Rabu, 30 September 2009

MALAM DAN SIANG HANYALAH SEBUAH PERJALANAN

MALAM DAN SIANG HANYALAH SEBUAH PERJALANAN

Oleh Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim
Selasa, 29 September 2009 15:57:29 WIB

Saudaraku semuslim…
Malam dan siang hanyalah sebuah perjalanan yang selalu dilalui oleh setiap insan, dia melewatinya selangkah demi selangkah sehingga sampai pada akhir sebuah perjalanan. Jika Anda bisa mempersembahkan sebuah perbekalan pada setiap langkah tersebut, maka lakukanlah, karena tidak lama lagi perjalanan ini akan berakhir, bahkan dia berlari dengan lebih cepat dari yang engkau bayangkan. Maka bekalilah dirimu dalam perjalanan ini dan lakukanlah kewajibanmu, seakan-akan engkau sedang ada dalam perjalanan yang banyak mengandung bahaya para perampok.



Seorang Salaf menulis surat kepada saudaranya (yang isinya), “Wahai saudaraku, engkau berkhayal bahwa engkau selamanya berada di dunia, akan tetapi sebenarnya engkau ada dalam sebuah perjalanan. Engkau digiring dengan cepat, kematian datang menghadangmu, sedangkan dunia telah menggulung tikarnya di belakangmu, umurmu yang telah berlalu sama sekali tidak akan kembali.”[1]

Kita semua berjalan pada kelompok orang-orang yang zuhud, sedangkan kafilah (rombongan) orang-orang yang shalih telah berlalu… bagaimana kita melihat dunia menyatu dengan akhirat… antara zuhud dengan qana’ah. ‘Ali bin Fudhail berkata, “Aku mendengar ayahku berbicara kepada Ibnul Mubarak, ‘Engkau memerintahkan kami untuk hidup dengan zuhud dan kesederhanaan, akan tetapi aku melihat dirimu yang selalu membawa barang dagangan, bagaimana hal ini bisa terjadi?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Abu ‘Ali, aku melakukannya hanya untuk menjaga wajah dan kehormatanku, dan dengannya aku melakukan ketaatan kepada Rabb-ku.’ Lalu dia berkata, ‘Wahai Ibnul Mubarak! Sungguh indahnya hal ini jika ini dilakukan dengan sempurna!!’”



Saudaraku tercinta…
Bagaimana engkau memandang dunia ini? Sungguh indahnya dunia jika ia datang dari pintu yang halal dan digunakan di jalan yang halal. Sesungguhnya pintu-pintu kebaikan sangat banyak dan tidak dapat dihitung: shadaqah, membantu orang yang sangat membutuhkan, menolong orang yang tertimpa musibah, membantu para janda, dan menanggung hidup anak-anak yatim.

Saudaraku…Sufyan pernah berkata, “Jagalah dirimu dari kemarahan Allah dalam tiga hal:

(1) Jagalah dirimu agar tidak lalai pada perintah-Nya,
(2) Jagalah dirimu dari sikap tidak rela akan keputusan-Nya sedangkan Dia melihatmu, dan
(3) Jagalah dirimu dari sikap membenci Rabb-mu ketika engkau meminta kepada-Nya, tetapi engkau tidak mendapatkannya.”

Sesungguhnya yang membagi-bagikan rizki di dunia ini adalah Allah,


karena itu engkau harus rela terhadap pembagian-Nya, sedikit ataupun banyak, datang atau pergi, dunia itu memihakmu ataupun meninggalkanmu, engkau harus rela terhadap apa yang engkau dapatkan. Janganlah hatimu risau karenanya, janganlah engkau membenci apa yang telah Allah tentukan untukmu, dan janganlah engkau melihat orang yang lebih tinggi darimu dalam hal keduniaan. Akan tetapi lihatlah kepada orang-orang shalih dan orang-orang pilihan.

Siapa saja yang ingin hidup lapang
di dalam naungan agama dengan meraih dunia,
maka lihatlah orang yang lebih wara’ (takwa) daripadanya
dan perhatikanlah orang yang lebih miskin dari-nya.[2]



Yang lebih indah lagi dari ungkapan tersebut adalah firman Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia:

"Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya… ." [Thahaa: 131]

Ibrahim al-Asy’ats rahimahullah berkata, “Aku mendengar Fudhail berkata, ‘Rasa takut seorang hamba terhadap Allah sesuai dengan keilmuannya kepada-Nya. Kezuhudan seorang hamba terhadap dunia sesuai dengan keinginannya atas kebahagiaan akhirat. Siapa saja yang beramal dengan ilmu yang ia ketahui, maka dia akan merasa cukup terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui. Dan siapa saja yang mengamalkan sesuatu yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan ilmu yang tidak ia ketahui. Siapa saja memiliki prilaku yang jelek, maka jelek pulalah agama, keturunan, dan kehormatannya.”[3]

