Minggu, 25 Desember 2011

Akhir Kehidupan Yang Baik

19 Tanda Husnul Khatimah



Syaikh al- Imam al- Muhaddits, Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahullah, Sang Mujaddid Abad ini, menuliskan Alamaat Husnil Khaatimah (Tanda- tanda Husnul Khatimah) dalam Kitab Ahkaamul Janaa-iz. (Terbitan Maktabah al- Ma’arif –Riyadh, Cetakan ke -3 Th. 1410H). Selanjutnya beliau Rahimahullah mengatakan:



“Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Pembuat Syari’at Yang Maha Bijaksana telah menetapkan tanda- tanda yang jelas, yang menunjukkan akhir kehidupan yang baik (Husnul Khaatimah). Semoga Allah Ta’ala dengan Keutamaan dan Karunia- Nya menetapkan tanda- tanda tersebut bagi kita. Barangsiapa dianugerahi salah satu dari tanda- tanda tersebut, maka baginyalah kabar Gembira (dengan mendapatkan akhir kehidupan yang baik itu). Inilah tanda- tanda Husnul Khatimah tersebut:



1. Ucapan Kalimat Syahadat ketika meninggal Dunia.



Banyak Hadits- hadits yang menerangkan tentang tanda yang pertama ini. Di antaranya adalah Sabda Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam:



“Barangsiapa yang Akhir perkataannya adalah Kalimat Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah), maka ia pasti masuk Surga”.



(Hadits Hasan, Lihat Shahiih al- Jaami’ish Shaghir No. 6479, dan Irwaa-ul Ghaliil (III/ 149)).



2. Meninggal dengan Berkeringat Di Dahinya.



Hal ini berdasarkan Hadits dari Buraidah bin al- Khashib Radhiallohu 'Anhu, Bahwasanya Buraidah sedang berada di daerah Khurasan. Lalu ia menjenguk saudaranya yang sedang sakit, dan ia menyaksikan kematiannya. Ia melihat keringat di dahi saudaranya yang telah meninggal itu. Ia berkata,



“Allah Maha Besar. Aku telah mendengar Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Meninggalnya seorang Mukmin adalah dengan berkeringat di dahinya”.

(Hadits Shahih, Lihat Shahiih Sunan an- Nasa-i (No. 1828)).



3. Meninggal pada Malam Atau Hari Jum’at.



Berdasarkan Hadits Yang Seluruh Jalan Periwayatannya Hasan Atau Shahih. Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,



“Tidak ada seorang Muslim pun yang meninggal pada hari atau malam Jum’at, Kecuali ia akan dijaga oleh Allah dari Fitnah Kubur”.

(Hadits ini Hasan: Lihat Shahiih al- Jami’ish Shaghiir (No. 5773), Shahiih at- Targhiib wat Tarhiib (No. 3562), dan Misykaatul Mashaabiih (No. 1367)).



4. Gugur Sebagai Syuhada di Medan Perang,

Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:



“Janganlah Kamu Mengira Bahwa Orang- orang yang gugur di Jalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb- nya dengan mendapatkan Rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang dianugerahkan- Nya kepada mereka. Dan mereka senang terhadap orang- orang yang masih tinggal di belakang mereka (masih hidup di dunia), yang belum menyusul mereka, Bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka senang dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia- nyiakan pahala orang yang beriman”. (QS. Ali ‘Imran 169- 170).



Dan juga berdasarkan Sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam:



“Bagi orang yang mati Syahid (gugur di medan perang Fii Sabiilillaah) ada 6 (enam) perkara (anugerah) pada sisi Allah: (1) Allah mengampuninya sejak pertama kali darahnya menetes, (2) ia melihat tempat tinggalnya kelak di Surga, (3) Dilindungi dari Siksa Kubur, (4) Merasa Aman dari kegoncangan yang besar (di Hari Kiamat), (5) Diberi perhiasan dengan perhiasan Iman serta dinikahkan dengan bidadari (Surga), dan (6) Diberi wewenang untuk memberikan Syafa’at (pembelaan) kepada tujuh puluh orang familinya”. (Hadits ini Shahiih, Lihat Misykaatul Mashaabiih (No. 3834), dan Shahiih at- Targhiib Wat Tarhiib, (No. 1375)).



5. Meninggal Ketika Berperang Di Jalan Allah.



Hal ini berdasarkan Sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam:



“Menurut Kalian, Siapa Sajakah orang yang Syahid di antara Kalian?”



Maka Para Shahabat pun menjawab, “Orang yang Syahid adalah yang gugur di medan perang di Jalan Allah”.



Maka Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:

“Jika demikian, maka orang yang Syahid dari umatku itu sangat sedikit”.



Para Shahabat- pun bertanya, “Kalau begitu, Siapakah mereka Wahai Rasulullah?”



Beliau Menjawab:



“Orang Yang terbunuh (gugur) di medan perang Fii Sabiilillah, Ia Syahid. Orang Yang meninggal dalam memperjuangkan Agama Allah (Fii Sabiilillah), Ia Syahid. Orang yang meninggal karena Suatu Wabah Penyakit, Ia Syahid. Orang yang meninggal karena Sakit perut, Ia Syahid. Dan orang yang mati tenggelam, Ia Syahid.



(Hadits ini Shahiih, Lihat Misykaatul Mashaabiih (No. 3811), dan Shahiih at- Targhiib Wat Tarhiib, (No. 1393)).



6. Meninggal karena Suatu Wabah Penyakit.

Hal ini berdasarkan beberapa Hadits, di antaranya adalah Sabda Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam:



“Wabah Penyakit menular itu adalah (Salah Satu penyebab) mati Syahid bagi Setiap Muslim”.



(Hadits ini Shahiih, Lihat Shahiihul Jaami’ (No. 3947), Shahiih at- Targhiib Wat Tarhiib (No. 1399), dan Misykaatul Mashaabiih (No. 1545)).



7. Meninggal Karena Menderita Penyakit Di Perutnya.



Hal ini berdasarkan Sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang telah lalu. Yakni Sabda beliau:



“Dan Orang yang meninggal karena Sakit perut, dia Syahid”. (Hadits ini Shahiih).



8 & 9. Orang yang Meninggal Karena Tenggelam, atau Tertimpa Reruntuhan.



Hal ini berdasarkan Sabda Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam :



“Orang- orang yang Syahid ada Lima:

(1) Orang yang meninggal karena Wabah Penyakit, (2) Orang Yang meninggal karena Sakit Perut, (3) Orang Yang Mati Tenggelam, (4) Orang Yang tertimbun Longsor (atau tertimpa Reruntuhan), (5) Orang yang meninggal dalam membela agama Allah”.



(Lihat Shahiihul Jaami’ (No. 3741), Shahiih at- Targhiib Wat Tarhiib (No. 1393), dan Misykaatul Mashaabiih, (No. 1546)).



10. Wanita Yang Meninggal dalam Masa Nifasnya, atau disebabkan karena melahirkan Anaknya.



Hal ini berdasarkan Hadits ‘Ubadah bin ash- Shamit, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjenguk ‘Abdullah bin Rawahah yang Sudah tidak mampu lagi beranjak dari tempat tidurnya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:



“Tahukah engkau tentang para Syuhada dari umatku?”



Para Shahabat menjawab, “Gugurnya seorang muslim (di medan perang) adalah Syahid”.



Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda lagi:



“Jika demikian, maka para syuhada dari umatku sangat sedikit. Gugurnya seorang muslim (di medan perang) adalah Syahid. Orang yang terkena wabah penyakit juga Syahid. Wanita yang meninggal disebabkan anaknya yang masih dalam rahimnya (atau ketika melahirkannya) adalah syahid. [Anaknya akan menarik ibunya ke dalam Surga dengan Tali Pusarnya]..”



(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad- nya (IV/ 210, V/ 323) dengan Sanad Yang Shahiih).



11 & 12. Meninggal karena terbakar atau karena Radang selaput Dada (Atau pada Rusuk),



Hal ini berdasarkan Beberapa Hadits , Yang Paling Masyhur adalah Hadits Marfu’ dari Jabir bin ‘Atik:



“Selain gugur di medan perang Fii Sabiilillah, ada tujuh (golongan) Yang Mati sebagai Syuhada: (1) Orang yang meninggal karena Suatu wabah penyakit adalah Syahid, (2) Orang Yang Mati Tenggelam adalah Syahid, (3) Orang yang meninggal karena penyakit radang selapput dada adalah Syahid, (4) Orang Yang meninggal karena sakit perut adalah Syahid, (5) Orang yang mati terbakar adalah Syahid, (6) Orang yang meninggal karena tertimpa (atau terjebak) di bawah reruntuhan (atau longsor) adalah Syahid, (7) Wanita yang meninggal karena anaknya (sedang hamil atau ketika melahirkan) adalah Syahid.



(Hadits ini Shahiih, Lihat Shahiih at- Targhiib Wat Tarhiib (No. 1398), Misykaatul Mashaabiih (No. 1561), dan Shahiih Sunan Abi Dawud (No. 2668)).



13. Meninggal Karena Penyakit TBC.



Hal ini berdasarkan Sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam :



“Orang Yang terbunuh (gugur) di Jalan Allah adalah Syahid. Wanita yang meninggal di masa nifas (karena melahirkan anaknya) adalah Syahid. Orang yang mati terbakar adalah Syahid. Orang yang meninggal karena penyakit TBC adalah Syahid. Dan orang yang meninggal karena sakit perut adalah Syahid”.



(Hadits ini Hasan, Lihat al- Mu’jamul Kabiir (No. VI/ 247), No. 6115) oleh Imam ath- Thabrani).



14. Orang Yang meninggal dalam membela harta yang hendak dirampas orang lain.



Hal ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya adalah Sabda Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam :



“Orang Yang meninggal dalam rangka membela hartanya (pada riwayat yang lain: Barangsiapa yang hartanya akan dirampas dengan cara yang tidak dibenarkan, lalu ia berkelahi membela haknya, dan ia terbunuh), maka ia Syahid”.



(Hadits ini Shahiih, Lihat Shahiihul Jaami’ (No. 6444)).



15 & 16. Orang Yang Meninggal karena membela agama dan Jiwanya.



Hal ini berdasarkan Sabda Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam :



“Orang yang terbunuh dalam rangka membela hartanya, Ia Syahid. Orang yang terbunuh dalam rangka membela keluarganya adalah Syahid. Orang yang meninggal dalam rangka membela agamanya, ia Syahid. Dan orang yang terbunuh dalam membela darah (jiwa)nya adalah Syahid”. (Hadits ini Shahiih, Lihat Shahiihul Jaami’ No. 6445)).



17. Orang yang Meninggal dalam Tugas Fii Sabiilillah dalam menjaga Wilayah Perbatasan Atau Menjaga Wilayah Negeri Kaum Muslimin.



