Minggu, 21 November 2010

Sholat dengan memejamkan mata, bolehkah..?

Soal: Apakah hukumnya seseorang Sholat dengan memejamkan matanya dengan alasan lebih khusyu’ ..?

Jawab: Tidak boleh sholat dengan memejamkan mata karena hal ini menyelisihi sunnah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh al- Baihaqi di dalam Sunan al- Kubra, 2/ 283 dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh di dalam Sifat Sholat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam halaman 89, bahwasanya,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ketika sholat menundukkan kepalanya, dan melihat dengan matanya ke tanah”.

Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Di dalam hadits ini bahwa yang Sunnah hendaknya seseorang mengarahkan pandangannya ke tempat sujudnya di tanah, sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang yang sholat dengan memejamkan mata di dalam sholatnya maka ini adalah sikap yang berlebihan, dan sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”. (Sifat Sholat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam hal. 89).

_____________________________________________________________

Soal: Apakah plester, perban, dan semisalnya yang menutupi luka menyebabkan wudhu tidak sah..? bagaimana tatacara wudhu/ mandi orang yang kulitnya/ lukanya ditutup plester..?

Jawab:
Telah datang riwayat dari Ibnu Umar Radhialloohu 'Anhuma yang diriwayatkan oleh al- Baihaqi dalam Sunan al- Kubra, 1/ 228, dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh di dalam Tamamul Minnah, Hal. 134 bahwa dia berwudhu dalam keadaan telapak tangannya diperban, maka dia mengusap anggota tubuh yang diperban, dan membasuh yang lainnya.

___________________________________________________________________

Soal: Bagaimana hukum mengangkat tangan untuk berdo’a setiap kali selesai sholat fardhu..? Bagaimana jika dilakukan setiap selesai sholat sunnah..?

Jawab: Tidak disyari’atkan mengangkat tangan untuk berdo’a setiap kali selesai sholat fardhu karena Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak pernah melakukannya. Adapun setiap selesai sholat sunnah maka dibolehkan meskipun yang lebih afdhol tidak melakukannya secara terus- menerus, karena yang terus- menerus tidak diriwayatkan dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. (Lihat Tanya Jawab Tentang Rukun Islam, oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, hal. 118).

____________________________________________________________________

Soal: Jika seorang Wanita Suci dari Haidnya pada waktu Ashar, apakah wajib baginya melakukan Sholat Dzuhur..?

Jawab: Jika seorang wanita suci dari haidnya pada waktu ashar, maka wajib baginya melakukan sholat dzuhur, menurut pendapat yang rojih. Karena waktu kedua sholat tersebut adlah satu bagi orang yang mendapat halangan seperti wanita yang haid. (Lihat Tanya Jawab Tentang Rukun Islam oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Hal. 90).

____________________________________________________________________

Soal: Apakah mengantuk membatalkan wudhu.? Sah kah Sholat orang yang mengantuk..?

Jawab: Mengantuk tidak membatalkan wudhu dan sholat. (Lihat Fatawa Wa Maqolat Syaikh Bin Baaz, Jilid 10, Bab ‘Nawaqidul Wudhu’).

____________________________________________________________________

Soal: Apa yang seharusnya dilakukan jika seseorang sedang sholat sunnah di masjid, kemudian muadzin mengumandangkan iqomah..?

Jawab: Jika seseorang sedang sholat sunnah di masjid kemudian muadzin mengumandangkan iqomah maka hendaknya dibatalkan sholatnya dan mengikuti sholat wajib dengan dalil sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya, 2/ 153:

“Jika Sudah dikumandangkan iqomah, maka tidak boleh sholat kecuali yang wajib” (Lihat Fatwa Lajnah Da’imah: 5107).

_____________________________________________________________________

Soal: Apakah Seoang makmum tetap wajib membaca surat al- Fatihah pada sholat Jahriyyah..?

Jawab: Makmum tidak wajib membaca surat Al- Fatihah pada sholat jahriyyah sebagaimana riwayat dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwa para shahabat tidak membaca surat al- Fatihah ketika sholat jahriyyah bersama Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al- Muwaththo’ 1/ 86, dan Humaidi di dalam Musnad nya, 2/ 423, dan Ahmad di dalam Musnadnya, 2/ 240, Abu Dawud di dalam Sunan nya, 1/ 218, dan dishahihkan oleh Abu Hatim dan Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, Lihat Sifat Sholat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, hal. 99).

_________________________________________________________________

Soal: Sebagian wanita ketika sholat kelihatan lengan tangannya (karena menggunakan mukena yang tidak syar’i) apakah sholatnya sah..?

Jawaban: Jika seseorang wanita ketika sholat kelihatan lengan tangannya (karena menggunakan mukena yang tidak Syar’i) maka sholatnya tidak sah, dan hendaknya mengulang sholatnya. (Lihat Qoulul Mubin Fii Akhtho’il Mushollin, hal. 27).

Sumber: ‘Sudah Benarkan Sholat Kita: dirangkum dari Kitab- kitab Ulama Ahli Hadits dan Ahli Fiqih”. Hal. 145, 147, 151, 153, 154. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu Publishing. Gresik.

Penyajian Hidangan Makanan Oleh Keluarga Mayit

Tentang penyajian makanan untuk tamu, sepintas memang perkara yang terpuji. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit –baik untuk sajian tamu undangan tahlilan atau lainnya- maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para shahabatnya Radhialloohu 'Anhum.

Shahabat Jarir –salah seorang shahabat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam- menemui Umar bin Khaththab Radhialloohu 'Anhu. Umar berkata, ‘Apakah kalian sering meratapi mayit..?’ Jarir menjawab, “Oh, tidak..!”. Umar Radhialloohu 'Anhu bertanya lagi, “Apakah ada di antara kaum wanita kalian punya kebiasaan berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya?”. Jarir menjawab, “Ya!”. Umar Radhialloohu 'Anhu berkata, “ITU SAMA SAJA DENGAN MERATAPI MAYIT”. (Mushanaf Ibni Abi Syaibah, 3/ 291, No. 11467).

Karena itulah dalam beberapa riwayat, disebutkan Jarir bin Abdillah al- Bajali Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Kami memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari Niyahah (meratapi mayit)”. (Sunan Ibnu Majah, 1/ 514, No. 1612, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh).

Begitu pula Abu Bakhtari berkata,

“Hidangan kematian dari keluarga mayit adalah perkara jahiliyah, menginapnya para wanita yang bukan keluarga mayit di rumah keluarga mayit juga perkara jahiliyah, begitu pula meratapi mayit termasuk perkara jahilyah”. (Mushanaf Ibni Abi Syaibah, 3/ 559, No. 6689).

Sehingga jelas, berdasarkan Ijma’ para Shahabat Radhialloohu 'Anhum –yang belajar Islam langsung kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam- bahwa acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama. Wallohu A’lam.

Sumber: 'Fatawa: Majalah khusus berisi fatwa ulama Dunia'. Vol. VI/ No. 09. Hal. 5. Pustaka at- Turots. Islamic Centre Bin Baaz. Yogyakarta.



Betulkah Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh mengirim Pahala Bacaan..?


Masyarakat yang mempunyai kebiasaan melakukan kenduri/ tahlilan/ yasinan biasanya mengaku sebagai pengikut madzhab Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh. Bahkan, mereka mengklaim kenduri/ tahlilan/ yasinan adalah ciri khas ajaran madzhab Syafi’i yang harus dilestarikan di bumi madzhab Syafi’i –sebutan mereka terhadap Indonesia- ini. Bagaimana sebenarnya imam asy- Syafi’i dan ulama- ulama besar dari kalangan madzhab Syafi’i berpandangan tentang kenduri/ tahlilan/ yasinan..?

Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh, dalam kitabnya berkata,

“Aku membenci acara berkumpulnya orang di rumah keluarga mayit (ma- tam) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka”. (Al- Um, Juz. 1 hal. 279).

Imam Nawawi Rahimahulloh, seorang imam besar madzhab Syafi’i setelah mengutip perkataan Syafi’i tersebut di dalam kitabnya berkata,

“Ini adalah lafazh beliau dalam kitab Al- Um. Inilah yang diikuti oleh murid- murid beliau. Adapun pengarang kitab ini (al- Muhadzdzab, asy- Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen laiin yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada- adakan dalam agama (muhdats)”. (Majmu’ Syarh al- Muhadzdzab, Juz. 5 hal. 306).

Sebelumnya Imam Nawawi Rahimahulloh juga berkata,

"Pengarang ‘asy- Syamil’ dan lainnya berkata, “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut adalah tidak ada dalil naqli- nya dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah bukan suatu yang disukai”. (al- Majmu’, Juz.5 hal. 320).

Dalam kitab fikih madzhab Syafi’iyah, dikutip bahwa Imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,

“Dan, dibenci menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga, dan seterusnya setelah sepekan. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan secara musiman (seperti haul dan sadranan)”. (I’anatut Thalibin, Juz. 2 hal. 146).

Dalam baris sebelumnya dikutip,

“Dibenci pertamuan dengan penyajian makanan yang disediakan oleh keluarga mayit, karena hal ini hanya dilakukan dalam suasana gembira, kebiasaan itu adalah bid’ah”. (I’anatut Thalibin, Juz.2 Hal. 146).

Makruh dalam konteks ucapan Imam Syafi’i Rahimahulloh dan murid- murid nya tersebut di atas adalah bermakna haram. Tentu, sebagian pembela kenduri./ yasinan/tahlilan membantah pernyataan itu. Tetapi dalam kitab yang sama disebutkan bahwa imam Syafi’i Rahimahulloh menegaskan keharamannya,

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai- ramai pada hari ke empat puluh, padahal semua itu adalah haram”. (I’anatut Thalibin, juz. 2 Hal. 146- 147).

Jadi Imam Syafi’i sendiri yang menegaskan perbuatan makruh tersebut adalah kebiasaan yang diharamkan. Yang disukai beliau Rahimahulloh adalah sebaliknya, MENYEDIAKAN MAKANAN UNTUK KELUARGA MAYIT. Mungkin kerabat atau tetangganya bisa meringankan kesedihan dan kesibukan keluarga mayit dengan membantu memberikan bantuan berupa makanan yang siap santap. Imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,

“Aku suka kalau tetangga si mayit atau kerabat si mayit menyediakan makanan untuk keluarga si mayit pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya inilah amalan yang Sunnah dan perbuatan ahli kebaikan”. (Al- Hawi Fi Fiqhisy Syafi’i, Juz 3, Hal. 66 dan al- Majmu’ Syarh al- Muhadzdzab, Juz. 5 hal. 319).

