Sabtu, 30 April 2011

Do’a Seorang Ayah Untuk Anaknya.

Do’a Seorang Ayah Untuk Anaknya.

Syaikh Muhammad al- Mukhtar asy- Syinqithi menceritakan tentang seseorang yang dia adalah orang yang lemah, menderita, dan dalam keadaan yang sempit. Dia pergi mencari nafkah untuk ayahnya. Jika ia datang membawa upah kerjanya hari itu, maka ia letakkan uang- uang itu di atas dipan. Hal itu ia lakukan karena ia malu untuk menyerahkannya langsung dengan tangannya.

Setiap kali ia meletakkan uang di hadapan ayahnya, maka ayahnya selalu berdo’a kepada Alloh:

“Ya Alloh, berikanlah Rizqi Al- Qur’an kepada anakku, dan jadikan ia sebagai ahli Al- Qur’an”

Demikianlah hingga berlangsung dua puluh (20) tahun, ia sibuk dengan pekerjaannya. Hingga pada suatu hari, ketika ia pulang dari pekerjaannya, Alloh berkehendak untuk mempertemukannya dengan seorang ‘alim. Orang ‘alim tersebut adalah seorang tokoh yang pendapat- pendapatnya menjadi pegangan- pegangan orang- orang di negerinya. Orang ‘alim itu bertanya, “Apa kegiatanmu sekarang..?” Laki- laki tersebut menjawab, “Seperti yang anda lihat, saya berusaha mencari nafkah”.

Ulama tersebut berkata lagi, “Bisakah anda menyediakan waktu untuk saya sehari dalam seminggu?”, Laki- laki itu menjawab, “Ya, dengan senang hati”.

Maka laki- laki itu senantiasa pulang pergi kepada ulama itu untuk belajar. Tidak terasa, hingga tibalah hari di mana laki- laki itu harus melakukan tanya jawab pada sebuah sidang untuk mempertahankan risalah doktoralnya dalam bidang tafsir Al- Qur’an.

Ketika ia dipanggil untuk melakukan tanya jawab, dan ia telah duduk, maka tiba- tiba ulama yang menjadi Guru Besar sekaligus Dosennya itu berdiri karena hormat dan memuliakan laki- laki itu, dikarenakan keilmuannya. Kemudian ia berkata kepada laki- laki itu, “Silahkan Syaikh”. Padahal seperti kita ketahui , seorang dosen tidak biasa berdiri untuk memuliakan mahasiswanya.

Kemudian di hadapan khalayak umum, tiba- tiba guru besar itu berkata, “Ilmu dan pengetahuannya tentang Kitabulloh yang saya lihat dari laki- laki ini membawa saya untuk menumpahkan rasa hormat kepadanya dan mendorongku untuk memuliakannya”.

Ketika laki- laki itu telah dipersilahkan, maka ia pun duduk sambil bercucuran airmata. Maka sang Guru besar bertanya, “Mengapa anda menangis, padahal kami hanya ingin memuliakan anda?”

Laki- laki itu menjawab, “Saya teringat do’a ayah saya rahimahulloh: “Ya Alloh, berikan Rizqi Al- Qur’an kepada anakku, dan jadikanlah ia sebagai ahli Al- Qur’an”.

Berkat do’a ayahandanya, Alloh Ta’ala telah menghantarkan laki- laki ini meraih kedudukan yang mulia dan terhormat. Wallohu a’lam. (Rahmatudh Dhu’afaa’, dalam bentuk kaset rekaman: Tasjilatut Taqwa, Riyadh, 1417H. Syaikh Muhammad al- Mukhtar asy- Syinqithi).

Sumber: ‘Akhirnya Alloh ‘Azza Wa Jalla mengabulkan do’a Mereka: Kisah Do’a Orang- orang yang Dikabulkan!”. Hal. 68- 70. Shalih bin Rasyid bin Muhammad al- Huwaimil. Pustaka Ibnu ‘Umar. Bogor.

Tambahan:

14. Do’a Kedua Orang Tua.


24/ 32. Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Ada tiga (3) do’a yang tidak diragukan kemustajabannya, yaitu do’a orang yang dizhalimi (dianiaya), do’a orang musafir, dan do’a kedua orang tua kepada anaknya”.

Hasan, di dalam kitab ash- Shahiihah (598), Abu Dawud: 8- Kitab ash- Shalat, 29- bab ad- Du’a Bizhahril Ghaibi, at- Tirmidzi, 25- Kitab al- Birru wash- Shilah, 7- Bab Ma Ja’ala fi Da’watil Walidaini. Ibnu Majah: 34, Kitab Do’a, 11- Da’watul Walid Da’watul Mazhlum, hadits No. 3862).

Sumber: Shahih Adabul Mufrad. Hal. 47 (24/ 32). Syaikh al- Albani Rahimahulloh. Pustaka Azzam. Jakarta.

Tiga Orang Yang Do’anya dikabulkan.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Ada tiga (3) do’a yang tidak diragukan kemustajabannya, yaitu do’a orang yang dizhalimi (dianiaya), do’a orang musafir, serta do’a seorang ayah kepada anaknya”.

Shahih, HR. al- Bukhori dari Shahabat Abu Hurairoh: Shahih Adabul Mufrad: 372

Sumber: Dzikir dan Do’a Shahih dari Shahih Adabul Mufrad dan Shahih Jami’ush Shaghir. Hal 29. Syaikh al- Albani Rahimahulloh. Media Hidayah. Yogyakarta.

Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Ada tiga (3) do’a yang dikabulkan oleh Alloh –Subhaanahu Wa Ta'ala- yang tidak diragukan tentang do’a ini: (1) do’a kedua orang tua terhadap anaknya, (2) do’a musafir –orang yang sedang dalam perjalanan-, dan (3) do’a orang yang dizhalimi”.

Hasan, HR. al- Bukhori dalam al- Adabul Mufrad (No. 32, 481/ Shahih Adabul Mufrad (No. 24, 372)), Ahmad (II/ 258, 348, 478, 517, 523), Abu Dawud (No. 1536), at- Tirmidzi (No. 1905, 3448), Ibnu Majah (No. 3862), Ibnu Hibban (No. 2406/ al- Mawaarid), dan ath- Thayalisi (No. 2639), dari Shahabat Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu. Lihat Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 596).

Sumber: “Birrul Walidain: Berbakti Kepada Orang Tua”. Hal. 85. Yazid bin Abdul Qadir Jawas Hafizhahulloh. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Kamis, 21 April 2011

Karena di akhirat nanti tidak ada lagi dinar dan dirham


Meminta Pembebasan dari Kezhaliman yang Pernah Dilakukannya.

Imam at- Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, ia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Semoga Alloh merahmati seorang hamba yang saudaranya memiliki hak karena kezhaliman yang pernah dilakukan olehnya, baik menyangkut kehormatan maupun harta, kemudian ia pun meminta pembebasan kepadanya sebelum ia dituntut. Karena di akhirat nanti tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia memiliki kebajikan, maka diambil dari kebajikannya. Jika ia tidak memiliki kebajikan, maka keburukan mereka dipikulkan kepadanya”.

Shahih. Syaikh al- Albani Rahimahulloh menilai Shahih. Lihat as- Silsilah ash- Shahiihah (No. 3265), Shahiih Sunan at- Tirmidzi Wa Dha’iifihi (No. 2419). Sebelumnya ia mendha’ifkannya dalam Dha’if al- Jaami’ (No. 3112), kemudian menshahihkannya dengan murtabi’ dan syahidnya yang kuat.

Hadits ini asalnya terdapat dalam al- Bukhori dari haditsnya. Ia mengatakan, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa memiliki kezhaliman yang pernah ia lakukan pada seseorang, baik menyangkut kehormatannya maupun selainnya, maka hendaklah ia meminta penghalalan darinya pada hari ini, sebelum tidak ada lagi dinar dan dirham. Jika ia memiliki kebajikan, maka diambilkan dari kebajikannya. Jika ia tidak memiliki kebajikan, maka diambilkan dari keburukan sahabatnya, lalu dipikulkan kepadanya”.

Al- hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani dalam Fat-hul Baari (VII/ hal. 360) mengatakan,

“Barangsiapa memiliki tanggungan kezhaliman pada saudaranya”
-huruf Laam, pada sabdanya, ‘Lahu’ (untuknya) bermakna ‘Ala (atasnya), yakni, Siapa yang memiliki tanggungan kezhaliman pada saudaranya. Ini disebutkan dalam ar- Riqaaq dari riwayat Malik, dari al- Maqburi dengan lafazh, “Barangsiapa pernah berbuat kezhaliman pada saudaranya”. Juga diriwayatkan oleh Imam at- Tirmidzi dari jalur Zaid bin Abi Unaisah, dari al- Maqburi, “Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala merahmati seorang hamba yang pernah berbuat kezhaliman pada saudaranya”.

“Baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu”. Ini termasuk menghubungkan sesuatu yang umum pada sesuatu yang khusus. Termasuk di dalamnya harta dengan aneka macamnya, dan luka, hingga tamparan dan semisalnya. Dalam riwayat at- Tirmidzi, “Baik kehormatan maupun Harta”.

Sabdanya, “Sebelum tidak ada lagi dinar dan dirham”, Yakni pada Hari Kiamat. Hal itu disebutkan dalam riwayat ‘Ali bin al- Ja’d dari Ibnu Abi Dzi’-b pada riwayat al- Isma’ili.

Sabdanya, “Diambilkan dari keburukan pemiliknya”, yakni Orang yang didzalimi, “Lalu dipikulkan kepadanya”, yakni kepada orang yang berbuat Zhalim. Dalam riwayat Malik, “Lalu dicampakkan padanya”. Hadits ini telah dikeluarkan oleh Imam Muslim yang semakna dengannya dari jalur lainnya, dan redaksinya lebih jelas daripada ini, dengan lafazh,

“Sesungguhnya Orang yang bangkrut dari umatku ialah Orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa dan zakat, namun ia datang dalam keadaan telah mencaci maki fulan, menumpahkan darah fulan, dan memakan harta fulan, lalu fulan yang ini diberi dari kebajikan- kebajikannya, dan fulan yang lain diberi dari kebajikan- kebajikannya. Jika kebajikan- kebajikannya telah habis sebelum menyelesaikan tanggungannya, maka diambilkan dari dosa- dosa mereka, lalu diberikan kepadanya, dan ia dicampakkan ke dalam Neraka”.

(Tuhfatul Ahwadzi (VI/ hal. 209) oleh al- Mubarakfuri. Dan Faidh al- Qadir (IV/ hal. 35) oleh al- Munawi).

Hal ini tidak bertentangan dengan ayat Al- Qur’an yang berbunyi,

“..Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain..”
(QS. Al- An’aam: 164).

Karena ia hanyalah disiksa karena perbuatannya dan kezhalimannya. Ia tidak dihukum karena selain dosa dirinya, bahkan karena dosanya. Kemudian kebajikan ditukar dengan keburukan sesuai keadilan Alloh yang Maha Benar pada para hamba- Nya. Sebagian kalangan berpendapat tentang sah nya membebaskan diri dari suatu yang tidak dikenal dari hadits ini. Menurut Ibnu Baththal Rahimahulloh, “bahkan di dalamnya berisi hujjah tentang disyaratkannya ta’yin (menentukan), karena sabdanya, “mazhlimah (hak yang dizhalimi) menunjukkan bahwa ia sudah diketahui kadarnya”.

