Minggu, 27 Maret 2011

Do’a ‘Ulbah bin Zaid Radhialloohu 'Anhu Sebagai Sedekah yang Diterima.

Do’a ‘Ulbah bin Zaid Radhialloohu 'Anhu Sebagai Sedekah yang Diterima.

Pada tahun 9H Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengumumkan kepada para Shahabat Radhialloohu 'Anhum untuk pergi berperang melawan Romawi di Tabuk. Saat itu kota Madinah sedang dilanda musim paceklik dan musim kemarau yang panas. Setelah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam selesai mengumumkan seruan perang, maka satu persatu Shahabat datang kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Di antara mereka ada yang mendaftarkan dirinya guna mengikuti peperangan, sedangkan sebagian yang lain datang dengan membawa sedekah dari harta yang mereka punya.

Sebagian besar Shahabat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam adalah orang- orang yang tidak punya atau miskin. Meski begitu, mereka tetap bersemangat tinggi untuk mengikuti pertempuran yang diserukan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam di bumi seberang. Tujuh (7) shahabat yang tergolong miskin saat itu mendatangi Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam untuk mendaftarkan diri menjadi calon tentara di medan perang. Besar harapan mereka untuk ikut serta dalam pertempuran ini, walaupun mereka tidak punya harta untuk bekal.

Akan tetapi mereka harus bersedih karena keadaan mereka tidak memungkinkan untuk membawa mereka berperang, karena Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak mempunyai bekal lagi untuk keberangkatan mereka.

Ulbah bin Zaid Radhialloohu 'Anhu adalah salah seorang shahabat yang sangat bersedih karena tidak diizinkan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam untuk ikut berperang. Beliau sangat sedih melihat para shahabat yang lain datang membawa sedekahnya masing- masing kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam sedangkan dirinya tidak mampu berbuat apa- apa. Jangankan untuk disedekahkan, untuk makan sendiri pun ia tidak punya. Akhirnya Ulbah kembali dengan menahan air mata yang makin lama makin tak kuasa untuk dibendung.

Pada malam harinya, Ulbah bangun untuk mengerjakan Sholat malam, mengadukan keadaannya kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala Yang Maha Kuasa. Beliau sholat dengan sangat panjang dan khusyu’. Beliau tumpahkan air matanya saat itu, mengadu di hadapan Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala. Beliau Radhialloohu 'Anhu berdo’a:

“Ya Alloh, Sesungguhnya Engkau memerintahkanku untuk berjihad, dan menjanjikan pahala di dalamnya. Namun Engkau belum berkenan memberikan harta yang bisa kugunakan untuk bekal. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga tidak bisa menemukan bekal untuk memberangkatkanku pergi berjihad. Maka sekarang, aku akan menyedekahkan untuk setiap muslim yang berangkat ke medan jihad, dengan segala kedzoliman yang telah aku terima dari semua orang yang telah mendzolimiku, pada hartaku, badanku, atau kehormatanku...”

Inilah do’a yang dipanjatkan oleh Ulbah bin Zaid Radhialloohu 'Anhu yang fakir dan tidak berdaya dalam do’a beliau.

Maka pada keesokan harinya, beliau berkumpul bersama para shahabat yang lain. Tiba- tiba Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bertanya, “Siapa yang telah bersedekah tadi malam?” akan tetapi tidak ada yang merasa telah bersedekah. Kemudian beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ulangi pertanyaan yang serupa, “Siapa yang bersedekah? Ayo berdiri!” lantas berdirilah Ulbah bin Zaid Radhialloohu 'Anhu dan menceritakan kejadian tadi malam, kemudian Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Berbahagialah, Sungguh demi jiwaku yang berada di Tangan- Nya, sedekah itu telah dicatat dalam sedekah yang diterima oleh Alloh ‘Azza Wa Jalla”.

Subhanalloh, walaupun tidak mempunyai apa- apa, Ulbah bin Zaid Radhialloohu 'Anhu tidak berkecil hati untuk berusaha membantu saudaranya dalam membela agama Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala dengan menyedekahkan do’a yang tulus kepada mereka. Wallohu a’lam. (al- Bidayah Wan Nihayah VII/ 151- 152).


Sumber: Majalah Tarjim- Suplemen Majalah al- mawaddah. Edisi khusus Dzulhijjah 1431H- Muharrom 1432H. Hal.13- 15. Kisah Shahabat.

Sabtu, 26 Maret 2011

Abu Qilabah Rahimahulloh dan Kesabarannya.


BUAH KESABARAN

Abu Qilabah Rahimahulloh adalah seorang Tabi’in yang mulia, akan tetapi kondisinya sangat merenyuhkan hati. Beliau kehilangan kedua kaki dan tangannya, mata dan pendengarannya sudah melemah, tidak ada bagian tubuh yang bermanfaat kecuali lisannya.

Beliau selalu berdo’a, “Ya Alloh, tunjukilah aku untuk memuji- Mu dengan pujian yang sebanding, sebagai rasa syukur atas nikmat dan keutamaan yang Engkau berikan kepadaku”.

Suatu hari Abdulloh bin Muhammad Rahimahulloh bertanya kepadanya, “Mengapa engkau selalu mengulang- ulang do’amu? Sebenarnya nikmat apa yang telah diberikan kepadamu?”, Abu Qilabah berkata, “Tidakkah engkau melihat apa yang diperbuat oleh Rabb- ku? Demi Alloh, andaikan Alloh memerintahkan langit untuk mengirim api dan membakarku, memerintahkan gunung agar menimpaku, dan laut agar menenggelamkanku, tidaklah hal itu kecuali menambah rasa syukurku kepada- Nya karena Dia telah memberi nikmat Lisan ini”.

Abu Qilabah berkata lagi, “Aku punya kebutuhan, sudikah engkau membantuku? Aku ini orang yang lemah, aku punya seorang anak kesayangan yang selalu menemaniku, dia yang mewudhukanku saat tiba waktu sholat. Apabila aku lapar, dia yang memberi makan. Apabila aku haus, dia yang memberi minum. Tetapi sudah tiga (3) hari ini aku kehilangan dia, tolong carikan di mana dia?”, Aku (Abdulloh bin Muhammad_red) berkata, “Sungguh tidak ada pahala yang lebih besar di sisi Alloh daripada orang yang berjalan untuk memenuhi kebutuhanmu”.

Aku mulai berjalan mencari anak tersebut. Baru beberapa meter aku melihat tumpukan bebatuan dan aku dapati anak yang kucari telah dimangsa binatang buas. Melihat itu aku hanya bisa mengucap, “Inna Lillaahi Wa Inna Ilaihi Rooji’uun”.