Pendapat imam Syafi’i Rahimahulloh dan para muridnya tersebut sesuai dengan larangan yang disebutkan dalam atsar –baik dipandang sebagai ijma’ shahabat atau bahkan taqrir dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam- dan perintah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ketika kaum Muslimin menghadapi kematian tetangganya.

Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan/ yasinan tidak memiliki argumentasi/dalih melainkan hanya satu dalih saja yaitu istihsan, yaitu menganggap baiknya suatu amalan, dengan dalil- dalil yang bersifat umum. Dalil yang dipegang adalah keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al- Qur’an, berdzikir, ataupun berdo’a, dan anjuran memuliakan tamu sajian hidangan yang diniati sebagai sedekah.

Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Ushul Fiqhisy Syafi’iyyah dikatakan bahwa istihsan yang diartikan dengan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (Al- Qur’an dan As- Sunnah) kepada ketentuan budaya adalah ditolak. Karena itu imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,

“Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan (tanpa dicontohkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam) berarti telah menciptakan hukum syari’at sendiri”. Wallohu A’lam.

Sumber: 'Fatawa: Majalah khusus berisi fatwa ulama Dunia'. Vol. VI/ No. 09. Hal. 5-6. Pustaka at- Turots. Islamic Centre Bin Baaz. Yogyakarta.

Jin dan Urusan Ghaib.

Jin dan Urusan Ghaib.

Pertanyaan: Apakah Jin mengetahui perkara yang Ghaib..?

Jawaban: Jin tidak mengetahui perkara Ghaib. Tidak ada yang mengetahui perkara ghaib baik makhluk Alloh yang ada di langit maupun yang ada di Bumi. Yang mengetahui persoalan ghaib hanyalah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala semata. Coba perhatikan firman Alloh Ta’ala berikut,

“Maka tatkala Kami telah tetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan”. (QS. Saba: 14).

Barangsiapa yang menyatakan dirinya mengetahui perkara ghaib berarti telah kafir. Barangsiapa yang membenarkan orang yang menyatakan dirinya tahu yang ghaib berarti juga kafir. Hal ini berdasarkan firman Alloh Ta’ala,

“Katakanlah, “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Alloh”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”. (QS. An- Naml: 65).

Sungguh, tidak ada yang mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali hanyalah Alloh saja. Yang mengaku- ngaku dirinya tahu perkara yang ghaib atau perkara yang akan terjadi, adalah termasuk perdukunan. Ada sebuah riwayat hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya barangsiapa mendatangi seorang dukun lalu bertanya kepada dukun, maka sholatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Hadits riwayat Muslim,

“Barangsiapa mendatangi tukang ramal (dukun atau paranormal) lantas bertanya tentang sesuatu, maka sholatnya tidak diterima selama empat puluh malam”.

HR. Muslim dalam Kitab as- Salaam (No. 3230) dan Ahmad dalam Kitab ‘Musnad Madaniyyin, No. 16202, dan kitab “Baqi Musnad Anshar” No. 22711.

Kalau seseorang sampai membenarkannya, berarti dirinya telah kafir. Karena telah membenarkan ucapan dukun, yang menyatakan dirinya tahu perkara yang ghaib, dan berarti telah mendustakan firman Alloh Ta’ala dalam surat An- Naml ayat 65 di atas.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as- Sa’di Rahimahulloh dalam kitabnya ‘Taisiru al- Karimi ar- Rahman Fii Tafsiri Kalami al- Manan, (Birut: Muasasah al- Risalah. 1421H/ 2000M hal. 946) menjelaskan tafsir ayat 14 Surat Saba di atas tersebut,

“Setan senantiasa bekerja membangun berbagai macam bentuk bangunan untuk Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam. Sebelumnya mereka selalu menipu manusia dan menyebarkan berita bahwasanya mereka mengetahui perkara ghaib dan malihat hal yang tersembunyi. Alloh Ta’ala berkehendak untuk menampakkan kedustaan mereka kepada manusia. Setan terus menerus mengerjakan pekerjaannya, sementara Alloh telah menetapkan kematian Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam. Beliau meninggal tetap dalam posisi bersandar pada tongkatnya, setan selalu menyangka beliau masih hidup, sehingga bila setan melewatinya selalu menghormati dan mengagungkannya. Hal itu berjalan selama setahun penuh (berdasarkan satu keterangan) hingga Nabi Sulaiman jatuh tersungkur karena tongkatnya habis dimakan rayap. Setan pun akhirnya bubar. Jelaslah bagi manusia bahwasanya jim itu (kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib, tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan) berupa pekerjaan yang berat itu. Kalau seandainya mereka tahu yang ghaib, pastilah bisa mengetahui kematian Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam. Yang mana mereka ingin segera lepas dari beban pekerjaan yang berat yang diawasi oleh Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam".

(Fatawa Arkanu al- Islam, Soal. No. 44, hal. 98, Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahulloh).

Sumber: 'Fatawa: Majalah khusus berisi fatwa ulama Dunia'. Vol. VI/ No. 09. Hal. 9. Pustaka at- Turots. Islamic Centre Bin Baaz. Yogyakarta.

Setiap ayat dan Surat dalam Al- Qur’an merupakan penyembuh hati, rahmat, dan petunjuk bagi orang- orang yang beriman.

Mengkhususkan Surat- Surat Al- Kahfi, As- Sajdah, Yasin, Fushshilat, Ad- Dukhan, Al- Waqi’ah, Al- Hasyr, dan Al- Mulk sebagai Ayat- ayat Penyelamat. (Bolehkah..??)

(Fatawa Lajnah Da’imah Lil Buhuuts al ‘Ilmiyyah, No. 1260).

Setiap ayat dan Surat dalam Al- Qur’an merupakan penyembuh hati, rahmat, dan petunjuk bagi orang- orang yang beriman serta penyelamat bagi orang yang berpegang teguh dengannya, dan mengambil petunjuknya dari kekufuran, kesesatan, dan adzab yang pedih.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah menerangkan dengan ucapan, perbuatan dan persetujuannya terhadap diperbolehkannya ruqyah:

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu bahwa ia berkata, “Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memberi keringanan untuk membolehkan ruqyah dari mata jahat (sawan), sengatan dan (gigitan) semut”. Diriwayatkan oleh Muslim No. 2196, dalam Kitab as- Salaam, Bab. “Disunnahkannya Ruqyah dari mata jahat (sawan)”..

Dari Auf bin Malik Radhialloohu 'Anhu ia berkata, “Kami pernah melakukan ruqyah pada zaman Jahiliyyah, kemudian kami bertanya, “Wahai Rasululloh, bagaimana hukum ruqyah kami tersebut?” Beliau menjawab, “Tunjukkan padaku Ruqyah kalian tersebut, tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”. (HR. Muslim, No. 2200, dalam Kitab as- Salaam, Bab “Diperbolehkan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”.).

tetapi TIDAK ADA RIWAYAT dari beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang mengkhususkan Delapan (8) Surat dalam Al- Qur’an ini sebagai surat- surat penyelamat. Yang ada justru bahwa beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memohonkan perlindungan untuk dirinya sendiri dengan surat Al- Ikhlas, Al Falaq, dan An- Naas yang beliau baca tiga (3) kali kemudian beliau tiupkan ke kedua telapak tangan setiap kali selesai, lalu mengusapkannya ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau”.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam apabila berkehendak untuk tidur setiap malam, beliau menggabungkan kedua telapak tangannya, dan meniupkan kepadanya dengan membaca, “Qul Huwallohu Ahad”, “Qul ‘Auudzu Birobbil Falaq”, dan Surat “Qul ‘Auudzu birobbin Naas” kemudian beliau mengusapkan ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau, dimulai dari tubuh bagian depan, dilakukan sebanyak tiga (3) kali”. (HR. al- Bukhori, No. 5017, dalam Kitab ‘Fadho’ilul Qur’an”, Bab “Keutamaan tiga Surat Mu’awwidzaat”).

Abu Sa’id pernah meruqyah dengan Al- Fatihah kepada suku kaum kafir yang disengat binatang berbisa, hingga ia sembuh dengan izin Alloh Ta’ala, dan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam membolehkan hal tersebut.

Kisah tentang Abu Sa’id yang meruqyah salah seorang kepala suku kaum kafir yang disengat binatang berbisa, kemudian sembuh karenanya dengan seizin Alloh Ta’ala, dikisahkan oleh al- Bukhori dalam haditsnya No. 2276 dalam Kitab Ijarah, Bab. “Upah atas Ruqyah dengan Al- Fatihah terhadap suatu kaum Arab”. Dan diriwayatkan pula oleh Muslim, No. 2201, dalam Kitab as- Salaam, Bab “Diperbolehkannya mengambil upah atas ruqyah dengan ayat Al- Qur’an dan Dzikir- dzikir”.

Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga membolehkan ruqyah dengan bacaan ayat Kursi ketika hendak tidur, dan bahwa yang membacanya tidak akan didekati setan pada malam tersebut. Yaitu pada kisah seorang pencuri yang tertangkap saat datang kepada Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu untuk mencuri harta zakat. Kemudian Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu menceritakan pengakuan pencuri tersebut kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maka beliau mengatakan bahwa dia adalah setan, dan beliau membenarkan apa yang disebutkan oleh setan tersebut kepada Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu tentang Fadhilah Ayat Kursi:

‘Jika engkau berkehendak tidur, maka bacalah ayat Kusi, maka niscaya engkau akan selaluu dijaga oleh Alloh dan engkau tidak akan didekati setan hingga menjelang pagi”. Diriwayatkan oleh al- Bukhori No. 2311, dalam Kitab ‘Wakalah”, Bab “Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain”, dan diriwayatkan pula No. 3275, dan 5010.

MAKA BARANGSIAPA YANG MENGKHUSUSKAN SURAT- SURAT YANG TELAH TERSEBUT DI ATAS SEBAGAI SURAT- SURAT PENYELAMAT, MAKA BERARTI IA TELAH BERBUAT BID’AH. Barangsiapa mengurutkan Surat- surat ini dan memisahkan dari surat- surat lainnya dalam Al- Qur’an dengan tujuan mencari keselamatan, penjagaan diri, dan mencari berkah, maka ia telah bermaksyiat karena telah mengingkari urutan mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh para Shahabat Radhialloohu 'Anhum, dan telah meninggalkan sebagian besar Al- Qur’an dengan mengkhususkan sebagian kecil, yang tidak pernah dikhususkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam atau salah seorang dari Shahabatnya.

Dengan demikian maka wajib hukumnya untuk melarang perbuatan ini dan mencegah pencetakan model ini, sebagai pengingkaran terhadap kemungkaran.

