Sabtu, 30 Oktober 2010

IBNUL ATSIR RAHIMAHULLOH: Tetap Berkarya Meski Tangan dan Kaki Lumpuh.

IBNUL ATSIR RAHIMAHULLOH: Tetap Berkarya Meski Tangan dan Kaki Lumpuh.

Dalam Dunia ilmu Hadits, Nama Ibnul Atsir Rahimahulloh memang tidak setenar imam al- Bukhori Rahimahulloh, imam Muslim Rahimahulloh, ataupun Imam Ahmad Rahimahulloh. Namun demikian para ulama hadits sangat mengapresiasi karya ilmiah beliau dalam salah satu aspek ilmuu hadits yang beliau dalami dan merasakan manfaatnya yang besar.
Terlahir dengan nama Mubarak, putra Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdul Karim bin ‘Abdul Wahid asy- Syaibani al- Jazari, di kota Maushil (Mosul, Irak) pada tahun 544H. Selanjutnya lebih populer dengan panggilan Ibnul Atsir, putra al- Atsir yang merupakan laqab (julukan) sang ayah.’

Sejak dini beliau memasuki dunia ilmu dengan penuh semangat. Ini sesuai dengan pengakuan beliau dalam mukadimah kitab ‘Jami’ul Ushuul Fii Ahaaditsir Rasuul Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, “Sejak memasuki masa remaja dan dalam usia belia, aku sangat tertarik untuk thalabul ‘ilmi (belajar ilmu agama), duduk bersama ulama dan berupaya sebisa mungkin untuk menyerupai mereka (para ulama). Itu adalah kenikmatan dan rahmat Alloh Ta’ala kepadaku lantaran menjadikan hal- hal tersebut sanggup mengambil hatiku. Maka aku mengerahkan seluruh daya untuk memperoleh berbagai macam ilmu yang dapat aku raih dengan taufiq Alloh Ta’ala sehingga terbentuk pada diriku kemampuan menguasai sisi- sisi yang tersembunyi dan mengetahui segi- segi yang sulit. Tidak kusisakan upayaku sedikitpun (untuk urusan itu). Alloh lah yang memberiku taufik untuk dapat mencari ilmu dengan baik dan meraih tujuan mulia”. (Jami’ul Ushul Fii Ahaaditsir Rasuul Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam 1/ 35).

Seiring dengan perjalanan waktu, kemampuan ilmiah beliaupun mencapai kematangan. Tidak hanya menguasai satu disiplin ilmu. Tidak hanya menguasai satu disiplin ilmuu , ilmu bahasa arab, tafsir, hadits, dan fiqih adalah deretan pengetahuan beliau yang menonjol. Karya- karya ilmiah di bidang- bidang yang telah disebutklan menjadi bukti nyata akan kepakaran beliau di dalamnya. Tak ketinggalan, ulama yang akrab dengan panggilan Abus Sa’adat Majduddiin ini juga dikenal sebagai seorang penyair ulung. Akan tetapi, dari seluruh aspek keahliannya itu kedalamannya dalam ilmu hadits teruitama yang berkaitan dengan ilmu Gharib lah yang paling menonjol,. Namanya pun sering dikaitkan dengannya lantaran telah melahirkan karya yang disebut- sebut tiada tandingannya. Orang lebih mengenal beliau dari sisi itu.



Dalam sejarah kehidupan yang harus dilalui, diceritakan bahwa beliau mengidap suatu penyakit yang akhirnya melumpuhkan fungsi anggota geraknya, dua tangan dan dua kaki. Dampaknya, beliau pun tidak bisa lagi menulis sendiri, untuk aktifitas yang memerlukan gerakan banyak, beliau harus ditandu,. Karena itu beliau lebih sering berada di dalam rumahnya.

Kendatipun demikian mengalami hidup dalam keterbatasan secara fisik, hal itu tidak menghalangi beliau untuk mewariskan ilmu- ilmu bagi umat. Bahkan ternyata kitab- kitab karanganbeliau kebanyakan tersusun saat beliau tak berdaya mengahadapi penyakit yang dideritanya. Ada sejumlah murid yang membantu beliau menuliskannya.

URGENSI AN NIHAYAH FII GHARIBIL HADITSI WAL ATSAR

Imam Ahmad Rahimahulloh pernah ditanya tentang satu kata sulit yang terdapat dalam sebuah hadits. Beliau menjawab, “Tanyakanlah itu kepada orang- orang yang menguasainya (Ashabul Ghariib). Aku tidak suka berbicara tentang perkara Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dengan dasar prasangka semata yang bisa mengakibatkan aku melakukan kesalahan”.