Sebagian dari orang-orang zuhud berkata, “Aku tidak pernah mengetahui seseorang yang mendengar Surga dan Neraka, kemudian didatangkan kematian kepadanya. Sedangkan ia dalam keadaan tidak melakukan ketaatan kepada Allah sesaat pun, baik dengan berdzikir, shalat, membaca al-Qur-an atau dengan berbuat baik.” Lalu seseorang berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku banyak menangis.” Lalu beliau berkata, “Jika engkau tertawa dengan mengakui kesalahan, itu lebih baik daripada engkau menangis tetapi selalu menampakkan amal. Jika seseorang me-nampakkan amalnya, niscaya amal tersebut tidak akan naik melebihi kepalanya.”

Orang tadi berkata, “Nasihatilah aku!” Beliau pun berkata,
“Tinggalkanlah dunia untuk orang yang tamak kepadanya sebagaimana mereka meninggalkan akhirat. Dan jadilah di dunia ini bagaikan seekor lebah, dia tidak akan makan kecuali yang baik-baik. Dan jika terjatuh, maka dia tidak akan memecahkan atau merobek-robek sesuatu.”[4]



Saudaraku tercinta…
Tidak ada seorang pun yang mengingat kematian melainkan dunia akan menjadi hina dalam pandangannya, akhirnya semua penutup di hadapannya akan terbuka. Sesungguhnya dunia adalah beberapa tahun yang bisa dihitung, sebanyak apa pun materi yang dikumpulkan oleh seseorang dan sebanyak apa pun harta simpanan yang ia miliki, karena di belakang semua itu adalah kematian yang akan menghancurkan semua kelezatan dan memisahkan seseorang dari semua kawannya.

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kematian itu selalu membuka aib dunia, dia tidak akan membiarkan seseorang yang berakal mendapatkan kebahagiaan di dalamnya.” [5]

Kebahagiaan apakah wahai saudaraku, sedangkan dunia begitu adanya?

Dunia telah berseru kepada dirinya,
seandainya di alam ini ada orang yang mendengarnya.
Berapa banyak sang pengumpul harta yang telah aku hancurkan,
harta yang dikumpulkannya.[6]

[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, hal. 381.
[2]. As-Siyar (VIII/426).
[3]. Al-Ihyaa’ (IV/131).
[4]. As-Siyar (VIII/426).
[5]. Taariikh Baghdaad (XIV/444).
[6]. Thabaqaatusy Syaafi’iyyah (VI/78).

Sumber= http://www.almanhaj.or.id/content/2528/slash/0

Bersama dengan ini Admin ingin menyampaikan turut berduka cita kepada saudara2 / teman/ keluarga yg berada di daerah Sumatera khususnya Padang Jambi dan sekitarnya atas musibah bencana yang dialami. Semoga diberikan keikhlasan dan kesabaran oleh Allah ta'ala dalam menghadapi ujian ini. SMangaTT!!

गेस्ट बुक




Dalam Hal ini admin baru saja menemukan ini,..semoga bermanfaat, amin ^_^

Rabu, 16 September 2009

MENYENTUH LAWAN JENIS MEMBATALKAN WUDHU..??

MENYENTUH LAWAN JENIS MEMBATALKAN WUDHU..??
SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, saya mau tanya, apakah bila suami istri yang telah berwudhu bersentuhan wudhunya batal..?? atas jawaban ustadz, saya ucapkan banyak terima kasih. (Rilla, Bumi Allah, +62811750XXXX)



JAWAB:
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu..?? Beliau menjawab: “Pendapat yang benar menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu, kecuali jika keluar sesuatu dari kemaluannya. Hal ini berdasarkan hadits shahih (yang artinya): “Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya lalu melaksanakan sholat tanpa mengulang wudhunya”.

Pada dasarnya tidak ada yang membatalkan wudhu kecuali terdapat dalil yang jelas lagi shohih yang menyatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Dan seseorang pada dasarnya diangap telah menyempurnakan wudhunya sesuai dengan dalil syar’i. Dan sesuatu yang telah ditetapkan dalil syar’i tidak bisa digugurkan kecuali dengan dalil syar’i pula.

Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala: “...atau menyentuh perempuan...” (QS. al-Maidah [5]: 6)


maka jawabnya, yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat ini adalah bersetubuh, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma.

(Fatawa wa Rosa’il Syaikh al-Utsaimin 4/201).

Sumber: Majalah al-Mawaddah edisi ke-1 Tahun ke-3/ Sya’ban 1430H/ Agustus 2009 hal. 48.

