Minggu, 20 Juni 2010

Virus Riba Sebab Hancurnya Dunia [Co-Pas]

Virus Riba Sebab Hancurnya Dunia

Telah jauh-jauh hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahaya yang akan mengancam dunia dengan membudayanya riba, baik dengan kedok bunga, uang lelah, bagi hasil, atau istilah yang lain. Yang jadi tolak ukur dalam masalah ini adalah hakikatnya, bukan istilah yang dipakai.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara tersebut?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh tanpa alasan yang bisa dibenarkan, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita baik-baik berzina.” (Hr. Bukhari, no 6465; Muslim no. 272)

Hadits ini menunjukkan bahwa pelaku akan mengalami kehancuran di dunia dan di akhirat.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

Dari Abdullah bin Hanzhalah --seseorang yang jenazahnya dimandikan oleh para malaikat--, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam kondisi dia tahu bahwa itu adalah riba, dosanya lebih berat dibandingkan berzina sebanyak tiga puluh enam kali.” (Hr. Ahmad, no 22007; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 3375)


Alangkah dahsyat hadits yang menakutkan ini. Jika satu dirham uang riba itu lebih parah daripada dosa zina --yang bukan hanya sekali, bahkan tiga puluh enam kali-- lalu bagaimana lagi dengan orang yang memakan jutaan riba!

Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak ada beda antara riba yang sedikit dengan riba dalam nominal yang besar. Sungguh keliru orang yang beranggapan bahwa jika riba cuma kecil. karena hanya satu atau dua persen, maka dibolehkan. Adapun riba yang terlarang, adalah jika ribanya dalam nominal yang besar.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir, beliau mengatakan, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, korban riba, pencatat, dan saksinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Mereka itu dosanya sama.'” (Hr. Muslim, no. 4177)

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba. Bahkan, beliau tegaskan bahwa mereka semua itu menanggung dosa yang sama. Jika pencatat transaksi dan saksi dalam transaksi riba dosanya sama dengan dosa pemakan riba, lalu bagaimana lagi dengan orang yang mengurusi kegiatan riba, atau bahkan dengan sengaja menyebarkan dan memasang iklan di berbagai media untuk mengajak orang agar melakukan riba!



Yang dimaksud dengan pencatat riba dalam hadits di atas, adalah pencatatan ketika transaksi riba terjadi dan pencatatan setelah terjadinya transaksi.

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ تَشْتَرِيَ الثَّمْرَةَ حَتَّى تَطْعَمَ وَ قَالَ: إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَ الرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membeli buah-buahan hingga layak untuk dikomsumsi, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika zina dan riba telah dilakukan secara terang-terangan di suatu daerah, maka pada hakikatnya, penduduk daerah tersebut telah meminta agar Allah menyiksa mereka.” (Hr. Hakim, no. 2261, diiringi komentar, “Ini adalah hadits yang shahih.” Pernyataan beliau ini disetujui oleh adz-Dzahabi dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 679)

Jika kita lihat sekeliling kita, maka kita akan menyaksikan bahwa zina dan riba telah menyebar dan dilakukan secara terang-terangan, dengan nama riba atau pun lokalisasi. Semoga kita terlindung dari siksa-Nya.

Di antara bentuk siksa Allah adalah matinya hati kita, dengan menganggap dosa tidak lagi sebagai dosa, karena kita telah terbiasa dengannya.

عَنْ مَسْرُوْقٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: اَلرِّبَا ثَلاَثَةُ وَ سَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

Dari Masruq dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu. Riba yang paling ringan itu, dosanya semisal dosa orang yang menyetubuhi ibu kandungnya sendiri.” (Hr. Hakim, no. 2259, diiringi komentar, “Shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim,” dan pernyataan beliau ini disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 5852)



Jika pintu riba yang paling ringan dosanya adalah semisal dosa orang yang menyetubuhi ibu kandungnya sendiri, lalu bagaimanakah dengan pintu riba yang lebih besar lagi!