Sampai di rumah Abu Qilabah aku langsung mengucapkan salam. Abu Qilabah membalasnya, dan berkata, “Bukankah engkau Sahabatku?” Aku menjawab, “Benar”

“Bagaimana kebutuhanku?” tanya Abu Qilabah. Aku berkata, “Engkau lebih mulia di sisi Alloh ataukah Nabi Ayyub ‘Alaihis Salaam yang lebih mulia?”, “Nabi Ayyub ‘Alaihis Salaam yang lebih mulia”, Jawab Abu Qilabah.

Aku bertanya lagi, “Bukankah kita tahu cobaan yang diberikan Alloh kepada Nabi Ayyub ‘Alaihis Salaam? Beliau diuji dalam hartanya, keluarganya, dan anak- anaknya”. “Benar demikian”, Jawab Abu Qilabah.

Aku berkata lagi, “Bagaimana sikap Nabi Ayyub menerima cobaan itu?” Abu Qilabah menjawab, “Dia bersabar, bersyukur, dan selalu memuji Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala”.

Akhirnya dengan berat hati aku berkata, “Sesungguhnya anak kesayanganmu yang engkau cari telah meninggal dimangsa binatang buas. Semoga Alloh memberi kesabaran dan pahala yang besar kepadamu”.

Abu Qilabah menjawab, “Segala Puji Bagi Alloh yang tidak menjadikan satu pun dari keturunanku yang memaksyiati- Nya”. Kemudian abu Qilabah mengucapkan, “Inna Lillaahi Wa Inna Ilaihi Rooji’uun”, Sambil mengeluarkan air matanya.

Tidak lama berselang Abu Qilabah meninggal dunia. Tatkala pemakaman selesai, aku kembali ke rumah. Di waktu malam aku tertidur dan bermimpi melihat Abu Qilabah Rahimahulloh di Surga memakai perhiasan Surga, dia membaca ayat Alloh:

“SALAAMUN ‘ALAIKUM BIMAA SHOBARTUM, FANI’MA ‘UQBA-ADDAARI”

“Keselamatan atasmu karena kesabaranmu, Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu”. (QS. Ar- Ra’du [13]: 24).

Aku bertanya, “Bukankah engkau adalah sahabatku?”, “Benar”

“Bagaimana engkau meraih itu semua?”, Abu Qilabah menjawab,

“Sesungguhnya Alloh mempunyai tingkatan yang tidak bisa diraih kecuali dengan kesabaran ketika tertimpa musibah, bersyukur ketika senang dengan selalu takut kepada Alloh secara tersembunyi maupun terang- terangan” (Kitab ats- Tsiqoot, 5/ 2-5 oleh Ibnu Hibban Rahimahulloh). Wallohu a’lam.

Sumber: ‘Bila Sakit Menyapa”. Hal. 45- 48. Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman al- Atsari. Pustaka al- Furqon. Gresik.

NB: Kisah Nabi Ayyub ‘Alaihis Salaam telah diabadikan di dalam Al- Qur’an, Surat al- Anbiyaa’ [21]: 83- 84, dan juga Surat Shaad [38]: 41- 44. Lihat kisah lengkapnya dalam al Bidayah Wan Nihayah I/ 506 oleh al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahulloh, Shahih al –Qashas an- Nabawi Hal. 58 oleh al- Huwaini, dan Shahih al- Qashas an- Nabawi hal. 157 oleh DR. Sulaiman al- Asyqor.



Note Tambahan:

(1) Meraih Derajat yang Tinggi: Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Ada Seorang hamba yang meraih kedudukan mulia di sisi Alloh bukan karena amalannya, Alloh memberi cobaan badannya atau hartanya atau anaknya, kemudian Alloh menjadikannya bersabar, hingga ia dapat meraih derajat mulia”.

(HR. Abu Dawud 3090, Ahmad 5/ 272, Ibnu Sa’ad 7/ 477. Dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam ash- Shahiihah, No. 2599).

Sumber: ‘Bila Sakit Menyapa”. Hal. 34- 35. Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman al- Atsari. Pustaka al- Furqon. Gresik.

440- Hasan Lighairihi: Dari Abu Musa al- Asy’ari Radhialloohu 'Anhu bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Apabila ada anak seorang hamba meninggal dunia, maka Alloh ‘Azza Wa Jalla berkata kepada para Malaikat- Nya, “Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba- Ku?” Para Malaikat menjawab, “Ya”, Alloh berkata, “Apakah kalian mencabut nyawa buah hatinya?” Para Malaikat menjawab, “Ya”, Alloh berkata, “Lalu apa yang dikatakan hamba- Ku?” Para Malaikat menjawab, “Ia memuji- Mu dan mengucapkan kalimat istirja’, Lalu Alloh berkata (kepada Para Malaikat), “Bangunkanlah bagi hamba- Ku itu sebuah rumah di dalam Surga, dan berilah nama dengan Baitul Hamdi”.

(HR. at- Tirmidzi dalam kitab al- Janaa-iz bab 36, Ahmad (IV/ 415), Ibnu Hibban dalm Shahiih-nya (No. 726- al- Mawaarid).

441- Shahiih: Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Alloh ta’ala berfirman, “Tidak ada balasan dari- Ku bagi hamba- Ku yang mukmin ketika Aku mengambil nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia ikhlas menerimanya, melainkan (balasannya adalah) Surga”.

(HR. al- Bukhori dalam kitab ar- Razaa-iq, Bab. 6/ HR. al- Bukhori No. 6424).

Sumber: “Shahiih Hadits Qudsi& Syarahnya II”, hal. 80- 81. Syaikh Zakariya ‘Umairat. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Jakarta/ “Adab Harian Muslim Teladan” Hal. 173- 174. ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as- Suhaibani. Pustaka Ibnu Katsir. Bogor.

161- Orang yang Kehilangan orang yang dikasihinya kemudian dia berharap pahala dari Alloh: Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman,

“Tidak ada balasan di sisi-Ku bagi hamba- Ku yang beriman apabila Aku mengambil orang yang dikasihinya dari penduduk dunia kemudian dia mengharap pahala karenanya, kecuali Surga”.

(HR. Ahmad dan al- Bukhori, al- Hafizh Ibnu Hajar Rahimahulloh dalam Fat-hul Baari (11/ 247) berkata, “Orang yang dikasihi berarti umum, bisa berarti anak, dan yang lainnya”).

