Sabtu, 31 Oktober 2009

SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA (2)

Syubhat Kedua:
Pemahaman mereka terhadap perkataan Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu:
“Inilah sebaik-baik bid’ah”. (I’laamul Muwaqqi’iin (2/282)

Bantahan:
1. Jika kita menerima, bahwa yang dimaksud oleh perkataan Umar adalah sebagaimana mereka inginkan dalam menganggap baik perbuatan bid’ah- sekalipun hal ini tidak bisa diterima- maka sesungguhnya tidak dibenarkan mengkonfrontasikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun dia, baik itu perkataan Abu Bakar sebagai orang terbaik di antara umat sesudah Nabi-Nya, dan tidak pula perkataan Umar, sebagai orang terbaik kedua pada ummat ini setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tidak bisa dikonfrontasikan dengan ucapan siapapun.

Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata:
“Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kalian justru mengatakan berkata Abu Bakar dan Umar”.



Berkata Umar bin Abdul Aziz:
“Tidaklah diterima pendapat seseorang jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Ibid)

Berkata Imam As-Syafi’i:
“Telah sepakat (ulama) kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena ada perkataan orang lain”. (Habaqaatul Hanaabilah (2/15) dan al-Ibaanah (1/260).



Berkata Imam Ahmad bin Hanbal:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka berarti dia telah berada di pinggir jurang kehancuran”. (Ditakhrij oleh al-Bukhari No. 1129).

2. Bahwasanya Umar mengeluarkan perkataan tersebut ketika

beliau mengumpulkan orang-orang untuk sholat tarawih., dan Sholat tarawih itu bukanlah suatu bid’ah bahkan merupakan sunnah. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sholat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau, kemudian beliau sholat pada malam berikutnya maka banyak orang mengikuti beliau, kemudian mereka berkumpul pada malam ke-3 atau ke-4 tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Tatkala datang waktu pagi, beliau bersabda:
“Sungguh aku telah melihat apa yang kalian perbuat (tadi malam), dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian melainkan aku khawatir jangan sampai ia akan diwajibkan kepada kalian”. Dan hal ini terjadi pada bulan Ramadhan (kata ‘Aisyah). (al-I’tishaam (1/250).



3. Apabila telah terbukti bahwa apa yang dilakukan oleh Umar itu bukanlah merupakan suatu bid’ah, lalu apa yang dimaksudkan dengan bid’ah dalam ucapan beliau tersebut? Sesungguhnya kata ‘Bid’ah’ dalam ucapan beliau tersebut maksudnya adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan makna menurut syara’ (agama).

Bid’ah menurut bahasa adalah ‘Maa Faila ‘alaa ghoiri mitsaalin saabiqinn’ (apa saja yang dilakukan yang tidak ada contoh sebelumnya). Maka tatkala sholat (tarawih) tersebut tidak dilakukan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa kekhalifahan Umar, berarti bahwa ia merupakan suatu bid’ah menurut tinjauan bahasa, yakni ‘tidak ada contoh sebelumnya’. Adapun menurut tinjauan syara’ (agama) tidaklah demikian, sebab perbuatan itu mempunyai dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Berkata Asy-Syaathiby:
“Maka barangsiapa yang menamakannya sebagai bid’ah dalam pengertian semacam itu, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam segi penamaan (istilah). Dan dengan demikian tidak boleh berdalil (dengan pengertian dari segi bahasa tersebut) untuk memperbolehkan melakukan perbuatan bid’ah, sebab hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk pemutarbalikan fakta dari yang sebenarnya”. (Iqtidhaa Shiraathil Mustaqiim,.hal. 276).

Bersambung,.

Jumat, 30 Oktober 2009

SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA (1)

SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA.

Syubhat Pertama:

Pemahaman mereka terhadap hadits:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang hasanah(baik) dalam Islam, maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang sayyi’ah (buruk), maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. (Ditakhrij oleh Muslim No. 1017).

Bantahan:
1. Bahwasanya makna ‘Man Sanna’, adalah “barangsiapa yang melakukan suatu amalan sebagai penerapan dari ajaran syari’at yang ada, BUKAN orang yang melakukan suatu amalan sebagai penetapan suatu syari’at yang baru”. Karena itu maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah beramal shaleh sesuai ajaran sunnah nabawiyyah yang ada.