Hal ini berdasarkan Sabda Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam :



“Ribath (Siap Siaga dalam menjaga perbatasan Kaum Muslimin) Sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa sebulan, dan malam- malamnya digunakan untuk Qiyamul Lail. Jika ia meninggal, maka pahala amalnya yang ia lakukan (di dunia) akan tetap mengalir kepadanya, dan rizqynya pun akan tetap mengalir kepadanya. Dan ia akan aman dari berbagai fitnah (setelah mati)”.



(Hadits ini Shahiih, Lihat Shahiih at- Targhiib Wat Targhiib, (No. 1217)).



18. Meninggal Ketika Sedang Berada Dalam Suatu Amal Shalih.



Hal Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam:



“Barangsiapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah (Tidak Ada Ilah Yang berhak diibadahi dengan benar, Kecuali Allah) dengan mengharapkan Wajah Allah (Ikhlas), sedangkan hidupnya diakhiri dengan kalimat ini, maka ia pasti masuk ke Surga. Barangsiapa yang berpuasa karena mengharapkan Wajah Allah (Ikhlas), lalu ia tutup usia, maka ia pasti masuk Surga, dan Barangsiapa BerSHadaqah dengan mengharapkan Wajah- Nya (Ikhlas), lalu ia meninggal dengan amal Shadaqah ini, maka ia pasti masuk Surga”.



(Hadits Shahiih, Lihat Shahiih at- Targhiib Wat Tarhiib, No. 985)).



19. Orang Yang Dibunuh Oleh Raja Yang Zhalim, dalam Rangka menegakkan (Kebenaran) dan memberikan Nashihat kepadanya.



Hal ini Berdasarkan Sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam :



“Pemimpin Para Syuhada adalah Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, dan Seseorang yang mendatangi Imam (Pemimpin Kaum Muslimin) untuk memerintahkan (kebaikan), dan melarangnya (melakukan kemungkaran), namun pemimpin kaum muslimin itu malah membunuhnya”. (HR. Al- Hakim, dan Ia menShahiih-kannya. Diriwayatkan juga oleh al- Khathib).



(Hadits ini Shahiih, Lihat Shahiih at- Targhiib Wat Tarhiib, (No. 2308), dan Silsilah ash- Shahiihah, No. 374)).



Sebab- Sebab Husnul Khatimah:



Sebab terbesar dari Husnul Khatimah adalah seseorang senantiasa Taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan Pokok Pangkal dari Ketaatan dan ketakwaan ini adalah meneguhkan Tauhid (Meng- Esa-kan Allah ‘Azza Wa Jalla) , berhati- hati dari melakukan segala sesuatu yang diharamkan – Nya, serta bersegera untuk bertaubat dari segala sesuatu yang menodai ketaatan dan ketakwaannya itu. Dan noda terbesar yang harus segera ditaubati adalah Syirik (Menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta'ala), baik Syirik Besar, maupun Syirik Kecil.



Allah ‘Azza Wa Jalla Berfirman,



“Sungguh Allah tidak akan mengampuni Dosa Syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (Syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka Sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat Besar”. (QS. An- Nisaa’ :48).



Sebagian dari penyebab Husnul Khatimah (Akhir Kehidupan Yang Baik) adalah:

1. Senantiasa bersungguh-sungguh dan tidak bosan- bosan untuk berdo’a agar Allah Ta’ala mewafatkannya dalam Keimanan dan Ketakwaan.



2. Seseorang harus beramal dengan segenap kesungguhan dan Ketaatannya dalam rangka memperbaiki Zhahir dan bathinnya. Niat dan tujuannya harus dihadapkan untuk membuktikan dan membenarkan amal tersebut, karena Sunnatullah Yang Maha Mulia Subhanahu Wa Ta'ala telah berlaku, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla akan memberikan Taufik kepada Setiap Pencari Kebenaran untuk menggapai Kebenaran Tersebut. Setelah kebenaran itu tergapai, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan meneguhkannya di jalan kebenaran tersebut, serta Dia akan mengakhiri hidup si hamba dalam keadaan akhir yang baik tersebut. Wallahu a’lam.

Sumber:

1. Bahagia Ataukah Sengsara Di Akhir Kehidupan. Hal. 54- 73 dan Hal. 34- 36. Syaikh Khalid bin ‘Abdurrahman asy- Syayi’ . Media Tarbiyah. Bogor.

2. Ahkaamul Janaa-iz (Tuntunan Pengurusan Jenazah & Ziarah Kubur). Hal. 79-96. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani. Ash- Shaf Media. Tegal. (Catatan: Pada Buku ini hanya disebutkan 18 Tanda Khusnul Khatimah, Tanpa ada No.19. Buku ini Insya Allah sangat Bermanfaat dengan keterangan lebih mendalam dan penjelasan yang Shahih).

Jumat, 09 Desember 2011

Dan hendaknya mengadukan semua kesulitan itu hanya kepada Allah 'Azza Wa Jalla..

Sesungguhnya hakikat hidup ini adalah cobaan dan ujian. Allah ciptakan hidup dan mati untuk menguji manusia: Siapa yang paling baik amalnya.


“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun”. (QS. Al- Mulk: 2).


Cobaan dan Ujian selalu mengiringi manusia, apakah itu berupa kesenangan atau kesusahan, kekayaan atau kemiskinan, sehat atau sakit, gembira atau sedih, dan lainnya. Semua itu merupakan ujjian, apakah manusia bersyukur atau tidak, bersabar atau tidak. Bagi orang yang diberikan kesenangan, kekayaan, kegembiraan, maka konsekuensi kesenangan yaitu bersyukur atas segala nikmat Allah dengan mentauhidkan Allah dalam beribadah hanya kepada- Nya, melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan menjauhkan perbuatan dosa dan maksyiat. Orang yang bersyukur kepada Allah sangat sedikit sekali.

“Dan sedikit sekali dari hamba- hamba- Ku yang bersyukur”. (QS. Saba’ : 13)


Bagi orang yang diberikan cobaan, ujian berupa kesusahan, kefaqiran, dan penyakit, maka konsekuensinya adalah sabar, tidak banyak berkeluh kesah dan hendaknya mengadukan semua kesulitan itu hanya kepada Allah, Sabar dan Ridho kepada Takdir Allah, tidak berputus asa dari Rahmat Allah, dan terus berdo’a hanya kepada Allah saja, maka Allah akan memberikan ganjaran yang besar kepada orang yang Sabar.

“Hanya orang- orang yang Bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. (QS. Az- Zumar: 10).


Seorang Mukmin, Semua urusannya adalah baik, jika ia mendapat kesenangan, maka ia bersyukur. Dan jika ia mendapat kesulitan, kesusahan, atau penyakit, maka ia bersabar, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim No. 2999 dari Shahabat Shuhaib Radhiallohu 'Anhu.

Seorang Mukmin harus memahami dan meyakini hakikat Cobaan dan Ujian, karena dengan cobaan dan Ujian, Allah memberikan Ganjaran, Pahala, Derajat Yang Tinggi, dan Jaminan Surga bagi orang yang Lulus dalam Ujian hidup ini.

Begitu pula orang yang ditimpa musibah berupa penyakit dan lainnya, ia harus Ridha dan Sabar. Dan Yang Wajib kita ingat bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala Yang menurunkan Penyakit, dan Dia jugalah yang menurunkan obatnya.

Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Allah tidak menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya”. (HR. al- Bukhari No. 5678, dari Abu Hurairah Radhiallohu 'Anhu).

“Setiap Penyakit ada obatnya, jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk suatu penyakit, maka penyakit itu akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza Wa Jalla”. (HR. Muslim No. 2204, dari Jabir Radhiallohu 'Anhu).


Tidak ada seorangpun yang dapat menghilangkan bahaya, penyakit, dan musibah kecuali hanya Allah saja.

“Dan apabila aku sakit, Dia- lah yang menyembuhkan aku”. (QS. Asy- Syu’araa’ : 80).

“Dan Jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia- Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba- hamba- Nya, dan Dia- lah yang Maha Pengampun , Maha Penyayang”. (QS. Yunus: 107).


“Jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya selain Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al- An’aam: 17).


Untuk menghilangkan bahaya dan menyembuhkan penyakit, cara yang paling baik, mujarab, dan manjur adalah dengan Al- Qur-an dan As- Sunnah. Di dalam buku ini, penulis menjelaskan tuntunan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang Lengkap tentang bagaimana mengobati orang yang terkena musibah penyakit, guna- guna, santet, Sihir, dan lainnya, yaitu dengan Al- Qur-an dan As-Sunnah.

Hanya Allah saja yang dapat memudahkan urusan kaum Muslimin, menghilangkan kesulitan- kesulitan mereka dan menyembuhkan kita dan saudara- saudara kita yang terkena musibah dan penyakit. Mudah- mudahan kita kembali kepada Allah dengan bertaubat, mentauhidkan Allah menjauhkan Syirik, dan segala macam maksyiat, dan mudah- mudahan kita dapat melaksanakan ibadah kepada Allah dengan Ikhlas dan Ittiba’ (Mencontoh_red) kepada Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam.

Mudah- mudahan buku ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca. Semoga Amal ikhlas ini semata- mata karena Allah dan dicatat sebagai amal Shalih pada timbangan kebaikan pada hari Kiamat, pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak- anak.

Semoga Sholawat dan Salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, keluarganya, Para Shahabatnya, dan orang- orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Bogor, 6 Ramadhan 1429H

Yazid bin Abdul Qadir Jawas

(Abu Fat-hi)

Penulis

Sumber: 'Hikmah Di Balik Musibah & Ruqyah Syar'iyyah: Do'a- do'a terhadap pengobatan dan Sihir, Guna- guna, dan Penyakit- penyakit Lainnya'. Muqaddimah. Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam Asy- Syafi'i. Jakarta.

Selasa, 29 November 2011

Pembatal- Pembatal Sedekah

Pahala Sedekah Dapat terhapus dan Batal apabila dilakukan pembatal- pembatalnya. Di antara pembatal- pembatal sedekah ialah:

1.Riya’

Riya’ dapat membatalkan sedekah jika ia menyertai sedekah tersebut. Dan allah Ta’ala telah mencela orang- orang yang bersedekah karena riya’ dalam firman- Nya (Yang Artinya):

“Dan (juga) orang- orang yang menginfakkan harnyata karena riya’ kepada orang lain (ingin dilihat dan dipuji), dan orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Barangsiapa yang menjadikan setan sebagai temannya, maka (ketahuilah) dia (Setan itu) adalah teman yang sangat jahat. Dan apa (keberatan) bagi mereka jika mereka beriman kepada Allah dan hari Kemudian dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadanya? Dan Allah Maha Mengetahui keadaan mereka”. (QS. An- Nisaa’ : 38-39).