216: Dari Ibnu ‘Umar Radhialloohu 'Anhuma, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Manusia yang paling dicintai Alloh adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang paling dicintai Alloh adalah kebahagiaan yang kamu berikan kepada seorang muslim, atau meringankan kesulitannya, atu melunasi hutangnya, atau mengusir kelaparannya. Aku berjalan bersama saudaraku yang muslim salam satu keperluan lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjid selama satu bulan. Barangsiapa menahan amarahnya niscaya Alloh menutup auratnya. Barangsiapa menahan amarahnya –kalau dia mau, dia bisa melampiaskannya- nicaya Alloh memenuhi hatinya dengan keridhoan pada hari Kiamat. Barangsiapa berjalan bersama saudaranya yang muslim dalam rangka memenuhi suatu kebutuhannya sehingga dia mendapatkannya untuknya, niscaya Alloh meneguhkan kakinya pada hari di mana kaki- kaki terpeleset. Sesungguhnya keburukan akhlak merusak amal, sebagaimana cuka merusak madu”.

(Hasan, Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad- Dunya dalam Qadha al- Hawa’ij, ath- Thabrani dalam al- Mu’jam al- Kabir, di- Hasan- kan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahih al- jami’ No. 174 dan as- Silsilah ash- Shahiihah, No. 903).

Sumber: “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun: 286 Sebab Meraih ampunan Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala”, Hal. 223& 261. Dr. Sayyid Husain al- Affani. Darul Haq. Jak

Kisah Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam

Sifat Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam.

Dialah seorang Nabi yang tidak dijelaskan secara gamblang tentang zaman kenabiannya, dan di kaum apa beliau berdakwah. Semua cerita tentang Nabi Dzulkifi hanya sebatas pendapat- pendapat, tidak berdasarkan dalil yang qoth’i. Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala telah mencatat beliau ‘Alaihis Salaam sebagai jajaran orang- orang yang sabar dan menjadi hamba pilihan.

“Dan ingatlah Nabi Isma’il, Nabi Idris, dan Nabi Dzulkifli, semuanya termasuk orang- orang yang sabar. (QS. Al- Anbiya’ [21]: 85).

“Dan ingatlah Nabi Isma’il, Nabi Yasa’, dan Nabi Dzulkifli, semuanya termasuk orang- orang pilihan”. (QS. Shod [38]: 48).

Dzulkifli adalah julukan untuk beliau. Nama beliau sebenarnya tidak diketahui secara pasti. Sebab musabbabnya juga beragam. Al- Kifli maknanya MENJAMIN TANGGUNGAN. Telah terjadi silang pendapat tentang di masa apa Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam hidup.

Pendapat yang pertama menyatakan bahwa Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam adalah anak Nabi Ayyub ‘Alaihis Salaam yang mana nama lengkapnya adalah Bisyr bin Ayyub. Beliau berdakwah di daerah Syam. Pendapat ini mengatakan bahwa Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam adalah seorang Nabi bukan dari Kalangan Bani Isro’il.

Pendapat yang kedua menyebutkan bahwa Nabi Dzulkifli adalah seorang Nabi dari kalangan Bani Isro’il. Beliau hidup di masa Nabi Yasa’ 'Alaihis Salaam. Seorang Nabi yang hidup setelah Nabi Ilyas ‘Alaihis Salaam. Alasan mereka, karena ada riwayat yang disebutkan dengan jelas perihal nama Nabi Yasa’ sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Jalan Mujahid. Dan Ibnu Katsir Rahimahulloh menukilnya dalam kitab Qoshosh al- Anbiya’ 217 dan beliau tidak berkomentar tentang derajat kisah ini.

Mujahid berkata: Ketika Nabi Yasa’ telah berusia tua, beliau ingin memberikan mandat kepada seseorang untuk mengurusi kaumnya saat dirinya masih hidup agar dia tahu bagaimana cara kerjanya. Maka Nabi Yasa’ mengumumkan pada kaumnya, “Siapa yang bisa menerima tiga (3) kewajiban dariku, yaitu berpuasa di Siang Hari, Sholat Tahajjud di malam hari, dan sekali- kali tidak akan marah, maka aku berikan mandat padanya”.

Maka majulah seorang laki- laki yang rendahan di antara mereka, sambil menjawab, “Saya”.

Nabi Yasa’ bertanya, “Apakah engkau sanggup?”, Ia menjawab, “Ya”. Maka sejak saat itulah Nabi Dzulkifli diberikan mandat untuk menggantikan tugas nabi tersebut untuk memutuskan segala urusan pada kaumnya waktu itu. Beliau terbukti mampu menunaikan tugasnya dan sanggup melaksanakan tiga (3) kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Sejak saat itu setan ingin mengodanya. Setan menjelma sebagai seorang yang tua renta lagi kelihatan miskin papa. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan Nabi Dzulkifli karena terlalu sibuknya, dalam kesehariannya beliau tidak ada waktu untuk tidur kecuali sesaat di waktu siang. Maka datanglah setan yang menjelma sebagai lelaki tua itu ketika Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam hendak tidur siang. Tujuannya adalah agar Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam menjadi marah karenanya.

Mula- mula lelaki tua itu mengetuk rumah Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam padahal beliau sudah berbaring untuk istirahat. Begitu pintu diketuk, menyahutlah Nabi Dzulkifli dari dalam, “Siapa.?”

“Saya lelaki tua yang teraniaya”. Jawab lelaki tua itu. Setelah pintu terbuka, mengadulah lelaki itu pada Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam. Dia berkata, “Saya seorang tua yang teraniaya, telah terjadi pertikaian antara diriku dan kaumku, lalu mereka berbuat dzolim kepadaku, dan mereka juga berbuat begini dan begitu”. Lelaki itu terus bercerita dan menambah ceritanya hingga datanglah waktu sore. Hingga pada akhirnya hilanglah kesempatan tidur siang Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam. Beliau berkata, “Wahai tuan, hendaklah engkau datang di majelisku sore ini. Nanti akan aku selesaikan hakmu dari kaummu”. Maka pulanglah lelaki tua itu dan Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam tidak jadi beristirahat karenanya.

Selanjutnya, sore itu Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam duduk di majelisnya untuk menyelesaikan urusan- urusan kaumnya. Beliau menunggu lelaki tua yang datang barusan tadi untuk diselesaikan urusannya. Namun lelaki tua itu tidak muncul- muncul. Keesokan harinya ketika Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam kembali duduk di majelisnya untuk menyelesaikan berbagai urusan kaumnya. Beliaupun tidak mendapati lelaki tua itu. Baru ketika datang siang dan Nabi Dzulkifli beranjak untuk istirahat, kembali pintu rumahnya terketuk. Selanjutnya Nabi Dzulkifli membukakan pintu dan ternyata lelaki tua itulah yang muncul. Nabi Dzulkifli lalu berkata, “Wahai tuan bukankah sudah aku katakan, jika aku di majelis, datanglah padaku lalu aku akan menyelesaikan urusanmu”. Lelaki itu pun beralasan, “Wahai Nabi Alloh, sesungguhnya kaumku sejelek- jelek manusia, ketika mereka tahu bahwa engkau duduk di majelis untuk menampung berbagai aduan rakyatmu, mereka bersegera memberikan hakku. Namun ketika mereka tahu bahwa dirimu tidak ada di majelis, mereka kembali merampas hakku”.