Sumber: ‘Penyimpangan Terhadap Al- Qur’an, Kumpulan Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abbullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al- 'ilmiyyah” Hal. 87- 89. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Darul Haq. Jakarta.

Bacaan Al- Qur’an atas Orang Yang Telah Meninggal


(1) Bacaan Al- Qur’an atas Orang yang Telah Meninggal. (Lihat Fatawa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah dalam ‘Kitabud Da’wah (1/ 210)).

Perbuatan ini dan sejenisnya tidak ada dasarnya sama sekali, juga tidak ada riwayat dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maupun para Shahabatnya Radhialloohu 'Anhum bahwasanya mereka membacakan Al- Qur’an untuk orang yang telah meninggal. Justru Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda,

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim dalam Kitab Shahiih nya)

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1718, jilid 18, dalam kitab al- Uqdhiyah, bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Dalam Kitab Shahihain, Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa mengada- adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia akan tertolak”.

Diriwayatkan oleh al- Bukhori No. 2697, dalam al- Shulh, bab ‘Idza Ishthalahu ‘alaa Shulhin Juur Fash Shulh Mardud’ dan Muslim, No. 1718, jilid 18, dalam kitab al- Uqdhiyah, bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir Radhialloohu 'Anhu bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda dalam Khutbahnya pada hari Jum’at,

“Amma ba’du, Sesungguhnya sebaik- baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, dan seburuk- buruk perkara adalah perkara yang diada- adakan dan setiap bid’ah merupakan kesesatan”.

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 867, 43, dalam Kitab Jum’ah, Bab. “Memendekkan Sholat dan Khutbah”. An- Nasa-i menambahkan dengan sanad Shahih, “Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka”. (Potongan Hadits yang diriwayatkan oleh an- Nasa’i No. 1577, Kitab Khutbah, Bab. Tatacara Khutbah’ dari Hadits Jabir bin Abdullah Radhialloohu 'Anhu.

(2) Bacaan Al- Fatihah atas orang yang Telah Meninggal. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, dalam ‘Nur Alad Darbi’ Juz 1 oleh I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah).

Membacakan Al- Fatihah atas orang yang telah meninggal tidak saya dapatkan adanya nash hadits yang membolehkannya. Berdasarkan hal tersebut maka tidak diperbolehkan membacakan Al- Fatihah atas orang yang sudah meninggal. Karena pada dasarnya suatu ibadah itu tidak boleh dikerjakan hingga ada suatu dalil yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut dan bahwa perbuatan itu termasuk syari’at Alloh Ta’ala. Dalilnya adalah bahwasanya Alloh mengingkari orang yang membuat Syari’at dan ketentuan dalam agama Alloh yang tidak diizinkan- Nya.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Apakah mereka mempunyai sembahan- sembahan selain Alloh yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang yang tidak diizinkan Alloh, sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Alloh) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang- orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih”. (QS. Asy- Syuura: 21).

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1718, jilid 18, dalam kitab al- Uqdhiyah, bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Apabila tertolak maka termasuk perbuatan bathil yang tidak ada manfaatnya, Alloh berlepas dari ibadah untuk mendekatkan diri kepada Nya dengan cara sedemikian. Adapun mengupah orang untuk membacakan AL- Qur’an kemudian pahalanya diberikan untuk orang yang telah meninggal termasuk perbuatan haram dan tidak diperbolehkan mengambil upah atas bacaan yang dikerjakannya. Barangsiapa mengambil upah atas bacaan yang dilakukannya maka ia telah berdosa, dan tidak ada pahala baginya, karena membaca Al- Qur’an termasuk ibadah, dan suatu ibadah tidak boleh dipergunakan sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan duniawi.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan” (QS. Huud: 15)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

“Tidak pantas mengupah seseorang untuk membacakan Al- Qur’an atas kematian, kemudian menghadiahkan pahala bacaanya untuk yang meninggal, karena tidak ada satu riwayat pun dari para imam yang membolehkannya”.

Sedangkan para ulama telah berkata,

“Sesungguhnya orang yang membaca Al- Qur’an untuk mendapatkan upah atas bacaannya, tidak mendapatkan pahala atas bacaannya. Maka pahala mana yang akan dihadiahkan untuk orang yang telah meninggal..?”



(4) Bacaan Al- Fatihah untuk Kedua orang Tua yang telah meninggal.

Membacakan Surat Al- Fatihah untuk kedua orang tua yang telah meninggal dunia atau yang lainnya merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Yang disyari’atkan adalah MENDO’AKAN BAGI KEDUA ORANG TUA DALAM SHOLAT ATAU SESUDAHNYA, MEMOHONKAN AMPUNAN DAN MAGHFIROH BAGI KEDUANYA, DAN SEJENISNYA YANG TERMASUK DO’A YANG BISA BERMANFAAT BAGI YANG SUDAH MENINGGAL. (Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dalam ‘Nur Alad Darbi, Juz III oleh I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah).

Sumber: ‘Penyimpangan Terhadap Al- Qur’an, Kumpulan Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abbullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al- 'ilmiyyah” Hal. 34, 61. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Darul Haq. Jakarta.

Tambahan:

Adapun Hadits:

“Bacalah untuk para Mayitmu Surat Yasin”

Menurut Ibnu Qaththan, “Setelah melalui penelitian dengan cermat (#al- jarh wat Ta’dil), hadits itu mudhtharib (kacau), mauquf (tidak sampai sanadnya kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ), dan majhul (tidak diketahui).

Daruquthni mengatakan, “hadits itu mudhtharib sanadnya (para perawinya kacau, tidak jelas), majhul matan nya (kandungan maknanya tidak diketahui), dan tidak shahih (haditsnya Dhoif, lemah).

Tidak ada keterangan dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga tidak dari Para Shahabat Radhialloohu 'Anhum bahwa mereka membacakan Al- Qur’an untuk mayit, baik bacaan surat Yasin, Al- Fatihah, atau surat lainnya dari Al- Qur’an. Tetapi yang DIANJURKAN RASULULLOH SHALLALLAAHU 'ALAIHI WA SALLAM KEPADA PARA SHAHABATNYA seusai menguburkan mayyit adalah:

“Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu, dan mintakanlah keteguhan (iman) untuknya, karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya”. (HR. Abu Dawud dan lainnya, Hadits Shahih).

Sumber: ‘Jalan Golongan yang Selamat, Al- Qur'an untuk orang Hidup bukan OrangMati”. Hal. 65. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu. Pustaka Darul Haq. Jakarta.

Berkumpul Untuk Membaca Al- Qur’an Bersama- sama


(1) Hukum Membaca Al- Qur’an Bersama- sama (Lihat Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhuts al- Ilmiyyah, No. 4394).

Membaca Al- Qur’an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

Pada dasarnya membaca Al- Qur’an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mencontohkannyabersama para Shahabat beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para Shahabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama- sama dengan satu Suara, akan tetapi mereka membacanya SENDIRI- SENDIRI, atau SALAH SEORANG MEMBACA DAN ORANG LAIN YANG HADIR MENDENGARKANNYA.

Telah diriwayatkan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin setelahku”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 4607 dalam Kitab ‘Sunnah’ Bab, “Fii Luzuumis Sunnah’, Ibnu Majah No. 42 dalam al- Muqaddimah, Bab ‘Ittiba’ul Khulafa’ur Rasyidinal Mahdiyyin” dari hadits al- Irbath Radhialloohu 'Anhu. Diriwayatkan oleh at- Tirmidzi No. 2676 dalam al- Ilmu bab, “Maa Jaa-a Fil Akhdzi Bis Sunnati Wajtinabil Bida’, ia mengatakan “Hadits ini hasan Shahih”. Al- Arnauth berkata, “Sanadnya Hasan”. Lihat Syarhus Sunnah, 1/ 205, hadits No. 102.

Sabda beliau lainnya,

“Barangsiapa mengada- adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak”.

Diriwayatkan oleh al- Bukhori No. 2697, dalam al- Shulh, bab ‘Idza Ishthalahu ‘alaa Shulhin Juur Fash Shulh Mardud’ dan Muslim, No. 1718, jilid 18, dalam kitab al- Uqdhiyah, bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Dalam riwayat lain disebutkan,

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak”.

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1718, jili 18, dalam Kitab al- Uqdhiyah bab. Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu’ Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Diriwayatkan pula dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada Abdullah bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu untuk membacakan kepada beliau Al- Qur’an. Ia berkata kepada Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Wahai Rasululloh, apakah aku akan membacakan AL- Qur’an di hadapanmu sedangkan Al- Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Saya senang mendengarkannya dari orang lain”.

Diriwayatkan oleh al- Bukhori, No. 5050, dalam Fadha-ilul Qur’an, Bab ‘Barangsiapa senang mendengarkan Al- Qur’an dari orang selainnya’ dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu, ia berkata, “Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkata kepadaku, “Bacakan Al- Qur’an untukku”. Saya berkata, “Wahai Rasululloh, Apakah saya akan membacakannya sedangkan Al- Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Ya”. Maka saya pun membacakan Surat An- Nisaa’ hingga pada ayat, “Maka bagaimanakah (halnya orang- orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap- tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (QS. An- Nisaa’: 41). Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkata, “Cukup”, saya menoleh kepada beliau ternyata kedua matanya sedang berlinang air mata”.

(5) Berkumpul Guna Membaca Al- Qur’an untuk Orang Mati Atau Orang yang Mengundangnya.

(Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dalam “Nur ‘Alad Dardi”, Juz I, I’dad Faziy Musa Abu Syaikhah)

Barangsiapa mengumpulkan manusia untuk membaca Al- Qur’an bersama- sama kemudian menghadiahkan pahalanya untuk orang- orang yang sudah meninggal , perbuatan ini tidak ada dalilnya, dan termasuk Bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat. In idari satu sisi.

Dari sisi lain, apabila para pembacanya diberi upah atas bacaannya, sebagaimana yang sering terjadi di antara mereka, maka perbuatan mereka ini tidak akan mendapatkan pahala, karena mereka membacanya bukan untuk tujuan ibadah kepada Alloh Ta’ala, akan tetapi membacanya untuk tujuan mendapatkan upah. Suatu ibadah apabila dikerjakan untuk tujuan mendapatkan upah, maka perbuatannya itu tidak akan mendapatkan pahala. Demikian pula niat seseorang dalam amalnya untuk tujuan duniawi, akan membatalkan amalnya tersebut.