Dari Abu Hurairah Radhiallohu 'Anhu ia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Allah Berfirman,

“Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amal di mana ia mempersekutukan Aku di dalamnya dengan selain- Ku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya itu”. (Shahih, HR. Muslim (No. 2985)).


Ada sebagian orang yang bersedekah karena Riya’ (ingin Dilihat manusia), Sum’ah (Ingin didengar manusia), dan berbangga- bangga dengan sedekahnya. Semua ini dapat menyebabkannya mendapatkan hukuman yang sangat keras pada hari Kiamat. Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda tentang tiga orang yang pertama kali Api Neraka dipanaskan untuknya, Salah Satunya adalah orang yang bersedekah, dan berinfak karena Riya’. Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“...Dan Orang yang diberikan kelapangan Rezeki dan berbagai macam harta bendam ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan- kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat- nikmat itu?’ ia menjawab, “Aku tidak pernah meninggalkan sedekah dan infak pada jalan yang Engkau cintai, melainkan aku pasti melakukannya semata- mata karena-Mu’. Allah berfirman, “Engkau Dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu)’. Kemudian (Malaikat) diperintahkan untuk menyeretnya di atas mukanya, lalu ia pun dilemparkan ke dalam Neraka”. (Shahih, HR. Muslim (No. 1905), Ahmad (II/ 322), an- Nasa-i (VI/ 23-24), al- Baihaqi (IX/ 168), dan al- Hakim (I/ 418-419)).



2. Menyebut-nyebut sedekah dan menyakiti perasaan penerima Sedekah dapat membatalkan sedekah.

Allah Ta’ala berfirman,

“Perkataan yang Baik dan Pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Maha Kaya, Maha Penyantun. Wahai orang- orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut- nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfaqkan hartanya karena riya’ (pamer) kepada manusia, dan dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apapun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang- orang kafir”. (QS. Al- Baqarah: 263- 264).


Dari Abu Dzarr Radhiallohu 'Anhu, dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda,

“Tiga Orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak melihat kepada mereka, tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih”.
Abu Dzar berkata, “Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam membacakannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Merugilah mereka. Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“(Mereka adalah) Orang yang melabuhkan kainnya (sampai melewati mata kaki), Orang yang mengungkit- ungkit (Kebaikan), dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. (Shahih, HR. Muslim, No. 106)).


3. Sedekah dari Harta Ghulul (Harta rampasan perang yang diambil sebelum dibagikan oleh imam kaum muslimin) Tidak Diterima.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiallohu 'Anhuma, dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,

“Tidak diterima Sholat tanpa bersuci, dan sedekah dari Ghulul”. (Shahih, HR. Muslim, No. 224).


4. Sedekah dari Harta yang Haram.

Dari Abu Hurairah Radhiallohu 'Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa mengumpulkan harta yang Haram kemudian berseekah dengannya, maka tidak ada Ganjaran pahala di dalamnya, dan dia yang menanggung dosa (hukuman)nya”. (Hasan, HR. Ibnu Khuzaimah (No. 2471), Ibnu Hibban (No. 797 –Mawaariduzh Zham-aan), dan al- Hakim (I/ 390). Dihasankan oleh Syaikh al- Albani Rahimahullah dalam Shahiih at- Targhiib war Tarhiib (I/ 527. No. 880)).


Sumber: ‘Sedekah Sebagai Bukti Keimanan & Penghapus Dosa”. Hal. 125- 130. Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Rabu, 16 November 2011

Karena ziarah kubur dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, mengingat akhirat,

53. Bab: Ziarah Kubur

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menganjurkan untuk Ziarah kubur ke Pemakaman kaum Muslimin, karena Ziarah kubur mengandung banyak manfaat. Manfaat ziarah kubur antara lain: akan melembutkan hati, mengingatkan diri kita kepada kematian, dan mengingatkan negeri akhirat, sebagaimana Sabda Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam,

“Dahulu aku pernah melarang kalian untuk Ziarah kubur, sekarang Ziarahilah kubur, karena ziarah kubur dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, mengingat akhirat, dan janganlah kalian mengucapkan kata- kata kotor (di dalamnya)”.

HR. Al- Hakim (1/ 376) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiallohu 'Anhu dengan sanad yang Hasan. Lihat keterangan lebih lengkap dalam Ahkaamul Janaa-iz Wa Bidaa’uha (Hal. 227- 229) oleh Syaikh al- Albani Rahimahullah.


“Sesungguhnya dulu aku telah melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang ziarahilah kubur, sesungguhnya pada ziarah kubur itu ada pelajaran (bagi yang hidup)”.

HR. Ahmad (III/ 38), al- Hakim (I/ 374- 375), dan al- Baihaqy (IV/ 77). Al- Hakim berkata, “Hadits Shahih sesuai dengan Syarat Muslim”, dan disepakati oleh adz- Dzahabi.


Mengenai perbuatan yang dilakukan orang di kuburan, dan ketika ziarah kubur ada tiga (3) macam (Mujmal Ushuul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Fil Aqiidah, Hal. 16):

1. Ziarah yang disyari’atkan, yaitu Ziarah kubur dengan tujuan mengingat mati, akhirat, untuk memberikan Salam kepada ahli kubur, dan mendo’akan mereka atau memohonkan ampun untuk mereka. (# Peringatan: Tidak boleh memohonkan ampunan untuk orang Kafir, meskipun orang tua sendiri/ kerabat. Lihat dalilnya di QS. At- Taubah: 113)


2. Ziarah yang Diada- adakan (Bid’ah), tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid. Ini merupakan salah satu sarana perbuatan Syirik, di antaranya adalah ziarah ke kuburan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada- Nya di sisi kuburan., atau bertujuan untuk mendapatkan berkah, menghadiahkan pahala kepada ahli kubur, membuat bangunan di atas kuburan, mengecat, menembok, memberinya lampu penerang serta menulis nama di atas papan nisan.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

“Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang untuk menembok kuburan, duduk- duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya (atau ditambah tanahnya) (atau ditulis atasnya- ditulis nama pada nisannya).

HR. Muslim (No. 970 (94)), Abu Dawud (No. 3225), at- Tirmidzi (No. 1052), an- Nasa-i (IV/ 86), Ahmad (III/ 339, 399), al- Hakim (I/ 370), al- Baihaqy (IV/ 4) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdullah Radhiallohu 'Anhuma. Tambahan pertama dalam kurung diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an- Nasa-i, tambahan kedua dalam kurung diriwayatkan oleh at- Tirmidzi dan al- Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh at- Tirmidzi dan al- Hakim. Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 260).


Juga termasuk perbuatan bid’ah bila menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan sengaja bepergian jauh untuk mengunjunginya. (Tentang masalah ini lebih lengkap dapat dilihat dalam Kitab Ahkaamul Janaa-iz wa Bida’uha Hal. 259- 294 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahullah, Fathul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh).

Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda tentang larangan untuk mengadakan perjalanan dengan tujuan ibadah ke tempat- tempat selain dari tiga (3) tempat:

“Tidak boleh mengadakan Safar/ perjalanan (dengan tujuan beribadah) kecuali ke tiga masjid, yaitu: Masjidil Haram, dan Masjidku ini (Masjid Nabawi) Serta Masjid al- Aqsha”.

HR. Al- Bukhari (No. 1197, 1864, 1995), Muslim (No. 827), dan yang lainnya dari Shahabat Abu Sa’id al- Khudri Radhiallohu 'Anhu. Terdapat juga di Shahiih al- Bukhari (No. 1189), Muslim (No. 1397), dan yang lainnya dari Shahabat Abu Hurairah Radhiallohu 'Anhu. Hadits ini Shahih, Diriwayatkan dari beberapa Shahabat yang derajatnya Mutawatir, Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/ 226 No. 773).


3. Ziarah Kubur yang Syirik, yaitu Ziarah yang bertentangan dengan tauhid, misalnya mempersembahkan suatu macam ibadah kepada ahli kubur, seperti berdo’a kepadanya sebagaimana layaknya kepada Allah, meminta bantuan dan pertolongannya, berthowaf di sekelilingnya, menyembelih kurban, dan bernadzar untuknya dan lain sebagainya.

Seorang mukmin tidak boleh memalingkan ibadahnya kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala, perbuatan ini adalah Syirkun Akbar dan mengeluarkan seseorang dari Islam bila sudah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Seluruh ibadah harus kita lakukan hanya kepada Allah Saja dengan ikhlas tidak boleh menjadikan kubur sebagai perantara menuju kepada Allah, karena ini adalah perbuatan orang Kafir Jahiliyah. (# Orang- orang Kafir menjadikan berhala sebagai perantara kepada Allah, lihat QS. Az- Zumar: 3).

Sesuatu yang menjadi Wasaa-il (Sarana) dihukumi berdasarkan tujuan dan sasaran. Setiap sesuatu yang menjadi sarana menuju Syirik dalam ibadah kepada Allah atau menjadi Sarana menuju bid’ah, maka wajib dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru (Dalam Agama, yang tidak ada dasarnya, tidak ada contohnya dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan Para Shahabatnya) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.

Di muka bumi ini, tidak ada satu pun Kuburan yang mengandung berkah sehingga sia- sia orang yang sengaja ziarah menuju kesana untuk mencari berkah. Dalam Islam tidak dibenarkan sengaja mengadakan safar (perjalanan) siarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur- kubur tertentu, seperti kuburan Wali, Kyai, Habib, dan lainnya dengan niat (tujuan) mencari keramat dan berkah serta mengadakan ibadah di sana. Hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan di dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah merupakan sarana yang menjurus kepada kemusyrikan. Wallohu a’lam.

Sumber: Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah: Bab. 53: Ziarah Kubur. Hal. 439- 442. Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam Asy- Syafi’i. Jakarta.

(2). Ziarah Kubur Yang Disyari’atkan Oleh Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam.

Ziarah Kubur yang diSyari’atkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada ummatnya meliputi: Pergi Ke Kuburan, membaca Salam kepada Ahli Kubur, dan mendo’akan mereka. Ziarah ini sama kedudukannya dengan Sholat Jenazah. Orang yang melakukan Sholat Jenazah pun bermaksud untuk mendo’akan mayit agar memperoleh Rahmat dan ampunan Alloh., dan ia mendapatkan pahala atas kebaikannya terhadap mayyit atau ahli kubur.

Adab- adab dan tatacara Ziarah kubur yang disyari’atkan di antaranya:

Peziarah disunnahkan keluar rumah menuju pekuburan dengan niat Ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala, tunduk hati dan merasa diawasi oleh Allah Azza Wa Jalla. Ia mengambil pelajaran dari orang- orang yang telah terlebih dahulu meninggal. Dengan demikian maka bacaan salam dan do’anya bagi mayyit untuk mendapatkan rahmat dan ampunan akan bermanfaat (bagi mayyit tersebut). Disunnahkan pula untuk tidak mengeraskan suara di kuburan, tidak banyak berkata- kata mengenai urusan dunia dan berbagai kesibukannya.