Begitulah lelaki itu di hari kedua terus bercerita dan menambah ceritanya hingga datanglah waktu sore. Hingga pada akhirnya, hilanglah kesempatan tidur siang bagi Nabi Dzulkifli untuk kedua kalinya. Namun Nabi Dzulkifli tidak marah karenanya. Dan sore harinya,kembalilah Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam duduk di majelisnya untuk menyelesaikan urusan- urusan kaumnya. Namun lagi- lagi lelaki tua itu tidak muncul batang hidungnya. Maka di siang harinya pada hari ketiganya, ketika Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam tertimpa rasa kantuk yang luar biasa, beliau berpesan kepada sebagian keluarganya, “Sekali- kali jangan biarkan seorang pun untuk mendekati pintu kamarku ini sampai diriku bangun tidur. Sungguh rasa kantuk yang sangat telah menimpaku”.

Beberapa saat kemudian, datanglah kembali lelaki tua itu. Penjaga pintu langsung menghalanginya, “Pergilah tuan,.! Nabi Dzulkifli sedang beristirahat, beliau tidak bisa diganggu”..!”

Namun lelaki tua itu tetap bersikeras, “Sungguh aku telah datang di hari kemarin, dan aku telah bercerita padanya akan masalahku. Sekarang aku betul- betul mendesak bertemu dengan beliau”

Penjaga pintu tetap bersikukuh, “Tidak, sekali- kali kami tidak memperbolehkan seorangpun untuk mendekati pintu itu”.

Maka ketika menemui jalan buntu dalam perdebatan itu, lelaki itu melihat ada suatu lubang angin di rumah Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam, lalu dengan sigap ia pun menyusup ke rumah Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam lewat lubang itu. Hal itu mudah baginya karena memang dirinya adalah setan. Ketika sampai di dalam, lelaki itu mengetuk pintu dari dalam. Mendengar pintu terketuk, bangunlah Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam dan tercenganglah beliau karena ternyata di dalam kamarnya ada orang. Beliau pun bangun lalu memeriksa pintu rumahnya, dan didapatinya pintu rumah masih terkunci rapat. Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam selanjutnya tahu siapa lelaki tua itu, “Apakah dirimu musuh Alloh, yakni setan..?”

Lelaki itu menjawab, “Ya, Sungguh kau telah membuatku payah. Aku telah melakukan berbagai cara, sebagaimana kaui lihat supaya bia membuatmu marah, namun ternyata usahaku itu sia- sia”.

Maka begitulah Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala memberi nama pada beliau Dzulkifli, karena apabila beliau menjamin atau menanggung sesuatu, maka beliau bisa menuntaskannya”. Walloohu a’lam.

Sumber: Kisah Para Nabi: Sifat Nabi Dzulkifli ‘Alaihis Salaam. Penulis: Ust. Abu Adibah ash- Shoqoli. Majalah al- Mawaddah. Hal. 43-44. Shofar 1432H. Vol. 37. Januari – Februari 2011.



Note Tambahan: Keutamaan Menahan Marah.

2753- 9: Hasan Lighairihi. Dari Mu’adz bin Anas Radhialloohu 'Anhu, bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Siapa yang menahan kemarahannya padahal ia mampu menumpahkannya, niscaya ALLOH memanggilnya di hadapan seluruh makhluk di Hari Kiamat sehingga Dia menyuruhnya untuk memilih dari bidadari Surga yang dikehendakinya”.

[HR. Abu Dawud, at- Tirmidzi, dan Ibnu Majah: Sunan Abu Dawud No. 4777, Sunan at- Tirmidzi No. 2022, 2495, Sunan Ibnu Majah No. 4186].

2752- 8: Shahih Lighairihi: Dari Ibnu ‘Umar Radhialloohu 'Anhuma, dia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak ada seteguk minuman yang lebih besar pahalanya di sisi ALLOH daripada seteguk minum kemarahan yang ditahan seorang hamba karena mencari wajah ALLOH".

[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan para perawinya dijadikan Hujjah dalam ash- Shahih].

2479- 5: Shahih Lighairihi: Dari Abu ad- Darda’ Radhialloohu 'Anhu dia berkata,

“Seorang laki- laki berkata kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam Surga?” Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Jangan Marah, Maka kamu mendapatkan Surga”.

[Diriwayatkan oleh ath- Thabrani dengan dua sanad, salah satunya Shahih].

Sumber: ‘Shahih at- Targhib Wa at- Tarhib V’ Bab. Ancaman Tentang Sifat marah dan anjuran menolak& menahannya dan Sesuatu yang dilakukan ketika marah. Hal 197-200. Syaikh al- Albani Rahimahulloh. Pustaka Shahifa. Jakarta.

217: Meninggalkan Amarah. Dari Abu ad- Darda’ Radhialloohu 'Anhu ia berkata,

‘Seorang laki- laki berkata kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, “Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang memasukkanku ke Surga?” Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Jangan marah, dan bagimu Surga”.

[Shahih, Diriwayatkan oleh ath- Thabrani dalam >al- Mu’jam al- Kabir dan Ibnu Abi ad- Dunya, dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahih al- Jami’ No. 2179].

216: Menahan Amarah. Dari Ibnu ‘Umar Radhialloohu 'Anhuma, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Manusia yang paling dicintai Alloh adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang paling dicintai Alloh adalah kebahagiaan yang kamu berikan kepada seorang muslim, atau meringankan kesulitannya, atu melunasi hutangnya, atau mengusir kelaparannya. Aku berjalan bersama saudaraku yang muslim salam satu keperluan lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjid selama satu bulan. Barangsiapa menahan amarahnya niscaya Alloh menutup auratnya. Barangsiapa menahan amarahnya –kalau dia mau, dia bisa melampiaskannya- nicaya Alloh memenuhi hatinya dengan keridhoan pada hari Kiamat. Barangsiapa berjalan bersama saudaranya yang muslim dalam rangka memenhui suatu kebutuhannya sehingga dia mendapatkannya untuknya, niscaya Alloh meneguhkan kakinya pada hari di mana kaki- kaki terpeleset. Sesungguhnya keburukan akhlak merusak amal, sebagaimana cuka merusak madu”.