Ibnul Munir Rahimahulloh mengatakan, “Dalam hadits hanyalah disebutkan bahwa orang yang dizhalimi itu akan menuntut dari orang yang menzhaliminya, hingga ia bisa mengambil darinya sesuai kadar haknya. Ini disepakati. Sesungguhnya yang diperselisihkan hanyalah mengenai apabila orang yang dizhalimi itu menggugurkan haknya di dunia, apakah disyaratkan diketahui kadarnya? Sementara hadits ini bersifat mutlak”. Wallohu A’lam.

Sumber: ‘Amalan2 Yang Mendatangkan Rahmat Alloh ‘Azza Wa Jalla’. Hal. 124- 131. Abu ‘Abdurrahman Sulthan ‘Ali. Pustaka Ibnu ‘Umar. Bogor.

Rabu, 20 April 2011

BUAH ISTIKHOROH--


BUAH ISTIKHOROH--

Imam adz- Dzahabi Rahimahulloh menceritakan bahwasanya pernah ada suatu perjalanan yang mengumpulkan empat orang ulama besar yang sama- sama bernama Muhammad: Muhammad bin Jarir ath- Thobari, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Muhammad bin Nashr al- Marwazi, Muhammad bin Harun ar- Ruyani Rahimahulloh Jamii’an. Bekal perjalanan mereka sama- sama habis sehingga mereka sama- sama lapar. Lalu mereka berkumpul di dalam suatu rumah dan mengundi, Barangsiapa yang keluar namanya, maka ia mendapat tugas untuk meminta sedekah kepada orang- orang.

Ternyata undian jatuh kepada Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah. Ia berkata, “Tunggu sejenak, biarkan aku Sholat istikhoroh terlebih dahulu”. Selesai sholat ia bertolak menuju ke pintu untuk keluar. Namun tiba- tiba ia melihat beberapa buah lilin ada di depan pintu yang dibawa oleh beberapa tentara utusan. Mereka mengetuk pintu , dan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah membukakan pintu untuk mereka.

Mereka para tentara utusan berkata, “Siapa dari kalian yang bernama Muhammad bin Nashr?”, lalu mereka mengeluarkan pundi uang sejumlah 50 dinar dan memberikan kepadanya. Mereka bertanya lagi, “Mana yang namanya Muhammad bin Jarir?” Lalu mereka memberinya 50 dinar. Demikian seterusnya hingga keempat Muhammad mendapatkan 50 dinar.

Kemudian utusan itu menjelaskan bahwa Amir (pemimpin) mereka telah bermimpi dan melihat keempat Muhammad kelaparan, maka itu ia mengirimkan pundi- pundi uang itu kepada mereka dan dia bersumpah apabila uang- uang tersebut habis, hendaklah mereka mengabarkan kepada Amir tersebut.

(Siyar A’lam an- Nubala’, Imam adz- Dzahabi Rahimahulloh, 14/ 270& 508. Dinukil dari Kitab Jami’ Mukhtashar al- ‘Ulum, DR. Fakhruddin bin az- Zubair al- Muhsi, Hal. 24).

Beberapa Permasalahan Penting

(1) Mengulangi Istikhoroh

Diperbolehkan mengulangi Sholat dan Do’a Istikhoroh. Bahkan banyak ulama yang menganjurkannya, di antaranya adalah asy- Syaukani, Badruddin al- ‘Aini, al- Iroqi, Ali al- Qori, dan Ulama Lainnya (Umdatul Qori, 7/ 235, Mirqot al- Mafatih, 3/ 406, Nailul Author 3/ 89)

Syaikh Bin Baaz Rahimahulloh dan Syaikh al- Albani Rahimahulloh juga membolehkan hal ini. Mereka mengatakan, “Apabila hatinya belum mantap dengan sholat yang pertama, maka ia boleh mengulanginya”. (Tsalat Sholawat Mahjuroh, Adnan ‘Ur’ur, Hal. 33).

Imam Muslim di dalam Kitabnya, Shahih Muslim No. 1333 meriwayatkan bahwasanya Ibnu az- Zubair Radhialloohu 'Anhu berkata, “Sesungguhnya aku istikhoroh kepada Rabb- ku sebanyak tiga kali, kemudian aku berazzam untuk melakukan urusanku”.



Adapun hadits yang berbunyi, “Wahai Anas, apabila engkau ingin melakukan suatu urusan maka lakukanlah istikhoroh kepada Rabb- mu sebanyak tujuh (7) kali”, maka hadits ini derajatnya sangat lemah. Para ulama banyak yang melemahkan hadits ini, di antaranya adalah al- Imam al- Hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani Rahimahulloh ia berkata, “Sekiranya hadits ini Shahih maka bisa dijadikan sandaran, namun ternyata sanadnya sangat lemah”. (Fat-hul Baari’ 11/ 223).

(2) Kapan membaca do’a Istikhoroh..?


Berkenaan dengan kapan membacanya, ulama menjelaskan boleh setelah membaca Tahiyyat Akhir sebelum salam, dan boleh juga setelah Salam. Adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh telah menjelaskan hal ini, hanya saja beliau lebih cenderung bahwa yang afdhol adalah sebelum Salam. Beliau berkata,

“Do’a Pada Sholat istikhoroh boleh (dibaca) sebelum salam atau setelahnya, namun do’a sebelum Salam lebih utama”. (Majmuu’ al- Fatawa, 23/ 177).