Suatu bacaan Al- Qur’an akan mendatangkan manfaat apabila tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Alloh, baik dari yang membacanya maupun yang mendengarkannya. Dan harus pula dikerjakan dengan tatacara yang telah disyari’atkan bukan dengan tatacara yang diada- adakan dan dengan lagu- lagu yang dibuat oleh orang- orang bodoh yang menjadikannya sebagai amalan bid’ah. Bacaan dengan cara ini (dengan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal, atau bahkan orang yang masih hidup sekalipun) termasuk perbuatan bid’ah yang tidak mendatangkan pahala.

Kewajiban bagi seorang muslim hendaknya meninggalkan perbuatan semacam ini. Bila menginginkan suatu manfaat bagi orang yang sudah meninggal, hendaknya mengerjakan perbuatan- perbuatan yang bermanfaat sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam berbagai dalil, DARI MULAI MENDO’AKAN AGAR ALLOH MENGASIHI MEREKA, BERSEDEKAH ATAS NAMA MEREKA, MENGHAJIKAN, DAN MENGUMRAHKAN MEREKA. Inilah perbuatan- perbuatan yang mempunyai dasar dalil, yang bisa mendatangkan bagi kaum Muslimin, baik yang hidup maupun yang Mati. Adapun suatu perbuatan yang tidak berdasarkan pada dalil Syar’i. Termasuk perbuatan bid’ah yang sesat”.

(9) Membacakan Al- Fatihah atas Ruh Seseorang atau yang Lain. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah Lil Buhuts al- Ilmiyyah, No. 8946.)
Membacakan Al- Fatihah seusai do’a atau seusai membaca Al- Qur’an, atau sebelum nikah termasuk perbuatan bid’ah karena perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maupun salah seorang dari para Shahabatnya Radhialloohu 'Anhum. Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tiada perintah dari kami padanya, maka amal tersebut tertolak”.

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1718.

Sumber: ‘Penyimpangan Terhadap Al- Qur’an, Kumpulan Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abbullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al- 'ilmiyyah” Hal. 8- 13- 16. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Darul Haq. Jakarta.

Senin, 15 November 2010

Menuliskan Al- Qur’an di atas Kertas Kemudian mencelupkannya ke dalam Air untuk Diminumkan kepada Orang Sakit.

Menuliskan Al- Qur’an di atas Kertas Kemudian mencelupkannya ke dalam Air untuk Diminumkan kepada Orang Sakit.

Yang mempunyai dasar Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam adalah Ruqyah dengan cara membacakan Al- Qur’an atas orang yang sedang sakit secara langsung kemudian meniupkannya ke tubuhnya. Inilah cara ruqyah yang mempunyai dasar dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Atau dengan cara memohonkan perlindungan atasnya dengan do’a- do’a yang digunakan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam untuk berlindung kepada Alloh, semisal mengucapkan (yang artinya),

“Aku memohonkan perlindungan untukmu dengan kalimat- kalimat Alloh yang sempurna dari kejahatan yang diciptakan”.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwasanya ia berkata, “Ada seorang lelaki mendatangi Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Wahai Rasululloh, apa yang harus aku perbuat atas kalajengking yang telah menyengatku tadi malam?”. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“Apabila engkau mengucapkan saat menjelang malam: “Aku berlindung kepada Alloh dengan kalimat- kalimat Alloh yang sempurna dari kejahatan yang diciptakan”, niscaya tidak akan membahayakanmu”. Diriwayatkan oleh Muslim No. 2709, dalam kitab Dzikir dan Do’a, Bab “Berlindung dari Takdir yang Buruk, kesusahan dan lainnya”.

Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhu meriwayatkan bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mendo’akan perlindungan untuk Hasan dan Husain, Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya ayah kalian pernah mengucapkannya untuk melindungi Ismail dan Ishaq, “Aku berlindung kepada Alloh dari Setan, Kesedihan dan setiap Mata Jahat”. Diriwayatkan oleh al- Bukhori, No. 3371, dalam Kitab al- Anbiya’, Bab. 10.

atau juga dengan do'a (yang artinya):

“Dengan menyebut Nama Alloh aku memanterai kamu dari segala penyakit yang menyerangmu, dari setiap kejahatan jiwa dan mata jahat yang dengki. Bismillah, aku memanteraimu”.

(Dari Abu Sa’id al- Khudri Radhialloohu 'Anhu diriwayatkan bahwasanya Malaikat Jibril datang kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau merasa sakit..?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Betul”. Malaikat berkata, “Dengan menyebut Nama Alloh aku memanterai kamu dari segala penyakit yang menyerangmu, dari setiap kejahatan jiwa dan mata jahat yang dengki. Bismillah, aku memanteraimu”. Diriwayatkan oleh Muslim, No. 2186, dalam Kitab ‘Salaam’, Bab “Kedokteran, Sakit, dan Mantera”.

atau dengan berdo'a (yang artinya):

“Rabb ku Alloh yang ada di Langit, Maha Suci Nama Mu. Perkara Mu ada di Langit dan Bumi. Sebagaimana Rahmat Mu ada di Langit, maka jadikan pula Rahmat Mu di Bumi. Ampunilah dosa dan kesalahan kami, Engkau Rabb bagi orang- orang yang baik, turunkanlah rahmat dari rahmat Mu, dan kesembuhan dari Kesembuhan Mu”.

Dan beberapa do’a- do’a syar’i lainnya yang digunakan untuk mengobati orang yang sakit.

Adapun menuliskan ayat- ayat Al- Qur’an di atas kertas, piring atau bejana kemudian dicuci lalu orang yang sakit meminum bekas airnya, SEBAGIAN ULAMA MEMPERBOLEHKANNYA KARENA MENGANGGAP MASIH DALAM BATAS RUQYAH. Akan tetapi YANG BENAR adalah yang telah disebutkan bahwa HENDAKNYA MERUQYAH ORANG YANG SAKIT SACARA LANGSUNG, misalnya dengan membacakan Al- Qur’an atas orang yang sakit, atau membacakan Al- Qur’an di atas air kemudian diminumkan kepada si sakit sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Inilah yang benar dan lebih utama, karena kita mengutamakan yang ada dalil- dalilnya. (Fatwa Syaikh Shalih Fauzan al- Fauzan dalam al- Muntaqa, Juz I, hal 72- 73). Wallohu A’lam.

Sumber: “Penyimpangan Terhadap Al Qur’an/ Bida’un Naas Fiil Qur’an (Kumpulan Fatwa:Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da’imah Lil Buhuts al- ‘Ilmiyah”. Hal. 70- 72. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Pustaka Darul Haq. Jakarta.

Sabtu, 13 November 2010

Sesungguhnya Jampi, Jimat, dan Tiwalah (Pengasihan) adalah Syirik

AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH MALARANG MEMAKAI JIMAT

Kata Tamaa-im adalah bentuk jamak dari tamimah, yaitu suatu jimat yang dikalungkan di leher atau bagian dari tubuh seseorang yang bertujuan mendatangkan manfaat atau menolak mudhorot, baik kandungan jimat itu adalah Al- Qur’an atau benang atau kulit atau kerikil dan semacamnya. Orang- orang Arab biasa menggunakan jimat bagi anak- anak mereka sebagai perlindungan dari sihir atau guna- guna dan semacamnya.

Jimat terbagi menjadi dua (2) macam,

Pertama, yang tidak termasuk dari Al- Qur’an. Inilah yang DILARANG oleh syari’at Islam. Jika ia percaya bahwa jimat itu adalah subjek atau faktor yang berpengaruh, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat SYIRIK BESAR. Tetapi jika ia percaya bahwa jimat hanya menyertai datangnya manfaat atau mudharat, maka ia dinyatakan telah melakukan Syirik kecil.

Hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam Shahiihul Bukhori dari Shahabat Abu Basyir al- Anshari bahwa beliau pernah bersama Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam suatu perjalanan lalu ia berkata,

“Lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus seseorang untuk mengumukan, kemudian beliau bersabda, “Jangan sisakan satu kalung pun yang digantung di leher unta melainkan kalungnya harus dipotong”.” (HR. al- Bukhori (No. 3005), dan Muslim (No. 2115), dari Shahabat Abu Basyir al- Anshari Radhialloohu 'Anhu).

Dari Ibnu Mas’ud Radhialloohu 'Anhu ia berkata,

“Aku telah mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Jampi, Jimat, dan Tiwalah (Pengasihan) adalah Syirik”. (HR. Abu Dawud No. 3883, Ibnu Majah No. 3530, Ahmad, (I/ 381), dan al- Hakim (IV/ 417- 418), dari Shahabat ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu. Hadits ini Shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 331 dan 2972).

Tiwalah adalah sesuatu yang digunakan oleh Wanita untuk merebut cinta suaminya (pelet) dan ini dianggap sebagai sihir. Jimat diharamkan oleh Syari’at Islam karena ia mengandung makna keterkaitan hati dan tawakkal kepada selain Alloh, dan membuka pintu bagi masuknya kepercayaan- kepercayaan yang rusak tentang berbagai hal yang ada pada akhirnya mengantarkan kepada Syirik Besar.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa menggantungkan Jimat, maka ia telah melakukan Syirik”. (HR. Ahmad, IV/ 156, al- hakim (IV/ 417), dari Shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir al- Juhani Radhialloohu 'Anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 492).

Kedua, yang bersumber dari Al- Qur’an. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Yaitu ada sebagian yangmembolehkan dan ada yang mengharamkannya. Pendapat yang KUAT adalah pendapat yang KEDUA, yaitu MENGHARAMKAN nya. Karena dalil yang mengharamkan jimat menyatakannya sebagai perbuatan Syirik dan tidak membedakan apakah jimat berasal dari Al- Qur’an atau bukan dari Al- Qur’an. Dengan membolehkan jimat dari ayat Al- Qur’an sebenarnya kita telah membuka peluang menyebarnya jimat dari jenis pertama yang jelas- jelas haram. Maka, sarana yang dapat mengantar kepada perbuatan haram mempunyai hukum yang sama dengan perbuatan haram itu sendiri. Ia juga menyebabkan tergantungnya hati kepadanya, sehingga pelakunya akan ditinggalkan oleh Alloh dan diserahkan kepada Jimat tersebut untuk menyelesaikan masalahnya.

Selain itu, pemakaian jimat dari Al- Qur’an juga mengandung unsur penghinaan terhadap Al- Qur’an, khususnya di waktu tidur dan ketika sedang buang hajat atau sedang berkeringat dan semacamnya. Hal semacam itu tentu saja bertentangan dengan kesucian dan kesakralan Al- Qur’an. Selain itu juga, jimat ini dapat pula dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menyebarkan kemusyrikan ddengan alasan jimat yang dibuat dari AL- Qur’an. (Lihat Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al- Islaamiyyah, Hal. 151).
Ibrahim an- nakha’i Rahimahulloh (Wafat tahun 96H) berkata,

“Mereka membenci Jimat, baik yang berasal dari Al- Qur’an maupun yang berasal bukan dari Al- Qur’an”. Maksudnya, Ijma’ ulama Salaf dalam mengharamkan Jimat secara keseluruhan. (Fathul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid, Hal. 153).