[Hasan, Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad- Dunya dalam Qadha al- Hawa’ij, ath- Thabrani dalam al- Mu’jam al- Kabir, di- Hasan- kan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahih al- jami’ No. 174 dan as- Silsilah ash- Shahiihah, No. 903].

Sumber: ‘Sesungguhnya DIA Maha Pengampun: 286 Sebab Meraih Ampunan Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala”. Hal 259- 261. Dr. Sayyid Husain al- Affani. Pustaka Darul haq. Jakarta.

Jumat, 25 Maret 2011

Ucapan ‘Shadaqallohul ‘Azhiim’ (Maha Benar Alloh yang Maha Agung), Mencium Mushaf, dan Permasalahan Lainnya.

Ucapan ‘Shadaqallohul ‘Azhiim’ (Maha Benar Alloh yang Maha Agung) seusai setiap membaca Al- Qur’an merupakan perbuatan yang di-ada- adakan, karena perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, maupun para al- Khulafa’ur Rasyidin, atau para Shahabat Radhialloohu 'Anhum. Juga tidak pernah dilakukan oleh para Imam- imam Salaf padahal mereka sangat sering membaca Al- Qur’an, sangat memperhatikannya, dan mengerti tentangnya. Dengan demikian ucapan tersebut dan PENGHARUSAN BACAANNYA SETIAP KALI USAI MEMBACA AL- QUR’AN adalah perbuatan bid’ah yang diada- adakan.

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,
“Barangsiapa mengada- adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia akan tertolak”. (HR. al- Bukhori dan Muslim. Diriwayatkan oleh al- Bukhori No. 2697 dalam al- Shulh, Bab ‘Idzaa Ishthalahu ‘ala Shulhin Juur Fash Shulh Mardud” dan Muslim No. 1718, jilid 18, dalam Kitab ‘al- Uqdhiyah’ Bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha).

Dalam lafazh yang lain yang diriwayatkan oleh imam Muslim disebutkan,

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka amalan tersebut tertolak”.
Diriwayatkan oleh Muslim No. 1718, jilid 18, dalam Kitab ‘al- Uqdhiyah’ Bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

ADAPUN APABILA UCAPAN TERSEBUT DILAFAZHKAN SESEORANG SESEKALI SAAT MENDENGARKAN SUATU AYAT ATAU MEMIKIRKANNYA KEMUDIAN IA MENDAPATKAN SUATU PENGARUH YANG NYATA DALAM DIRINYA, MAKA TIDAK MENGAPA BAGINYA UNTUK MENGUCAPKAN “SHODAQOLLOHUL ‘AZHIIM” Maha Benar Alloh Yang Maha Agung, telah begini dan begitu”. (Fatawa Lajnah Da’imah, No. 3303).
Alloh Ta’ala telah berfirman,

“Katakanlah ‘SHODAQOLLOH” -Benarlah (apa yang difirmankan) Alloh-, maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang- orang yang musyrik”. (QS. Ali Imran: 95).
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Alloh”. (QS. An- Nisa’ :87).

Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda,
“Sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitabulloh”. (Diriwayatkan oleh Muslim, No. 867, 43 dalam Kitab Jum’ah, Bab ‘Memendekkan Sholat dan Khutbah’).

Maka boleh mengucapkan ucapan, “Shadaqolloh” dalam beberapa peristiwa yang menunjang ucapan tersebut, seperti bila melihat sesuatu yang terjadi, yang sebelumnya Alloh Ta’ala telah mengingatkannya. NAMUN APABILA KITA MENJADIKAN UCAPAN TERSEBUT SEAKAN- AKAN TERMASUK HUKUMAN BACAAN, maka perbuatan itu tidak ada dasarnya dan MENGHARUSKANNYA termasuk bid’ah. Yang ada dasarnya dalam hukum bacaan adalah memulai membaca dengan mengucapkan ISTI’ADZAH (do’a memohon perlindungan), sebagaimana difirmankan Alloh Ta’ala:

“Apabila kamu membaca Al- Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Alloh dari syaithan yang terkutuk”. (QS. An- Nahl: 98).

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan do’a perlindungan dari syaithan saat memulai membaca Al- Qur’an dan MEMBACA BASMALAH SETIAP AWAL SURAT SELAIN SURAT AL- BARA’AH (At- Taubah). Adapun seusai membaca Al- Qur’an, tidak ada pengharusan untuk mengucapkan dzikir khusus atau ucapan “Shadaqolloh”, atau lainnya. (Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, Nur ‘Alad Darbi. Juz III. I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah).



Mencium Mushaf Sebelum Membaca Atau Sesudahnya.

Tidak Kami ketahui sebuah dalil pun yang mensyari’atkan untuk mencium Al- Qur’anul Karim, karena Al- Qur’an diturunkan untuk dibaca, diperhatikan, diagungkan, dan diamalkan. (Fatawa Lajnah Da’imah, No. 8852).

Membasuh Tangan seusai membaca Al- Qur’an

Tidak disyari’atkan mencuci tangan seusai membaca Al- Qur’an, baik di kran maupun di kamar mandi. (Fatawa Lajnah Da’imah, No. 9410).
Sumber: “Bida’un Naas Fil Qur’an: Penyimpangan Terhadap Al- Qur’an. 93- 97. Abu Anas Ali Bin Husain Abu Luz. Pustaka Darul Haq. Jakarta.

Kamis, 24 Maret 2011

Seluruh Nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka.

BAB III: Berbakti kepada kedua Orang Tua merupakan Sifat yang menonjol dari Para Nabi ‘Alaihimus Sholaatu Wassalaam.

Di antaranya Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa ‘Isa bin Maryam ‘Alaihis Salaam adalah anak yang berbakti kepada ibunya. Alloh Ta’ala berfirman,

“Dia (‘Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Alloh, Dia memberiku Kitab (Injil), dan Dia menjadikan aku seorang Nabi dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku untuk (melaksanakan) Sholat, dan (menunaikan) zakat selama aku hidup, dan berbakti kepada Ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka”. (QS. Maryam: 30- 32).


Kemudian Alloh Ta’ala berfirman tentang do’a Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salaam,

“Wahai Rabb- ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan Sholat, wahai Rabb kami perkenankanlah do’aku. Wahai Rabb kami, ampunilah aku dan kedua ibu- bapakku, dan semua orang yang beriman pada hari diadakannya perhitungan (hari Kiamat)”. (QS. Ibrahim: 40- 41).

Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang do’a Nabii Ibrahim ‘Alaihis Salaam untuk bapaknya,

“Dan ampunilah bapakku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan”. (QS. Asy- Syu’araa: 86- 87).