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : اَلرِّبَا وَ إِنْ كَثُرَ فَإِنَّ عَاقِبَتُهُ تَصِيْرُ إِلَى قِلٍّ

Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Uang riba, meski berjumlah banyak, namun kesudahannya pasti akan menjadi sedikit.” (Hr. Hakim, no. 2262, diiringi komentar, “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih.” Komentar beliau ini disetujui oleh adz-Dzahabi, dan al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 3542)

Kandungan hadits ini sejalan dengan firman Allah,

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. al-Baqarah: 276)

Ini adalah peringatan bagi para pelaku riba, bahwa harta riba meski pada awalnya berjumlah banyak, namun pada suatu hari nanti pasti akan hancur. Hal ini pun telah terbukti di dunia nyata. Para pelaku riba akan selalu diberi cobaan dari Allah, dengan jalan Allah tidak memberkahi harta yang mereka peroleh.

Allah uji mereka dengan musibah, penyakit, dan kecelakaan, sehingga habislah uang mereka untuk keperluan ini. Mereka tidaklah merasakan nikmat dengan harta tersebut, atau bahkan bisnis mereka mengalami kerugian. Namun, juga tidak menutup kemungkinan, jika Allah menunda itu semua hingga hari kiamat tiba, dan ini lebih dahsyat lagi.

عَنْ عَبْدِ اللهِ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، قَالَ : الرِّبَا بِضْعٌ وَسَبْعُونَ بَابًا وَالشِّرْكُ مِثْلُ ذَلِكَ

Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu memiliki tujuh puluh sekian pintu, dan kesyirikan juga semisal itu.” (Hr. Bazzar, no. 1935; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 3540)



Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan riba dan syirik dalam satu hadits, serta menghubungkan dua dosa tersebut dengan kata-kata “dan”, yang menunjukkan kesejajaran. Ini menunjukkan betapa besarnya bahaya riba.

عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ بَيْنَ يَدَيْ اَلسَّاعَةِ يُظْهَرُ الرِّبَا وَالزِّنَا وَالْخَمْرُ

Dari Ibnu Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebelum kiamat terjadi, maka riba, perzinaan, dan minum khamr akan dilakukan secara terang-terangan.” (Hr. Thabrani dalam Mu’jam Ausath, no. 7695; dinilai sebagai hadits yang shahih li ghairihi oleh al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, no. 1861)

Jadi, di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah muncul dan tersebarnya praktik riba di tengah-tengah masyarakat.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: www.pengusahamuslim.com
Ditulis oleh Sholih on Kamis, 15 April 2010 23:55
Copy paste tanggal 21 Juni 2010.
Sumber: http://www.pengusahamuslim.com/fatwa-perdagangan/nasehat-untuk-pedagang-dan-pengusaha/859-virus-riba-sebab-hancurnya-dunia.html

Jumat, 18 Juni 2010

WASIAT PERPISAHAN [Resume]

Diriwayatkan dari al-'Irbaadh bin Saariyah Radhialloohu 'anhu bahwa ia berkata,

"Suatu hari Rasulullah Shallalllaahu 'alaihi wasallam pernah sholat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa, yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati menjadi takut, maka seseorang berkata,

'Wahai Rasulullah! seolah-olah ini adalah nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?'

Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

"AKU WASIATKAN KEPADA KALIAN AGAR TETAP BERTAKWA KEPADA ALLOH, TETAPLAH MENDENGAR DAN TAAT, WALAUPUN YANG MEMERINTAH KALIAN ADALAH SEORANG BUDAK DARI HABASYAH.

SUNGGUH, ORANG YANG MASIH HIDUP DI ANTARA KALIAN SEPENINGGALKU, NISCAYA IA AKAN MELIHAT PERSELISIHAN YANG BANYAK, MAKA WAJIB ATAS KALIAN BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAHKU DAN SUNNAH KHULAFAA RAASYIDIIN YANG MENDAPAT PETUNJUK. PEGANGLAH ERAT-ERAT DAN GIGITLAH DIA DENGAN GIGI GERAHAM KALIAN.

DAN JAUHILAH OLEH KALIAN SETIAP PERKARA YANG BARU (DALAM AGAMA), KARENA SESUNGGUHNYA SETIAP PERKARA YANG BARU ITU ADALAH BID'AH, DAN SETIAP BID'AH ITU ADALAH SESAT".