Sa’id bin Jubair Rahimahulloh (wafat tahun 95H) berkata,

“Barangsiapa yang memotong sebuah jimat dari seseorang maka pahalanya sama dengan memerdekakan seorang budak”. Perkataan seperti ini tentu saja tidak akan diucapkan tanpa dasar wahyu yang jelas, sehingga ucapan ini dapat dianggap sebagai hadits Mursal, atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’in dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tanpa menyebutkan nama Shahabat, dan ia termasuk seorang pembesar Tabi’in. Maka, hadits mursal semacam ini menjadi hujjah bagi yang menjadikannya sebagai dalil”. (lihat Fat- hul Majiid Syarah Kitaabut Tauhiiid, bab VII: Maa Jaa-a Fir Ruqaa wat Tamaa-im, hal 145- 154, dan al- Madkhal Li Diraasatil ‘Aqiidah al- Islaamiyyah, hal. 150- 151). Wallohu A’lam.

Sumber: ‘Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah”. Hal. 483- 485. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Bogor.

Keterangan

Hadits Mursal= Hadits yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi'in. Gambarannya adalah, apabila seorang Tabi'in mengatakan, "Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "..." atau, "Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melakukan ini dan itu...". (Lihat Shahih at- Targhiib Wa at- Tarhiib IV/ 29. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh. Pustaka Sahifa. Jakarta).

Laut itu Suci airnya dan halal bangkainya

Beberapa Faedah Seputar Makanan

Bangkai Laut Yang Terapung

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah ditanya tentang air Laut maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Laut itu Suci airnya dan halal bangkainya”. (Shahih, Lihat Irwa’ul Ghalil: 9, dan ash- Shahiihah: 480 oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh).


Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air". Alangkah bagusnya apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhialloohu 'Anhuma tatkala beliau ditanya, “Bolehkah saya memakan sesuatu yang terapung di atas air (laut)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. (HR. ad- Daruquthni: 538).



Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Silsilah ash- Shahiihah No. 480, lihat juga al- Muhalla 6/ 60- 65 oleh Ibnu Hazm, dan Syarh Shahih Muslim 13/ 76 oleh imam an- Nawawi).



Hukum Kodok

“Dari Abdurrahman bin Utsman al- Qurosyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Kodok/ Katak dijadikan obat, lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang membunuhnya”. (HR. Ahmad 3/ 453, Abu Dawud: 5269, an- Nasa’i: 4355, al- Hakim 4/ 410- 411, al- Baihaqi 9/ 258, 318, dishahihkan oleh al- hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani dan Syaikh al- Albani Rahimahulloh).



Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa Ulama lainnya serta pendapat yang shalih dari madzhab Syafi’i. Al- Abdari menukil dari Abu Bakar ash- Shidiq, Umar bin al- Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhum, bahwa SELURUH BANGKAI LAUT HUKUMNYA HALAL KECUALI KATAK. (Lihat al- Majmuu’ 9/ 35 oleh Imam an- nawawi, al- Mughni 13/ 345 oleh Ibnu Qudamah, Adhwa’ul Bayan 1/ 59 oleh asy- Syanqithi, Aunul Ma’bud 14/ 121 oleh Adzim Abadi, dan Taudhihul Ahkam 6/ 26 oleh al- Bassam).



Imam Ahmad Rahimahulloh berkata,

“Katak tidak halal sebagai obat, karena Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang membunuhnya”. Penulis al- Qonun (Dia adalah Ibnu Sina, beliau memiliki buku berjudul, ‘al- Qonun Fii ath- Thib, dan buku ini memiliki Syarah dan ringkasan yang banyak sekali, sebagaimana dalam ‘Kasyfu Zhunun’ 2/ 1312), berkata, “Barangsiapa makan darah katak, atau dagingnya, maka badannya akan menjadi lemah, dan kulitnya menjadi pucat dan banyak mengeluarkan mani sehingga bisa membuatnya mati. Oleh karena itu para dokter tidak menjadikannya sebagai obat karena khawatir bahayanya”. (Ath- Thibbun Nabawi, hal. 307 oleh Ibnul Qayyim al- Jauziyyah Rahimahulloh).



Dan menurut keterangan Dr. H. Muhammad Eidman, M.Sc, Tenaga Ahli dari Institute Pertanian Bogor, bahwa dari kurang lebih 150 jenis katak yang berada di Indonesia, baru 10 jeniss yang diyakini tidak mengandung RACUN. (Lihat Himpunan Majelis Ulama Indonesia, hal. 207).





Makan dan Minum dengan Dua Tangan

Syaikh Muhammad bin Sholih al- Utsaimin Rahimahulloh pernah ditanya tentang hukum Makan dan Minum dengan menggunakan dua tangan, apakah dibolehkan? Beliau menjawab,

“Sesungguhnya memegang gelas dengan tangan kiri dan menyandarkannya pada tangan kanan, hukumnya antara boleh dan haram, karena dia tidak menggunakan tangan kiri secara keseluruhan. Demikian pula apabila memegang piring besar dengan dua tangan, atau memegang tulang, atau memegang semangka dengan dua tangan, maka dibolehkan karena darurat, karena dia tidak mengkhususkan tangan kiri, akan tetapi memakai tangan kanan lebih utama”. (Tafsir Surat al- baqoroh, Adab ath- Tho’am, hal, 20).



Makan dengan Sendok

Boleh makan dengan menggunakan sendok (asy- Syarh al- Mumthi’ 12/ 363), karena perkara ini hanya masalah adat kebiasaan saja bukan perkara ibadah.

Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Aneh, sebagian orang ada yang beranggapan jelek apabila makan dengan sendok! Mereka mengira hal ini menyelisihi Sunnah! Padahal perkara ini hanya adat kebiasaan saja, bukan perkaara ibadah, persis seperti naik Mobil, naik pesawat, atau sarana laionnya yang muncul dewasa ini”. (Adh- Dho’ifah, 3/ 347. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh).



Cuci Tangan Sebelum Makan

Telah terjadi silang pendapat di anatar ulama tentang hukum mencuci tangan sebelum makan, apakah hal itu termasuk Sunnah ataau tidak..?



Yang mendekati kebenaran bahwa mencuci tangan sebelum makan bukan termasuk perkara ibadah, karena tidak adanya hadits yang shahih dalam masalah ini (Imam al- Baihaqi Rahimahulloh berkata, “Hadits mencuci tangan SETELAH MAKAN adalah Hasan, dan TIDAK ADA HADITS YANG SHAHIH tentang MENCUCI TANGAN SEBELUM MAKAN”. (al- Adaab asy- Syar’iyyah, 3/ 371).



Namun hal ini dianjurkan apabila untuk menghillangkan kotoran yang melekat pada tangannya. Demikian yang ditegaskan oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzib as- Sunan, No. 10/ 166. Lihat pula perinciannya dalam al- Adaab asy- Syar’iyyah, 3/ 369. Walhasil mencuci tangan sebelum makan BUKAN SUNNAH SECARA MUTLAK, juga JANGAN DITINGGALKAN SECARA MUTLAK. Apabila ada kotoran melekat, maka hendaklah dicuci, jika tidak ada maka tidak mengapa makan dengan tanpa mencuci tangan. (Adab ath- Tho’am Wasy Syarob, hal. 7 oleh Ummu Abdillah, asy- Syarh al- Mumthi’, 12/ 368 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin Rahimahulloh). Wallohu A'lamu.



Sumber: ‘Majalah al- Furqon, edisi 4 tahun X. Dzulqo’dah 1431H. Hal 34- 36. Penulis Abu Ubaidah, dan Abu Abdillah”.

Kamis, 11 November 2010

Adab- adab Hari Jum’at

1. Memperbanyak do’a dan mendekatkan diri kepada Alloh, karena di hari Jum’at terdapat waktu yang mustajab (dikabulkannya do’a). Hal ini berdasarkan hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seorang muslim melakukan sholat di dalamnya, dan memohon sesuatu kepada Alloh Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan”. Lalu beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memberi isyarat dengan tangannya, yang menunjukkan sedikitnya waktu itu”. (HR. al- Bukhori No. 9300, dan Muslim No. 852).

Waktu itu batasnya adalah sampai dengan ‘Ashar dan inilah pendapat jumhur ulama yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Kitabnya, Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad I/ 389,- 394, berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhialloohu 'Anhu, dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,

“Hari Jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Alloh dalam waktu- waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Alloh. Maka carilah di akhir waktu tersebut, yaitu setelah ‘Ashar”. (HR. Abu Dawud No. 1048, an- Nasa-i dalam Sunannya, III/ 99-100, dan al- Hakim dalam al- Mustadrak, I/ 279).

2. Memperbanyak Sholawat kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Perbanyaklah oleh kalian Shalawat kepadaku pada hari Jum’at dan malam Jum’at karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali niscaya Alloh bershalawat kepadanya sepuluh kali”. (HR. al- Baihaqi (III/ 249), dari Anas Radhialloohu 'Anhu, sanadnya HASAN. Lihat Silsilah Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 1407).

3. Mandi besar, memakai wangi- wangian dan memakai pakaian yang terbagus. Hal tersebut berrdasarkan sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, beminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kamudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan sholat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa- dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut dan ke Jum’at berikutnya”. (HR. al- Bukhori, No. 883).

4. Membaca Al- Qur’an surat Al- Kahfi, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Barangsiapa membaca surat Al- Kahfi pada hari Jum’at akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at”. (HR. al- Hakim II/ 368, dan al- Baihaqi III/ 249, dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Irwaa-ul Ghaliil, No. 626).

5. Bersegera untuk datang lebih awal pada shalat Jum’at. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum;at seperti mandi janabah, lalu segera pergi ke Masjid, maka seakan- akan berkurban dengan unta yang gemuk”. (HR. al- Bukhori No. 881, Muslim No. 850, Abu Dawud N0. 351, dan at- tirmidzi No. 499).

6. Hendaknya mengerjakan sholat Sunnah empat roka’at setelah selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Apabila kalian telah selesai mengerjakan Sholat Jum’at, maka Sholat (sunnah)lah empat Roka’at”. (HR. Muslim, No. 881 (68)).