Begitu tiba di pekuburan, bersegeralah mengucapkan Salam kepada penghuninya dengan ucapan Salam yang diajarkan dalam hadits- hadits Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang Shahih, di antaranya:

Diriwayatkan dari Buraidah Radhiallohu 'Anhu,

السلام عليكم آهل الديار من المؤمنين والمسلمين

-

وانا ان شْآ الله بكم لاحقون –



نسأل الله لنا ولكم العافية


“Kesejahteraan atas kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar menyelamatkan kami dan kalian”.


HR. Muslim, Kitab al- Janaa-iz (35), Bab Maa Yuqaalu ‘inda Dukhuu-lil Qubuur Wad Du’aa-i li Ahlihaa (II/ 61, No. 975), Ahmad dalam al- Musnad (V/ 353, 359).


Atau dari jalur yang lain,

Riwayat Ibnu ‘Abbas Radhiallohu 'Anhuma,

السلام عليكم يا أهل القبور يغفرالله لنا ولكم أنتم سلفنا ونحن بالأثر

“Kesejahteraan atas kalian wahai penghuni kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian adalah para pendahulu kami, sedangkan kami akan mengikuti jejak kalian”.

HR. At- Tirmidzi, kitab Al- Janaa-iz (59), bab Maa Yaquulur Rajulu idzaa Dakhal Maqaabira (III/ 369, No. 1053).


Atau dari

Riwayat ‘Aisyah Radhiallohu 'Anha,

السلام عليكم دار قوم مؤمنين – انتم لنا فرط – ونحن بكم لاحقون

اللهم لاتخرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم

“Kesejahteraan atas kalian wahai penghuni negeri kaum Mukminin, bagi kami, kalian adalah para pendahulu, dan kami akan menyusul kalian. Ya Allah, jangan halangi kami mendapatkan pahala (semisal) yang mereka dapatkan, dan janganlah Engkau turunkan fitnah kepada kami sepeninggal mereka”.

HR. Ibnu Majah dalam kitab Al- Janaa-iz (36), Bab Maa Jaa-a Fiimaa Yuqaalu idzaa Dakhalal Maqaabira (I/ 493, No. 1546). Wallahu a’lam.




Sumber: Tuntunan Praktis Ta’Ziyah dan Ziarah Kubur, Hal. 14- 22. Abu Muhammad Ibnu Shalil bin Hasbullah. Pustaka Ibnu Umar. Bogor.

Jumat, 28 Oktober 2011

Di Dalamnya kalian memperoleh apa saja yang kalian inginkan dan kalian minta,

Bagaimana dengan Pasangan Wanita Penduduk Surga Kelak..??

Pernah ditanyakan kepada Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin Rahimahulloh beberapa pertanyaan berikut:

1. Disebutkan bahwa kaum lelaki di Surga kelak akan mendapatkan Hurun ‘In (#bidadari bermata Jeli), bagaimana dengan kaum wanita..?
2. Apabila seorang wanita ahlul Jannah saat di dunia belum sempat menikah, atau ia menikah hanya saja suaminya tidak masuk Surga, Siapakah yang menjadi pasangan/ suaminya di Surga..?
3. Apabila seorang wanita pernah menikah dua kali di dunia (punya dua suami), nanti di Surga si Wanita bersama suami yang mana..? Mengapa Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menyebutkan adanya istri- istri bagi para lelaki di Surga, namun tidak ada penyebutan suami- suami untuk para Wanita..?


Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahulloh menjawab satu persatu pertanyaan di atas,

1. Alloh Subhanahu Wa Ta'ala berfirman tentang kenikmatan yang diperoleh penduduk Surga,

“Di Dalamnya kalian memperoleh apa saja yang kalian inginkan dan beroleh pula di dalamnya: apa saja yang kalian minta. Sebagai hidangan (persembahan) bagi kalian dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Fushshilat [41/ Ha Miim Assajdah_red] : 31- 32).


Dia Yang Maha Tinggi juga berfirman,

“Dan Di dalam Surga itu terdapat segala apa yang diinginkan oleh jiwa dan sedap dipandang mata, kalian pun kekal di dalamnya”. (QS. Az- Zukhruf: 71).


Dimaklumi bahwa menikah (mendapatkan pasangan hidup) termasuk hal yang palling didamba oleh setiap jiwa. Dengan demikian, hal itupun akan didapatkan di Surga oleh penghuninya, laki- laki atau perempuan. Jadi, kelak di Surga, Alloh Subhanahu Wa Ta'ala akan menikahkan (memasangkan) seorang wanita dengan suaminya di dunia, sebagaimana firman – Nya (tentang do’a para Malaikat untuk orang- orang beriman):

“Wahai Rabb kami, Masukkanlah mereka ke Dalam Surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang- orang yang shaleh diantara bapak- bapak mereka, DAN ISTRI- ISTRI MEREKA serta anak keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Memiliki Hikmah”. (QS. Ghafir / Al- Mu’min [40_red]: 8).


2. Jawaban Pertanyaan (yang kedua) diambil dari keumuman firman Alloh Subhanahu Wa Ta'ala,

“Di Dalamnya kalian memperoleh apa saja yang kalian inginkan dan beroleh pula di dalamnya: apa saja yang kalian minta. Sebagai hidangan (persembahan) bagi kalian dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Fushshilat [41/ Ha Miim Assajdah_red]: 31- 32).


Dia Yang Maha Tinggi juga berfirman,

“Dan Di dalam Surga itu terdapat segala apa yang diinginkan oleh jiwa dan sedap dipandang mata, kalian pun kekal di dalamnya”. (QS. Az- Zukhruf: 71).


Dengan demikian jika seorang wanita menjadi penghuni Surga padahal di dunia ia belum menikah atau suaminya bukan ahlul Jannah, di Surga tentu ada pula kaum lelaki yang di dunia belum sempat menikah. Para lelaki inilah yang akan beroleh istri- istri dari kalangan bidadari dan juga istri- istri dari kalangan wanita penduduk dunia, jika para lelaki ini menghendaki dan jiwa mereka berhasrat. Demikian pula yang kita katakan tentang wanita yang ketika di dunia tidak memiliki suami atau suaminya tidak masuk Surga bersamanya. Jika si wanita menghendaki untuk menikah, pasti ia akan dapatkan apa yang dikehendakinya, berdasarkan keumuman ayat di atas.

Adapun nash khusus terkait dengan hal ini, sekarang belum tampak bagi kami. Ilmunya ada di sisi Alloh Subhanahu Wa Ta'ala.

3. Jika seorang wanita memiliki dua suami ketika di dunia (pernah menikah dua kali), pada hari kiamat di Surga kelak ia akan diberi pilihan di antara kedua suaminya. Jika di dunia, si wanita belum sempat menikah, Alloh Subhanahu Wa Ta'ala akan menikahkannya dengan seseorang yang menyenangkan pandangan matanya di Surga.

Kenikmatan di Surga pun tidaklah hanya dirasakan oleh kaum pria, namun oleh semuanya, baik pria maupun wanita. Di antara sejumlah nikmat tersebut adalah mendapat pasangan (menikah).

Pertanyaan penanya: Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menyebutkan tentang hurun ‘in yang menjadi istri- istri lelaki ahlul Jannah, namun Alloh Ta’ala tidak menyebutkan pasangan bagi kaum wanita..?., Kami jawab,

“Alloh Subhanahu Wa Ta'ala hanya menyebutkan istri- istri bagi para suami karena seorang prialah yang mencari dan menginginkan wanita (bukan wanita yang mencari pasangan hidupnya, dia adalah pihak yang dicari). Oleh karena itu, Alloh 'Azza Wa Jalla menyebutkan istri- istri bagi para pria di dalam Surga dan tidak menyebutkan suami- suami bagi para wanita. Akan tetapi tidaklah berarti bahwa para wanita tidak memiliki Suami di Surga kelak. Mereka punya suami dari Kalangan Bani Adam (Manusia). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/ 51- 53).


Kita memohonkan kepada Alloh Subhanahu Wa Ta'ala agar memasukkan kita ke dalam Negeri Kenikmatan yang kekal abadi, yang dikatakan- Nya:

“Dan Di dalam Surga itu terdapat segala apa yang diinginkan oleh jiwa dan sedap dipandang mata, kalian pun kekal di dalamnya”. (QS. Az- Zukhruf: 71).


Dan dinyatakan oleh Rasul- Nya Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam sebagai kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga, dan tiada pula pernah terbesit di hati manusia. Wallohu Ta’ala a’lam Bish-Showab.

Tambahan:

Imam Ahmad Rahimahulloh membawakan dalam Musnad-nya, Hadits Abu Hurairoh Radhiallohu 'Anhu dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Seorang lelaki penghuni Surga akan mendapatkan dua istri dari Hurun ‘In. Pada setiap bidadari tersebut ada tujuh puluh pakaian/ perhiasan. Terlihat sumsum betisnya dari balik pakaiannya”. (Dinyatakan Shahih oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahiihul Jaami’ No. 2564).


Hurun ‘In = Bidadari yang bermata jeli, bagian hitam matanya sangat hitam dan bagian putihnya sangat putih, sebagaimana keterangan al- Imam al- Bukhari Rahimahulloh dalam Shahiihnya, Kitabul Jihad Was Sair, Bab “al- Hurun ‘In Wa Shifatihinna”.

Sumber: Majalah Asy Syariah Vol. VII/ No. 75/ 1432H/ 2011, Rubrik Sakinah- Niswah: ‘Wanita Surga dalam Sebutan Sunnah Yang Mulia’. Hal. 96-99- 103. Ustdzh Ummu Ishaq al- Atsariyah.

Footnote:

2564. “Rombongan pertama yang masuk Surga adalah seperti rupa Bulan Purnama, dan rombongan kedua adalah lebih bagus dari rupa bintang gemerlap di langit, setiap laki- laki mereka memiliki dua istri, pada setiap istri ada tujuh puluh buah perhiasan, [Tulang Sumsum] betisnya tampak dari belakangnya”.


Shahih, [Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, dan Sunan at- Tirmidzi] dari Shahabat Abu Sa’id Radhiallohu 'Anhu. Hadits ini dapat dilihat juga dalam kitab Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 1736, Syarh as- Sunnah No. 4374 Karya al- Baghawi dalam Hadits Ibnu al- Ja’d, dan [al- Mu’jam al- Kabir karya Imam ath- Thabrani] dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiallohu 'Anhu.



Sumber: ‘Shahih Al Jami’ Ash- Shaghir II’ Hal. 416, Hadits No. 2564. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani. Pustaka Azzam, Jakarta.