Hadits ini SHAHIIH, diriwayatkan oleh Imam-imam ahlul Hadiits, di antaranya adalah





imam Ahmad dalam Musnad nya 7/ 126-127, Imam Abu Dawud No. 4607 dan ini adalah lafadznya, Imam at-Tirmidzi No. 2676, Imam Ibnu Maajah No. 42, Imam ad-Daarimi 1/ 44, Imam Ibnu Hibbaan dalam Shahiih nya No. 5, at-Ta'liqootul Hisaan dan No. 102, al-Mawaarid, Imam al-Haakim 1/ 95-96, Imam Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah No. 54-59, Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1/ 205, Imam al-baihaqi dalam Sunan nya 10/ 114, Imam al-Laalikaai dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah 1/ 83 dan lain-lain.

Hadits ini dishahihkan oleh para Imam Ahlul Hadits. Imam at-Tirmidzi Rahimahulloh mengatakan, "Hadits ini HASAN SHAHIIH". Imam al-Bazzaar Rahimahulloh mengatakan, "Hadits ini TSAABIT SHAHIIH". Imam Ibnu 'Abdil Barr mengatakan "Hadits ini TSAABIT". Imam al-Haakim Rahimahulloh mengatakan , "Hadits ini SHAHIIH dan tidak ada cacatnya", dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi Rahimahulloh. Hadits ini dishahihkan juga oleh Imam al-'Allaamah al-Muhaddits Muhammad Naashiruddin al-Albaaniy Rahimahulloh dalam Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah No. 937 dan 2735 dan dalam Irwaa-ul Ghaliil 8/ 107-109, No. 2455.



hal. 15:
Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

"ADA DUA MATA YANG TIDAK AKAN DISENTUH OLEH API NERAKA, MATA YANG MENANGIS KARENA TAKUT KEPADA ALLOH DAN MATA YANG BEGADANG UNTUK BERJAGA DI JALAN ALLOH"

Shahiih. HR. at-Tirmidzi No. 1639 dari Shahabat 'Abdulloh bin 'Abbas Radhialloohu 'anhu.

>> dua mata yang begadang untuk berjaga di jalan Alloh ialah ketika berjuang di jalan Alloh 'Azza Wa jalla melawan musuh, ia senantiasa berjaga-jaga di perbatasan karena khawatir kaum muslimin diserang oleh musuh.

hal. 16:
Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

"JANGANLAH KALIAN MENCACI PARA SHAHABATKU! DEMI DZAT YANG JIWAKU BERADA DI TANGAN-NYA, SUNGGUH, JIKA SEANDAINYA SALAH SEORANG DARI KALIAN BERINFAK SEBESAR GUNUNG UHUD BERUPA EMAS, MAKA BELUM MENCAPAI NILAI INFAK MEREKA MESKIPUN (MEREKA INFAK HANYA) SATU MUD (YAITU SEPENUH DUA TELAPAK TANGAN) DAN TIDAK JUGA SEPARUHNYA"

Shahiih, HR al-Bukhori No. 3673, Muslim No. 2541, Abu Dawud No. 4658, at-Tirmidzi No. 3861, Ahmad 3/11, al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah 14/ 69 No. 3859 dan Ibnu Abi 'Ashim No. 988, dari Shahabat Abu Sa'id al-Khudri Radhialloohu 'anhu. Lihat Fathul Baari 7/ 34-36



Hal. 17:
Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

"TIDAL BOLEH TAAT TERHADAP PERINTAH YANG DI DALAMNYA TERDAPAT MAKSIAT KEPADA ALLOH, SESUNGGUHNYA KETAATAN ITU HANYA DALAM KEBAJIKAN"

Shahiih, HR al-Bukhori No. 4340, 7257, Muslim No. 1840, Abu Dawud No. 2625, an-Nasaa'i 7/ 159-160, Ahmad 1/ 94, dari Shahabat 'Ali Radhialloohu 'anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah 1/ 351, No. 181 oleh Syaikh al-Albaniy Rahimahullooh.

Hal. 17:
Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

"WAJIB ATAS SEORANG MUSLIM UNTUK MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PENGUASA PADA APA-APA YANG IA CINTAI ATAU IA BENCI, KECUALI KALAU IA DISURUH UNTUK BERBUAT MAKSYIAT, JIKA IA DISURUH BERBUAT MAKSYIAT, MAKA TIDAK BOLEH MENDENGAR DAN TIDAK BOLEH TAAT".