Mengerjakan sholat sunnah empat rokaat setelah sholat Jum’at –dikerjakan setelah selsesai berdzikir atau telah keluar dari Masjid- (HR. Muslim, No. 883), dapat pula dikerjakan di Masjid sebanyak dua rokaat kemudian ditambahkan dua roka’at lagi dikerjakan di Rumah, (HR. Muslim, N0. 881 (68)), dan tidak boleh melakukan Sunnah tersebut di tempat mengerjakan Sholat Jum’at (HR. Ibnu Majah, No. 1127)). Wallohu A’lam/.

Sumber: “Aadaab Islaamiyyah/ Adab Harian Muslim Teladan”. Hal. 165- 168. ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as- Suhaibani. Pustaka Ibnu Katsir. Bogor.


Sesungguhnya Alloh tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa- apa yang diharamkan atas kalian.


(56). Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Melarang Nusyrah (Mengobati Sihir dengan Sihir)

Dalam Islam DILARANG MENGOBATI SIHIR DENGAN SIHIR atau mendatangi DUKUN, karena dukun hanyalah mengusir Syaithan Sihir dengan syaithan sihir yang lain. Maka ibarat mengusir maling dengan meminta bantuan perampok atau penjarah.


Ibnul Jauzi Rahimahulloh (wafat tahun 597H) berkata,

“Nusyrah adalah melepaskan sihir dari orang yang tekena sihir, dan hampir tidak ada yang mampu melakukannya kecuali oleh orang yang mengetahui sihir”. (Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid, Hal. 341, tahqiq Dr. Al- Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad al- Furaiyan).


Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhialloohu 'Anhuma, ia berkata,

“Sesungguhnya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah ditanya tentang Nusyrah, maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“NUSYRAH ITU TERMASUK PERBUATAN SYAITHAN”

HR. Ahmad (III/ 294), Abu Dawud (No. 3868), al- Baihaqy (IX/ 351), al- Hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani mengatakan, “Sanadnya Hasan”. Lihat Fat- hul Baari (X/ 233), dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Hidaayatur Ruwaat, No. 4481.


Ibnu Qayyim al- Jauziyyah Rahimahulloh (Wafat tahun 751H) menjelaskan,

“NUSYRAH adalah penyembuuhan terhadap seseorang yang terkena sihir. Caranya ada dua macam, (1) Dengan menggunakan Sihir pula, dan INILAH YANG TERMASUK PERBUATAN SYAITHAN, (2) Penyembuhan dengan menggunakan Ruqyah, ayat- ayat Ta’awwudz (perlindungan), obat- obatan, dan do’a- do’a yang diperkenankan. Cara ini hukumnya JA- IZ (Boleh)”. (Lihat Fat- hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid, hal 343).


Para ulama telah sepakat untuk membolehkan Ruqyah dengan tiga (3) Syarat,

1. Ruqyah itu dengan menggunakan firman Alloh ‘Azza wa Jalla atau Asma’ dan Sifat- Nya atau Sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam.
2. Ruqyah itu harus diucapkan dalam bahasa Arab, diucapkan dengan makna yang jelas dan dapat dipahami maknanya.
3. Harus diyakini bahwa bukanlah zat ruqyah itu sendiri yang memberikan pengaruh, tetapi yang memberikan pengaruh itu adalah kekuasaan Alloh ‘Azza Wa Jalla, sedangkan ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja. (Lihat Fat- hul Baari (X/ 195), juga Fataawaa al- ‘Allamah Ibnu Baaz (II/ 384).

Apabila seseorang terkena Sihir, santet, Guna- guna, kesurupan jin dan lainnya, maka hendaknya BERIKHTIAR SESUAI DENGAN SYARI’AT dan MENCARI OBATNYA DENGAN USAHA YANG MAKSIMAL. Dalam usaha seorang hamba, untuk mengobati penyakit yang diderita, haruslah memperhatikan 2 (dua) hal,


Pertama, bahwa OBAT dan DOKTER hanyalah SARANA KESEMBUHAN, sedangkan yang benar- benar menyembuhkan adalah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Alloh Ta’ala berfirman mengisahkan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, “WA IDZAA MARIDHTU FAHUWA YASYFIIN”

“Dan apabila aku sakit, Dia- lah yang menyembuhkanku”. (QS. Asy- Syu’ araa’ :80).

Kedua, ikhtiar tersebut TIDAK BOLEH DILAKUKAN DENGAN CARA- CARA YANG HARAM DAN SYIRIK. Di antara yang haram seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang, atau barang- barang haram karena Alloh tidak mengijinkan penyembuhan dari barang yang haram.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Alloh menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”.

(HR. Ad- Daulabi dalam al- Kuna, dihasankan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 1633, dari Shahabat Abud Darda’ Radhialloohu 'Anhu).


‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Sesungguhnya Alloh tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa- apa yang diharamkan atas kalian”.

(HR. al- Bukhori, Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya Shahiih atas syarat al- Bukhori dan Muslim”. Lihat Fat- hul Baari (X/ 78- 79), dari Shahabat ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu dan di- Maushul- kan oleh ath- Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (IX/ 345, No. 9714- 9717).

Langkah yang ditempuh oleh orang yang terkena sihir, guna- guna, santet, dan lainnya hendaklah ia berobat dengan pengobatan Syar’i dengan cara memakan 7 butir Kurma ‘Ajwah (Kurma Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam) setiap pagi, minum Habbatus Sauda’ (Jintan Hitam), dibekam, dan diruqyah (dibacakan ayat- ayat Al- Qur’an dan do’a- do’a dari Sunnah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang Shahih), insya Alloh akan sembuh dengan izin Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. (Tentang pengobatan sihir dan Guna- guna serta lainnya, lihat buku ‘Do’a dan Wirid mengobati Guna- guna dan Sihir menurut Al- Qur’an dan Sunnah oleh Penulis (#Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas). Penerbit Pustaka Imam asy- Syafi’i). Walloohu a'lamu.


Sumber: “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah”. Hal. 468- 470. Bab 58:Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Melarang Nusyrah. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Bogor.



Selasa, 09 November 2010

“Mungkin saja saudaraku punya Alasan yang aku tidak mengetahuinya”

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Hai orang- orang yang beriman, jauhilah banyak PRASANGKA, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu MENCARI- CARI KESALAHAN orang lain”. (QS. Al- Hujuraat: 12).

Dalam ayat yang mulia ini terdapat perintah untuk menjauhi sikap suka mengumbar prasangka, karena sebagiannya adalah dosa, dan larangan mencari- cari kesalahan orang lain, yaitu mengorek- ngorek tentang kesalahan orang lain. Hal itu terjadi adalah akibat dari berburuk sangka.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Hindarilah sikap suka mengumbar prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta. Dan janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi tentang kejelekan dan mencari- cari kesalahan orang lain, jangan pula saling DENGKI, saling BENCI, saling MEMUSUHI, jadilah kaian hamba Alloh yang bersaudara”. (HR. al- Bukhori, No. 6064, dan Muslim, No. 2563).

Amirul Mu’minin ‘Umar bin al- Khaththab Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Janganlah kamu berprasangka buruk terhadpa sebuah perkataan yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman, berilah persangkaan yang BAIK. Terlebih lagi bila engkau dapat membawakannya ke arah yang baik”. (Disebutkan oleh Ibnu Katsir Rahimahulloh dalam tafsir surat Al- Hujuraat).

Bakr bin ‘Abdulloh al- Muzani Rahimahulloh berkata, sebagaimana yang terdapat dalam biografinya dalam kitab At- Tahdzibut Tahdziib,

“Hati- hatilah kamu terhadap perkataan, kalaupun kamu di pihak yang benar, kamu tidak diberi pahala. Dan jika kamu di pihak yang salah kamu memikul dosanya, yaitu BERBURUK SANGKA terhadap saudaramu”.

Abu Qilabah ‘Abdulloh bin Zaid al- Jurmi Rahimahulloh sebagaimana dalam kitab al- Hilyah karangan Abu Nu’aim (2/ 285) mengatakan,

“Bila sampai kepadamu sesuatu yang kamu benci dari saudaramu, maka BERUSAHALAH untuk MENCARIKAN ALASAN untuknya, jika kamu tidak menemukan alasan untuknya, maka katakanlah dalam haimu, “MUNGKIN SAJA SAUDARAKU PUNYA ALASAN YANG AKU TIDAK MENGETAHUINYA”.

Sufyan bin Husain Rahimahulloh berkata,

“Aku menyebut kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyah, maka ia menatap wajahku dan berkata, ‘Apakah engkau ikut berperang melawan Romawi?’, Aku jawab, “Tidak”, Ia bertanya lagi melawan Sind, India, dan Turki..? Aku jawab, “Tidak”, Ia berkata lagi, ‘Apakah orang- orang Romawi, Sind, India, dan Turki merasa aman darimu, namun saudaramu sesama Muslim tidak merasa aman darimu..?”.
Sufyan bin Husain Rahimahulloh berkata, “Aku tidak mengulanginya lagi sesudah itu”. (Silahkan lihat al= bidayah Wan Nihayah, karangan Ibnu Katsir Rahimahulloh, 13/ 121).

Alangkah bagusnya jawaban Iyas bin Mu’awiyah tersebut yang sangat terkenal dengan kecerdasannya. Jawaban di atas adalah salah satu bukti dari kecerdasannya.

Abu Hatim bin Hibban al- Busti Rahimahulloh berkata dalam Kitabnya Raudhatul ‘Uqala’ halaman 131,

“Orang yang punya akal, seharusnya terhindar dari sikap suka mencari- cari tentang kejelekan (aib) orang lain. Hendaklah ia sibuk memperbaiki kejelekannya diri sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk dengan kejelekannya sendiri dari pada mencari- cari kejelekan orang lain, badannya akan tenteram dan jiwanya akan tenang. Setiap kali ia melihat kejelekan dirinya akan terasa ringan dalam pandangannya ketika ia melihat kejelekan tersebut pada saudaranya. Sesungguhnya orang yang sibuk dengan kejelekan orang lain dari memperhatikan kejelekan dirinya, hatinya akan buta, badannya akan letih, dan akan sulit baginya untuk meninggalkan kejelekan dirinya sendiri”.

Ia (Ibnu Hibban) berkata lagi masih dalam kitab tersebut halaman 133,

“Mencari- cari kejelekan orang lain adalah salah satu cabang dari sifat kemunafikan. Sebagaimana halnya berbaik sangka adalah salah satu dari cabang keimanan, orang yang berakal sehat akan selalu berbaik sangka terhadap saudaranya, dan menyendiri dengan membawa kesusahan dan kesedihannya. Orang yang jahil akan selalu berburuk sangka dengan saudaranya dan tidak mau berpikir tentang kesalahan dan penderitaannya”.