Yang menunjukkan hal ini adalah faktor penyebab disabdakannya hadits itu, yakni sedekah yang disyari’atkan. Sebab disebutkannya hadits tersebut adalah sebagai berikut: Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau memberi semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk bersedekah sampai-sampai nampak kemarahan di wajah beliau kemudian datanglah seorang Anshar dengan sekantong (sedekah) lalu orang-orang (bersedekah) mengikutinya sehingga nampak keceriaan di wajah beliau, maka beliaupun bersabda: “Barangsiapa yang .... dst “ Lafadz hadits ini diriwayatkan ad-Daarimiy, No. 514 (1/ 141) dan dalam riwayat Muslim lebih panjang dari ini.

2. Bahwasanya orang yang mengatakan ‘Man Sanna Fil Islaam Khasanah..’ beliau juga yang mengatakan ‘Kulla Bid’ah Dholaalah..’.


Tidak mungkin akan muncul dari mulut orang yang benar lagi dipercaya suatu perkataan yang mendustakan perkataan yang lain dari beliau sendiri, dan selamanya tidak mungkin perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam saling bertentangan. (al-Ibdaa’ Fii Kamaalis Syar’i Wakhatharil Ibtidaa’ oleh Ibnu ‘Utsaimin, Hal. 19).



Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengamalkan suatu hadits lalu berpaling dari hadits yang lain, sebab hal yang demikian merupakan ciri orang-orang yang beriman terhadap sebagian dari Al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain.

3. Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan ‘Man Sanna..’ (barangsiapa yang yang menerapkan sunnah pertama kali). Dan beliau tidak mengatakan ‘Man ibtida’...’ (barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru dalam agama), dan beliau mengatakan ‘Fil Islaam’ (dalam Islam), sedangkan bid’ah itu bukan dari islam. Beliau mengatakan ‘Hasanah.’ (yang baik), sedangkan bid’ah bukan merupakan sesuatu yang baik. (Ibid, Hal. 20).

Dan jelas sekali perbedaan antara sunnah dan bid’ah, sebab sunnah merupakan suatu jalan yang diikuti dan bid’ah itu merupakan suatu yang dibuat-buat dalam agama.

4. Tidak pernah dinukilkan dari seorangpun dari ulama salaf yang menafsirkan kata “Sunnatun Hasanah..’ dengan arti bid’ah diada-adakan oleh manusia dari diri mereka sendiri.

5. Bahwasanya makna ‘Man Sanna..’ adalah barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah yang pernah ada kemudian hilang lalu dihidupkan kembali. Oleh karena itu, maka jadilah kata “Sunnah” itu disandarkan kepada orang yang menghidupkan sunnah tersebut setelah sunnah ditinggalkan orang.

Dalilnya adalah hadits: “Barangsiapa yang menghidupkan salah satu sunnahku lalu orang-orang ikut mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala dari orang yang ikut mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah lalu mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dari orang yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (Sunan Ibnu Majah, No. 209 dan dishahihkan oleh al-Albaniy).



6. Bahwasanya perkataan beliau ‘Man Sanna Sunnatun Khasanah..” dan “Man Sanna Sunnatun Sayyi’ah..” tidak mungkin kita tafsirkan “menciptakan sesuatu yang baru..”, sebab keberadaannya sebagai suatu yang baik atau buruk itu tidak mungkin diketahui kecuali melalui syari’at agama. Karena itulah maka yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut haruslah baik menurut syara’ atau sebaliknya buruk menurut syara’.

Maka pengertian itu hanya berlaku bagi bentuk sedekah yang telah disebutkan, adapun sedekah yang serupa dengannya merupakan bagian dari sunnah-sunnah yang telah disyari’atkan, sehingga tinggallah kedudukan ‘Sunnah Sayyi’ah (yang buruk)’ itu ditafsirkan sebagai perbuatan maksiyat yang keberadaanya menurut syara’ jelas-jelas maksiyat, seperti membunuh, sebagaimana yang diperingatkan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita) dalam hadits mengenai anak Adam, dimana beliau bersabda: “Sebab dialah yang pertama-tama melakukan sunnah membunuh”. (Lihat al-I’tishaam, oleh as-Syaatibhy, 1/236).