Shahiih, HR al- Bukhori No. 2955, 7144, Muslim No. 1839, at-Tirmidzi No. 1707, Ibnu Majah No. 2864, an-nasaa'i 7/ 160., Ahmad 2/ 17, 142 dari Shahabat 'Umar Radhialloohu 'anhu. Lafadz ini milik Muslim.



Hal. 23:
Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

"BARANGSIAPA YANG MENGADA-ADA DALAM URUSAN (AGAMA) KAMI INI, SESUATU YANG BUKAN BAGIAN DARINYA, MAKA IA TERTOLAK"

Shahiih, HR al-Bukhori No. 2697, Muslim No. 1718, dari 'Aisyah Radhialloohu 'anhaa.

Hal. 23:
Imam Maalik bin Anas Radhialloohu 'anhu mengatakan:

"BARANGSIAPA YANG MENGADAKAN SUATU BID'AH DALAM ISLAM YANG IA PANDANG HAL ITU BAIK (BID'AH HASANAH), MAKA SUNGGUH IA TELAH MENUDUH NABI MUHAMMAD SHALLALLAAHU 'ALAIHI WASALLAM MENGKHIANATI RISALAH AGAMA INI. KARENA SESUNGGUHNYA ALLOH SUBHAANAHU WA TA'ALA TELAH BERFIRMAN:

'PADA HARI INI TELAH AKU SEMPURNAKAN AGAMAMU UNTUKMU..' (QS. AL-MAAIDAH (5): 3)

MAKA SESUATU YANG PADA HARI ITU (PADA MASA BELIAU MASIH HIDUP) BUKANLAH AJARAN AGAMA, MAKA HARI INI PUN SESUATU ITU BUKANLAH AJARAN AGAMA"

Al-I'tishoom 1/ 62 tahqiiq Syaikh Masyhur Hasan Slaman, Cet. II Daar al-Atsyariyyah. th 1428H

Sumber: Majalah As-Sunnah edisi 10./thn XIII/ Muharram 1431H/ Januari 2010M. Hal.14.rubrik Hadits.

Senin, 14 Juni 2010

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah
Kategori Aqidah | 09-04-2010 | 6 Komentar

Salah satu karakteristik agama Islam adalah keadilan, bersikap pertengahan antara sikap melampaui batas dan sikap terlalu meremehkan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا… {143}

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….” (QS. Al Baqarah: 143)

Demikian pula keadaan Ahlus sunnah wal jama’ah di tengah firqah-firqah yang ada, mereka bersikap adil. Berikut di antara sikap adil Ahlus sunnah dalam memahami agama ini.

Dalam Keimanan Terhadap Nama dan Sifat Allah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “ Termasuk iman kepada Allah adalah beriman terhadap seluruh sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya dan juga yang disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan tahrif dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan tamsil[1], bahkan wajib beriman bahwa Allah Ta’ala :

… لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ {11}

“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11)[2]



Inilah keyakinan Ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka bersikap adil, berada


pertengahan antara Ahlu ta’thil dan Ahlu tamsil. Ahlu ta’thil mengingkari seluruh nama dan sifat yang wajib bagi Allah. Mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menafikan semuanya, seperti keyakinan Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Sedangkan kelompok yang kedua menafikan sebagiannya, seperti Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.Sedangkan Ahlu tamsil menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, seperti yang diyakini oleh kelompok Karomiyyah dan Husyaamiyyah.[3]

Jadi, Ahlus sunnah dalam keimananan terhadap nama dan sifat Allah berada di antara dua kelompok yang menyimpang, kelompok yang yang ghuluw (bersikap berlebih-lebihan) dalam menyucikan dan menafikan sifat Allah yaitu Ahlu ta’thil dan kelompok yang ghuluw dalam menetapkan sifat Allah yaitu Ahlu tamsil. Ahlus sunnah tidak ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan dan menafikan, mereka menetapkan nama dan sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk sbegaimana firman Allah dalam surat Asy Syuura’ di atas.[4].

Dalam firman Allah (yang artinya) “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia’” merupakan penafian yang mengandung kesempurnaan. Ini merupakan bantahan terhadap Ahlu tamsil. Sedangkan dalam firman Allah “Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” merupakan penetapan nama dan sifat-Nya. Ini merupakan bantahan terhadap Ahlu ta’thil.