Ungkapan imam Ahmad ini sedikit banyak menandakan pentingnya penguasaan satu disiplin ilmu dalam dunia ilmu hadits yag disebut dengan ‘Ilmul Ghariib, yang nantinya menjadi titik keunggulan Ibnul Atsiir Rahimahulloh. Dan karyanya.
Secara mudah, pengertian al- Ghariib dikatakan Abnu Shalaah, ialah satu ungkapan untuk menerangkan kata- kata yang belum / tidakjelas maknanya, susah dipahami yang ada dalam matan- matan (teks- teks) hadits lantaran sudah jarang dipakai orang”. Jadi yuang masuk kategori kata Gharib adalah kata- kata asing adalah kata- kata yang sudah termarjinalkan, sulit dipahami dan tidak terbiasa didengar telinga.

An- Nihaayah Fii Ghariibil Hadiitsi Wal Atsar, itulah nama kitab Susunan Ibnul Atsiir Rahimahulloh dalam masalah ini. Sebagaimana namanya , an- Nihaayah (penghabisan) kitab ini kandungannya kaya, sangat mencukupi dan memadai untuk menjadi jembatan memahami kata- kata sulit yang terdapat dalam hadits, lantaran telah menggabungkan kitab- kitab sebelumnya, plus tambahan dari beliau yang banyak. Selain itu melalui kitab ini akan mudah dicari kata sulit yang diinginkan dan dengan cara yang mudah, tidak seperti karya- karya ulama sebelumnya dalam bidang yang sama yang masih menyisakan kesulitan dalam mencari kata perkata. Tak pelak, bila dijadikan sebagai ‘umdah, pegangan utama dalam ilmu Ghariib.

Tentang kitabnya, as- Suyuuthi Rahimahulloh berkata, “Kitabnya adalah kitab terbaik dalam bahasan Ghariibul Hadiits, paling lengkap dan paling terkenal serta paling sering dipakai”. Wallohu A’lamu.

Sumber: Manhajul Ibnul Atsiir al- Jazari Fii Mushannafihi, an- Nihaayah Fii Ghariibil Hadiitsi Wal Atsar. Prof. DR. Ahmad bin Muhammad al- Kharrath. Oleh: Abu Minhal, Majalah As- Sunnah. Rubrik Baituna. Hal. 9-10. Edisi 6/XIV/ Dzulqa’dah. 1431H. Oktober 2010.

Jumat, 22 Oktober 2010

Menasehati Penguasa.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ

Menasehati Penguasa.

Dalam Musnad Imam Ahmad (III/ 404), disebutkan bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“BARANGSIAPA INGIN MENASEHATI PENGUASA, MAKA JANGANLAH MENUNJUKKANNYA DENGAN TERANG- TERANGAN. AKAN TETAPI, HENDAKLAH IA MENGGANDENG TANGANNYA, DAN BERDUA DENGANNYA. JIKA DIA MAU MENERIMA, MAKA SYUKURLAH. NAMUN JIKA TIDAK, MAKA IA TELAH MENUNAIKAN APA YANG WAJIB IA LAKUKAN”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as- Sunnah (No. 1096) dan yang lain, dikatakan dalam tahqiq al- Musnad (XXIV/ 49), “Hasan Lighairihi”.

Saya katakan, “Inilah Manhaj seluruh ulama Salaf Radhialloohu 'Anhum, Yaitu TIDAK MENIMBULKAN FITNAH dengan cara: tidak menasehati pemimpin secara terang- terangan. Ini karena tindakan tersebut bisa menyulut masyarakat awam dan orang kebanyakan yang tidak mengerti bahwa kerusakan yang ditimbulkan akibat pembangkangan terhadap pemimpin muslim lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan atas kemaksyiatan yang dilakukan pemimpin tadi”.

Syaikhul Islam dalam Kitab ‘Majmu’ al- Fataawa’ mengatakan,

“Sebuah perbuatan terlarang yang seandainya dilarang justru menimbulkan hal yang lebih terlarang, maka perbuatan tersebut tidak dilarang dan tidak boleh dilarang. KARENA ITULAH, TIDAK BOLEH MENGINGKARI KEMUNGKARAN DENGAN SESUATU YANG LEBIH MUNGKAR, Dan, karena alasan itu pula, DIHARAMKAN MEMBERONTAK PENGUASA DENGAN PEDANG DENGAN ALIBI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR. Sebab, dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka, yaitu dilanggarnya perbuatan terlarang dan ditinggalkannya kewajiban lebih besar daripada kemungkaran dan dosa yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka (para penguasa)”.(Majmu’ al- Fataawa (XIV/ 472)).

