Rabu, 28 September 2011

Tidak ada hari- hari di mana amal shaleh di dalamnya lebih dicintai Alloh ‘Azza Wa Jalla daripada hari- hari yang sepuluh ini..


Mari Meneladani Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa SallamDalam Sebuah Riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallohu 'Anhu disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tidak ada hari- hari di mana amal shaleh di dalamnya lebih dicintai Alloh ‘Azza Wa Jalla daripada hari- hari yang sepuluh ini”, Para Shahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Alloh?”, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Alloh, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun”. (HR. al- Bukhari No. 969, dan at- Tirmidzi No. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at- Tirmidzi).
Dalam riwayat yang lain, Salah seorang istri Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan,
“Adalah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melakukan puasa sembilan hari bulan Dzulhijjah”.(HR. Abu Daud dan an- Nasa’i. Hadits ini dinilai Shahih oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahih Sunan Abi Daud, No. 2129 dan Shahih Sunan Nasa’i No. 2236). (Lihat al- Mausu’ah al- Fiqhiyah al- Muyassar, 1/ 254).
Hadits ini sangat gamblang menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan keutamaan Amal Shaleh yang dilakukan pada masa- masa itu, dibandingkan dengan hari- hari yang lain selama setahun.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh pernah ditanya tentang mana yang lebih utama antara sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ataukah sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan? Beliau Rahimahulloh menjawab,
“Siang hari Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada siang hari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari pada sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah”.(Majmuu’ Fataawa, 25/ 287). (Lihat al- Mausu’ah al- Fiqhiyah al- Muyassar, 1/ 256).
Ibnul Qayyim Rahimahulloh juga setuju dengan perkataan guru beliau tersebut.Hadits ini sudah cukup memberikan motivasi kepada kaum muslimin untuk berlomba- lomba melakukan amal Shalih pada waktu- waktu yang diisyaratkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut. Terlebih lagi di antara waktu yang disebutkan itu ada waktu yang teramat istimewa yang juga dijelaskan keutamaannya secara khusus oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, yaitu hari Arafah. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tidak ada hari di mana Alloh 'Azza Wa Jalla membebaskan hamba dari api neraka lebih banyak daripada hari Arafah. Sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para Malaikat dan berkata: “Apa yang mereka Inginkan?”. (HR. Muslim, No. 1348).
Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga menjelaskan tentang keutamaan berpuasa pada hari ini bagi kaum Muslimin yang sedang tidak melakukan ibadah haji. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Puasa hari Arafah aku harapkan dari Alloh bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya, dan setahun setelahnya”. (HR. Muslim, No. 1162).
Alangkah naifnya, kalau hari- hari penuh keutamaan ini kita sia- siakan begitu saja. Sudah menjadi keharusan bagi setiap kaum Muslimin yang mengimani hari akhir untuk meneladani Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam memanfaatkan waktu- waktu yang memiliki nilai lebih ini. Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menjadikan kita termasuk diantara hamba- Nya bisa memanfaatkan masa- masa ini dan semoga Alloh 'Azza Wa Jalla menjadikan kita termasuk para hamba- Nya yang dibebaskan dari api neraka. Aamiin.Sumber: Majalah As-Sunnah/ Rubik:

Tajuk. Hal.1. Edisi 06. Thn. XV. Dzulqa’dah 1432H/ Oktober 2011.