Bagaimanapun, Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta'ala membalasmu dengan kebaikan

Menerapkan Sikap Hikmah Dalam Berdakwah

Syaikh Samir az- Zuhairi (Salah Satu murid Syaikh al- Albani Rahimahulloh) menceritakan bahwa suatu kali beliau pernah mengundang Syaikh al- Albani ke rumahnya bersama beberapa rekan- rekan penuntut ilmu untuk berdialog dengan salah seorang yang sangat kolot dan benci terhadap al- Albani.

Di tengah- tengah dialog, orang tersebut mendebat Syaikh al- Albani dengan suara yang keras, lantang, dan tegang sehingga membuat Syaikh Samir jengkel dan marah. Melihat raut muka Syaikh Samir, maka Syaikh al- Albani menoleh kepadanya sambil tersenyum seraya mengatakan, “Rileks Saja”. Syaikh al- Albani menanggapi orang tersebut dengan selalu senyum, lapang dada, objektif, dan mematahkan Syubhat- syubhat orang tersebut dengan argumen Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagaimana biasanya.

Di akhir dialog, Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata kepada orang tadi,

“Bagaimanapun, Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta'ala membalasmu dengan kebaikan. Saya meminta maaf kepadamu bila saya berbuat salah dan saya memohon ampun kepada Alloh atas segala kesalahan yang saya perbuat kepada seorang muslim”. Kemudian beliau menangis.


Akhirnya orang tadi luluh hatinya sehingga turut menangis, dan mencium tangan kepada Syaikh al- Albani Rahimahulloh. Sejak hari itu, dia berpegang teguh dengan manhaj Salaf dan mencintai Syaikh al- Albani Rahimahulloh hingga hari ini. (Muhaddits ‘Ashr Muhammad Nasiruddin al- Albani, Hal. 44- 45 oleh Syaikh Samin bin Amin az- Zuhairi).

Sumber: ‘Syaikh al- Albani dihujat..!: Risalah Pembelaan Atas Tuduhan dan Hujatan kh. Ali Musthofa Yaqub’. Hal 149- 150. Ust. Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As- Sidawi. Salwa Press. Depok.

Syaikh al- Albani Rahimahulloh pernah menyampaikan sebuah Wasiat, kira- kira satu tahun sebelum wafatnya beliau,

“Wasiatku untuk setiap muslim yang ada di muka bumi ini, terutama untuk saudara- saudara kami yang menisbahkan diri kepada dakwah yang penuh berkah ini – yaitu dakwah kitab dan sunnah di atas manhaj as- Salaf ash- Shalih: ... Hendaknya kita senantiasa berlemah lembut tatkala mendakwahkan manhaj ini kepada orang- orang yang berseberangan dengan kita, dan hendaknya kita selalu terus- menerus bersama firman Allah Tabaaroka Wa Ta’ala (yang artinya),

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nashihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”.

“Dan orang yang pertama kali paling berhak untuk kita sikapi dengan penuh hikmah adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap prinsip- prinsip (dakwah) dan akidah kita, agar kita tidak termasuk orang- orang yang menggabungkan antara beratnya dakwah al- haq yang telah Alloh karuniakan kepada kita,, dengan beratnya metode yang buruk dalam berdakwah kepada Jalan Alloh 'Azza Wa Jalla”. (Dinukil dari Kitab Muhaddits al- ‘Ashr Muhammad Nashiruddin al- Albani Karya Samir bin Amin az- Zuhairi, Hal. 74- 75.)


Sumber: ‘Majalah al- Furqon Edisi 4 Th. 11, Dzulqo’dah 1432H/ Oktober- November 2011: Rubrik Fiqih Dakwah: Tema : “Penerapan Sikap Hikmah dalam Berdakwah”. Hal. 56- 57. Ust. Abu Abdurrahman Abdullah Zaen, MA.

Al- Allamah Abdurrahman bin Nashir as- Sa’di Rahimahulloh menafsirkan Ayat di atas,

“Ajaklah para manusia –baik mereka yang beragama Islam maupun mereka yang non muslim- kepada jalan Alloh yang lurus dengan hikmah, yang berarti masing- masing sesuai dengan kondisi , tingkat pemahaman, perkataan, dan taraf ketaatannya. Juga dengan nasihat yang baik, yaitu: perintah dan larangan dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Adapun jika yang didakwahi tersebut menganggap bahwa apa yang dia kerjakan atau dia yakini selama ini adalah benar –padahal sebenarnya salah- maka debatlah mereka dengan cara yang baik berlandaskan dalil- dalil Syar’i maupun akal”. (Lihat Tafsir as- Sa’di, hal. 404).


Di antara contoh nyata kekuatan hikmah dan akhlak mulia dalam berdakwah yang dicontohkan oleh para ulama, diantaranya para ulama yang termasuk dalam jajaran Aimmah ad- Da’wah (para Da’i besar dakwah tauhid yang dirintis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahulloh) yang tinggal di kota Makkah adalah Syaikh Ahmad bin Isa. Beliau adalah salah satu murid pengarang kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan, Cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahulloh.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, Syaikh Ahmad bin Isa berdagang kain. Setiap tahunnya beliau membeli kain dengan jumlah besar di kota Jeddah dari seorang pedagang Sufi bernama Abdul Qadir at- Tilmisani. Kain itu seharga 1000 junaih Emas. Sebagai uang muka, Syaikh Ahmad membayar 400 junaih, sedangkan sisanya beliau cicil per bulan. Cicilan terakhir beliau berikan kepada at- Tilmisani ketika dia pergi berhaji ke Makkah.

Bertahun- tahun transaksi bisnis antara mereka berdua berjalan demikian. Dan Syaikh Ahmad selalu tepat waktu dalam membayar cicilan dan sama sekali tidak pernah terlambat dalam menunaikan hak at- Tilmisani.

Maka suatu hari at- Tilmisani berkata, “Saya telah bergaul dan bertransaksi dengan berbagai macam bentuk manusia selama empat puluh tahun, namun aku tidak pernah menemukan orang yang lebih baik dari akhlakmu wahai Wahabi! Tampaknya isu- isu buruk tentang kalian, semata- mata kedustaan dari musuh- musuh politik kalian! Mereka menuduh kalian tidak mau bershalawat kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam..!”

Serta merta Syaikh Ahmad membalas, “Subhanalloh, ini adalah kedustaan yang amat besar..! Madzhab yang kami anut (Madzhab Hambali) berpendapat bahwa orang yang tidak bersholawat kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ketika tasyahud akhir, sholatnya tidak sah..! Aqidah yang kami anut meyakini bahwa orang yang tidak cinta kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maka dia kafir! Sebenarnya yang kami ingkari adalah sikap pengagungan yang berlebihan yang telah dilarang oleh Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, kami juga mengingkari perbuatan istighotsah serta minta tolong kepada orang- orang yang telah mati. Seluruh ibadah itu hanya kami persembahkan kepada Alloh semata!”

Kemudian terjadilaah diskusi antara Syaikh Ahmad dengan at- Tilmisani seputar tauhid uluhiyyah selama tiga hari, hingga Alloh membuka hati at- Tilmisani untuk menerima Aqidah Salaf. Adapun dalam masalah Tauhid Asma’ Wa Shifat, maka diskusi antara mereka berdua berlangsung selama lima belas hari, karena at- Tilmisani pernah belajar di al- Azhar- Mesir, sehingga aqidah asy’Ariyyah sudah sangat mendarah daging dalam dirinya. Namun akhirnya Alloh Ta’ala membuka juga hati at- Tilmisani untuk menerima aqidah Salaf dalam masalah Asma’ Wa Shifat.

Selesai itu, Syaikh at- Tilmisani pun menjadi donatur dakwah Salaf untuk membiayai percetakan dan penyebaran kitab- kitab Salaf, serta menjadi salah satu da’i yang menyerukan kepada manhaj Salaf setelah sebelumnya beliau amat membenci dakwah Wahabi yang disetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahulloh. (Lihat ‘Ulama Najd karya Syaikh Abdulloh al- Bassam, Hal, 156- 158). Wallohu a’lam.

Sumber: ‘Majalah al- Furqon Edisi 1 Th. 11, Sya’ban - Ramadhan 1432H/ Juli- September 2011: Rubrik Fiqih Dakwah: Tema : “Penerapan Sikap Hikmah dalam Berdakwah”. Hal. 63- 65. Ust. Abu Abdurrahman Abdullah Zaen, MA.

Rabu, 28 September 2011

Tidak ada hari- hari di mana amal shaleh di dalamnya lebih dicintai Alloh ‘Azza Wa Jalla daripada hari- hari yang sepuluh ini..


Mari Meneladani Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa SallamDalam Sebuah Riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallohu 'Anhu disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tidak ada hari- hari di mana amal shaleh di dalamnya lebih dicintai Alloh ‘Azza Wa Jalla daripada hari- hari yang sepuluh ini”, Para Shahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Alloh?”, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Alloh, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun”. (HR. al- Bukhari No. 969, dan at- Tirmidzi No. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at- Tirmidzi).
Dalam riwayat yang lain, Salah seorang istri Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan,
“Adalah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melakukan puasa sembilan hari bulan Dzulhijjah”.(HR. Abu Daud dan an- Nasa’i. Hadits ini dinilai Shahih oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahih Sunan Abi Daud, No. 2129 dan Shahih Sunan Nasa’i No. 2236). (Lihat al- Mausu’ah al- Fiqhiyah al- Muyassar, 1/ 254).
Hadits ini sangat gamblang menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan keutamaan Amal Shaleh yang dilakukan pada masa- masa itu, dibandingkan dengan hari- hari yang lain selama setahun.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh pernah ditanya tentang mana yang lebih utama antara sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ataukah sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan? Beliau Rahimahulloh menjawab,
“Siang hari Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada siang hari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari pada sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah”.(Majmuu’ Fataawa, 25/ 287). (Lihat al- Mausu’ah al- Fiqhiyah al- Muyassar, 1/ 256).
Ibnul Qayyim Rahimahulloh juga setuju dengan perkataan guru beliau tersebut.Hadits ini sudah cukup memberikan motivasi kepada kaum muslimin untuk berlomba- lomba melakukan amal Shalih pada waktu- waktu yang diisyaratkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut. Terlebih lagi di antara waktu yang disebutkan itu ada waktu yang teramat istimewa yang juga dijelaskan keutamaannya secara khusus oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, yaitu hari Arafah. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tidak ada hari di mana Alloh 'Azza Wa Jalla membebaskan hamba dari api neraka lebih banyak daripada hari Arafah. Sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para Malaikat dan berkata: “Apa yang mereka Inginkan?”. (HR. Muslim, No. 1348).
Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga menjelaskan tentang keutamaan berpuasa pada hari ini bagi kaum Muslimin yang sedang tidak melakukan ibadah haji. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Puasa hari Arafah aku harapkan dari Alloh bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya, dan setahun setelahnya”. (HR. Muslim, No. 1162).
Alangkah naifnya, kalau hari- hari penuh keutamaan ini kita sia- siakan begitu saja. Sudah menjadi keharusan bagi setiap kaum Muslimin yang mengimani hari akhir untuk meneladani Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam memanfaatkan waktu- waktu yang memiliki nilai lebih ini. Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menjadikan kita termasuk diantara hamba- Nya bisa memanfaatkan masa- masa ini dan semoga Alloh 'Azza Wa Jalla menjadikan kita termasuk para hamba- Nya yang dibebaskan dari api neraka. Aamiin.Sumber: Majalah As-Sunnah/ Rubik:

Tajuk. Hal.1. Edisi 06. Thn. XV. Dzulqa’dah 1432H/ Oktober 2011.


