

Kalaulah engkau memberikan sedikit dari waktumu untuk saudaramu sesama muslim, engkau membantunya dalam menunaikan keperluannya, niscaya Alloh akan memberikan yang lebih baik daripada yang engkau berikan kepada saudaramu itu dan lebih banyak lagi dari apa yang engkau usahakan untuknya. Siapa yang menolong kebutuhan saudaranya maka Alloh akan menolong kebutuhannya.

Keutamaan berjalan menemani saudaramu untuk menunaikan keperluannya, baik keperluan itu dalam bentuk harta, ilmu, etika, agama, atau dunia, maka sesungguhnya Alloh akan meneguhkan tapak kakimu pada hari tapak- tapak kaki manusia tergelincir.

Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menutup wasiat ini dengan sabda beliau,

“Sesungguhnya akhlak yang buruk dapat merusak amal, sebagaimana cuka dapat merusak madu”.

Akhlak yang buruk dapat menggugurkan amal dan menghilangkan pahala, sebagaimana yang disabdakan Nabi dalam hadits, “Tahukah kamu siapa orang yang pailit?”

Oleh karena itu Wahai saudaraku para pembaca yang budiman, berusahalah melaksanakan wasiat yang universal dan bermanfaat untuk setiap kebaikan ini. Ketahuilah, setiap amal perbuatanmu akan diberi balasan, kelak engkau akan mendapati hasil perbuatanmu.

Tujuan kami semata hanyalah memperbaiki keadaanmu. Jika engkau orang yang sadar maka amalkanlah. Jika engkau orang yang tidur maka bangunlah dan dengarkanlah firman Alloh,

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu”. (QS. An- Nisaa’: 123).

Sumber: ’58 Wasiat Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam kepada setiap Muslim’ hal 161- 168. Syaikh Usamah Na’im Musthafa. Daar An- Naba’. Surakarta.

Kamis, 16 September 2010

Bila Jodoh Tak Kunjung Tiba..!

Bila Jodoh Tak Kunjung Tiba..!

Siang datang bukan untuk mengejar malam, malam tiba bukan untuk mengejar siang. Siang dan malam datang silih berganti dan takkan pernah kembali lagi. Menanti adalah hal yang paling membosankan, apalagi jika menanti sesuatu yang tidak pasti. Sementara waktu berjalan terus dan usia semakin bertambah, namun satu pertanyaan yang selalu mengganggu “Kapan aku menikah ??“.

Resah dan gelisah kian menghantui hari-harinya. Manakala usia telah melewati kepala tiga, sementara jodoh tak kunjung datang. Apalagi jika melihat disekitarnya, semua teman-teman seusianya, bahkan yang lebih mudah darinya telah naik ke pelaminan atau sudah memiliki keturunan. Baginya, ini suatu kenyataan yang menyakitkan sekaligus membingungkan. Menyakitkan tatkala masyarakat memberinya gelar sebagai “bujang lapuk” atau”perawan tua” , “tidak laku“.Membingungkan tatkala tidak ada yang mau peduli dan ambil pusing dengan masalah yang tengah dihadapinya.

Apalagi anggapan yang berkembang di kalangan wanita, bahwa semakin tua usia akan semakin sulit mendapatkan jodoh. Sehingga menambah keresahan dan mengikis rasa percaya diri. Sebagian wanita yang masih sendiri terkadang memilih mengurung diri dan hari-harinya dihabiskan dengan berandai-andai.

Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri sebab hal ini bisa saja terjadi pada saudari kita, keponakan, sepupu atau keluarga kita. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini, tingginya batas mahar dan uang nikah yang ditetapkan. Hal ini banyak terjadi dinegeri kita -khususnya di daerah sulawesi-. Telah banyak kisah para pemuda yang sudah ingin sekali menikah, mundur dari lamarannya hanya karena tidak mampu menghadapi mahar yang ditetapkan. Setan pun mendapatkan celah untuk menggelincirkan anak-anak Adam sehingga melakukan perkara-perkara terlarang mulai dari kawin lari sampai pada perbuatan-perbuatan yang hina (zina), bahkan sampai menghamili sebagai solusi dari semua ini. Padahal agama yang mulia ini telah menjelaskan bahwa jangankan zina, mendekati saja diharamkan,

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”. (QS. Al-Israa’:32 )

Al-Allamah Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata, “Di dalam larangan dari mendekati zina dengan cara melakukan pengantar-pengantarnya terdapat larangan dari zina –secara utama-, karena sarana menuju sesuatu, jika ia haram, maka tujuan tentunya haram menurut konteks hadits”.[Lihat Fathul Qodir (3/319)]