Footnote:
196. (1162) Dari Abu Qatadah, “Telah datang seorang laki- laki kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Bagaimana engkau berpuasa?” mendengar itu, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam marah. Ketika Umar melihat kemarahan beliau, dia berkata, “Kami rela Alloh sebagai Tuhan, Islam Sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi, Kami berlindung kepada Alloh dari murka Alloh dan murka Rasul- Nya”, Lalu Umar mengulang- ulang ucapannya itu, sehingga meredalah kemarahan beliau. Kemudian Umar bertanya, “Wahai Rasululloh, bagaimana menurutmu dengan orang- orang yang berpuasa setahun penuh dan berbuka sehari?” Beliau menjawab, “Dia tidak dianggap berpuasa dan tidak dianggap berbuka”. Umar bertanya, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa dua hari dan berbuka sehari?” Beliau menjawab, “Apakah ada orang yang mampu melakukan itu?” Umar bertanya, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka sehari?” Beliau menjawab, “Itulah puasa Daud ‘Alaihis Salaam”, Umar bertanya, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari, dan berbuka dua hari?” Beliau menjawab, “Aku berharap aku diberi kekuatan untuk itu”, Lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Puasa tiga hari dalam setiap bulan, dari Ramadhan ke Ramadhan, itu sama dengan puasa selama setahun penuh. Puasa Arafah dengan mengharap pahala dari Alloh akan menghapus dosa setahun yang telah lalu, dan setahun yang akan datang, dan Puasa pada hari ‘Asyura dengan mengharap pahala dari Alloh, akan menghapus dosa setahun yang telah lalu”.
Sumber: “Shahih Muslim II, Bab 36. Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulan, Puasa Arafah, Puasa ‘Asyura, dan Puasa Senin dan Kamis. Hadits No. 196 (1162). Hal. 405. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka As- Sunnah. Jakarta. 969. Dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,
“Tidak ada amalan pada hari- hari lain yang lebih utama dari pada sepuluh hari ini”, Mereka bertanya, “Tidak pula Jihad?” Beliau menjawab, “Tidak Pula Jihad, kecuali orang yang keluar dengan mempertaruhkan jiwa dan hartanya, kemudian ia tidak kembali dengan sesuatupun”.
Sumber: Shahih al- Bukhari I, Bab 11: Keutamaan Beramal pada hari- hari Tasyriq/ Hadits No. 969. Hal. 679. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka As- Sunnah. Jakarta.436 (1348). Dari Ibnu Musayyab berkata: 'Aisyah berkata:
“Sesungguhnya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Tidak ada satu hari pun yang lebih banyak hamba terbebas dari neraka selain hari Arafah. Karena saat itu Alloh mendekat dan membangga- banggakan mereka kepada para Malaikat, maka firman- Nya, “Apa yang mereka Inginkan?”.
Sumber: “Shahih Muslim II, Bab 79: Keutamaan Haji, Umrah, dan Hari Arafah. Hadits No. 436 (1348). Hal. 655. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka As- Sunnah. Jakarta.

Maka sungguh hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan kesabaran...

Mengadu Kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala.

Tunduk di hadapan Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala, juga berharap, dan menghadap kepada- Nya dengan do’a di kala terjadi kesulitan, adalah ibadah yang sangat agung,
karena kala itu seorang hamba menampakkan penghambaannya kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala, juga rasa butuhnya dan kehinaannya di hadapan Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala.

Terkadang seorang hamba mendapatkan musibah, lantas dia mengeluh kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala, sungguh sikap seperti itu sama sekali tidak bertentangan dengan kesabaran.

Ya’qub ‘Alaihissalam telah berjanji untuk bersabar dengan kesabaran yang baik, sebagaimana yang Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala firmankan,

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Alloh sajalah yang dimohon pertolongan- Nya terhadap apa yang kamu ceritakan”. (QS. Yusuf: 18).


Demikian pula dijelaskan dalam firman- Nya:

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah- mudahan Alloh mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sesungguhnya Dia lah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS. Yusuf: 83).


Dan tentunya jika seorang Nabi telah berjanji, niscaya dia tidak akan menyelisihi, akan tetapi Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala mengabarkan,

“Ya’qub menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Alloh, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Alloh, apa yang kamu tiada mengetahuinya”. (QS. Yusuf: 86).


Demikian pula Ayyub (‘Alaihissalam), Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala mengabarkan bahwa beliau termasuk orang- orang yang bersabar sebagaimana dalam firman- Nya:

“Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang Sabar. Dialah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabb- nya)”. (QS. Shaad: 44).


Kendati demikian, beliau mengadu kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala atas musibah yang menimpanya ketika beliau menyeru:

“Dan ingatlah akan hamba kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb nya, “Sesungguhnya aku digangggu setan dengan kepayahan dan siksaan”. (QS. Shaad: 41)


Di ayat lain Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman,

“Dan (Ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Rabb nya, “(Ya Rabb ku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb yang Maha Penyayang diantara semua penyayang”. (QS. Al- Anbiyaa’ : 83).




Walhasil, ketika seorang hamba ditimpa musibah, lantas dia memohon kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala agar musibah tersebut dihilangkan darinya atau diberikan keringanan untuknya, maka sungguh hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan kesabaran, bahkan itulah diantara hikmah Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala memberikan ujian kepada hamba- Nya.