Sementara menurut ulama yang laijnnya, mereka menegaskan bahwa do’a istikhoroh dibaca setelah salam. Inilah pendapat yang rojih (kuat) insya Alloh, sebab di Dalam Hadits Jabir Radhialloohu 'Anhu, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Apabila seorang dari kalian ingin melakukan suatu urusan hendaknya ia mengerjakan Sholat Dua Roka’at tidak wajib kemudian ia berdo’a....” (HR. Ahmad 11/ 250, No. 4642, al- Bukhori No.1162, 6382, 7390, Abu Dawud 2/ 91 No. 1583, at- Tirmidzi 2/ 345, No. 480, an- Nasa’i 3/ 3389, No. 3253 dan lafazh haditsnya milik al- Bukhori),

kata “Kemudian ia berdo’a” menunjukkan diakhirkannya do’a setelah selesai Sholat. Dari sisi bahasa, kata ‘Kemudian” menunjukkan urutan dengan jeda waktu, sehingga maksudnya Sholat dahulu baru kemudian berdo’a.

Ketika ditanya seputar permasalahan ini Syaikh Bin Baaz Rahimahulloh menjawab,

“Do’anya dikerjakan setelah salam sebagaimana yang ada di hadits yang mulia”. (Majmu’ Fatawa bin Baaz, 2/ 236).

Al- Lajnah Da’imah pernah ditanya “Apakah do’a iStikhoroh dibaca sebelum Salam atau setelah Salam seusai Sholat..?” mereka menjawab, “Do’a Istikhoroh waktunya setelah Salam dari Sholat Istikhoroh”. (Fatawa al- Lajnah ad- Da’imah 8/ 162).

(3) Satu Sholat dengan dua (2) niat, Sholat Istikhoroh dan Sholat Sunnah Lainnya, bolehkah..?

Para Ulama menjelaskan apabila seseorang mengerjakan satu pelaksanaan Sholah Sunnah dengan dua (2) niat, seperti tahiyatul Masjid dan istikhoroh, hal itu dibolehkan dan termasuk sholat Istikhoroh. Namun hendaknya sejak awal diniatkan dua niat tersebut.

Imam an- Nawawi Rahimahulloh berkata, “Dzohirnya, sholat istikhoroh dapat dihasilkan dengan mengerjakan dua rokaat Sunnah Rowatib, dengan Tahiyyatul Masjid, atau Sholat Sunnah Lainnya”. (al- Adzkaar hal. 112).

Imam Ibnu Hajar al- ‘Asqalani Rahimahulloh berkata, “Apabila diniatkan sholat tertentu dan Sholat Istikhoroh secara bersamaan, maka hal itu mencukupi. Lain halnya bila tidak diniatkan”. (Fat-hul Baari, 11/ 221). Wallohu a’lam.

Sumber: ‘Buah Istikhoroh& Mari Sholat Istikhoroh’. Majalah Adz- Dzakhiirah al- Islamiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Ali bin Abi Thalib Surabaya. Hal. 56- 58, 71. Rubrik Ibroh& Mutiara Sunnah. Vo. 9/no. 1 edisi 67. Februari 2011.

NB: mengenai Tatacara+ Selengkapnya bisa dibuka link2 berikut ini:

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/panduan-shalat-istikhoroh.html

http://maramissetiawan.wordpress.com/2010/05/24/mantapkan-keputusan-dengan-sholat-istikharah/

Kamis, 14 April 2011

Barangsiapa yang bersabar dengan kelelahan itu, maka ia akan mendapatkan kelezatan ilmu yang melebihi kelezatan dunia.

FAEDAH SEPUTAR LELAH.

(1) Ilmu Tidak Dicapai kecuali dengan Kelelahan.

Yahya bin Abi Katsir Rahimahulloh berkata,

“Ilmu itu tidak tercapai dengan bersantai- santai”. (al- Muzhir fii Ulumil Lughoh, II/ 303, karya asy- Syuyuthi).

“Sesungguhnya Alloh telah menjadikan suatu kebiasaan bahwa ilmu itu tidak dicapai melainkan dengan kesabaran dan kekelahan dalam mencarinya dalam safar- safar (perjalanan) yang jauh”. (al- Mi’yar al- Mu’rob, karya al- Wansyarisi, XI/ 221).

Az- Zarnuji mengungkapkan,

“Ketahuilah bahwa perjalanan untuk menuntut ilmu itu tidak terlepas dari kelelahan, karena menuntut ilmu itu adalah perkara yang agung, dan lebih utama daripada orang- orang yang berperang di medan perang menurut kebanyakan ulama. Sedangkan pahalanya sesuai dengan kelelahannya dan kecapekannya. Barangsiapa yang bersabar dengan kelelahan itu, maka ia akan mendapatkan kelesatan ilmu yang melebihi kelezatan dunia. Oleh karena itu, dahulu Muhammad bin Hasan apabila beliau bergadang pada malam hari, dan ada beberapa masalah rumit yang terselesaikan, beliau berkata, “Manakah anak- anak raja terhadap kelezatan ini?” (Ta’limul Muta’alim, Hal. 115).

(2) Kelelahan adalah sebab meraih maghfiroh (Ampunan) Alloh Ta’ala.


Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidaklah ada yang menimpa seorang Muslim yang berupa rasa lelah, rasa sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, atau kegundahan, sampai duri yang menimpanya, melainkan Alloh menghapus sebagian dosa- dosanya disebabkan hal tersebut”. (HR. Bukhori. No. 5641, 5642, Muslim No. 2573).

Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin Rahimahulloh menjelaskan hadits ini bersama sebuah hadits lain yang senada dengan mengungkapkan:

“Dua hadits ini –yaitu hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairoh bersama hadits Ibnu Mas’ud Radhialloohu 'Anhum- di dalamnya terdapat dalil bahwa manusia dihilangkan dosa- dosanya disebabkan oleh apa saja yang menimpanya, baik berupa kegelisahan, kelelahan, kesedihan, dan sebagainya. Ini adalah termasuk di antara nikmat Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala. Alloh menguji hamba- Nya dengan musibah- musibah, dan hal itu menjadi sebab terhapusnya kesalahan- kesalahannya, dan menghilangkan dosa- dosanya”. (Syarh Riyadhus Shaalihiin, jilid 1, hal. 243- 244, dalam sebuah Silsilah yang bernama Silsilah Muallafat Fadhilah Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin, No. 53, Madar al- Wathon, Riyadh, 1426H, lihat juga Syarahnya dalam Fat-hul Baari, Jilid 10, Hal. 106. Darul Ma’rifat, Beirut).

(3) Kenikmatan berada dalam Kelelahan

Imam Ibnul Qayyim al- Jauziyyah Rahimahulloh berkata,

“Orang yang paling merasa nyaman adalah orang yang paling lelah, karena kepemimpinan di dunia, dan kebahagiaan di akhirat itu tidak dapat dicapai melainkan harus melalui suatu ‘jembatan’ yang berupa kelelahan”. (Tuhfatul Maudud bi Ahkaamil Mauluud, Ibnul Qayyim al- Jauziyyah hal. 146).

(4) Dibolehkan memberitakan Kelelahan.


Dalam kisah perjalanan Nabi Musa ‘Alaihis Salaam dan Nabi Khidir ‘Alaihis Salaam, Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman,

“Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. (QS. Al- Kahfi: 62).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as- Sa’di Rahimahulloh berkata tentang faedahnya,

“Diantaranya: bolehnya seseorang memberitahukan tentang apa yang merupakan kandungan tabiat jiwa seperti lelah, lapar, atau haus, apabila diungkapkan bukan sebagai bentuk kemarahan, sedangkan dia benar...” (Taisiir al- Kariimir Rahmaan, Hal. 483, Darus Sunnah Cet. 1, 1425H). Wallohu A’lam/

Sumber: ‘Faedah Seputar Lelah’. Ust. Muhtar Arifin Lc. Majalah Adz- Dzakhiirah al- Islamiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Ali bin Abi Thalib Surabaya. Hal. 68- 70. Rubrik Faedah. Vo. 9/no. 1 edisi 67. Februari 2011.

Senin, 04 April 2011

Sekadar Niat Baik Saja Tidak Cukup


[Teks Atsar]: Dari Sa’id bin Musayyib, ia melihat seorang laki- laki menunaikan sholat setelah fajar lebih dari dua roka’at, ia memanjangkan ruku’ dan sujudnya. Maka Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu bertanya, “Wahai Abu Muhammad, apakah Alloh akan menyiksaku dengan sebab sholat?”, Beliau menjawab, “Tidak, tetapi Alloh akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah”.

[Takhrij Atsar]: Shahih. Dikeluarkan oleh ad- Darimi dalam Musnad- nya, 1/ 404/ 450, al- Baihaqi dalam Sunan Kubra: 2/ 466, dan Abdurrozzaq dalam al- Mushonnaf no. 4755 dari jalur Sufyan dari Abu Robah dari Sa’id. Sanad Atsar ini dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Irwa’ul Ghalil: 2/ 236. Dan diriwayatkan juga oleh al- Khothib al- Baghdadi dalam Faqih wal Mutafaqqih: 1/ 381 dari jalur Makhlad bin Malik dari Athof bin Kholid dari Abdurrahman bin Harmalah dari Sa’id dengan sanad hasan. (Dinukil dari Silsilah Atsar ash- Shahiihah, karya Abu Abdillah ad- Dani, 1/ 58, cetakan Daar Atsariyyah).

[Fiqih Atsar]: Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh mengomentari atsar ini dalam kitabnya, Irwa’ul Ghalil (2/ 236),

“Ini adalah jawaban Sa’id bin Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan senjata pamungkas terhadap ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan sholat, kemudian membantai Ahlus Sunnah dan menuduh bahwa mereka (Ahlus Sunnah) mengingkari dzikir dan sholat,.! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlul bid’ah dari tuntunan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam dzikir, sholat, dan lain- lainnya"

(berkata al- Fasii dalam ‘Aqdu Tsamin tentang nama Sa’id Radhialloohu 'Anhu, “Yang masyhur adalah dengan memfathah huruf ya’ (baca: Musayyab), namun penduduk madinah berpendapat dengan mengkasroh huruf ya’ (baca: Musayyib). Dan adalah Sa’id membenci bila dibaca fathah (Musayyab)”. (Dinukil dari Dhobtu al- A’lam, hal. 191 karya Ahmad Taimur Basya)

Jadi agar amal ibadah kita diterima oleh Alloh, bukan hanya dengan modal niat yang baik dan keikhlasan, melainkan juga harus sesuai dengan tuntunan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka sudah semestinya bagi kita untuk menggali ilmu agar amalan ibadah yang kita lakukan betul- betul sesuai dengan tuntunan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Semoga Alloh menerima amal ibadah kita semua. Amin.

Sumber: “Majalah al- Furqon: hal. 17. ‘Sekedar niat Baik Saja Tidak Cukup: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as- Sidawi Hafizhahulloh. Edisi 07, Tahun X, Shofar 1432H, Januari- Februari 2011.