Alloh Ta’ala berfirman tentang do’a Nabi Nuh ‘Alaihis Salaam untuk kedua orang tuanya,

“Ya Rabb ku, Ampunilah aku, Ibu- Bapakku, dan Siapa pun yang memasuki rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki- laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang- orang zhalim itu selain kehancuran”. (QS. Nuh: 28).

Demikian pula dengan Nabi Yahya ‘Alaihis Salaam yang senantiasa berbakti kepada orang tuanya. Alloh Ta’ala berfirman,

“Dan sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan dia bukan orang yang sombong bukan (pula) orang yang durhaka. Dan kesejahteraan bagi dirinya, pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali”. (QS. Maryam: 14- 15).


Kemudian Alloh Ta’ala berfirman tentang do’a Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salaam,

“..Dan dia berdo’a, “Ya Rabb- ku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat- Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kedua orang tuaku, dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat- Mu ke dalam golongan hamba- hamba- Mu yang Shalih”. (QS. An- naml: 19).


Ayat- ayat di atas menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua merupakan sifat yang menonjol dari para Nabi. Seluruh Nabii berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah Syari’at yang umum. Alloh Ta’ala berfirman,

“Dan Rabb- mu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah (beribadah) selain Dia, dan hendaklah berbuat baik kepada Ibu –Bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua- duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan, “Ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ROBBI-RHAMHUMAA KAMAA ROBBAYAANII SHOGHIIROO –Wahai Rabb- ku sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil”. (QS. Al- Israa’: 23- 24).

Dalam hadits yang Diriwayatkan oleh imam al- Bukhori dalam kitab al- Adab al- Mufrad, Ibnu Hibban, al- Hakim, dan at- Tirmidzi, dari Shahabat ‘Abdulloh bin ‘Amr bin al- ‘Ash Radhialloohu 'Anhuma, bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Ridho Alloh tergantung kepada ridho orang tua, dan Murka Alloh tergantung kepada murka kedua orang tua”.

Shahih, HR. al- Bukhori dalam al- Adab al- Mufrad (No. 2), Ibnu Hibban (No. 2026/ al- Mawaarid), at- Tirmidzi (No. 1899), al- Hakim (IV/ 151- 152), beliau menshahihkannya, dan disepakati oleh imam adz- Dzahabi. Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata, “Hadits ini sebagaimana dikatakan keduanya (al- Hakim dan adz- Dzahabi)”. Lihat Shahiih al- Adabil Mufrad, (No. 2).

Imam al- Qurthubi Rahimahulloh secara umum mengatakan bahwa dalam berbakti kepada kedua orang tua hendaknya seorang anak menyetujui apa yang dikehendaki, dan diinginkan oleh kedua orang tuanya. Al- Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahulloh berkata, “janganlah engkau mencegah apa- apa yang disenangi keduanya”. Ketika ditanya bagaimana tentang bentuk berbakti kepada kedua orang tua, Fudhail menjawab, “Janganlah engkau melayani kedua orang tuamu dalam keadaan Malas”.

Ketika Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu ditanya bagaimana berbakti kepada kedua orang tua, ia berkata, “Janganlah engkau memberikan nama seperti namanya, janganlah engkau berjalan di hadapannya, dan janganlah engkau duduk sebelum dia duduk (orangtua dipersilahkan duduk terlebih dahulu_red)”.

Atsar Shahih: HR. al- Bukhori dalam al- Adabul Mufrad (No. 44/ Shahiih al- Adabil Mufrad. No. 32). Walloohu A’lam.

Sumber: Birrul Walidain. Hal. 33- 37, 43, 52. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Senin, 21 Maret 2011

Obat Penawar Yang Sangat Bermanfaat.

TERUS- MENERUS DALAM BERDO'A/.

Sikap Terus- menerus dalam berdo’a termasuk obat penawar yang sangat bermanfaat. Ibnu Majah dalam Sunan- nya meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, beliau mengatakan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Alloh niscaya Alloh akan murka kepadanya”.


Sunan Ibni Majah (No. 3827). Hadits ini juga Diriwayatkan oleh at- Tirmidzi (No. 3370), al- Bukhari dalam al- Adabul Mufrad (No. 658), Ahmad (II/ 442 dan 477), al- Hakim (I/ 491), dan al- Baihaqi dalam ad- Da’awaatul Kabiirah (Hal. 22). Dalam sanadnya terdapat Abu Shalih al- Khuzi. Abu Zur’ah berkomentar tentangnya, “Laa Ba’sa Bihi” (Tidak mengapa dengannya)”. Hal ini tercantum dalam Kitab, “al- Jarh Wat Ta’diil (IX/ 393).
Disebutkan pula dalam Shahiih al- Hakim dari Anas Radhialloohu 'Anhu, bahwasanya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Janganlah kalian lemah dalam berdo’a karena sesungguhnya tidak ada orang yang binasa dikarenakan do’a”.


Al- Mustadrak (I/ 493). Hadits ini Diriwayatkan pula oleh adh- Dhiya’ dalam al- Ahaadiitsul Mukhtaarah (1760 dan 1761), al- ‘Uqaili dalam adh- Dhu’afaa’ (III/ 188), Ibnu ‘Adi dalam al- Kaamil (V/ 1674), Ibnu Hibban (No. 871), dan Abu Nu’aim dalam Dzikr akhbaar Ashbahaan (II/ 232). Di dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Muhammad bin Shuhban. Ia adalah perawi yang matruk (haditsnya ditinggalkan). Merupakan sebuah kesalahan apabila menyangka bahwa ia adalah ‘Umar bin Muhammad bin Zaid, seperti halnya pendapat al- Hakim, Ibnu Hibban, dan adh- Dhiya’. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 843 karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani.

Al- Auza’i menyebutkan dari az- Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha, ia (‘Aisyah) mengatakan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Alloh menyukai orang- orang yang terus- menerus mengulang- ulang ketika berdo’a”.


HR. ath- Thabrani dalam ad- Du’aa’ (Hal. 20), al- ‘Uqaili dalam adh- Dhu’afaa’ (IV/ 452), dan Ibnu ‘Adi (VII/ 2621). Ibnu Hajar al- Asqalani berkomentar dalam at- Talkhiishul Habiir (II/ 95): “Yusuf bin Sifr bin al- Auza’i meriwayatkan hadits ini sendirian, padahal ia perawi matruk, dan bisa jadi Baqiyyah telah men-tadlis hadits ini”.



