Senin, 23 April 2012

Sekapur Sirih Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah

Allah 'Azza Wa Jalla Wa Jalla mewajibkan kepada hamba- hamba- Nya bekerja untuk mencari rezeki supaya mereka bisa menjadikannya sebagai pendorong untuk melaksanakan ketaatan kepada- Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman,

“..Dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allh banyak- banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al- Jumu’ah [62]: 10).

Di sini Allah menjadikan bekerja itu sebagai sebab terlaksananya Ibadah. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala juga memberitahukan tentagn bagaimana manusia, dan kecintaannya terhadap harta. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta”. (QS. Al- ‘Adiyaat [100]: 8).

Allah juga memerintahkan hamba- hamba- Nya untuk mencari rezeki setelah selesai melaksanakan sebuah kewajiban agung, yaitu Sholat Jum’at dengan firman- Nya:

“..Maka bertebaranlah kamu di muka Bumi, dan carilah karunia Allah”. (QS. Al- Jumu’ah [62]: 10).



Imam al- Baghawi Rahimahullah berkata, “Maksudnya, apabila Sholat sudah usai, menyebarlah kalian di muka Bumi untuk berdagang serta bekerja untuk kebutuhan- kebutuhan kalian”. (Muhktashar Tafsir al- Baghawi (II/ 945).

Dikisahkan bahwa Shahabat Urrak bin Malik Radhiyallahu 'Anhu apabila telah selesai melaksanakan Sholat Jum’at, ia keluar kemudian berdiri di pintu masjid, dan mengucapkan,

“Ya Allah, Sesungguhnya telah ku penuhi panggilan- Mu serta telah ku kerjakan kewajiban sholat dari- Mu dan aku menyebar di Bumi sebagaimana yang Engkau perintahkan, maka berilah aku rezeki dari keutamaan- Mu. Dan Engkaulah sebaik- baik pemberi Rezeki”. (Tafsir Ibnu Katsir (IV/ 471)).

Islam menganjurkan kepada para pengikutnya untuk bekerja, dan berusaha. Jadi Islam sendiri merupakan agama yang memerintahkan untuk bekerja, aktif, dan melakukan Usaha di muka Bumi serta memakmurkannya. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sungguh Salah seorang dari kalian yang mengambil seutas tali kemudian ia ikat kayu bakar pada punggungnya, itu lebih baik daripada ia mendatangi orang yang Allah beri karunia- Nya kemudian meminta kepadanya, baik (permintaan itu) diterima atau ditolak”. (Muttafaqun ‘Alaih).

Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam pun telah memuji harta yang baik dan dipegang oleh tangan hamba yang Shalih, beliau Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

"Sebaik- baik harta yang bagus adalah yang dimiliki oleh seorang hamba yang shalih”. (HR. Tirmidzi)

Kenikmatan dunia itu sendiri sebenarnya tidak tercela, ia tercela tak lain karena kemasyiatan, dosa- dosa, serta perbuatan memakan harta haram yang terdapat di dalamnya. Jadi dunia yang diharamkan adalah yang memalingkan dari agama dan dihimpun dari barang yang haram. Artinya engkau mengumpulkannya dari yang haram serta menggunakannya pada sesuatu yang haram.

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Dunia itu milik empat orang, Seseorang yang mengumpulkan harta dari yang halal, kemudian menginfakkan sesuai hak-nya. Inilah derajat tertinggi. Kemudian seseorang yang mengumpulkan harta bukan dari yang halal, kemudian membelanjakannya pada hak-nya. Ini lah seburuk- buruk derajat…… “ (HR. Tirmidzi).

Bekerja dan berusaha menjadi kewajiban bagi mereka yang sudah mempunyai keluarga atau sudah memiliki tanggung jawab. Islam telah menjadikan sikap menyia- nyiakan hak isteri, anak- anak, serta kedua orang tua termasuk dalam kategori dosa- dosa besar.

Dari Wahb bin Jabir ia berkata, “Aku pernah menyaksikan Abdullah bin Amru Ibnul Ash di Baitul Muqaddas didatangi oleh salah seorang pembantunya, ia berkata, “Bulan ini saya ingin tinggal di sini” – saat itu bulan Ramadhan- Abdullah berkata, “Sudahkah engkau tinggalkan kebutuhan pokok untuk keluargamu? Ia menjawab, “Belum”. Beliau berkata, “Kalau begitu jangan, pulanglah engkau, tinggalilah kebutuhan yang mencukupi mereka, sebab aku pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia- nyiakan orang yang menjadi tanggungannya”. (HR. Abu Dawud).