Note Tambahan:

Dalam Sebuah Hadits Shahih yang Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha disebutkan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mengada- adakan sesuatu yang baru (bid’ah) dalam urusan (agama) kami, maka hal itu tertolak”. (HR. Bukhori No. 2697), dan Muslim (No. 1718).

Dalam Riwayat Muslim,

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dalam urusan (agama) kami, maka ia tertolak”. (HR. Muslim, No. 1718).

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa mengada- dakan sesuatu yang baru (bid’ah) atau mendukung pelaku bid’ah, maka akan mendapatkan laknat Alloh, para Malaikat, dan manusia semuanya”.

(Diriwayatkan oleh al- Bukhori (hadits No. 1870, 3179), dan Muslim (hadits No. 1370), dan ‘Ali bin Abi Thalib Radhialloohu 'Anhu. Hadits di atas meerupakan penggalan dari hadits tentang ash- Shahifah yang masyhur. Imam Muslim juga meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu (hadits No. 1366), dan dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu (hadits No. 1371).

Sumber: “Ringkasan al- I’tisham Imam asy- Syathibi Rahimahulloh”. 48-49& 63. Alawi bin Abdul Qadir as- Saqqaf. Media Hidayah. Yogyakarta.

Bagaimana Perkataan Para Shahabat, Tabi’in, dan Salafush Shalih mengenai Bid’ah (Perkara Baru Dalam Agama)..??

Ibnu Sa’ad menyebutkan dengan sanadnya sendiri dari Abu Bakar ash- Shiddiq Radhialloohu 'Anhu bahwa beliau pernah berkata,

“Wahai Kaum Muslimin, Aku hanyalah orang yang mengikuti jejak Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, bukan orang yang membuat kebid’ahan. Kalau aku berbuat baik, tolonglah diriku!, dan kalau aku menyimpang, luruskan diriku,!”. (ath- Thabaqat al- Kubra, 3/ 136).

Dari ‘Umar bin al- Khaththab Radhialloohu 'Anhu beliau berkata,

“Hati- hatilah terhadap kaum rasionalis (ahlurra’yi), karena mereka adalah musuh- musuh Sunnah. Mereka tidak mampu menghafal hadits- hadits, maka mereka pun menggunakan akal sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan..”

Dikeluarkan oleh al- Laalika’i dalam Syarah Ushul as- Sunnah wal Jama’ah, 1/ 139, No. 201, dan ad- Darimi dalam Sunan- nya1/ 47, No.121, juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Ilmi Wa Fadhlihi, 2/ 1040, No. 2001, 2005).

Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Ikutilah ajaran Sunnah dan janganlah berbuat bid’ah, dengan itu kalian akan dicukupkan, karena setiap bid’ah itu adalah sesat..” (Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Fii Maa Jaa’aFil Bida’ hal. 43, No. 12, 14. Diriwayatkan juga oleh ath- Thabrani dalam al- Mu’jam al- Kabir, 9/ 154, No. 8770. Al- Haitsami menyebutkan dalam Majma’uz Zawaaid, 1/ 181, “Para perawinya adalah perawi yang Shahih”. Dikeluarkan juga oleh al- Laalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama'ah 1/ 96, No. 102).

Surat- Surat ‘Umar bin ‘Abdul Aziz kepada Seorang lelaki, beliau menyebutkan,

“Amma Ba’du, aku wasiatkan kepada anda agar bertakwa kepada Alloh, bersikap sederhana dalam segala urusan, mengikuti ajaran Rasululloh dan meninggalkan segala bid’ah yang diciptakan oleh kalangan ahlul bid’ah, setelah melaksanakan Sunnah Nabi yang selayaknya..”.

(Sunan Abi Dawud dalam as- Sunnah, bab “Berpegang pada Sunnah”, 4/ 203, No. 4612. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh, 3/ 873).

al- Hasan al- Bashri Rahimahulloh mengungkapkan,

“Ucapan hanya dibenarkan bila diamalkan, ucapan dan amal itu sendiri hanya sah apabila disertai dengan niat. Sementara ucapan, amal, dan niat itu hanya sah bila disertai dengan Sunnah”.

(Dikeluarkan oleh al- Laalila’i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, 1/ 63, No. 18).

Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh menegaskan,

“Keputusan kami terhadap ahlulkalam adalah agar mereka dipukul dengan pelepah, digotong di atas unta lalu diarak keliling kampung dan suku- suku. Lalu dikatakan kepada mereka, “Inilah ganjaran bagi orang yang meninggalkan Kitabulloh dan Sunnah Rasul lalu mengambil ilmu kalam sebagai landasan..”

(Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam al- Hilyah, 9/ 116).

Imam Malik Rahimahulloh menyebutkan,

“Barangsiapa melakukan perbuatan bid’ah dalam Islam lalu menganggap bid’ah itu sebagai kebaikan, berarti ia telah beranggapan bahwa Nabi Muhammad itu telah mengkhianati kerasulannya. Karena Alloh berfirman,

“Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu..” (QS. Al- Maidah: 3),,

Yang bukan merupakan agama pada masa hidup beliau (Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam), maka pada hari ini juga bukan merupakan agama..”. (Al- I’tisham oleh asy- Syathibi, 1/ 65).

Imam Ahmad Rahimahulloh menyatakan,

“Pondasi Ahlussunnah menurut kami adalah berpegang pada jalan hidup para Shahabat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, dan meninggalkan bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat, meninggalkan pertikaian, meninggalkan belajar bersama ahlulbid’ah serta meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam agama”.

(Dikeluarkan oleh al- Laalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlissunnah Wal Jama’ah, 1/ 176).