Di dalam kitab az- Zuhd karya Imam Ahmad Rahimahulloh disebutkan bahwa Qatadah bercerita, “Muwarriq berkata,

“Saya tidak pernah mendapatkan suatu perumpamaan bagi orang mukmin (dalam hal berdo’a) melainkan seperti seseorang di atas kayu yang tengah mengapung di lautan, kemudian ia berdo’a :’Wahai Rabb- ku, Wahai Rabb- ku”. Ia berharap semoga Alloh menyelamatkannya”.

Az- Zuhd (II/ 273). Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam al- Hilyah (II/ 235).
Dalam Shahiih al- Bukhari terdapat sebuah riwayat dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Do’a masing- masing kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa- gesa, yaitu dengan berkata, “Saya sudah berdo’a tetapi belum juga dikabulkan”. (Shahiih Bukhari, No. 5981).


Di dalam Shahiih Muslim, masih dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Do’a seorang hamba akan senantiasa terkabul selama ia tidak berdo’a untuk kemaksyiatan, atau untuk memutuskan silaturrahim, dan tidak tergesa- gesa”. Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasululloh, bagaimanakah bentuk ketergesa- gesaan yang dimaksud?” Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdo’a, sungguh aku telah berdo’a, namun Alloh belum juga mengabulkan do’aku. Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya meninggalkan do’a”. (Shahiih Muslim, No. 2735).


Al- Hakim meriwayatkan dalam Kitab al- Mustadrak, dari Ibnu ‘Umar Radhialloohu 'Anhuma, bahwasanya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Do’a akan memberikan manfaat terhadap apa yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Maka hendaklah kalian berdo’a, Wahai hamba- hamba Alloh”.


Al- Mustadrak (I/ 493). Imam adz- Dzahabi Rahimahulloh mendha’ifkan hadits ini dalam Talkhiish- nya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh at- Tirmidzi (No. 3548) dan dia men- dha’if- kannya. Saya (Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al- Halabi al- Atsari_ pentahqiq (peneliti)) katakan, “Hadits ini mempunyai Syahid (penguat) dari hadits sebelumnya”. Syaikh al- Albani meng- Hasan- kannya dalam Shahiihul Jaami’, No. 3409.

Masih dalam kitab yang sama, yaitu dari Tsauban, Bahwasanya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak ada yang dapat menolak takdir, kecuali do’a. Tidak ada pula yang dapat menambah usia, kecuali kebajikan. Sesungguhnya seseorang itu benar- benar akan terhalang dari rizqinya karena dosa yang ia kerjakan”.


Al- Mustadrak (I/ 493). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (X/ 44), Ibnu Majah (No. 4022), Ahmad (V/ 277), al- Baghawi (VI/ 13), Ibnu Hibban (No. 1090), dan al- Qudha’i (831). Silsilah perawi di dalam Sanadnya terputus. Hadits ini mempunyai penguat dari Salman yang diriwayatkan oleh at- Tirmidzi (No. 2139), at- Thahawi dalam Musykilul Aatsaar (IV/ 169), al- Qudha’i dalam Musnad asy- Syihab (II/ 36), serta ath- Thabrani dalam al- Kabiir (VI/ 308), dan ad- Du’aa’ (30). Di dalam sanadnya terdapat Abu Maudud, perawi yang Dha’if. Namun, hadits tadi menjadi kuat dengan adanya Syahid ini, insya Alloh. Wallohu A’lam.

Sumber: ‘Addaa’ Wad Dawaa’. Bab I: Hal- hal Yang Berkaitan Dengan Do’a. Hal.18- 20. Ibnu Qayyim al- Jauziyyah. Tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al- Halabi al- Atsari. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Jakarta.

Hukum Mengganti Nama Setelah Dewasa.

Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah mengganti nama beberapa Shahabat setelah dewasa. Ada banyak riwayat tentang masalah ini. Berikut kami sampaikan beberapa di antaranya:

Hadits Pertama,

Dari Ibnu Umar Radhialloohu 'Anhuma, bahwasanya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengganti nama (seorang wanita) ‘Ashiyah (pelaku maksyiat), dan berkata,

“Engkau Jamilah (Cantik/ Indah)”.


Hadits ini Shahih Diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam al- Adab al- Mufrad. Lihat kitab Shahih al- Adab al- Mufrad oleh Syaikh al- Albani No. 630/ 820, hal. 306. Lihat pula ash- Shahihah, No. 213.

Hadits Kedua,
Dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atho’ bahwasanya ia pernah menemui Zainab binti Abu Salamah, lalu Zainab bertanya kepada Muhammad tentang Nama saudara perempuannya yang ada berrsamanya. Muhammad berkata, ‘aku menjawabnya, “Namanya adalah Barroh (yang baik/ berbakti)”. Zainab berkata, “Gantilah namanya! Karena Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menikah dengan Zainab binti Jahsy yang nama (sebelumnya) adalah Barroh, lalu beliau menggantinya menjadi Zainab”. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah masuk menemui Ummu Salamah setelah menikah dengannya, dan namaku (dahulu juga) Barroh, kemudian beliau mendengar Ummu Salamah memanggilku, “Barroh”, maka beliau berrsabda,

“Janganlah kalian mengganggap diri kalian Suci, karena Alloh lebih mengetahui siapa di antara kalian yang Barroh (yang baik), dan yang Fajiroh (tidak baik). Beri nama dia ‘Zainab’”.
Ummu Salamah berkata, “Dia (namanya sekarang) ‘Zainab’”. Aku (Muhammad bin ‘Amr) bertanya kepadanya (Zainab binti Abu Salamah), “Lantas aku beri nama apa?” Zainab menjawab, “Gantilah namanya dengan nama yang telah diberikan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, berilah dia nama ‘Zainab’ (juga).
Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam al- Adab al- Mufrad. Lihat Shahih al- Adab al- Mufrad oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh, No. 631/ 821. Hal. 306- 307. Lihat juga Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah, no. 210).

Hadits Ketiga,
Dari Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhu,

“Sesungguhnya nama Juwairiyah dahulu adalah ‘Barroh’. Lalu Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah”.

Hadits ini Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam al- Adab al- Mufrad. Lihat Shahih al- Adab al- Mufrad oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani No. 636/ 831, hal. 309. Lihat pula ash- Shahihah, no. 212.

Hadits Keempat,

Dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha, pernah disebutkan seorang laki- laki yang bernama ‘Syihab’ di sisi Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Namamu adalah Hisyam”.
Hadits ini Hasan, Diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam al- Adab al- Mufrad. Lihat Shahih al- Adab al- Mufrad oleh Syaikh al- Albani, No. 632/ 825, hal. 307. Lihat pula ash- Shahihah, No. 215.