Diriwayatkan juga bahwa sebagian orang berkata kepada Usamah bin Zaid Radhialloohu 'Anhu, “Tidaklah kau mengingkari ‘Utsman?” Dia berkata, “HARUSKAH IA KU INGKARI DI HADAPAN MANUSIA? AKU HANYA MENGINGKARI KETIKA HANYA ADA AKU DAN DIA SAJA. AKU TIDAK AKAN MEMBUKA PINTU KEBURUKAN BAGI MANUSIA”.

Syaikh Ibnu Baaz Rahimahulloh mengatakan,

“Membongkar aib para pemimpin dan menyebut- nyebutnya di atas mimbar bukanlah termasuk manhaj salaf. Sebab, hal itu bisa menimbulkan kekacauan dan kebaikan tidak lagi didengar serta dipatuhi. Bahkan, bisa membuat keadaan lebih parah yang malah membahayakan dan tidak membawa manfaat sama sekali”.

(Fatwa Syaikh Ibnu Baaz di akhir buku ‘Huquuq ar- Raa’i Wa ar- Ra’iyyah (Hal. 27) yang dinukil dari buku al- Manhaj as- Salafi, Syaikh al- Albani (Hal. 248)).


Imam al- Bukhori meriwayatkan dalam kitab Shahiih-nya dari ‘Ubadah bin ash- Shamit Radhialloohu 'Anhu dia berkata,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menyeru kami, kami lantas membai’at beliau. Di antara hal yang beliau minta dari kami adalah agar kami berbai’at UNTUK MENDENGAR DAN TA’AT BAIK DALAM KEADAAN SUKA MAUPUN DUKA, SUSAH MAUPUN SENANG, MENGUTAMAKAN BELIAU ATAS DIRI KAMI, SERTA TIDAK MENENTANG PENGUASA. KECUALI JIKA KALIAN MELIHAT KEKUFURAN YANG TERANG- TERANGAN (NYATA) DAN KALIAN MEMILIKI BUKTI DARI ALLOH TENTANG ITU”. (Fat-hul Baari (XIII/ 5), Kitab Fitnah, Bab kedua).

Al- Hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani berkata, “Sabda beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, “Kalian memiliki bukti dari Alloh tentang itu”, Yaitu Nash dari ayat atau hadits Shahih yang tidak mengandung tafsiran lain”. (Fat-hul Baari (XIII/ 8)).

Asy- Syaukani Rahimahulloh berkata, “Orang yang mendapati kesalahan pada seorang pemimpin dalam beberapa masalah, seyogyanya memberikan nasehat. JANGANLAH IA MENAMPAKKAN KEBENCIAN TERHADAPNYA DI DEPAN KHALAYAK RAMAI. Yang benar adalah sebagaimana yang dikemukakan dalam hadits, “Menggandeng tangannya, berduaan dengannya, lalu memberikan nasehat kepadanya, dan tidak menghinakan kekuasaan Alloh”. (As- Sail al- Jarrar (IV/ 556), dinukil dari al- ‘Alaqah Baina al- Hakiim Wa al- Mahkuum (Hal. 09)).

Di antara dampak buruk dari nasehat yang disampaikan secara frontal adalah JATUHNYA WIBAWA PEMIMPIN YANG MERUPAKAN EKSEKUTOR BAGI HUKUM ALLOH DI BUMI. SELANJUTNYA, JIKA WIBAWANYA JATUH, IA PUN TIDAK AKAN DIDENGAR DAN TIDAK LAGI DITAATI. INILAH PINTU FITNAH TERBESAR ITU. JANGANLAH PARA AKTIVIS BERPERSEPSI BAHWA PARA ULAMA TIDAK MENGINGKARI KEMUNGKARAN YANG MEREKA LIHAT. TIDAK HARUS- BAHKAN BERDASARKAN HADITS, TIDAK BOLEH- MENAMPAKKAN PENGINGKARAN DI HADAPAN MASYARAKAT UMUM. INI DITEMPUH DEMI MENGHINDARI FITNAH. Wallohu a’lamu.

Sumber: ‘Ensiklopedi Larangan Dalam Syari’at Islam #2”. Hal. 233- 236. Syaikh Muhammad Basyir ath- Thahlawi. (#Pengesahan hadits berdasarkan kitab- kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani; Diteliti dan diberi pengantar oleh DR. Shalih bin Fauzan al- Fauzan). Media Tarbiyah. Bogor.