Pembaca yang budiman, sesungguhnya islam adalah agama yang mudah; Allah I telah anugerahkan kepada manusia sebagai rahmat bagi mereka. Hal ini nampak jelas dari syari’at-syari’at dan aturan yang ada di dalamnya, dipenuhi dengan rahmat, kemurahan dan kemudahan. Allah I telah menegaskan di dalam kitab-Nya yang mulia,

“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran Ini kepadamu agar kamu menjadi susah; Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)“. (QS.Thohaa :1-3)

Allah I berfirman

“Allah tidak menghendaki menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur.”(QS. : Al-Maidah: 6)

Namun sangat disayangkan kalau kemudahan ini, justru ditinggalkan. Malah mencari-cari sesuatu yang sukar dan susah sehingga memberikan dampak negatif dalam menghalangi kebanyakan orang untuk menikah, baik dari kalangan lelaki, maupun para wanita, dengan meninggikan harga uang pernikahan dan maharnya yang tak mampu dijangkau oleh orang yang datang melamar. Akhirnya seorang pria membujang selama bertahun-tahun lamanya, sebelum ia mendapatkan mahar yang dibebankan. Sehingga banyak menimbulkan berbagai macam kerusakan dan kejelekan, seperti menempuh jalan berpacaran. Padahal pacaran itu haram, karena ia adalah sarana menuju zina. Bahkan ada yang menempuh jalan yang lebih berbahaya, yaitu jalan zina !!

Di sisi yang lain, hal tersebut akan menjadikan pihak keluarga wanita menjadi kelompok materealistis dengan melihat sedikit banyaknya mahar atau uang nikah yang diberikan. Apabila maharnya melimpah ruah, maka merekapun menikahkannya dan mereka tidak melihat kepada akibatnya; orangnya jelek atau tidak yang penting mahar banyak !! Jika maharnya sedikit, merekapun menolak pernikahan, walaupun yang datang adalah seorang pria yang diridhoi agamanyadan akhlaknya serta memiliki kemampuan menghidupi istri dan anak-anaknya kelak. Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-telah mamperingatkan,

إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِيْنَهُ فَزَوِّجُوْهُ . إِلَّا تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِيْ الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Jika datang seorang lelaki yang melamar anak gadismu, yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah (musibah) dan kerusakan yang merata dimuka bumi “[HR.At-Tirmidziy dalam Kitab An-Nikah(1084 & 1085), dan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah(1967). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1022)]

Jadi, yang terpenting dalam agama kita adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan sekedar kekayaan dan kemewahan. Sebuah rumah yang berhiaskan ketaqwaan dan kesholehan dari sepasang suami istri adalah modal surgawi, yang akan melahirkan kebahagian, kedamaian, kemuliaan, dan ketentraman. Namun sangat disayangkan sekali, realita yang terjadi di masyarakat kita, jauh dari apa yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hanya karena perasaan “malu” dan “gengsi” hingga rela mengorbankan ketaatan kepada Allah; tidak merasa cukup dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan dalam syari’at-Nya. Mereka melonjakkan biaya nikah, dan mahar yang tidak dianjurkan di dalam agama yang mudah ini. Akhirnya pernikahan seakan menjadi komoditi yang mahal, sehingga menjadi penghalang bagi para pemuda untuk menyambut seruan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian yang telah mampu, maka menikahlah, karena demikian (nikah) itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa akan menjadi perisai baginya“. [HR. Al-Bukhoriy (4778), dan Muslim (1400), Abu Dawud (2046), An-Nasa’iy (2246)]

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah menganjurkan umatnya untuk mempermudah dan jangan mempersulit dalam menerima lamaran dengan sabdanya,

مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَسْهِيْلُ أَمْرِهَا وَقِلَّةُ صَدَاقِهَا

“Diantara berkahnya seorang wanita, memudahkan urusan (nikah)nya, dan sedikit maharnya“. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (24651), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2739), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (14135), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (4095), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (3/158), Ath-Thobroniy dalam Ash-Shoghir (469). Di-hasan-kan Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (2231)]

Oleh karena itu, pernah seseorang datang kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- seraya berkata,”Sesungguhnya aku telah menikahi seorang wanita.” Beliau bersabda, “Engkau menikahinya dengan mahar berapa?” orang ini berkata:”empat awaq (yaitu seratus enam puluh dirham)”. Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