Hadits Kelima,
Dari Sa’id bin al- Musayyib, dari ayahnya dari kakeknya, Bahwasanya dia (kakekknya) pernah mendatangi Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam lalu beliau bertanya, “Siapa Namamu?” ia menjawab, “Hazn (Sedih)”. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkata, “Engkau adalah Sahl (mudah)”. Ia berkata, “Aku tidak mau mengganti nama yang telah diberikan ayahku!”.

Ibnul Musayyib berkata, “Sehingga ia terus- menerus merasa sedih setelah itu”.

Hadits ini Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam kitab al- Adab al- Mufrad. Lihat Shahih al- Adab al- Mufrad, No. 635/ 841, hal. 313, ash- Shahihah, no. 214.



Hadits Keenam,
Dari Laila istri Basyir, ia bercerita tentang Basyir bin al- Khoshoyishah, yang dahulu namanya adalaah ‘Zahm’, lalu Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menggantinya menjadi ‘Basyir’.
Hadits ini Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam al- Adab al- Mufrad. Lihat Shahih al- Adab al- Mufrad, no. 635/ 830, hal 309. Ash- Shahihah, No. 2945. Dan disebutkan pula beberapa riwayat yang lain.

Kesimpulan,

Dari beberapa riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa mengganti nama seseorang hukumnya adalah BOLEH apabila nama sebelumnya mengandung penyelisihan terhadap Syari'at . Hanya saja, ketika mengganti nama- nama tersebut, mereka (para Shahabat) TIDAK MENYERTAINYA DENGAN ACARA SYUKURAN ATAU RITUAL LAINNYA, sebagaimana yang banyak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini. Andai saja acara semacam ini adalah baik, sungguh mereka dahulu pasti sudah mendahului kita dalam mengamalkannya. Dan sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Wallohu A’lam.

Sumber: Majalah adz- Dzaakhiirah. Vol.8 No. 7 Edisi 61. Th. 2010/1431H. Hal.6-7. STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya.

Larangan Memiliki (Atau memelihara) Anjing, Kecuali untuk Berburu, dan Menjaga Hewan Ternak.

3100- 1: Shahih

Dari Ibnu Umar Radhialloohu 'Anhuma, dia berkata, ‘Aku telah mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memelihara anjing kecuali anjing pemburu, atau anjing (penjaga) hewan ternak, maka pahalanya akan berkurang setiap hari sebanyak dua (2) Qirath (maksudnya sangat banyak)”.


Diriwayatkan oleh imam Malik, al- Bukhori No. 5481 namun beliau meriwayatkan dengan lafazh ‘Kecuali anjing (penjaga) hewan ternak atau terlatih (berburu)’, Muslim, at- Tirmidzi, dan an- Nasa-i.

Dalam riwayat al- Bukhori, bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda,

“Barangsiapa yang memelihara anjing yang bukan untuk (menjaga) hewan ternak, atau terlatih (berburu), maka (pahala) amalannya berkurang setiap hari sebanyak dua qirath”.


Dalam riwayat Muslim,

“Keluarga siapa pun yang memelihara anjing kecuali anjing penjaga hewan ternak, atau anjing pemburu, maka (pahala) amalan mereka berkurang setiap hari sebanyak dua Qirath”.



3101- 2: Shahih

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu dia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda,

“Barangsiapa yang memelihara anjing, maka (pahala) amalannya akan berkurang setiap hari sebanyak satu qirath, kecuali anjing (penjaga) pertanian, atau (penjaga) hewan gembala”.


Diriwayatkan oleh al- Bukhori, dan Muslim.

Dalam Suatu Riwayat Muslim,

“Siapa yang memelihara anjing yang bukan anjing berburu, anjing (penjaga) hewan gembala, dan anjing (penjaga) pertanian, maka pahalanya dikurangi sebanyak dua qirath setiap hari”.


3103- 4: Shahih

Dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha, dia berkata,

“Jibril ‘Alaihis Salam berjanji kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pada saat tertentu untuk menemui beliau. Lalu waktu yang dijanjikan telah tiba, namun dia belum datang. ‘Aisyah berkata, ‘Waktu itu Rasululloh memegang tongkat, maka beliau melemparnya dari tangannya dalam keadaan berkata, “Alloh tidak melanggar janjinya dan tidak juga para Rasul- Nya”. Kemudian beliau berpaling, ternyata ada anak anjing di bawah ranjangnya, lantas beliau bersabda, “Kapan anjing ini masuk ke sini?” maka aku berkata, “Demi Alloh aku tidak mengetahuinya”. Lantas Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan untk mengusirnya, maka diusirlah anjing tersebut. Lalu Jibril datang, maka Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Engkau telah berjanji kepadaku lalu aku telah lama menunggumu, namun kamu tidak datang- datang”. Maka Jibril menjawab, “Anjing yang ada di dalam rumahmu itu yang menghalangiku, kami tidak masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar di sana”.


Diriwayatkan oleh Muslim.



3104- 5: Shahih

Dari Buraidah Radhialloohu 'Anhu dia berkata,

“Jibril ‘Alaihis Salam tertahan menemui Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam lalu beliau bertanya kepadanya, “Apa yang menahanmu?” Lalu Jibril menjawab, “Kami tidak akan mesuk rumah yang di dalamnya ada anjing”.


Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya perawi ash- Shahih.

3105- 6: Shahih

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu dia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Jibril mendatangiku lantas berkata, “Aku semalam akan menemuimu, maka tidak ada yang mencegahku untuk menemuimu di rumah kediamanmu kecuali (disebabkan) gambar seorang laki- laki di rumahmu”. Memang di rumah tersebut ada kain tipis penutup yang bergambar makhluk hidup, dan juga ada anjing. Oleh karena itu, hendaknya engkau perintahkan mengambil kepala gambar yang di pintu tersebut lalu dipotong sehingga menjadi seperti bentuk pohon, dan perintahkan kain penutup tersebut untuk dipotong dan dijadikan dua sarung bantal yang dijadikan sandaran dan tempat duduk, serta perintahkan mengusir anjing lalu dikeluarkan (dari rumah)”
.

Lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melaksanakannya. Anjing tersebut adalah anak anjing milik al- Hasan atau al- Husain di bawah ranjang beliau, lalu beliau memerintahkan untuk mengeluarkannya, maka ia dikeluarkan”.


Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at- Tirmidzi, danini lafazh beliau. Dan beliau berkata, “Hadits Hasan Shahih”. Juga Diriwayatkan oleh an- Nasa-i, dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Wallohu A’lam.

Sumber: ‘Shahih at- Targhiib Wa at- Tarhiib 5’. Bab. 41. Larangan Memelihara Anjing. Hal. 421- 425. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani. Pustaka Shahifa. Jakarta.