Dan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'Anhuma berkata,

“Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam apabila melihat seseorang kemudian merasa kagum kepadanya, beliau bertanya, “Apakah ia memiliki profesi?” jika orang- orang menjawab, ‘Tidak’, lelaki itu jatuh (hina) di mata beliau. Ada yang bertanya, “Bagaimana bisa begitu wahai Rasulullah?’ beliau bersabda, “Sebab seorang mungkin apabila tidak memiliki profesi, ia akan hidup dengan mengandalkan hutangnya”. (Kitaabul Jaami' (I/ 34)).

Perlu dicatat bahwa seorang muslim itu mendapatkan pahala dari nafkah yang ia berikan kepada keluarganya. Sebagaimana Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, serta satu dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu, yang paling besar adalah yang engkau belanjakan untuk keluargamu”. (HR. Muslim).

Harta jika dikelola oleh seorang muslim akan menjadi sarana menghantarkan kepada kehidupan yang mulia di dunia dan kebahagiaan di kampong akhirat.

Sa’id bin Musayyib Rahimahullah berkata,

“Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mau mengumpulkan harta dari sumbernya yang halal, kemudian ia bisa memberi, menuntut haknya yang sesuai serta menutup wajah dari meminta- minta kepada manusia”. (as- Siyaar (IV/ 238)).

Ali Ibnul Fudhail berkata, “Aku mendengar ayahku berkata kepada Ibnul Mubarak Rahimahullah, “Anda menyuruh kami untuk Zuhud, hidup sederhana dan sekedarnya saja, sementara kami melihat anda mendatangkan barang- barang dagangan dari Negeri Khurasan menuju tanah haram, bagaimana ini?” Ibnul Mubarak menjawab, “Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan hal itu untuk menjaga wajahku, memuliakan kehormatanku, serta membantuku untuk berbuat taat kepada Rabb- ku”. (as- Siyaar (VII/ 277)).

Agama Islam adalah agama Tawakkal, bukan Tawaakul (Sikap Mengandalkan Orang).

Umar Radhiyallahu 'Anhu berkata,

“Janganlah kalian duduk saja, tidak mencari rezeki, sembari mengucapkan, “Ya Allah, berilah aku Rezeki”,.bukankah kalian sudah mengerti bahwa langit tidak akan mengucurkan hujan emas dan perak?!” (al- Ihya’ (II/ 71)).

Muhammad bin Munkadir berkata dalam sebuah ungkapannya yang Indah perihal harta, “Sebaik- baik Sesuatu yang membantu untuk bertakwa kepada Allah 'Azza Wa Jalla Wa Jalla adalah kekayaan”. (Hilyatul Auliyaa’ (II/ 149)).

Zuhud terhadap dunia bukanlah dengan cara meninggalkan harta sama sekali atau menghambur-hamburkannya begitu saja semaunya secara beruntun dan sesuai kehendak hati. Tetapi zuhud terhadap dunia adalah meninggalkan dunia karena tahu betapa remehnya ia jika dibandingkan dengan mahalnya akhirat. Dan siapa yang tahu bahwa dunia itu ibarat Es yang akan mencair sementara akhirat ibarat batu mutiara yang abadi, maka akan semakin menguatkan keinginannya untuk menjual dunia ini dengan mutiara abadi. (Minhaajul Qaashidiin, Hal. 355)).

Imam Ibnu Qudamah berkata dalam keterangan beliau yang begitu rinci ketika berbicara mengenai keadaan pencari dunia,

“Telah kami terangkan sebelumnya bahwa harta itu secara dzatnya tidaklah tercela, bahkan sepatutnya dipuji. Sebab harta merupakan sarana untuk menggapai kemaslahatan agama dan dunia.

Allah Subhaanahu Wa Ta'ala sendiri menyebutnya sebagai sebuah kebaikan dan harta itulah yang menjadi penopang hidup manusia. Allah 'Azza Wa Jalla Wa Jalla berfirman pada permulaan Surat An- Nisaa’,

"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang- orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu),..” (QS- An- Nisaa’ [4]: 5)).

Abu Ishaq as- Subai’I berkata, “Mereka (maksud beliau mungkin adalah para Shahabat Radhiyallahu 'Anhum, red) menganggap bahwa kelapangan hidup merupakan sarana untuk membantu merealisasikan ajaran Diin (agama,-ed).

Sufyan berkata, “Harta di zaman kita sekarang ini adalah senjata orangn- orang mukmin”.

Kesimpulannya, Harta itu ibarat seekor ular, di sana ada bisanya, tapi di sana juga ada obat penawarnya. Obat penawar itulah faedahnya, sementara hal- hal yang merusak itulah racun bisa- nya. Maka siapa yang mengerti mana faedahnya, ia akan bisa melindungi diri dari keganasannya serta mengambil kebaikannya. (Mukhtashar Minhaajul Qaashidiin, hal. 214)). Wallaahu a’lam.

Sumber: “Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah”. Hal. 7- 19. Penulis: Abdul Malik al- Qasim. Pustaka al- Qowam. Surakarta.