عَلَى أَرْبَعِ أَوَاقٍ ؟ كَأَنَّمَا تَنْحِتُوْنَ الْفِضَّةَ مِنْ عَرْضِ هَذَا الْجَبَلِ مَا عِنْدَنَا مَا نُعْطِيْكَ وَلَكِنْ عَسَى أَنْ نَبْعَثَكَ فِيْ بَعْثٍ تُصِيْبُ مِنْهُ

“Dengan empat awaq (160 dirham)? Seakan-akan engkau telah menggali perak dari sebagian gunung ini. Tidak ada pada kami sesuatu yang bisa kami berikan kepadamu. Tapi mudah-mudahan kami dapat mengutusmu dalam suatu utusan (penarik zakat) ; engkau bisa mendapatkan (empat awaq tersebut)“. [HR, Muslim(1424)].

Al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syarof An-Nawawiy-rahimahullah- berkata tentang sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang kami huruf tebalkan, “Makna ucapan ini, dibencinya memperbanyak mahar hubungannya dengan kondisi calon suami“.[Lihat Syarh Shohih Muslim (6/214)]

Perkara meninggikan mahar, dan mempersulit pemuda yang mau menikah, ini telah diingkari oleh Umar -radhiyallahu ‘anhu-. Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

أَلَا لَا تَغَالُوْا بِصُدُقِ النِّسَاءِ فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرَمَةً فِيْ الدُّنْيَا أَوْ تَقْوًى عِنْدَ اللهِ لَكَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا النََّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَصْدَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِمْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أُصْدِقَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشَرَ أُوْقِيَةٌ

“Ingatlah, jangan kalian berlebih-lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita karena sesungguhnya jika hal itu adalah suatu kemuliaan di dunia dan ketaqwaan di akhirat, maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang palimg berhak dari kalian. Tidak pernah Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memberikan mahar kepada seorang wanitapun dari istri-istri beliau dan tidak pula diberi mahar seorang wanitapun dari putri-putri beliau lebih dari dua belas uqiyah (satu uqiyah sama dengan 40 dirham)” .[HR.Abu Dawud (2106), At-Tirmidzi(1114),Ibnu Majah(1887), Ahmad(I/40&48/no.285&340). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3204)]

Pembaca yang budiman, pernikahan memang memerlukan materi, namun itu bukanlah segala-galanya, karena agungnya pernikahan tidak bisa dibandingkan dengan materi. Janganlah hanya karena materi, menjadi penghalang bagi saudara kita untuk meraih kebaikan dengan menikah. Yang jelas ia adalah seorang calon suami yang taat beragama, dan mampu menghidupi keluarganyanya kelak. Sebab pernikahan bertujuan menyelamatkan manusia dari perilaku yang keji (zina), dan mengembangkan keturunan yang menegakkan tauhid di atas muka bumi ini.

Oleh karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- perkah bersabda,

ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُ الْغَازِيْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ التَّعَفُّفَ

“Ada tiga orang yang wajib bagi Allah untuk menolongnya: Orang yang berperang di jalan Allah, budak yang ingin membebaskan dirinya, dan orang menikah yang ingin menjaga kesucian diri”. [HR. At-Tirmidziy (1655), An-Nasa’iy (3120 & 1655), Ibnu Majah (2518). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3089)]

Orang tua yang bijaksana tidak akan tentram hatinya sebelum ia menikahkan anaknya yang telah cukup usia. Karena itu adalah tanggung-jawab orang tua demi menyelamatkan masa depan anaknya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran orang tua semua untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan. Ingatlah sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

“Agama adalah mudah dan tidak seorangpun yang mempersulit dalam agama ini, kecuali ia akan terkalahkan“. [HR. Al-Bukhary (39), dan An-Nasa’iy(5034)]

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan umatnya untuk menerapkan prinsip islam yang mulia ini dalam kehidupan mereka sebagaimana dalam sabda Beliau,

يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا

“permudahlah dan jangan kalian mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari“. [HR.Al-Bukhary(69& 6125), dan Muslim(1734)]

Syaikh Al-Utsaimin-rahimahullah- berkata, “Kalau sekiranya manusia mencukupkan dengan mahar yang kecil, mereka saling tolong menolong dalam hal mahar(yakni tidak mempersulit) dan masing-masing orang melaksanakan masalah ini, niscaya masyarakat akan mendapatkan kebaikan yang banyak, kemudahan yang lapang, serta penjagaan yang besar, baik kaum lelaki maupun wanitanya”.[Lihat Az-Zawaaj]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 54 Tahun I. dikutip dari http://almakassari.com/, Judul asli : Jeritan Anak Muda

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=470515311514&comments&ref=notif¬if_t=note_reply#!/notes/nivia-adriani/bila-jodoh-tak-kunjung-tiba-/470507076514

Pernikahan Menurut Islam Dari Mengenal Calon Sampai Proses Akad Nikah [Co- Past]

Pernikahan Menurut Islam Dari Mengenal Calon Sampai Proses Akad Nikah [Co- Past]

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:

1. Mengenal calon pasangan hidup

Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.

Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.

Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا

“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)

Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan

Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:

- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ

“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)

-Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟

“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”

Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ

“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)

2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)

Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:

ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ

“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)

Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ

“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)

Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)

Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا

“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ

‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)

Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.

Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)

Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat calon)

Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)

Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)

Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita

Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)

Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)

Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.

3. Khithbah (peminangan)

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.

Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ

“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)

Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ

“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”

Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)

Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)

Yang perlu diperhatikan oleh wali

Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:

-Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.

Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

4. Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)

5. Walimatul ‘urs

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:

مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ

“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)

Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)

Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)

Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.

Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

6. Setelah akad

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:

Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).

Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)

Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah rad..

3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:

Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.

Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.

Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.

Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.

Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.

PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”

Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”

Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)

Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:

Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.

Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)

4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).

Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.

Sumber: http://www.facebook.com/notes/nivia-adriani/pernikahan-menurut-islam-dari-mengenal-calon-sampai-proses-akad-nikah/470512321514

Rabu, 15 September 2010

MASUK SURGA TANPA DIHISAB

MASUK SURGA TANPA DIHISAB

59. Orang- orang yang tidak meminta diruqyah, tidak mempercayai ramalan, tidak meminta diobati dengan besi panas, dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.

Dari ‘Imran bin Husain bahwa Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:

“Ada tujuh puluh ribu dari ummatku yang akan masuk Surga tanpa dihisab”.

Para Shahabat bertanya, “Sipakah mereka, Wahai Rasulullah?”,

Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab:

“Mereka adalah orang yang tidak meminta diruqyah, tidak percaya kepada ramalan, tidak meminta untuk diobati dengan besi panas, dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakkal”.

HR. Muslim dengan lafadz ini dalam Shahiih Muslim I/ 198, No. 218. Lafadz yang serupa juga diriwayatkan oleh al- Bukhori- Muslim yaitu dari riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Shahiihul Bukhori X/ 155 No. 5705, dan X/ 211 No. 5752, serta XI/ 305, No. 6472, juga XI/ 405 No. 6541, dalam Shahiih Muslim I/ 199 No. 220.

Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Maksudnya adalah penyifatan ketujuh puluh ribu orang tersebut dengan sifat tawakkal yang sempurna, karena sikap mereka yang tidak meminta orang lain untuk me-ruqyah-nya, atau mengobati penyakitnya dengan besi panas dan tidak mempercayai ramalan”. Lihat Taisiirul ‘Aziiz al- Hamiid Fii Syarh Kitaabut Tauhiid Hal. 84.

Sulaiman bin ‘Abdulloh bin Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab mengatakan: “Makna perkataan Nabi –Walaa Yaktawuuna- yakni mereka yang tidak meminta orang lain untuk mengobati mereka dengan besi panas, sebagaimana mereka pun tidak meminta orang lain untuk meruqyah mereka, sebagai bentuk tawakkal mereka atas taqdir Alloh dan menikmati segala cobaan- Nya. Adapun mengobati penyakit dengan besi panas (al- Kayy) sendiri pada dasarnya dibolehkan sebagaimana yang tertera dalam kitab Shahiih (Shahiih Muslim IV/ 1730, No. 2207) dari Jabir bin ‘Abdulloh bahwasanya Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab (yang nadi tangannya tangannya terluka karena perang Ahzab) kemudian tabib tersebut meletakkan besi panas pada tangannya”.

Dalam Kitab Shahiihul Bukhori (Shahiihul Bukhori X/ 172 No. 5719), Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah diobati dengan besi panas (kayy) yaitu ketika ia menderita penyakit radang selaput dada, dan ketika itu Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam masih hidup. At- Tirmidzi dalam Jaami’ut Tirmidzi (IV/ 341 No. 2050, at- Tirmidzi mengatakan “Hadits ini Hasan Gharib”, Ia dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam kitab Shahiih Sunan at- Tirmidzi II/ 204), dan yang lainnya juga meriwayatkan dari Anas bahwa Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah mengobati luka As’ad akibat tertusuk duri dengan menggunakan besi panas.