Sumber: “Lembutnya Dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah”. Hal. 45- 49. Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al- ‘Abbad. Pustaka Darul Ilmi. Bogor.


Keutamaan Ilmu (Dien/ Syar’i) dan Penuntutnya.

Keutamaan Ilmu (Dien/ Syar’i) dan Penuntutnya.

Banyak terdapat ayat- ayat dalam kitab Alloh ‘Azza Wa Jalla yang menerangkan tentang kemuliaan Ilmu dan keutamaan penuntut Ilmu begitu juga dalam hadits- hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Alloh dan para Malaikat serta orang- orang Yang berilmu menyatakan bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia (Alloh)”. (QS. Ali Imran: 18). *Yaitu ketika Alloh Ta’ala menjadikan persaksian orang yang berilmu serangkai dengan persaksian Alloh ‘Azza Wa Jalla dan para Malaikat.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman,

“Katakanlah, “Apakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang- orang yang tidak mengetahui”. (QS. Az- Zumar: 9).

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman,

“Alloh meninggikan derajat orang- orang yang beriman di antara kalian dan orang- orang yang berilmu dengan beberapa derajat”. (QS. Al- Mujadilah: 11).

Alloh ‘Azza Wa Jalla berfirman,

WA QUL ROBBI ZIDNII ‘ILMAA...
“Dan katakanlah, “Ya Rabb- ku tambahlah Ilmuku”.” (QS. Thoha: 114).

Adapun hadits- hadits yang menerangkan tentang keutamaan Ilmu dan Penuntutnya, di antaranya adalah Sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Barangsiapa yang dikehendaki Alloh untuknya kebaikan, Alloh menjadikannya orang yang paham tentang Agama”. (Hadits ini diriwayatkan oleh al- Bukhori No. 71, dan Muslim No. 1037).

Hadits ini menunjukkan bahwa di antaranya tanda Alloh Ta’ala menghendaki kebaikan bagi seorang hamba adalah bahwa Alloh Ta’ala menjadikannya seorang yang paham tentang agama, karena dengan pemahamannya tentang agama ia akan beribadah kepada Alloh Ta’ala dengan hujjah yang nyata dan mendakwahi orang lain dengan hujjah yang nyata pula.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Sebaik- baik kamu adalah orang yang mempelajari Al- Qur’an dan mengajarkannya”. (Diriwayatkan oleh al- Bukhori, No. 5027).

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Sesungguhnya Alloh mengangkat dengan kitab ini (Al- Qur’an) beberapa kaum dan merendahkan yang lainnya”. (Diriwayatkan oleh Muslim, No. 817).

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Alloh menjanjikan kenikmatan untuk seseorang yang mendengar perkataanku, lalu ia menghafalnya dan menyampaikannya seperti yang ia dengar”.

Ini adalah hadits yang mutawatir yang diriwayatkan lebih dari dua puluh orang shahabat, aku (Syaikh Abdurrazzaq) telah menyebutkan riwayat- riwayat mereka dalam kitab “Dirasah Hadits Riwayah Wa Dirayah”.



Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari Ilmu, niscaya Alloh memasukkannya kepada salah satu jalan dari jalan- jalan menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya dengan penuh keridhoan untuk penuntut Ilmu. Sesungguhnya penghuni Langit dan Bumi sampai Ikan dalam air memohonkan ampun untuk seorang ‘Alim. Sesungguhnya keutamaan seorang ‘alim atas seorang ahli ibadah sepeerti keutamaan cahaya bulan purnama atas cahaya bintang- bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak meninggalkan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya sesungguhnya ia telah mendapatkan warisan tersebut dengan bagian yang banyak”.

Hadits ini Diriwayatkan oleh Abu Dawud, No. 3628, dan lainnya, silahkan lihat takhrijnya dalah Shahih at- targhiib wat Tarhiib, No. 70 dan Ta’liq Musnad Imam Ahmad, No. 21715, Ibnu Rajab telah mensyarahnya dalam sebuah tulisannya. Potongan pertama dari hadits ini terdapat dalam Shahih Imam Muslim, No. 2699.

Para ulama berbeda pendapat, apa yang dimaksud dengan “Malaikat meletakkan sayap mereka” tersebut, ada yang berpendapat, “Malaikat meletakkan sayapnya sebagai hamparan tempat berjalan bagi penuntut ilmu”, ada yang berpendapat, “Mereka bertawadhu’ di hadapan penuntut Ilmu|”, ada yang berpendapat, “Mereka berhenti dari melakukan perjalanan ketika menemukan majelis penuntut Ilmu”, ada yang berpendapat, “Mereka menaungi para penuntut Ilmu dengan sayap mereka”.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Apabila seorang manusia meninggal terputus darinya segala amalannya, kecuali tiga perkara, yaitu Shodaqoh Jariyah, atau Ilmu yang bermanfaat, atau anak yang Shaleh yang mendo’akannya”. (Hadits ini diriwayatkan oleh imam Muslim, No. 1631).

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, ia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka”. (Diriwayatkan oleh Muslim, No. 2674).

Semoga Alloh mengumpulkan kita semua di atas kebenaran dan petunjuk, dan menyelamatkan kita semua dari berbagai fitnah baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya Alloh Maha Penolong di atas segalanya dan Maha Kuasa atasnya. Wallohu A’lamu.

Sumber: Sumber: “Lembutnya Dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah”. Hal. 100- 111. Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al- ‘Abbad. Pustaka Darul Ilmi. Bogor.


Senin, 08 November 2010

Sesungguhnya Besarnya ganjaran/ pahala tergantung pada besarnya cobaan.

Sesungguhnya Besarnya ganjaran/ pahala tergantung pada besarnya cobaan.

At- Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Shahabat Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu, Dia mengatakan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,


“Sesungguhnya besarnya ganjaran/ pahala tergantung pada besarnya cobaan. Dan sesungguhnya jika Alloh mencintai sebuah kaum, maka Dia menguji mereka. Barangsiapa ridho maka baginya ridho- Nya, dan barangsiapa marah, maka baginya kemurkaan- Nya”. (Shahiih al- Jami’ish Shaghiir No. 2110).


Ketika terjadi cobaan, maka seorang muslim wajib beristirja’ (mengucap, ‘Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilaihi Rooji’uun) dan memuji Alloh karena Dia tidak memberinya ujian yang lebih berat. Hendaklah ia ingat bahwa jika ia bersabar, maka segala musibah yang menimpanya adalah PENGHAPUS DOSA dan MENGANGKAT DERAJAT nya. Alloh Ta’ala berfirman,


“Dan apa saja yang menimpamu maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Alloh memaafkan sebagian besar (dari kesalahan- kesalahanmu)”. (QS. Asy- Syuuraa: 30).

Yang juga ia harus camkan adalah bahwa menghadapinya dengan kemurkaan tidak akan pernah mendatangkan manfaat baginya, bahkan malah mengundang murka Alloh. Sedangkan bila ia menghadapi ujian dan cobaan tadi dengan penuh kesabaran, niscaya ia akan mendapat pahala dan Alloh akan menggantinya dengan yang lebih baik daripada apa yang hilang atau luput darinya yang sebelumnya ia perkirakan akan membawa maslahat baginya. Hendaknya ia juga mengingat firman Alloh Ta’ala,



“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Alloh mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al- Baqoroh: 216).

Begitu pula dengan sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,


"Sungguh mengagumkan perkara orang mukmin, Sesungguhnya semua perkaranya adalah mengagumkan. Tidaklah perkara itu ada pada seseorang melainkan hanya pada orang mukmin saja. Jika ia mendapat kebahagiaan, dia bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya. Dan jika ia mendapatkan musibah, dia bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”. (HR. Muslim dan yang lain, Shahiih al- Jami’ush Shaghiir, No. 3980).



Imam Muslim dalam Kitab Shahiih- nya meriwayatkan dari Ummu Salamah Radhialloohu 'Anha, Ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,



“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu musibah kemudian ia mengucapkan untaian do’a yang telah diperintahkan oleh Alloh, “ALLOOHUMMA-JURNII FII MUSHIIBATII WA AKHLIFLII KHOIRON MINHAA”

Sesungguhnya kami adalah milik Alloh dan sesungguhnya kepada- Nya lah kami akan kembali, Ya Alloh, berilah hamba pahala atas mushibah yang menimpaku, dan berilah hamba ganti yang lebih baik daripadanya”, Melainkan Alloh memberinya ganti yang lebih baik daripadanya”. (Shahiih Muslim, Syarh an-Nawawi (VI/ 474)).

Sumber: ‘Ensiklopedi Larangan: hal. 161- 164. Muhammad Basyir ath- Thahlawi. Media Tarbiyah.



Jumat, 05 November 2010

Larangan Taqlid dan Wajibnya Ittiba'

Larangan Taqlid dan Wajibnya Ittiba' :
Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’

Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (Wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. (I’lamul Muwaqqi’in, 2/171). Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Adapun Taklid adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh al- Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad (Jami’ Bayanil Ilmi Wa Ahlihi, 2/ 993, I’lamul Muwaqqi’in, 2/ 178). Ada juga yang mengatakan taklid adalah mengikuti perkataan oranglain tanpa mengetahui dalilnya. (Mudzakkiroh Ushul Fiqh, hal. 314).

Di antara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taklid dan ittiba’ adalah larangan para imam dari taklid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’.

Al- Imam Abu Hanifah Rahimahulloh berkata, “Tidak halal atas seorang pun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”. Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”. (Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyah nya atas Bahru Raiq, 6/ 293, dan Sya’rony dalam al- Mizan, 1/ 55).

Al- Imam Malik Rahimahulloh berkata, “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan (bisa) keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam al- Jami’, 2/ 32).

Al- Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh berkata, “Jika kalian menjumpai Sunnah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ittiba’ lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 9/ 107 dengan sanad yang shahih).

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits Shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam lebih utama untuk diikuti, janganlah kalian taklid kepadaku. (Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Adab Syafi’i hal. 93 dengan sanad Shahih).

Al- Imam Ahmad Rahimahulloh berkata, “Janganlah engkau taklid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Shahabatnya ambillah”. Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Shahabatnya”. (Masail al- Imam Ahmad, oleh Abu Dawud hal. 276- 277).


Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan- Nya seandainya Musa ‘Alaihis Salam hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku”. (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya, 6/ 113, Ibnu ...Abi Syaibah dalam Mushannafnya, 9/ 47, Ahmad dalam Mushannafnya, 3/ 387, dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi, 2/ 805, Syaikh al- Albani berkata dalam Irwa’ul Ghalil, 6/ 34: Hadits hasan).