Footnote:
196. (1162) Dari Abu Qatadah, “Telah datang seorang laki- laki kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam lalu bertanya, “Bagaimana engkau berpuasa?” mendengar itu, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam marah. Ketika Umar melihat kemarahan beliau, dia berkata, “Kami rela Alloh sebagai Tuhan, Islam Sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi, Kami berlindung kepada Alloh dari murka Alloh dan murka Rasul- Nya”, Lalu Umar mengulang- ulang ucapannya itu, sehingga meredalah kemarahan beliau. Kemudian Umar bertanya, “Wahai Rasululloh, bagaimana menurutmu dengan orang- orang yang berpuasa setahun penuh dan berbuka sehari?” Beliau menjawab, “Dia tidak dianggap berpuasa dan tidak dianggap berbuka”. Umar bertanya, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa dua hari dan berbuka sehari?” Beliau menjawab, “Apakah ada orang yang mampu melakukan itu?” Umar bertanya, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari dan berbuka sehari?” Beliau menjawab, “Itulah puasa Daud ‘Alaihis Salaam”, Umar bertanya, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa sehari, dan berbuka dua hari?” Beliau menjawab, “Aku berharap aku diberi kekuatan untuk itu”, Lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Puasa tiga hari dalam setiap bulan, dari Ramadhan ke Ramadhan, itu sama dengan puasa selama setahun penuh. Puasa Arafah dengan mengharap pahala dari Alloh akan menghapus dosa setahun yang telah lalu, dan setahun yang akan datang, dan Puasa pada hari ‘Asyura dengan mengharap pahala dari Alloh, akan menghapus dosa setahun yang telah lalu”.
Sumber: “Shahih Muslim II, Bab 36. Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulan, Puasa Arafah, Puasa ‘Asyura, dan Puasa Senin dan Kamis. Hadits No. 196 (1162). Hal. 405. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka As- Sunnah. Jakarta. 969. Dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,
“Tidak ada amalan pada hari- hari lain yang lebih utama dari pada sepuluh hari ini”, Mereka bertanya, “Tidak pula Jihad?” Beliau menjawab, “Tidak Pula Jihad, kecuali orang yang keluar dengan mempertaruhkan jiwa dan hartanya, kemudian ia tidak kembali dengan sesuatupun”.
Sumber: Shahih al- Bukhari I, Bab 11: Keutamaan Beramal pada hari- hari Tasyriq/ Hadits No. 969. Hal. 679. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka As- Sunnah. Jakarta.436 (1348). Dari Ibnu Musayyab berkata: 'Aisyah berkata:
“Sesungguhnya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Tidak ada satu hari pun yang lebih banyak hamba terbebas dari neraka selain hari Arafah. Karena saat itu Alloh mendekat dan membangga- banggakan mereka kepada para Malaikat, maka firman- Nya, “Apa yang mereka Inginkan?”.
Sumber: “Shahih Muslim II, Bab 79: Keutamaan Haji, Umrah, dan Hari Arafah. Hadits No. 436 (1348). Hal. 655. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka As- Sunnah. Jakarta.

Maka sungguh hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan kesabaran...

Mengadu Kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala.

Tunduk di hadapan Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala, juga berharap, dan menghadap kepada- Nya dengan do’a di kala terjadi kesulitan, adalah ibadah yang sangat agung,
karena kala itu seorang hamba menampakkan penghambaannya kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala, juga rasa butuhnya dan kehinaannya di hadapan Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala.

Terkadang seorang hamba mendapatkan musibah, lantas dia mengeluh kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala, sungguh sikap seperti itu sama sekali tidak bertentangan dengan kesabaran.

Ya’qub ‘Alaihissalam telah berjanji untuk bersabar dengan kesabaran yang baik, sebagaimana yang Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala firmankan,

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Alloh sajalah yang dimohon pertolongan- Nya terhadap apa yang kamu ceritakan”. (QS. Yusuf: 18).


Demikian pula dijelaskan dalam firman- Nya:

“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah- mudahan Alloh mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sesungguhnya Dia lah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS. Yusuf: 83).


Dan tentunya jika seorang Nabi telah berjanji, niscaya dia tidak akan menyelisihi, akan tetapi Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala mengabarkan,

“Ya’qub menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Alloh, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Alloh, apa yang kamu tiada mengetahuinya”. (QS. Yusuf: 86).


Demikian pula Ayyub (‘Alaihissalam), Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala mengabarkan bahwa beliau termasuk orang- orang yang bersabar sebagaimana dalam firman- Nya:

“Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang Sabar. Dialah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabb- nya)”. (QS. Shaad: 44).


Kendati demikian, beliau mengadu kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala atas musibah yang menimpanya ketika beliau menyeru:

“Dan ingatlah akan hamba kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb nya, “Sesungguhnya aku digangggu setan dengan kepayahan dan siksaan”. (QS. Shaad: 41)


Di ayat lain Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman,

“Dan (Ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Rabb nya, “(Ya Rabb ku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb yang Maha Penyayang diantara semua penyayang”. (QS. Al- Anbiyaa’ : 83).




Walhasil, ketika seorang hamba ditimpa musibah, lantas dia memohon kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala agar musibah tersebut dihilangkan darinya atau diberikan keringanan untuknya, maka sungguh hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan kesabaran, bahkan itulah diantara hikmah Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala memberikan ujian kepada hamba- Nya.

Jika ia kehilangan sesuatu, lantas memohon kepada Alloh ‘Azza Wa Jalla agar mengembalikannya, maka sungguh hal itu tidak merusak kesabaran yang Baik. Yang bertentangan dengan kesabaran hanyalah mengeluh kepada Alloh Ta’ala akan tetapi di hadapan manusia, menampakkan kesulitan dan kesedihan di hadapannya.

Wahai hamba Alloh yang taat.! Jika anda memahami hal ini, maka sungguh anda mengetahui kesesatan orang yang mengatakan, “Ketika anda memohon kepada Alloh ‘Azza Wa Jalla, maka hal itu berarti anda menuduh buruk kepada Nya”. Maha Suci Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala atas segala sifat yang diungkapkan oleh orang- orang bodoh.

Mereka berhujjah dengan perkataan Ibrahim ‘Alaihissalam sebagaimana mereka tuturkan, Yakni ketika beliau dilemparkan ke dalam Api, lantas Jibril datang kepadanya seraya berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau membutuhkan sesuatu?” Dia menjawab, “Aku tidak membutukanmu”. Kata Jibril, “Mintalah kepada Alloh Ta’ala!” Ibrahim berkata, “Aku tidak harus meminta, karena Dia mengetahuinya”.

Hadits ini tidak bersumber, ia hanya merupakan Israiliyyat sebagaimana dituturkan oleh al- Baghawi dalam kitabnya Mu’alimut Tanzil (III/ 250), beliau mengisyaratkan bahwa riwayat tersebut lemah, dan menganggapnya termasuk Israiliyyat, bahkan menyatakan bersumber dari Ka’ab al- Ahbar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata dalam kitabnya Majmu’ul Fataawa (VIII/ 539):

“Diantara mereka ada yang berhujjah dengan riwayat yang menjelaskan bahwa Ibrahim dilemparkan ke dalam api, lantas Jibril berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau membutuhkan sesuatu?” Dia menjawab, “Aku tidak membutuhkanmu” Kata Jibril, “Mintalah kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala!” Ibrahim berkata, “Aku tidak harus minta, karena Dia mengetahuinya”.


Awal hadits ini dikenal, yakni ungkapan bahwa Ibrahim tidak membutuhkannya, sebagaimana dijelaskan dalam Shahiih al- Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas Radhialloohu 'Anhuma,

حسبنا الله و نعم الوكيل

“Cukuplah Alloh menjadi penolong kami, dan Alloh adalah sebaik- baik pelindung”. (QS. Ali Imran: 173)


Dijelaskan, bahwa itulah perkataan yang diucapkan oleh Ibrahim kala dilemparkan ke dalam api, juga dikatakan oleh Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kala seseorang berkata kepadanya, “Manusia telah berkumpul untuk menyerang kalian, maka takutlah!”

Adapun ungkapan, “Aku tidak harus meminta, karena Dia mengetahuinya”, adalah ungkapan bathil yang bertentangan dengan riwayat yang menjelaskan tentang Ibrahim juga yang lainnya dari kalangan para Nabi, yakni mereka Berdo’a dan Meminta kepada Alloh Ta’ala.

Juga bertentangan dengan perintah Alloh ‘Azza Wa Jalla kepada para hamba- Nya agar meminta kepada- Nya berkaitan dengan kemashlahatan dunia maupun akhirat, seperti dinyatakan dalam ayat berikut ini:


ربنا أتنا في الدنيا حسنة و في الاخرة حسنة وقنا عذاب النار

“Dan diantara mereka ada orang yang berdo’a “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari Siksa Api Neraka”. (QS. Al- Baqarah: 201).


Do’a, meminta dan bertawakkal kepada Alloh Ta’ala merupakan salah satu bentuk ibadah kepada- Nya dengan tetap melakukan sebab yang ditentukan oleh- Nya...”. Wallohu a'lam.

Ibnu Arraq Rahimahulloh berkata dalam kitabnya Tanzihusy Syari’ah (I/ 250) dengan menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, “Riwayat tersebut Palsu”. Wallohu a’lam.

Sumber: ‘Meniru Sabarnya Nabi”, Hal. 155- 159. Syaikh Salim bin ‘Ied al- Hilali. Darul Ilmi Publishing. Bogor.

Selasa, 09 Agustus 2011

Karena Alloh ‘Azza Wa Jalla Maha Tahu akan Perubahan yang Akan Terjadi


Mana Yang Terbaik, Berbuka atau Berpuasa..?
(Majmuu’ Fataawaa Wa Maqaalaatu Mutanawwi’ah, 15/ 237- 238)

Soal: Mana yang lebih baik bagi seorang muslim yang sedang melakukan perjalanan jauh, tetap berpuasa ataukah berbuka..? Terutama dalam perjalanan yang tidak berat, seperti perjalanan dengan menggunakan Pesawat Terbang atau Transportasi Modern lainnya..?