Dan begitu pula bid’ah itu (dikatakan sebagai suatu hal yang buruk), sebab telah ada celaan dan larangan terhadapnya dari syara’. (dikeluarkan oleh al-Bukhari, No.2010).

Bersambung.

Sumber=
Al-Luma’ Fil-Rudd ‘Alaa Muhassiny Al-Bida’ karya Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As-Shahibany Hal. 31-36.


Selasa, 27 Oktober 2009

Ringan di Lisan Berat di Timbangan

Ringan di Lisan Berat di Timbangan


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah kalimat yang ringan di lisan namun berat di dalam timbangan, dan keduanya dicintai oleh ar-Rahman, yaitu ‘Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’.” (HR. Bukhari [7573] dan Muslim [2694])

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Kedua kalimat ini merupakan penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba.” Beliau juga berpesan, “Wahai hamba Allah, sering-seringlah mengucapkan dua kalimat ini. Ucapkanlah keduanya secara kontinyu, karena kedua kalimat ini berat di dalam timbangan (amal) dan dicintai oleh ar-Rahman, sedangkan keduanya sama sekali tidak merugikanmu sedikitpun sementara keduanya sangat ringan diucapkan oleh lisan, ‘Subhanallahi wabihamdih, subhanallahil ‘azhim’. Maka sudah semestinya setiap insan mengucapkan dzikir itu dan memperbanyaknya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, 3/446).

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Allah dengan nama-Nya ar-Rahman –Yang Maha pemurah-. Hikmahnya adalah –wallahu a’lam- karena untuk menunjukkan keluasan kasih sayang Allah ta’ala. Sebagai contohnya, di dalam hadits ini diberitakan bahwa Allah berkenan memberikan balasan pahala yang banyak walaupun amal yang dilakukan hanya sedikit (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/883)

Subhanallahi Wabihamdih
Makna ucapan subhanallah –Maha suci Allah- adalah;


anda menyucikan Allah ta’ala dari segala aib dan kekurangan dan anda menyatakan bahwa Allah Maha sempurna dari segala sisi. Hal itu diiringi dengan pujian kepada Allah –wabihamdih- yang menunjukkan kesempurnaan karunia dan kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah dan ilmu-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)



Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan dan keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan dan aib, maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa Allah adalah Sang pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk-Nya. Sedangkan keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/argumen yang mewajibkan manusia untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah –tauhid uluhiyah-. Dengan demikian maka kalimat ini mengandung penetapan kedua macam tauhid tersebut –rububiyah dan uluhiyah- (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/885)

Makna pujian kepada Allah
Al-Hamdu atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat-Nya yang sempurna, nikmat-nikmat-Nya yang melimpah ruah, kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya, dan keelokan hikmah-Nya. Allah ta’ala memiliki nama, sifat dan perbuatan yang sempurna. Semua nama Allah adalah nama yang terindah dan mulia, tidak ada nama Allah yang tercela. Demikian pula dalam hal sifat-sifat-Nya tidak ada sifat yang tercela, bahkan sifat-sifat-Nya adalah sifat yang sempurna dari segala sisi. Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji, karena perbuatan-Nya berkisar antara menegakkan keadilan dan memberikan keutamaan. Maka bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 7)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-hamdu adalah mensifati sesuatu yang dipuji dengan sifat-sifat sempurna yang diiringi oleh kecintaan dan pengagungan -dari yang memuji-, kesempurnaan dalam hal dzat, sifat, dan perbuatan. Maka Allah itu Maha sempurna dalam hal dzat, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 10)



Subhanallahil ‘Azhim
Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yang lebih agung dan berkuasa melebihi kekuasaan Allah ta’ala dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada-Nya, tidak ada yang lebih dalam ilmunya daripada-Nya. Maka Allah ta’ala itu Maha agung dengan dzat dan sifat-sifat-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446).

Hal itu menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan Allah ta’ala, inilah sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya. Di dalam bacaan dzikir ini tergabung antara pujian dan pengagungan yang mengandung perasaan harap dan takut kepada Allah ta’ala (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/884-885).

sumber= http://muslim.or.id/doa-dan-wirid/ringan-di-lisan-berat-di-timbangan.html

semoga bermanfaat.,