Dalam Memahami Takdir Ilahi Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh takdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.

Adapun orang-orang yang menyelisihi al Quran dan sunnah mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremahkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba. Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya. [5]

Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahami takdir sebagaimana ditunjukkan dalam dalil yang banyak. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29)



Pada ayat “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menenmpuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menenmpuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah karena pada ayat ini Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[6]

Dalam Memaknai Janji dan Ancaman Allah
Banyak dalil baik dari al Quran dan sunnah tentang janji Allah bagi orang yang beriman, baik itu berupa kenikmatan surga, penghapusan dosa, pahala yang banyak, dan iming-iming lainnya. Di antaranya adalah firman Allah :

ُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَتَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ {53}

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar:53)

Contoh dari sunnah misalnya sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu ‘anhu,



“Tidaklah seorang hamba mengatakan, ‘Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allah’, kemudian dia meninggal dengan berpegang teguh pada hal tersebut, melainkan dia pasti masuk surga.”[7]. Dalil-dali di atas disebut nusuusul wa’di (dalil-dalil tentang janji kebaikan)

Demikian juga banyak dalil-dalil tentang ancaman, baik itu berupa adzab yang pedih, kekal di neraka, disifati dengan kekafiran dan kefasikan, serta ancaman-ancaman lainnya. Semisal firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا {93}

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An Nisaa’:93).

Dan juga sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam,
“Mencerca orang muslim adalah fasiq dan memeranginya adalah kufur“[8]. Dalil-dali di atas disebut nusuusul wa’iid (dalil-dalil ancaman).
Manusia dalam memahami dalil-dalil di atas terbagi menjadi 2 kelompok yang menyimpang dan satu kelompok pertengahan.

Kelompok pertama adalah Murjiah. Mereka mengambil dalil-dalil tentang janji kebaikan, namun meninggalkan dalil-dalil ancaman. Mereka mengatakan bahwa setiap dosa selain syirik pasti diampuni. Keimanan menurut mereka tidak akan dipengaruhi oleh kemaksiatan sebagaimanana ketaatan tidak akan bermanfaat dalam kekafiran. Mereka menyimpang dalam masalah ini karena mereka beribadah kepada Allah hanya berlandaskan raja’ (rasa harap) semata, dan mengesampingkan sisi khauf (rasa takut).
Kelompok kedua disebut Wa’idiyyah, termasuk di dalamnya kelompok Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka mengambil dalil-dalil tentang janji kebaikan dan juga ancaman, namun mereka berlebih-lebihan dalam dalil-dalil ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah Ta’ala pasti menunaikan janji dan ancaman-Nya. Yang menyebabkan mereka salah dalam masalah ini karena mereka beribadah kepada Allah dengan khauf semata, dan mengesampingkan raja’.



Adapun Ahlus sunnah dalam masalah ini bersikap adil, bersikap pertengahan antara Murjiah dan Wa’idiyyah. Mereka mengambil dalil-dalil tentang janji sekaligus ancaman Allah. Mereka menggabungkan antara sikap khauf dan raja’.[9]

Dalam Menggelari dan Menghukumi Seseorang
Yang dimaksud dengan pemberian gelar di sini adalah penamaan/gelar di dalam agama, yakni istilah yang Allah tetapkan sesuai janji dan ancaman-Nya, seperti mukmin, muslim, kafir, fasik, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum adalah hukum yang berkaitan dengan pemilik gelar tersebut baik hukum di dunia maupun di akherat.
Dalam hal menggelari dan menghukumi seseorang, Ahlus sunnah bersikap adil, pertengahan antara sikap kelompok Wa’idiyyah dan Murjiah.

Pertama: Dalam menggelari seseorang di dunia. Kelompok Wa’idiyyah meniadakan gelar ‘iman’ bagi pelaku dosa besar di dunia. Mereka menyebutnya kafir sebagaimana yang dilakukan Khawarij, atau mendudukkannya dalam kedudukan antara keimanan dan kekufuran (manzilah baina manzilatain), dia tidak mukmin dan tidak pula kafir, sebagaimana perbuatan Mu’tazilah.