Jawab: Yang terbaik bagi yang melakukan perjalanan itu adalah berbuka, namun kalau ada yang (memilih) tetap berpuasa, maka itu tidak mengapa. Karena kedua- duanya ada riwayatnya dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, begitu juga para Shahabat Radhialloohu 'Anhum. Namun jika cuacanya sangat panas dan beban perjalanan terasa semakin berat, maka (dalam kondisi ini) sangat dianjurkan berbuka dan makruh hukumnya (jika tetap) berpuasa. Karena Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ketika dalam sebuah perjalanan dalam cuaca yang sangat panas, beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melihat ada seseorang yang dipayungi karena dia tetap berpuasa, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidaklah termasuk sebuah kebaikan: berpuasa dalam perjalanan”.

(HR. al- Bukhari Bab ‘Sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada orang yang dipayungi di saat panas terik, No. 1810 dan HR. Muslim Bab “Jawazis Shaum Wal Fithr Fi Syahri Ramadhan Lil Musafir, No. 1879)

Juga berdasarkan Hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam:

“Sesungguhnya Alloh ‘Azza Wa Jalla Suka Rukhshah (keringanan)- Nya dilakukan sebagaimana Dia benci perbuatan Maksyiat kepada- Nya”. (HR. Ahmad, No. 5600)

Dalam lafazh yang lain:

“Sebagaimana Alloh ‘Azza Wa Jalla Suka ‘Azimah (Kewajiban- kewajiban dari- Nya) dilaksanakan”.

Sama saja, baik perjalanan itu dilakukan dengan menggunakan mobil, unta, kapal laut, ataupun menggunakan pesawat terbang. Semuanya itu masuk dalam kategori Safar (melakukan perjalanan) dan berhak mendapatkan Rukhshah (Dispensasi) Safar. Alloh ‘Azza Wa Jalla telah menetapkan pada masa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam (masih hidup) dan kaum Muslimin setelahnya, hukum- hukum (berkenaan dengan) Safar bagi para hamba- Nya juga menetapkan hukum- hukum ketika menetap di suatu tempat.

Alloh ‘Azza Wa Jalla (Yang telah menetapkan hukum- hukum ini) Maha Tahu akan perubahan yang akan terjadi, begitu juga dengan alat- alat transportasi. Seandainya hukum akan berbeda (dengan sebab perubahan kondisi dan sarana transportasi itu), tentu Alloh ‘Azza Wa Jalla telah mengingatkannya, sebagaimana firman- Nya (yang artinya):

“Dan Kami turunkan kepadamu Al- Kitab (Al- Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta Rahmat dan kabar gembira bagi orang- orang yang berserah diri”. (QS. An- Nahl (16): 89).

Juga Firman- Nya:

“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai) dan keledai, agar kamu menungganginya, dan (menjadikannya) perhiasan, dan Alloh menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (QS. An- Nahl (16): 8).

Sumber: Majalah As- Sunnah Edisi 03/ Thn XV/ Sya’ban 1432H/ Juli 2011/ Hal. 6. Rubrik : Soal- Jawab.

Footnote:

1946. (Dari) muhammad bin Amr bin al- Hasan bin Ali, dari Jabir bin Abdulloh Radhialloohu 'Anhum, ia berkata,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam di saat bepergian pernah melihat kerumunan orang- orang, ada seorang laki- laki yang dipayungi, lalu beliau bertanya, “Kenapa dia?” mereka menjawab, “Dia sedang berpuasa”, maka beliau bersabda, “Bukan termasuk kebaikan: berpuasa saat bepergian”.

Sumber: ‘Shahih al- Bukhari/ II” Kitab Puasa: Bab 36. “Sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada Orang yang Dipayungi karena Cuaca sangat Panas: “Bukan Termasuk Suatu Kebaikan Berpuasa saat Bepergian”. No. 1946. Hal. 317. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka as- Sunnah. Jakarta.

92. (1115) Dari Jabir bin Abdulloh Radhialloohu 'Anhuma, dia berkata,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam suatu perjalanan pernah melihat seorang laki- laki dikerumuni oleh orang banyak, dan dinaungi, lalu beliau bertanya, “Mengapa dia?”, mereka menjawab, “Dia berpuasa”, Lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk perbuatan baik: Kalian berpuasa di perjalanan”.

Sumber: ‘Shahih Muslim/ II” Kitab Puasa: Bab 15. “Bolehnya Berpuasa dan Berbuka di Bulan Ramadhan bagi Orang yang Sedang Bepergian yang Bukan Untuk Kemaksyiatan, Apabil Jarak Perjalanannya sudah memenuhi Ketentuan, dan Berpuasa Lebih Utama bagi Orang yang Mampu Berpuasa Tanpa Kesulitan, Serta berbuka Lebih Utama bagi Orang yang Merasa Kesulitan” No. 92 (1115). Hal 350. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka as- Sunnah. Jakarta.



17. (684) Dari ‘Aisyah, Istri Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, bahwasanya Hamzah bin Amir al- Aslami bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Apakah saya akan berpuasa ketika bepergian? Dan ia lebih sering berpuasa, Maka Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Bila engkau mau, maka berpuasalah, dan jika tidak: maka tidak ada yang menghalangimu untuk berbuka”. (Muttafaqun ‘Alaih)

Sumber: “al- Lu’lu’ Wal Marjan: Ensiklopedi Hadits Shahih yg Disepakati oleh Bukhari dan Muslim”. Kitab Shiyam: Bab 17. Kebebasan Memillih Bagi Para Musafir untuk Melaksanak dan Puasa, atau Tidak”. No. 684. Hal. 554. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Pustaka as- Sunnah. Jakarta.

Imam al- Hafizh al- Mundziri Rahimahulloh berkata,

“Para Ulama berbeda pendapat tentang yang lebih utama di antara keduanya dalam bepergian jauh, apakah puasa atau berbuka?, Anas bin Malik berpendapat bahwa puasa lebih utama, hal ini juga diriwayatkan dari ‘Utsman bin Abul ‘Ash. Pendapat ini diikuti oleh Ibrahim an- Nakha’i, Said bin Jubair, ats- Tsauri, Abu Tsau dan ashab ar- Ra’yi. Malik, al- Fudhail bin Iyadh dan asy- Syafi’i berkata, “Puasa lebih kami Cintai bagi yang Kuat”.

“Sedangkan ‘Abdulloh bin ‘Umar, Abdulloh bin ‘Abbas, Said bin al- Musayyib, asy- Sya’bi, al- Auza’i, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rawahaih berkata, “Berbuka Lebih Utama”. Dan Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, Qatadah, dan Mujahid bahwa yang lebih utama adalah yang lebih mudah bagi seseorang, diantara keduanya. Pendapat ini dipilih oleh Hafizh Abu Bakar bin al- Mundzir, dan ia adalah pendapat yang bagus. Wallohu a’lam”.

Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Imam al- Mundziri telah berkata benar, bahwa yang lebih utama adalah yang paling mudah dari keduanya. Dan manusia adalah berbeda- beda kekuatan dan kondisinya, maka hendaknya masing- masing mengambil apa yang termudah baginya, oleh karena itu telah diriwayatkan dengan Shahih dari Nabi bahwa beliau bersabda kepada penanya tentang berpuasa dalam perjalanan,

“Berpuasalah kalau kamu mau, dan berbukalah kalau kamu mau”. Diriwayatkan oleh Muslim (3/ 145), dan dalam jalan yang lain yang shahih dengan lafazh, “Mana yang lebih mudah bagimu kerjakanlah”. Ia ditakhrij dalam ash- Shahiihah No. 2884”.
Wallohu a’lam.



Sumber: “Shahih at- Targhiib wa at- Tarhiib/ II”. Kitab Puasa: Bab 14: Ancaman Bagi Musafir Yang Berpuasa Apabila Terasa Berat Baginya dan Anjuran untuk Berbuka”. Hal 413- 414. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani. Pustaka Sahifa. Jakarta.

Jumat, 15 Juli 2011

Dan Sesungguhnya Anaknya Adalah Hasil Usahanya.


Sedekah Untuk Orang Tua Yang Telah Meninggal Dunia.
(Lihat Ahkaamul Janaa-iz Hal. 216- 219) dan az- Zakaah Fil Islam (Hal 597- 600).

Sedekah yang dikeluarkan seorang anak untuk salah satu atau untuk kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia, maka pahalanya akan sampai kepada keduanya. Selain itu segala amal shalih yang diamalkan anaknya, maka pahalanya akan sampai kepada kedua orang tuanya tanpa mengurangi pahala si anak tersebut, sebab si anak merupakan hasil usaha kedua orang tuanya. Alloh ‘Azza Wa Jalla berfirman,

“Dan Bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”. (QS. An- Najm: 39).


Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sungguh sebaik- baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya”.

(Shahih, HR. Ahmad (VI/ 41, 126, 162, 173, 193, 201, 202, 220), Abu Dawud (No. 3528), at- Tirmidzi (No. 1358), an- Nasa-i (VII/ 241), Ibnu Majah (No. 2137), dan al- Hakim (II/ 46)).

Apa yang ditunjukkan oleh ayat Al- Qur’an dan hadits di atas diperkuat lagi oleh beberapa hadits secara khusus membahas tentang kemungkinan pengambilan manfaat oleh orang tua yang telah meninggal dunia dari anak Shalihnya, seperti Sedekah, Puasa, memerdekakan Budak, dan lain- lain semisalnya. Hadits- hadits tersebut ialah:

Dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha, bahwa seorang laki- laki berkata kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba- tiba [dan tidak memberikan wasiat], dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya [dan aku pun mendapat pahala]? Beliau menjawab, “Ya. [Maka bersedekahlah untuknya]”.

(Shahih, HR. al- Bukhori (No. 1388), Muslim (N0. 1004), Ahmad (VI/ 51), Abu Dawud (No. 2881), an- Nasa-i (VI/ 250), Ibnu Majah (No. 2717), dan al- Baihaqi (IV/ 62; VI/ 277- 278)). Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata dalah Ahkaamul Janaa-iz (Hal 217), “Redaksi ini milik al- Bukhari di salah satu dari dua riwayatnya, tambahan yang terakhir adalah miliknya dalam riwayat lain. Juga Ibnu Majah dimana tambahan kedua miliknya, sedangkan tambahan pertama milik Muslim))

Dari Ibnu ‘Abbas Radhialloohu 'Anhuma,

“Bahwa Sa’ad bin ‘Ubadah –Saudara Bani Sa’idah- ditinggal mati oleh ibunya, sedang dia tidak berada bersamanya, maka ia bertanya, “Wahai Rasululloh,! Sesungguhnya ibuku meninggal dunia, dan aku sedang tidak bersamanya. Apakah bermanfaat baginya apabila aku menyedekahkan sesuatu atas namanya..?’, Beliau menjawab, “Ya”. Dia berkata, “Sesungguhnya aku menjadikan engkau saksi bahwa kebun (ku) yang berbuah itu menjadi sedekah atas nama ibuku”.