Diriwayatkan pula dalam kitab Shahiihul Bukhori (Shahiihul Bukhori X/ 136, No. 5680, 5681) bahwa Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:

“Penyembuhan penyakit itu ada pada tiga cara : Minum Madu, Berbekam, dan dengan menggunakan besi panas (kayy), akan tetapi aku melarang al- Kayy”.

Dalam lafadz yang lain disebutkan:

“Dan aku tidak suka melakukan al- Kayy” (Lafadz ini terdapat dalam Shahiihul Bukhori X/ 154, No. 5705 dari Hadits Jabir).

Syaikh Sulaiman bin ‘Abdulloh mengatakan:

-WA LAA YATATHOYYARUUNA-

yakni mereka tidak pesimis dengan adanya ramalan- ramalan (dari arah burung yang terbang) dan sebagainya (Lihat Taisiirul ‘Azizi al- Hamiid Hal. 86).

Kemudian pada pembahasan yang lain ia menjelaskan lebih rinci mengenai makna –AT- TATHOYYUR- dan bahwa perbuatan itulah yang menghalangi mereka dari tujuan mereka. Apabila mereka ingin melakukan sesuatu, mereka melihat burung. Jika burung yang mereka lihat misalnya terbang ke sebelah kanan, maka mereka merasa beruntung dengannya. Namun apabila burung itu mengarah ke kiri mereka pun menjadi pesimis. Kemudian Syari’at menghapus, membatalkan dan melarangnya, serta menjelaskan bahwa hal tersebut tidak ada pengaruhnya dalam hal memberikan manfaat ataupun mencegah kemadhorotan (bahaya).

Ia mengatakan lagi bahwa sabda Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam:

“Dan hanya kepada Rabb- lah mereka bertawakkal”

Menyebutkan sifat pokok yang kemudian memunculkan perbuatan- perbuatan tersebut. Sifat pokok tersebut adalah tawakkal kepada Alloh, memohon perlindungan kepada- Nya dengan penuh kejujuran dan bersandar kepada- Nya dengan sepenuh hati.

Kemudian beliau melanjutkan “Dan ketahuilah bahwa hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan sebab- sebab (yang mengantarkan kepada kesembuhan) sama sekali, sebagaimana yang disangka oleh orang- orang yang tidak mengetah.ui. Secara umum, sesungguhnya melakukan sebab- sebab itu merupakan sesuatu yang sudah menjadi fitrah dan alami. Tidak ada seorangpun yang dapat terlepas darinya, bahkan binatang sekalipun. Bahkan termasuk sikap tawakkal ketika seseorang melakukan penyebab utama yang dapat mengantarkan kepada sesuatu (kesembuhan), sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

“WA MAN YATAWAKKAL ‘ALALLAAHI FAHUWA KHASBUHU”

“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Alloh maka Alloh yang mencukupinya”.

Adapun maksud dari hadits di atas adalah meninggalkan hal- hal yang tidak makruh saat seseorang memang membutuhkannya, sebagai bentuk tawakkalnya kepada Alloh, seperti meminta untuk diruqyah, atau diobati dengan besi panas, sehingga alasan mereka meninggalkannya bukan karena hal- hal tersebut merupakan salah satu penyebab kesembuhan, akan tetapi karena ia merupakan penyebab yang makruh. Terlebih lagi orang yang sakit itu biasanya akan bergantung kepada apa saja yang dianggap sebagai penyebab kesembuhannya, meskipun dengan jalinan sarang laba- laba sekalipun. Adapun melakukan sebab- sebab (yang dapat mengantarkan kepada kesembuhan) dan berobat dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka hal itu tidak bertentangan dengan makna tawakkal.

Selain itu, meninggalkan sebab- sebab tersebut tidaklah disyari’atkan sebagaimana dinyatakan dalam Shahiihul Bukhori dan Muslim (Shahiihul Bukhori X/ 134, No. 5679, Namun saya tidak menemukannya pada Shahiih Muslim. Dalam Kitab Tuhfatul Asyraaf X/ 266 No. 1497, al- Mizzi tidak menyandarkan riwayat di atas kepada Muslim), yaitu riwayat dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu secara Marfu’:

“Alloh Subhanahu Wa Ta’ala tidak menurunkan penyakit melainkan ia menurunkan pula obatnya”

(Taisiirul ‘Aziiz al- Hamiid Hal. 86- 87). Demikianlah perkataan Syaikh Sulaiman Rahimahulloh.

Sumber: 62 Amalan Pembuka Pintu Surga. Hal 185- 191. ‘Abdulloh bin ‘Ali al- Ju’aitsin. Pustaka Imam Asy- Syafi’i. Jakarta.