Adapun kelompok Murjiah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa pelaku dosa besar adalah mukmin yang tetap sempurna keimanannya. Hal ini karena keimanan menurut mereka hanyalah yang terdapat di dalam hati (ma’rifah qolbiyyah). Mereka menganggap maksiat tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat dalam kekafiran.

Sedangkan keyakinan Ahlus sunnah wal jama’ah, tetap memutlakkan bagi pelaku dosa besar sebagai mukmin, namun bukan mukmin yang sempurna imannya, yakni mukmin yang bermaksiat, mukmin yang fasik, atau mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besar yang dilakukannya. Dengan hilangnya sebagiannya saja tidaklah menghilangkan seluruh keimanannya, namun tidak pula disebut iman yang mutlak (sempurna). Allah ‘Azza wa Jalla telah menggelari kaum mukminin yang saling berperang dalam firman-Nya,

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ {10}

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil(9). Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujuraat:9-10)



Kedua: Dalam masalah menghukumi pelaku dosa besar di akhirat. Kelompok Wa’idiyyah menghukumi pelaku dosa besar kekal di neraka. Demikian pula yang diyakini Khawarij dan Mu’tazilah. Adapun keyakinan Ahlus sunnah, bahwasanya pelaku dosa besar, bisa mendapat adzab, bisa pula mendapat rahmat Allah berupa ampunan. Jika diampuni, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga tanpa mengadzabnya, ini merupakan keutamaan yang Allah berikan bagi hambanya. Jika tidak, maka Allah akan mengadzabnya dan memasukkannya ke dalam neraka, ini sesuai dengan keadilan-Nya. Namun, dia tidak kekal dalam neraka seperti orang kafir.[10]

Dalam Menyikapi Para Sahabat
Para sahabat adalah orang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman padanya, dan meninggal dalam keadaan Islam.
Dalam menyikapi para sahabat, Ahlus sunnah bersikap adil, pertengahan antara sikap Rafidhah dan Khawarij.

Kelompok Rafidhah (yang dikenal sebagai Syiah di zaman sekarang) ghuluw terhadap sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan kepada ahli bait. Mereka melebihkannya daripada para sahabat yang lainnya, memerangi sebagian sahabat yang lainnya, menghina, mencela, dan bahkan mengkafirkan sebgaian di antara mereka, khususnya terhadap khalifah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Ustman radhiyallahu ‘anhum.

Sebaliknya adalah sikap Khawarij. Mereka mengkafirkan sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan banyak sahabat yang lainnya. Mereka memeranginya dan menghalalkan darah dan harta mereka.[11]

Adapun Ahlus sunnah menyikapi mereka secara adil, berada pertengahan antara dua kelompok sesat di atas. Mereka mencintai para sahabat radhiyallahu ‘anhum , meridhai mereka, meyakini keadilan mereka dan bahwasannya mereka adalah umat yang paling utama. Allah telah menjadikan mereka penjaga agama-Nya, dan menegakkan dengan sebab mereka akidah keimanan yang lurus dan suci.

Dalil dalil al Quran dan sunnah tentang keutamaan mereka sangat banyak. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

ُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فاَسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمَا {29}

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath:29)

Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَصِيفَهُ وَلَا أَحَدِهِمْ مُدَّ بَلَغَ مَا ذَهَبًا أُحُدٍ مِثْلَ أَنْفَقَ أَحَدَكُمْ أَنَّ لَوْفَ أَصْحَابِي تَسُبُّوا لَا

“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebanyak bukit uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya”[12].[13]
Pembaca yang dirahmati Allah, inilah di antara bentuk sikap adil Ahlus sunnah. Sikap beragama yang harus kita pegang teguh dalam melaksanakan agama ini. Semoga paparan ringkas ini dapat memperkokoh akidah dan keyakinan kita. Washalallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M.A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1]. Tahrif adalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa adanya dalil. Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi irodatul khoir (menginginkan kebaikan).
Ta’thil yaitu menolak nama dan sifat Allah baik secara total maupun sebagiannya, baik dengan memalingkan maknanya atau mengingkarinya. Seperti menolak sifat tangan bagi Allah.



Takyif adalah menyebutkan hakekat sesuatu tanpa menyamakannya dengan yang lain. Seperti menyatakan panjang tangannya adalah 50 cm. Takyif tidak boleh dilakukan terhadap sifat Allah karena Allah tidak memberitahukan bagaimana hakekat sifat-Nya dengan sebenarnya.