Sumber: “Putihnya Sunnah- Hitamnya Bid’ah”. Hal. 58- 60. Said bin Wahf al- Qahthani. Wafa Press. Klaten.

NB: Imam Abul Qasim al- Laalika’i Rahimahulloh (wafat tahun 418H) dan Imam Utsman bin Sa’id ad- Darimi Rahimahulloh (wafat tahun 282H), adalah dua dari sekian banyak ulama Syafi’iyyah yang setia mengikuti manhaj dan madzhab imam as- Syafi’i Rahimahulloh dalam hal akidah dan Fiqih. Wallohu a’lam.

Sumber: “Ulama Syafi’iyyah dalam Memperjuangkan Sunnah dan Mengingkari Bid’ah I”. Dr. Muhammad Nur Ihsan, MA Hafizhahulloh. Majalah Al Furqon edisi 05/ X/ Dzulhijjah 1431H/ November- Desember 2011, hal. 56- 57.

Sabtu, 02 April 2011

Karena sesungguhnya ziarah dapat mengingatkan kepada kematian


Soal: Assalamu’alaikum. Apakah di antara adab ziarah kubur tidak boleh duduk atau cukup berdiri saja? Apa boleh menghadiahkan bacaan Qur’an kepada ahli kubur..? Lalu siapa yang akan mendapatkan manfaat dari bacaan tersebut..? Tolong penjelasannya.(Fulan, Bumi Alloh 0852xxxxxxx)

Jawab: Ziarah kubur terbagi menjadi tiga (3): Ziarah Syar’iyyah, Bid’iyyah, dan Syirkiyyah.

(1) Ziarah Syar’iyyah, yang Sesuai Sunnah dan Syar’i. Dalil dari ziarah kubur ini adalah hadits Buroidoh Radhialloohu 'Anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, karena sesungguhnya ziarah dapat mengingatkan kepada kematian”. (HR. Muslim 977, at- Tirmidzi 1054, an- Nasa-i 2034).

Ziarah kubur memiliki beberapa adab di antaranya:

1. Hendaklah niat penziarah kubur untuk mengingat akhirat dan mengambil pelajaran darinya.

2. Tujuan ziarah kubur adalah berdo’a untuk dirinya sendiri, dan ahli kubur yang MUSLIM.

3. Hendaklah ziarah kubur tidak dijadikan sebagai tujuan safar karena Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarangnya.
Sebagaimana hadits yang Diriwayatkan dari Abu Sa’id al- Khudri Radhialloohu 'Anhu bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid, Masjid al- Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan masjid al- Aqsho”.

(2) Ziarah Kubur Bid’ah. Yang dimaksud ziarah kubur ini adalah orang yang ziarah kubur tidak berdasarkan petunjuk Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam seperti berdo’a, sholat, atau i’tikaf di sisi kubur, atau tawassul (menjadikan perantara) ahli kubur ketika berdo’a kepada Alloh seperti mengatakan, “Ya Alloh, aku memohon kepada- Mu dengan kedudukan si Fulan”, padahal ia sudah meninggal atau masih hidup, dengan sangkaan bahwa si Fulan memiliki kedudukan di sisi Alloh Ta’ala, walaupun ia berpandangan bahwa tidak boleh berdo’a kecuali kepada Alloh dan tidak boleh beribadah kepada selain- Nya. Akan tetapi dia telah beribadah kepada Alloh tanpa ada dasar syar’i, dan dia telah berbiat bid’ah dalam agama, menyimpang dalam berdo’a dan berdo’a kepada Alloh dengan cara yang tidak diperintahkan.

(3) Ziarah Kubur Syirik. Yaitu Penziarah ada tujuan tertentu kepada Ahli Kubur, berdo’a kepada selain Alloh agar memperoleh manfaat dan dijauhkan dari mara bahaya, seperti memohon agar disembuhkan dari sakit, agar barang yang telah hilang dikembalikan, atau yang semisalnya yang berkaitan dengan hajat mereka. Ini merupakan perbuatan syirik beesar yang Alloh Ta’ala tidak akan mengampuni kedcuali dengan Taubat Nashuha. Alloh Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu menyembah apa- apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madhorot kepadamu selain Alloh. Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kalau begitu kamu termasuk 0rang- orang yang dzalim. Jika Alloh menimpakan suatu kemadhorotan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Alloh menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak karunia –Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki- Nya di antara hamba- hamba- Nya dan Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Yunus [10]: 106- 107). (Khulashotul Kalam Fii Arkanil Islam, 37- 38)

Sumber: Majalah al- Mawaddah: hal. 42. Rubrik Ulama Berfatwa. ‘Etika Ziarah Kubur’. Vol. 37. Shofar 14H. Januari- Februari 2011.

Kebersihan Hati Dari Kecurangan Dan Hasad [231]


Kebersihan Hati Dari Kecurangan Dan Hasad [231]

Dari Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu ia berkata, “Kami sedang duduk bersama Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,

“Seorang laki- laki penghuni Surga muncul kepada kalian sekarang”,

Maka muncullah seorang laki- laki Anshar, air wudhunya menetes dari jenggotnya, menenteng kedua sandalnya di tangan kirinya. Esok harinya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan ucapan yang sama dan orang yang sama pun muncul. Di hari ketiga Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan ucapan yang sama dan orang yang sama pun muncul.