Selasa, 08 September 2009

JADILAH PEKERJA YANG BAIK

JADILAH PEKERJA YANG BAIK

Islam menganjurkan kita agar mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Firman-Nya:
“Apabila telah selesai sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah”.
(QS. Al-Jumu’ah [62]: 10).

Bekerja mencari nafkah bukan hanya pekerjaan masyarakat awam saja, akan tetapi para Nabi juga bekerja. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembala kambing, lalu ada shahabat berkata: ‘Apakah engkau juga?’ Rasul menjawab: ‘Iya, Saya menggembala kambing dengan mendapatkan upah beberapa qiroth milik ahli mekkah’”. (HR. Bukhori 3/ 115).



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Nabi Zakaria adalah tukang kayu”. (HR. Muslim 7/ 103).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Nabi Dawud tidak makan melainkan dari hasil kerjanya sendiri” (HR. Bukhori 3/ 74).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:



“Sungguh salah seorang di antara kamu mencari kayu bakar, diikat, lalu diangkat di atas punggungnya lalu dijual, itu lebih baik daripada orang yang meminta-minta kepada orang lain, diberi atau ditolak”. (HR. Bukhori 2/ 152).

Orang yang mau bekerja, berarti dia menghormati dirinya dan agamanya. Jika dia mendapatkan rezeki melebihi kebutuhannya, maka dia mampu mengeluarkan zakat, menunaikan haji, dan membantu orang lain. Wallohu a’lam.

Sumber: Majalah al-Furqon edisi 1 tahun IX/ Sya’ban 1430H/ Agustus 2009. Hlm. 13.

Semoga Bermanfaat.
(*NB: Lebih prioritas ke Laki-laki.

Senin, 07 September 2009

Suntik dan Infus pada Bulan Ramadhan

Suntik dan Infus pada Bulan Ramadhan

Tanya: Apakah suntikan yang dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan berpengaruh pada puasa?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah menjawab:
Suntik pengobatan ada dua macam;

Yang pertama yaitu suntik untuk memasukkan nutrisi dan dengan ini orang yang disuntik sudah tidak perlu makan dan minum. Karena memang ada suatu maksud, maka suntik seperti ini membatalkan puasa. Karena jika didapati hal-hal yang serupa dengan yang terkandung dalam nash-nash syari’at, maka nash syari’at ini bisa dipakai menghukumi yang hal-hal seperti ini.

Yang kedua, suntik yang tidak memasukkan nutrisi,


dan tidak bisa mewakili makan dan minum, maka ini tidak membatalkan puasa. Karena suntik semacam ini tidak terkena nash syari’at, baik secara tekstual maupun secara makna. Suntikan seperti ini bukan makan dan bukan minum, juga tidak satu maksud dengan makan dan minum,. Jadi hukum asalnya adalah puasanya sah, sampai didapati hal-hal yang bisa membatalkan puasanya berdasarkan dalil syari’at.

(al-Fataawaas Syar’iyyah Fil Masaailil ‘Ashriyyah Min Fataawa Ulamaa - Baladil Haraam, Hlm. 295-296)
Sumber: Majalah As Sunnah Edisi 05/thn. VIII Sya’ban 1430H/ Agustus 2009 hal.19

Kamis, 03 September 2009

PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA

PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia untuk menghadapkan diri mereka ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan sehingga manusia tetap berjalan di atas fitrahnya.

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.



Firman Allah ‘Azza wa Jalla.

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah, disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum (30): 30]

A. Definisi Nikah
An-Nikaah menurut bahasa Arab berarti adh-dhamm (menghimpun). Kata ini dimutlakkan untuk akad atau persetubuhan.

Adapun menurut syari’at, Ibnu Qudamah rahima-hullaah berkata, “Nikah menurut syari’at adalah akad perkawinan. Ketika kata nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu bermakna demikian selagi tidak ada satu pun dalil yang memalingkan darinya.” [1]

Al-Qadhi rahimahullaah mengatakan, “Yang paling sesuai dengan prinsip kami bahwa pernikahan pada hakikatnya berkenaan dengan akad dan persetubuhan sekaligus. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [An-Nisaa' (4): 22] [2]

B. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.

Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
‘Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya. Dan hendaklah ia bertaqwa ke-pada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi." [3]



Dalam lafazh yang lain disebutkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah dengan wanita (isteri) yang shalihah, maka sungguh Allah telah membantunya untuk melaksanakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.” [4]

C. Islam Tidak Menyukai Hidup Membujang
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintah-kan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras.”


Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya ummatku di hadapan para Nabi pada hari Kiamat.” [5]

Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat radhiyallaahu ‘anhum datang bertanya kepada isteri-isteri Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadahan beliau. Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat yang lain berkata: “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Sungguh saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan nikah selama-lamanya... dst” Ketika hal itu didengar oleh Nabi shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda.

"Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyu-kai Sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.” [6]



Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Menikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku. Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh ummat. Barang-siapa memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat).” [7]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"Menikahlah, karena sungguh aku akan membang-gakan jumlah kalian kepada ummat-ummat lainnya pada hari Kiamat. Dan janganlah kalian menyerupai para pendeta Nasrani.” [8]

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Sesungguhnya, hidup mem-bujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak memiliki makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Diri-diri mereka selalu berada dalam pergolakan melawan fitrahnya. Kendati pun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lambat laun akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.



Jadi orang yang enggan menikah, baik itu laki-laki atau wanita, mereka sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat biologis maupun spiritual. Bisa jadi mereka bergelimang dengan harta, namun mereka miskin dari karunia Allah ‘Azza wa Jalla.

Islam menolak sistem kerahiban (kependetaan) karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan, sikap itu berarti melawan Sunnah dan kodrat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah ditetapkan bagi makhluk-Nya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang yang jahil (bodoh). Karena, seluruh rizki telah diatur oleh Allah Ta’ala sejak manusia berada di alam rahim.

Manusia tidak akan mampu menteorikan rizki yang dikaruniakan Allah ‘Azza wa Jalla, misalnya ia mengatakan: “Jika saya hidup sendiri gaji saya cukup, akan tetapi kalau nanti punya isteri gaji saya tidak akan cukup!”

Perkataan ini adalah perkataan yang bathil, karena bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk menikah, dan seandainya mereka fakir niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan membantu dengan memberi rizki kepadanya. Allah ‘Azza wa Jalla menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang menikah, dalam firman-Nya:

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [An-Nuur (24): 32]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah ‘Azza wa Jalla tersebut melalui sabda beliau.

"Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah), (2) budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehor-matannya.” [9]



Para Salafush Shalih sangat menganjurkan untuk menikah dan mereka benci membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata, “Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah. Aku ingin pada malam-malam yang tersisa bersama seorang isteri yang tidak berpisah dariku.” [10]

Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau sudah menikah?’ Aku menjawab, ‘Belum.’ Beliau kembali berkata, ‘Nikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik ummat ini adalah yang banyak isterinya.’” [11]

Ibrahim bin Maisarah berkata, “Thawus berkata kepadaku, ‘Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau kejahatan (banyak-nya dosa)."[12]

Thawus juga berkata, “Tidak sempurna ibadah seorang pemuda sampai ia menikah.” [13]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Al-Mughni ma’a Syarhil Kabiir (IX/1130).
[2]. Al-Mughni ma’a Syarhil Kabiir (IX/113). Lihat ‘Isyratun Nisaa' minal Aliif ilal Yaa (hal. 12) dan al-Jaami' liahkaamin Nisaa' (III/7).
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 7643, 8789). Syaikh al-Albani rahimahullaah menghasankan hadits ini, lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 625).
[4]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 976) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/161) dan dishahihkan olehnya, juga disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (II/404, no. 1916)
[5]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/158, 245), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (no. 4017, Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dan Mawaariduzh Zham’aan (no. 1228), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 5095), Sa’id bin Manshur dalam Sunannya (no. 490) dan al-Baihaqi (VII/81-82) dan adh-Dhiyaa' dalam al-Ahaadiits al-Mukhtarah (no. 1888, 1889, 1890), dari Sha-habat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini ada syawahid (penguat)nya dari Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (VI/65-66), al-Baihaqi (VII/81), al-Hakim (II/ 162) dan dishahihkan olehnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1784).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5063), Muslim (no. 1401), Ahmad (III/241, 259, 285), an-Nasa-i (VI/60) dan al-Baihaqi (VII/77) dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1846) dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2383)
[8]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/78) dari Shahabat Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini memiliki beberapa syawahid (penguat). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1782).
[9]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/251, 437), an-Nasa'i (VI/61), at-Tirmidzi (no. 1655), Ibnu Majah (no. 2518), Ibnul Jarud (no. 979), Ibnu Hibban (no. 4030, at-Ta’liiqatul Hisaan no. 4029) dan al-Hakim (II/160, 161), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”
[10]. Lihat Mushannaf ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10382), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16144) dan Majma’uz Zawaa'id (IV/251).
[11]. Sanadnya shahih: Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 5069) dan al-Hakim (II/160).
[12]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/170, no. 10384), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/6, no. 16142), Siyar A’lamin Nubala (V/48).
[13]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (VI/7, no. 16143) dan Siyar A’lamin Nubala’ (V/47).

Sumber= http://www.almanhaj.or.id/content/2118/slash/0