Tamtsil adalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti menyatakan Allah memiliki tangan dan sama dengan tanganku.. (lihat penjelasan lebih rinci dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah Syaikh ‘Utsaimin, dan Syaikh Shalih Fauzan)

[2]. Matan Al ‘Aqidah al Wasithiyah
[3]. Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[4]. Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah hal 442, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[5]. Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51
[6]. Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
[7]. H.R. Muslim 138
[8]. H.R. Bukhari 46
[9]. Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 52-54
[10]. Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 55-57
[11]. Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah hal 453-454, Syaikh Shalih Fauzan. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[12]. H.R Bukhari 3397
[13]. Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 58


Sumber: http://muslim.or.id/aqidah/sikap-pertengahan-ahlus-sunnah.html/comment-page-1#comment-55549

Semoga Bermanfaat.

Minggu, 13 Juni 2010

Keutamaan Puasa Tiga Hari Setiap bulan

KEUTAMAAN PUASA TIGA HARI SETIAP BULAN

“Dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallohu ‘anhu, dia berkata: Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasa tiga hari setiap bulan seperti berpuasa setahun penuh”1

Hadits yang agung ini menunjukkan anjuran berpuasa tiga hari setiap bulan, baik itu di awal bulan atau di pertengahan atau di akhirnya, dan boleh dilakukan pada tiga hari berturut-turut atau terpisah2.



Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

1. Pada setiap kurun waktu yang dilalui manusia, Alloh ta’ala menetapkan musim-musim kebaikan, dan Dia Subhaanahu wa ta’ala mensyari’atkan padanya ibadah dan amal shaleh untuk mendekatkan diri kepada-Nya3.

2. Pahala perbuatan baik akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali4 , karena puasa tiga hari pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali menjadi tiga puluh hari (satu bulan), maka kalau ini dikerjakan setiap bulan berarti sama dengan berpuasa satu tahun penuh5.

3. Keutamaan puasa ini lebih dikuatkan dengan wasiat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhialloohu ‘anha6.



4. Demikian pula lebih dikuatkan dengan wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam


kepada beberapa Shahabat radhialloohu ‘anhum untuk melakukan puasa ini, seperti kepada Abu Hurairoh radhialloohu ‘anhu7 dan Abu Dzarr radhialloohu ‘anhu8.

5. Yang paling utama puasa tiga hari ini dilakukan pada hari-hari Bidh (putih/ terang)9.,yaitu tanggal 13, 14, 15 setiap bulan (Hijriyah)10, karena Rasululloh pernah memerintahkan hal ini secara khusus dalam hadits yang shahih11.

6. Larangan berpuasa tiap hari sepanjang tahun (puasa Dahr)12, Karena di awal hadits ini Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang Abdulloh bin ‘Amr bin al-‘Ash radhialloohu ‘anhuma melakukan puasa dahr, kemudian beliau menganjurkan ‘Abdulloh berpuasa tiga hari setiap bulan.

7. Hadits ini menunjukkan besarnya kasih sayang dan nasehat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya, karena beliau membimbing mereka kepada kebaikan dan keutamaan yang mereka mampu kerjakan secara kontinu13.



8. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal ibadah yang dikerjakan secara kontinu, Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai oleh Alloh adalah amal yang paling kontinu dikerjakan meskipun sedikit14.

1 HR. al-Bukhori 1878 dan Muslim 1159
2 Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ 3/ 98
3 Lihat keterangan Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathooiful Ma’arif Hal. 19-20
4 HR al-Bukhori 42
5 Lihat kitab asy-Syarhul Mumti’ 3/ 97 dan Bahjatun Naazhirin 2/ 390
6 HR Muslim 1160
7 HR al-Bukhori 1124 dan Muslim 721
8 HR Muslim 722
9 Dinamakan demikian karena pada malam harinya bersinar bulan purnama, Ibid 3/ 97 dan 2/ 389
10 Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam ‘Riyadush Shaalihin” (2/ 389- Bahjatun Naazhirin)
11HR Abu Dawud 2449 dan dinyatakan Shahiih oleh Syaikh al-Albaniy
12 Lihat Bahjatun Naazhrin 2/ 390
13 Lihat Bahjatun Naazhirin 2/ 391
14 HR al-Bukhori 6099 dan Muslim 783

Sumber: Rubrik “Baituna”/ Fadhoil Majalah As-Sunnah edisi Muharram 1431H/ Januari 2010M Hal. 7

PETUNJUK NABI SHALLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM DALAM MEREDAM LUAPAN EMOSI

PETUNJUK NABI SHALLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM DALAM MEREDAM LUAPAN EMOSI.