Ketika Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri, Abdulloh bin Amru bin Ash mengikuti orang tersebut. Abdulloh berkata, “Aku telah bertengkar dengan bapakku, aku bersumpah tidak bermalam dengannya selama tiga malam, kalau engkau mengizinkanku bermalam bersamamu sampai perkaranya selesai, maka aku akan senang”, Laki- laki tersebut menjawab, “Boleh”,

Anas berkata, “Abdulloh bercerita bahwa dia bermalam dengan laki- laki tersebut selama tiga malam itu. Abdulloh tidak melihatnya sedikitpun berqiyamul lail, hanya saja apabila dia terjaga dan berguling di tempat tidurnya dia berdzikir kepada Alloh dan bertakbir sampai dia bangun untuk Sholat Shubuh”.

Abdulloh berkata, “Hanya saja aku tidak mendengar darinya kecuali kebaikan". Manakala tiga malam tersebut berlalu, dan aku hampir- hampir meremehkan amalnya, maka aku berkata kepadanya, “Wahai Abdulloh, antara diriku dengan bapakku tidak ada rasa marah dan saling mendiamkan, hanya saja aku mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda untukmu tiga kali, “Seorang laki- laki penghuni Surga muncul kepada kalian sekarang”, lalu yang muncul adalah engkau, maka aku ingin bermalam kepadamu untuk melihat amalmu lalu aku teladani tetapi aku tidak melihatmu banyak beramal. Lalu apakah yang membuatmu sampai pada derajat seperti yang dikatakan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ..?”,

Dia menjawab, “Tidak ada kecuali apa yang kamu lihat”, Abdulloh berkata, “Manakala aku hendak beranjak, dia memanggilku, dia berkata, “Tidak ada kecuali apa yang kamu lihat, hanya saja hatiku bersih dari kecurangan kepada setiap muslim dan aku pun tidak hasad kepada siapapun atas nikmat yang Alloh berikan kepadanya”

Abdulloh menjawab, “Inilah derajat yang kamu capai, dan itu yang kami tidak mampu”.

(Hasan, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad berdasarkan syarat al- Bukhori dan Muslim).

Al- Mundziri berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad berdasarkan syarat Bukhori dan Muslim”.

Abu Ya’la dan al- Bazzar meriwayatkan hadits senada dan dia menamakan laki- laki tersebut Sa’ad, Dia berkata di Akhir hadits, Sa’ad berkata,

“Tidak ada kecuali apa yang kamu lihat wahai keponakanku, hanya saja aku tidak bermalam dalam keadaan mendengki kepada seorang muslim”, atau kata yang senada dengannya".

Diriwayatkan oleh imam an- Nasa’i, al- baihaqi, dan al- Ashbahani, lalu Abdulloh berkata,

“Inilah yang menyampaikanmu dan inilah yang kami tidak mampu”.

Diriwayatkan oleh al- Baihaqi juga dari Salim bin Abdulloh bin Umar dari bapaknya, berkata,

“Kami sedang duduk bersama Rasulullloh lalu beliau bersabda, “Sungguh akan muncul dari pintu ini seorang laki- laki penghuni Surga”, lalu muncullah Sa’ad bin Malik dari pintu itu. Al- Baihaqi berkata, “Lalu dia menyebutkan hadits selengkapnya”.


Abdulloh bin Umar berkata, “Aku belum puas kalau aku belum bisa menginap dengan laki- laki itu untuk melihat amalnya”. Lalu Abdulloh bin Umar menyebutkan hadits selengkapnya tentang kehadirannya kepada laki- laki tersebut. Abdulloh berkata,

“Dia memberiku sepotong kain, lalu aku berbaring di atasnya tidak jauh darinya. Semalaman aku memperhatikannya dengan mataku. Setiap kali dia terjaga dia bertasbih, bertakbir, bertahlil, dan bertahmid. Sampai ketika waktu sahur tiba, dia bangun lalu berwudhu kemudian masuk masjid, lalu sholat dua belas roka’at dengan membaca dua belas surat dari surat- surat Mufashshal, bukan dari yang panjang, bukan pula dari yang pendeknya, di setiap dua roka’at setelah tasyahud dia mengucapkan tiga do’a:

“Ya Alloh, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat. Jagalah kami dari api Neraka. Ya Alloh, cukupkanlah kami dari perkara dunia dan akhirat yang menyibukkan kami. Ya Alloh, Sesungguhnya kami memohon kepada- Mu seluruh kebaikan dan kami berlindung kepada- Mu dari seluruh keburukan”.

Sampai ketika dia selesai, dia berkata... lalu dia menyebutkan hadits tentang amalnya yang menurutnya sedikit, dan kembali kepadanya tiga kali sampai dia berkata,

“Aku berangkat tidur sementara di hatiku tidak terdapat kedengkian kepada siapa pun”,

Selesai Ucapan al- Mundziri Rahimahulloh. Wallohu a'lam

Sumber: “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun- 286 Sebab Meraih Ampunan Alloh Subhaanahu Wa Ta'ala”, Hal 268- 270. Dr. Sayyid Husain al- Affani. Pustaka Darul haq. Jakarta.

NB: Imam al- Mundziri Rahimahulloh (Wafat 656H), Beliau adalah Abdul Azhim bin Abul Waqi bin Abdulloh bin Salamah bin Sa’ad al- Mundziri. Beliau adalah seorang ahli hadits (al- Hafizh) & ahli fikih dalam Madzhab asy- Syafi’i. Penulis Kitab >at- Targhiib wat- Tarhiib, Mukhtashar Shahih Muslim, Mukhtashar Sunan Abu Dawud, Syarah at- Tanbih, al- Mu’jam, al- Muwafaqat dan masih banyak yang lainnya. Lihat Siyar A’lam an- Nubala, karya al- Hafizh adz- Dzahabi Rahimahulloh.

Sumber: Shahih at- Targhiib Wat Tarhiib IV. Hal 15+18.
Syaikh al- Albani. Pustaka Shahifa. Jakarta.