Jika ia kehilangan sesuatu, lantas memohon kepada Alloh ‘Azza Wa Jalla agar mengembalikannya, maka sungguh hal itu tidak merusak kesabaran yang Baik. Yang bertentangan dengan kesabaran hanyalah mengeluh kepada Alloh Ta’ala akan tetapi di hadapan manusia, menampakkan kesulitan dan kesedihan di hadapannya.

Wahai hamba Alloh yang taat.! Jika anda memahami hal ini, maka sungguh anda mengetahui kesesatan orang yang mengatakan, “Ketika anda memohon kepada Alloh ‘Azza Wa Jalla, maka hal itu berarti anda menuduh buruk kepada Nya”. Maha Suci Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala atas segala sifat yang diungkapkan oleh orang- orang bodoh.

Mereka berhujjah dengan perkataan Ibrahim ‘Alaihissalam sebagaimana mereka tuturkan, Yakni ketika beliau dilemparkan ke dalam Api, lantas Jibril datang kepadanya seraya berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau membutuhkan sesuatu?” Dia menjawab, “Aku tidak membutukanmu”. Kata Jibril, “Mintalah kepada Alloh Ta’ala!” Ibrahim berkata, “Aku tidak harus meminta, karena Dia mengetahuinya”.

Hadits ini tidak bersumber, ia hanya merupakan Israiliyyat sebagaimana dituturkan oleh al- Baghawi dalam kitabnya Mu’alimut Tanzil (III/ 250), beliau mengisyaratkan bahwa riwayat tersebut lemah, dan menganggapnya termasuk Israiliyyat, bahkan menyatakan bersumber dari Ka’ab al- Ahbar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata dalam kitabnya Majmu’ul Fataawa (VIII/ 539):

“Diantara mereka ada yang berhujjah dengan riwayat yang menjelaskan bahwa Ibrahim dilemparkan ke dalam api, lantas Jibril berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau membutuhkan sesuatu?” Dia menjawab, “Aku tidak membutuhkanmu” Kata Jibril, “Mintalah kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala!” Ibrahim berkata, “Aku tidak harus minta, karena Dia mengetahuinya”.


Awal hadits ini dikenal, yakni ungkapan bahwa Ibrahim tidak membutuhkannya, sebagaimana dijelaskan dalam Shahiih al- Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas Radhialloohu 'Anhuma,

حسبنا الله و نعم الوكيل

“Cukuplah Alloh menjadi penolong kami, dan Alloh adalah sebaik- baik pelindung”. (QS. Ali Imran: 173)


Dijelaskan, bahwa itulah perkataan yang diucapkan oleh Ibrahim kala dilemparkan ke dalam api, juga dikatakan oleh Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kala seseorang berkata kepadanya, “Manusia telah berkumpul untuk menyerang kalian, maka takutlah!”

Adapun ungkapan, “Aku tidak harus meminta, karena Dia mengetahuinya”, adalah ungkapan bathil yang bertentangan dengan riwayat yang menjelaskan tentang Ibrahim juga yang lainnya dari kalangan para Nabi, yakni mereka Berdo’a dan Meminta kepada Alloh Ta’ala.

Juga bertentangan dengan perintah Alloh ‘Azza Wa Jalla kepada para hamba- Nya agar meminta kepada- Nya berkaitan dengan kemashlahatan dunia maupun akhirat, seperti dinyatakan dalam ayat berikut ini:


ربنا أتنا في الدنيا حسنة و في الاخرة حسنة وقنا عذاب النار

“Dan diantara mereka ada orang yang berdo’a “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari Siksa Api Neraka”. (QS. Al- Baqarah: 201).


Do’a, meminta dan bertawakkal kepada Alloh Ta’ala merupakan salah satu bentuk ibadah kepada- Nya dengan tetap melakukan sebab yang ditentukan oleh- Nya...”. Wallohu a'lam.

Ibnu Arraq Rahimahulloh berkata dalam kitabnya Tanzihusy Syari’ah (I/ 250) dengan menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, “Riwayat tersebut Palsu”. Wallohu a’lam.

Sumber: ‘Meniru Sabarnya Nabi”, Hal. 155- 159. Syaikh Salim bin ‘Ied al- Hilali. Darul Ilmi Publishing. Bogor.