Marah termasuk sifat bawaan yang sebenarnya mengandung kemashlahatan dan manfaat. Sebab, dikatakan Syaikh Shalih Fauzan hafidzahulloh, orang yang tidak bisa marah, terdapat kekurangan pada dirinya. Hanya saja, kemarahan itu harus diterapkan pada tempatnya. Apabila melampaui batas dan rambunya, maka akan menimbulkan bahaya1, sehingga akan merugikan dan menjadi sifat tercela.

Sebelum memuntahkan amarah kepada orang lain atau benda sekalipun, baiknya orang memperhatikan hadits berikut yang berisi pesan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seseorang yang meminta nasehat dari beliau. Dari Abu Hurairoh radhiallohu ‘anhu berkata, seseorang lelaki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab: “Janganlah engkau marah”. Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi (selalu) menjawab: “Janganlah engkau marah”.2



Pesan Hadits di atas sudah sangat jelas mengenai celaan terhadap marah, sehingga juga memperingatkan orang agar menjauhi faktor –faktor pemicunya3 . Sebab satu jawaban yang sama dilontarkan Rasululloh untuk merespon satu permintaan yang diulang- ulang menjadi petunjuk akan efek besar yang ditimbulkan oleh amarah.
Oleh karena itu, dalam beberapa hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menghadirkan beberapa terapi nabawi untuk meredam emosi:


1. Membaca isti’adzah (do’a memohon perlindungan) dari syaithon yang terlaknat.

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurd radhiallohu ‘anhu berkata, “Aku pernah duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat dua orang lelaki tengah saling mencaci. Salah seorang dari mereka telah memerah wajahnya, dan urat lehernya tegang. Beliau bersabda, “Aku benar-benar mengetahui perkataan yang bila diucapkannya, niscaya akan lenyap apa (emosi) yang ia alami. Andai ia mengatakan “A’uudzu billahi minasy syaithoonir rojiim” pastilah akan lenyap emosi yang ada padanya”. (HR. al-Bukhori No. 3282, Muslim No. 2610).



Hadits ini semakna dengan firman Alloh ta’ala yang artinya,

“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Alloh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Mengetahui”. (QS. Al- A’rof (7): 200).

2. Mengambil air wudhu.

Dari Athiyyah as-Sa’di radhialloohu ‘anhu, Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya amarah itu dari Syaithon, dan Syaithon diciptakan dari api, Api akan padam dengan air, Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu”4


3. Menahan diri dengan diam.

Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa marah, hendaknya diam (dulu)”. (HR. Ahmad No. 2029).



4. Merubah posisi dengan duduk atau berbaring.

Dari Abu Dzarr radhialloohu ‘anhu, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian marah saat berdiri, hendaknya ia duduk, kalau belum pergi amarahnya, hendaknya ia berbaring”. (HR. Ahmad No. 2038).

5. Mengingat- ingat keutamaan orang yang sanggup menahan emosi dan bahaya besar yang timbul dari luapan amarah yang akan dijauhkan dari taufik.
Dari Muadz radhialloohu ‘anhu, Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menahan amarahnya, padahal mampu meluapkannya, Alloh akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat untuk memberinya pilihan bidadari yang ia inginkan”. (HR. at-Tirmidzi No. 1944). Walloohu a’lam.
______________________________________________________________________
1 al-Minhah ar-Rabbaniyyah Fii Syarhil Arba’in Nawawiyyah Hal. 161
2 HR. al-Bukhori No. 6116
3 Silsilah al-Manaahi asy-Syar’iyyah 4/ 37
4 Syaikh Bin Baaz rahimahullooh berkata Hadits ini sanadnya Jayyid.

Sumber: Rubrik ‘Baituna’/ Ushwah Nabi Majalah As-Sunnah Edisi Muharrom 1431H/ Januari 2010M Hal. 6