Syaikh al- Albani rahimahulloh berkata, “Jika saja Musa Kalimulloh tidak boleh Ittiba’ kecuali kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bagaimana dengan yang lainnya..? Hadits ini merupakan dalil yang qoth’i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hal Ittiba’, dan ini merupakan keharusn Syahadat MUHAMMADAN RASUULULLOOH. Karena itulah Alloh sebutkan dalam QS. Ali Imran: 31, “Katakanlah: “Jika kamu (benar- benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu”. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Bahwa Ittiba’ kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bukan kepada yang lainnya, adalah dalil Kecintaan Alloh kepadanya. (Muqaddimah Bidayatussul Fii Tafdhili Rosul, hal 5-6).

Al- Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan, “Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku, dan jika kebenaran bersamanya, maka aku ittiba’ kepadanya”. (Qowa’idul Ahkam Fii Mashalihil Anam, oleh al- ‘Izz bin Abdussalam, 2/ 136).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata, “Barangsiapa yang ta’ashub kepada seseorang dia kedudukannya seperti orang- orang Rofidhoh yang ta’ashub kepada salah seorang shahabat, dan seperti orang- orang Khowarij. Ini adalah jalan ahli bid’ah dan ahwa’ yang mereka keluar dari syari’at dengan kesepakatan umat dan dan menurut Kitab dan Sunnah..yang wajib kepada semua makhluk adalah ITTIBA’ KEPADA SEORANG YANG MA’SHUM (yaitu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ) yang mengucap bukan dari hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya”. (Mukhtashar Fatawa Mishriyyah, hal. 46- 47, Lihat Kitab al- Iqna’ Bima Ja’a A’immati Da’wah Minal –Aqwal Fil Ittiba’ oleh Syaikh Muhammad bin Hadi al- Madkholi).

Al- Imam Ibnu Abil ‘Iz al- Hanafi Rahimahulloh berkata, “UMAT INI TELAH SEPAKAT BAHWA TIDAK WAJIB TAAT KEPADA SEORANGPUN DALAM SEGALA SESUATU KECUALI KEPADA RASULULLOH SHALLALLAAHU 'ALAIHI WA SALLAM... maka barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya maka seperti orang yang ta’ashub kepada seorang Shahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang- orang Rafidhah yang ta’ashub kepada ‘Ali Radhialloohu 'Anhu dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. Ini adalah jalannya Ahlul Hawa’. (al- Ittiba’ cetakan ke.2, hal. 80).

Sumber: ‘Sudah Benarkah Sholat Kita: Bab ‘ Antara Taklid dan Ittiba’”. Hal. 8- 13. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu Publisher. Gresik.

Keutamaan Sholat- Sholat Sunnah.

Keutamaan Sholat- Sholat Sunnah.

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu dia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari manusia pada hari Kiamat dari amalan- amalan mereka adalah Sholat. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Rabb kami ‘Azza Wa Jalla berfirman kepada para Malaikat –dalam keadaan dia paling tahu-

“LIHATLAH KEPADA SHOLATNYA HAMBA- KU APAKAH SEMPURNA ATAU KURANG, JIKA SEMPURNA MAKA TULISLAH KESEMPURNAAN PADA AMALAN- AMALANNYA”. Dan jika kurang maka Alloh berfirman, “LIHATLAH APAKAH HAMBA- KU MEMILIKI AMALAN- AMALAN SUNNAH” jika ia memiliki amalan- amalan Sunnah maka Alloh berfirman,

“SEMPURNAKAN BAGI HAMBA- KU AMALAN- AMALAN WAJIBNYA DARI AMALAN- AMALAN SUNNAHNYA KEMUDIAN AMBILLAH AMALAN- AMALAN ATAS (KAIFIYAT) INI”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan nya 1/ 229, Ibnu Majah dalam Sunan nya 1/ 458, Nasa-i dalam Sunan nya 1/ 323, dan Tirmidzi dalam Jami’ nya 2/ 269, dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahiihul Jaami’ No. 2020.

Sholat- sholat sunnah memiliki banyak hikmah- hikmah dan keutamaan- keutamaan yang agung di antaranya,

1. Alloh akan membangunkan rumah bagi pelakunya di Surga sebagaimana hadits Ummu Habibah Radhialloohu 'Anha bahwasanya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak ada seorang hamba muslim yang sholat untuk Alloh di setiap harinya 12 rokaat yang sunnah melainkan Alloh akan membangunkan baginya rumah di Surga”. (HR. Muslim).

2. Alloh mengharamkan Neraka atas pelakunya sebagaimana dalam hadits Ummu Habibah Radhialloohu 'Anha bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang selalu mengamalkan empat roka’at sebelum Dzuhur dan empat roka’at sesudahnya maka Alloh mengharamkan Neraka atasnya”. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa-i, dan Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahih Targhib 1/ 310).

3. Dua roka’at sebelum Shubuh lebih baik daripada dunia dan seisinya sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Dua rokaat Fajar lebih baik daripada Dunia dan Seisinya”. (Hadits Riwayat Muslim).

4. Menjadi sebab turunnya Rahmat Alloh ‘Azza Wa Jalla sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar Radhialloohu 'Anhuma bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Semoga Alloh merahmati orang yang sholat empat roka’at sebelum Sholat Ashar”. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahih Targhib: 1/312).


5. Alloh memuji dalam Kitab- Nya orang- orang yang sholat sunnah antara Maghrib dan ‘Isya sebagaimana dalam hadits Anas bahwasanya firman Alloh Ta’ala,

“Lambung mereka jauh dari tempat tidur mereka”. (QS. As- Sajdah [32]: 16) turun pada sholat antara Maghrib dan ‘Isya (Hadits Riwayat Abu Dawud, dan Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahih Targhib 1/ 313).

6. Sholat Witir di akhir malam disaksikan oleh para Malaikat sebagaimana dalam hadits Jabir bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya sholat di akhir malam disaksikan (oleh para Malaikat)” (Hadits Riwayat Muslim).

7. Alloh memberikan sebuah kamar di Surga yang nampak dalamnya dari luarnya, dan nampak luarnya dari dalamnya bagi orang yang Sholat Malam sebagaimana dalam hadits Abu Malik al- Asy’ari bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Di Surga ada sebuah kamar yang nampak dalamnya dari luarnya dan nampak luarnya dari dalamnya”. Abu malik berkata, “Bagi siapa kamar itu Wahai Rasululloh..?” Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Bagi orang yang BAIK UCAPANNYA, MEMBERI MAKAN, dan SHOLAT MALAM KETIKA MANUSIA SEDANG TIDUR”. (Hadits Riwayat Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahih Targhib 1/ 326).

8. Sholat malam adalah penghapus kejelekan- kejelekan sebagaimana dalam hadits Abu Umamah bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Hendaknya kalian melakukan sholat malam karena dia adalah kebiasaan orang- orangsholih sebelum kalian, kurbah (untuk mendekatkan diri) kepada Rabb kalian, penghapus kejelekan- kejelekan, dan menjauhkan dari dosa”. (Hadits Riwayat Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahih Targhib 1/ 328).

Sumber: ‘Sudah Benarkah Sholat Kita”. Hal. 117- 120. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu Publisher. Gresik.

Rabu, 03 November 2010

MANA YANG LEBIH BAIK, KAMBING ATAUKAH SAPI..?

MANA YANG LEBIH BAIK, KAMBING ATAUKAH SAPI..? [Fataawaa al- Lajnatid Daaimah Lil Buhuutsil Ilmiyah Wal Iftaa’, 11/ 398]

Soal: Mana yang lebih baik untuk berkurban, Kambing ataukah Sapi..?
Jawab: Hewan kurban terbaik pertama adalah UNTA, kemudian kedua SAPI lalu ketiga KAMBING dan setelah itu yang keempat berserikat pada unta atau SAPI (maksudnya beberapa orang- maksimal tujuh orang- iuran untuk membeli unta atau Sapi untuk dikurbankan.Red). Berdasarkan sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tentang hari Jum’at:

“Barangsiapa yang berangkat (Sholat Jum’at) pada jam pertama, maka seakan- akan dia mengurbankan UNTA, barangsiapa yang berangkat pada jam kedua, maka seakan- akan dia berkurban dengan SAPI, barangsiapa berangkat pada jam ketiga, maka seakan- akan dia berkurban dengan KAMBING JANTAN, barangsiapa yang berangkat pada jam keempat, maka seakan- akan dia berkurban dengan AYAM, barangsiapa yang berangkat pada jam kelima, maka seakan- akan dia berkurban dengan TELUR”.

Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam al- Muwattha’, 1/ 101; Imam Ahmad, 2/ 460; Imam Bukhori No. 881; Imam Muslim No. 850; Abu Dawud No. 351; Imam Tirmidzi No. 499, Imam Nasa’i 3/ 99, Kitaabul Jum’ah bab Waktil Jum’ah; Ibnu Hibban No. 2775, dan al- Baghawi dalam Syarhus Sunnah 4/ 234, no. 1063.

Sisi pendalilannya yaitu ada perbedaan nilai antara beribadah kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala denganmengurbankan unta, sapi, dan kambing. Tidak diragukan lagi bahwa ibadah kurban termasuk ibadah yang agung kepada Alloh Ta’ala, penyebab lainna (kenapa UNTA lebih utama), karena unta itu lebih MAHAL, lebih BANYAK DAGING nya, dan lebih BANYAK MANFAAT nya. Inilah pendapat tiga Imam Yaitu Imam Abu Hanifah Rahimahulloh, Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh, dan Imam Ahmad Rahimahulloh




Imam Malik Rahimahulloh mengatakan, “Hewan terbaik (untuk berkurban) adalah Kambing, kemudian Sapi lalu Unta. Karena Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkurban dengan dua kambing dan beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak melakukan sesuatu kecuali yang baik”.

Menjawab pendapat ini, kami mengatakan, “Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam terkadang tidak memilih yang terbaik. Karena RASA SAYANG beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada umatnya, sebab umat beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam akan mengikuti perbuatan beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak ingin memberatkan umatnya. Juga beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam sudah menjelaskan keunggulan unta dibandingkan Sapi dan Kambing sebagaimana hadits di atas. Walloohu a’lamu.

Al- Lajnatud Daaimah Lil Buhuutsil Ilmiyah Wal Iftaa’. Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz. Wakil Ketua: Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Syaikh Abdulloh Ghaydan dan Syaikh Abdulloh Mani’.
Sumber: “Majalah As- Sunnah” Rubrik Soal- Jawab. Hal. 49-50. Edisi 06/thn.XIV. DzulQa’dah.1431H. Oktober 2010M.