(Shahih, HR. al- Bukhari (No. 2756), Ahmad (I/ 333, 370), Abu Dawud (No. 2882), at- Tirmidzi (No. 669), an- Nasa-i (VI/ 252- 253), dan al- Baihaqi (VI/ 278), dan lafadz ini milik Ahmad).

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwa ada seorang laki- laki bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan meninggalkan harta, tetapi ia tidak berwasiat. Apakah (Alloh) akan menghapuskan (kesalahan) nya karena sedekahku atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya”.

(Shahih, HR. Muslim (No. 1630), Ahmad (II/ 371), an- Nasa-i (VI/ 252), dan al- Baihaqi (VI/ 278)).

Imam asy- Syaukani Rahimahulloh berkata,

“Hadits- hadits bab ini menunjukkan bahwa sedekah dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah kematian keduanya meski tanpa adanya wasiat dari keduanya, pahalanya pun bisa sampai kepada keduanya. Dengan hadits- hadits ini, keumuman firman Alloh Ta’ala berikut ini dikhususkan,


“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”. (QS. An- Najm: 39)


Tetapi, di dalam hadits tersebut hanya menjelaskan sampainya sedekah anak kepada kedua orangn tuanya. Dan telah ditetapkan pula bahwa seorang anak itu merupakan hasil usahanya sehingga tidak perlu lagi mendakwa ayat di atas dikhususkan oleh hadits- hadits tersebut. Sedangkan selain dari anak, maka menurut zhahir ayat- ayat Al- Qur’an, pahalanya tidak akan sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia. Maka hal tersebut tidak perlu diteruskan hingga ada dalil yang mengkhususkannya”. (Nailul Authaar (V/ 184) Cetakan Daar Ibnil Qayyim).


Syaikh al- Albani Rahimahulloh mengomentari pernyataan di atas dengan berkata,

“Inilah pemahaman yang benar yang sesuai dengan tuntunan kaidah- kaidah ilmiah, yaitu bahwa ayat Al- Qur’an di atas tetap dengan keumumannya, sedangkan pahala sedekah dan lain- lainnya tetap sampai dari seorang anak kepada kedua orang tuanya, karena ia hasil dari usahanya, berbeda dengan selain anak..” (Ahkaamul Janaa-iz (Hal. 219)).


ADAPUN pengiriman pahala baca Al- Qur’an, Yasin, Al- Faatihah, kepada orang yang sudah meninggal dunia, MAKA TIDAK AKAN SAMPAI , karena semua riwayat- riwayat hanya menyebutkan tentang SAMPAINYA PAHALA SEDEKAH ANAK KEPADA ORANG TUA (Bukan Bacaan Al- Qur’an), berdasarkan ayat,

“Dan Bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”. (QS. An- Najm: 39)

Ketika menafsirkan ayat di atas, al- Hafizh Ibnu Katsir Rahimahulloh berkata,

“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseorang (tidak dapat dipindahkan/ dikirimkan) kepada orang lain, kecuali apa yang didapat dari hasil usahanya sendiri.

Dari ayat ini, Imam asy- Syafi’i dan orang (pada ulama) yang mengikuti beliau beristinbat (mengambil dalil) bahwa mengirimkan pahala bacaan Al- Qur’an tidak sampai kepada Mayit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.

Oleh karena itu, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam TIDAK PERNAH MENYUNNAHKAN ummatnya (Mengirimkan pahala Bacaan Al- Qur’an kepada mayit) dan TIDAK PERNAH MENGAJARKAN kepada mereka dengan satu Nash yang sah dan tidak pula dengan isyarat. Dan tidak pernah dinukil ada seorangn Shahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya hal itu (menghadiahkan pahala bacaan Al- Qur’an kepada mayit) adalah baik, Semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang Bab amal- amal Qurbah ( Amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Alloh) hanya dibolehkan berdasarkan Nash (Dalil/ Contoh dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ), dan tidak boleh memakai Qiyas atau pendapat”.

(Tafsiir Ibni Katsir (VII/ 465) Tahqiq Sami Bin Muhammad as- Salamah. Dan Lihat Ahkaamul Janaa-iz Wa Bida’Uhaa (Hal. 220) Cetakan Maktabah al- Ma’arif, Riyadh)).

Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir Rahimahulloh dari Imam asy- Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama, dan juga pendapat Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh Imam az- Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/ 369)). (Lihat Ahkaamul Janaa-iz, Hal. 220)). Walloohu a'lam.

SUMBER: Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa. Hal 177- 184. Yazid bin abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.Cet. 2 NOvember 2009.

Sabtu, 11 Juni 2011

Kisah Abu Zur'ah Rahimahulloh [Menjelaskan Beberapa Hadits Para Perawi Dalam Keadaan Sakaratul Maut].

Abu Ja’far at- Tusturi Rahimahulloh menceritakan,

“Kami mendatangi Abu Zur’ah Rahimahulloh –Yakni ar- Razi- yang sedang dalam keadaan Sakaratul Maut. Dia didampingi oleh Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, al- Mundzir bin Syadzan, dan sekelompok ulama hadits lainnya. Mereka membicarakan hadits tentang Talqin dan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam

لقنوا مو تا كم لا إله إلا الله

“Bisikkanlah kepada orang yang menghadapi kematian di antara kalian, kalimat: ‘Laa Ilaaha Illallaah (Tiada Ilah (yang haq) Selain Alloh”.


Abu Ja’far Rahimahulloh meneruskan, “Mereka semua merasa malu kepada Abu Zur’ah , mereka takut kepadanya. Lalu mereka berkata, “Kesinilah, mari kita bicarakan hadits itu”.

Muhammad bin Muslim Rahimahulloh berkata, “Kami mendapatkan hadits ini dari adh- Dhahhak bin Makhlad, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih,..” Namun dia tidak bisa meneruskan perawinya selanjutnya.

Abu Hatim menceritakan bahwa dia mendapatkan riwayat hadits ini dari Bundar, dari Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih. Namun dia juga hanya sampai pada perawi ini. Adapun yang lainnya hanya terdiam.

Lalu Abu Zur’ah – yang sedang Naza’ (Sakaratul Maut)- berkata, “Kami mendapatkan riwayat ini dari Bundar, dari Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih, dari Shalih bin Abu ‘Arib, dari Kutsair bin Murrah al- Hadhrami, dari Mu’adz bin Jabal yang berkata bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

من كان اخر كلا مه لا إله إلا الله دخل الجنة

“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah kalimat, “Laa ilaaha illallaah”, maka dia akan masuk Surga”.

Tidak lama kemudian Abu Zur’ah meninggal dunia. (Lihat Taqdimah al- Jarh Wa at- Ta’diil, Hal. 345; Ma’rifat ‘Ulum al- Hadits, Hal. 76, al- Irsyad li al- Khalily (II/ 677), Syu’b al- Iiman (VI/ 546), Tarikh Baghdad (X/ 335), Tarikh Madinat Dimsyiq (38/ 35).



Abu Hatim Rahimahulloh menambahkan kisah ini: ‘Rumah itu menjadi gaduh dengan tagisan orang yang hadir’.

Ibnu Abi Hatim memuat Kisah ini dalam sebuah bab, “Bab Maa Zahara Li Abi Zur’ah Min Sayyidi ‘Amalihi ‘Inda Wafatihi’ (Amal Mulia Abu Zur’ah yang tampak menjelang wafat beliau) juga menceritakan,

“Aku mendatangi ayahku Rahimahulloh yang sedang dalam keadaan Naza’, sedang aku tidak mengetahui hal tersebut. Aku bertanya kepada beliau mengenai ‘Uqbah bin Abdul Ghafir yang meriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, “Apakah dia memiliki derajat sebagai Shahabat?” Dengan menggelengkan kepala dan dengan suara lemah, ayahku menjawab, “Tidak”.

"Aku tidak bisa menangkap jawaban beliau, lalu aku pun berkata, “Apakah ayah paham maksudku?”, Ayah menjawab lagi, “Dia (‘Uqbah bin Abdul Ghafir) adalah seorang Tabi’in”.

"Amalan mulia ayahku adalah karena beliau mengetahui hadits, penukil atsar, dan beliau menyalin hadits sepanjang hidupnya, maka Alloh berkehendak menampakkan andil yang telah beliau lakukan semasa hidupnya ketika ajal itu tiba”. Wallohu a’lam. (Taqdimah al- Jarh Wa at- Ta’diil, Hal. 367, al- Jarh Wa at- Ta’diil (VI/ 313).

Sumber : “Menggali Harta Karun Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam: Menelusuri Jejak Ahli Hadits Dalam Mencari Hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”, Hal 23- 26. DR. Ali Bin ‘Abdulloh ash- Shayyah. Daar an- Naba. Solo.

Referensi : Al- Jarh Wa At- Ta’diil, Ibnu Abi Hatim ‘Abdurrahman bin Muhammad (Wafat 327H): Kaji Ulang: Abdurrahman al- Mu’allimi, cetakan pertama, 1371H, Majelis Dairah al- Ma’arif, India.

Tambahan:

Al- Jarh Wa at- Ta’diil adalah ilmu yang mempelajari tentang derajat keshahihan seorang perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, baik dari segi ittishal (Sambungnya satu perawi dengan perawi sebelumnya), sanad, dhabt (ketepatan), dan sebagainya.

Keutamaan Mempelajari dan Menyampaikan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Semoga Alloh memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan hadits dari kami, kemudian ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Banyak orang yang disampaikan hadits lebih faham daripada orang yang mendengarnya langsung”. (Shahih, HR. at- Tirmidzi (No. 2657), Ibnu Hibban (No. 74- 76/ Mawaarid), dan selainnya, dari Shahabat ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu. At- Tirmidzi berkata, Hadits ini ‘Hasan Shahiih’).


Sumber: “Kedudukan as- Sunnah dalam Syari’at Islam”, Hal. 17. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Referensi : Mawaariiduz Zam-aan ilaa Zawaa-idi Ibni Hibban (Wafat 356H), karya al- Hafizh Nuruddin ‘Ali bin Abu Bakar al- Haitsami (Wafat 807H), Tahqiq Muhammad ‘Abdurrazaq Hamzah, Cet. Darul Kutub ‘ilmiyyah, Beirut.

NB: Kisah di atas merupakan salah satu dari sekian banyak kedahsyatan kisah para Ahli Hadits dalam mencari dan meriwayatkan hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yg ada dalam buku tersebut. Buku ini bagus, literasi+ daftar pustaka nya sesuai Sunnah insya ALLOH. Semoga Bermanfaat.