13. ‘Arsy (Singgasana) Alloh ‘Azza Wa Jalla.

13. ‘Arsy (Singgasana) Alloh ‘Azza Wa Jalla.

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani bahwa ‘Arsy Alloh dan Kursi- Nya adalah benar adanya. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Maka, Maha Tinggi Alloh, Raja Yang Sebenarnya, tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Ary yang Mulia”. (QS. Al- Mu’minuun: 116).

Juga Firman- Nya,

“Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia”. (QS. Al- Buruuj: 15).

Apabila seorang mukmin mengalami kesulitan, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengajarkan untuk membaca,

LAA ILAAHA ILLALLAAHUL ‘AZHIIMUL HALIIM, LAA ILAAHA ILLALLAAHU ROBBUL ‘ARSYIL ‘AZHIIM, LAA ILAAHA ILLALLAAHU ROBBUS SAMAAWAATI, WA ROBBUL ARDHI, WA ROBBUL ‘ARSYIL KARIIM.

“Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Alloh, Yang Maha Agung lagi Maha Penyantun, Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Alloh, Rabb (Pemilik) ‘Arsy yang Agung, Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Alloh, Rabb Langit, dan juga Rabb Bumi, serta Rabb (Pemilik) ‘Arsy yang Mulia”.

HR. al- Bukhori No. 6345, Muslim No. 2730, at- Tirmidzi No. 3435, dan Ibnu Majah No. 3883, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas Radhialloohu 'Anhuma.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“...apabila engkau memohon kepada Alloh maka mohonlah kepada- Nya Surga Firdaus. Sesungguhnya ia (adalah) Surga yang paling utama dan paling tinggi. Di atasnya terdapat ‘Arsy Alloh Yang Maha Pengasih..”

HR. al- Bukhori No. 2970, 7423, Ahmad (II/ 335. 339), dan Ibnu Abi ‘Ashim (No. 581), dari Shahabat Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu.


‘Arsy adalah singgasana yang memiliki beberapa tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Ia menyerupai kubah bagi alam semesta. ‘Arsy juga merupakan atap seluruh makhluk. (Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath- Thahawiyyah (hal. 366- 367), takhrij dan ta’liq Syu’aib al- Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at- Turki).

‘Arsy Alloh dipikul oleh para Malaikat, dan jarak antara pundak Malaikat tersebut dengan telinganya sejauh perjalanan 700 tahun. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Telah dizinkan bagiku untuk bercerita tentang sosok Malaikat dari Malaikat- malaikat Alloh ‘Azza Wa Jalla yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy. Sesungguhnya jarak antara daun telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan 700 tahun”.

Shahiih, HR. Abu Dawud No. 4727, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhialloohu 'Anhuma, sanadnya Shahiih. Syaikh al- Albani membawakan riwayat: “Sejauh perjalanan 700 tahun burung terbang”. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah No. 151, Syarhul ‘Aqiidah ath- Thahawiyyah No. 368, takhrij dan ta’liq Syu’aib al- Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at- Turki.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di Padang Sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang Sahara yang luas itu atas Cincin tersebut”.

HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Shahabat Abu Dzarr al- Ghifari Radhialloohu 'Anhu. Dihasankan oleh Syaikh al- Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah (I/ 223, No. 109).

Adapun tentang Kursi, Alloh Ta’ala berfirman,

“Dan Kursi Alloh meliputi Langit dan Bumi”. (QS. Al- Baqarah: 255).
Dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ketika Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhialloohu 'Anhuma menafsirkan firman Alloh ‘WASI’A KURSIYYUHUS SAMAAWAATI WAL ARDHO’ ‘Kursi Alloh meliputi Langit dan Bumi’, beliau berkata,

“Kursi adalah tempat meletakkan kedua kaki Alloh, sedangkan ‘Arsy tidak ada yang dapat mengetahui ukuran besarnya melainkan hanya Alloh Ta’ala”.

Diriwayatkan oleh ath- Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (No. 12404), al- Hakim (II/ 282), dan dishahiihkannya serta disetujui oleh adz- Dzahabi. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath- Thahawiyyah (Hal. 368- 369), takhrij dan ta’liq Syu’aib al- Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at- Turki.

Imam ath- Thahawi (wafat th. 321H) Rahimahulloh berkata,

“Alloh tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Alloh menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk- Nya untuk mengetahui segala sesuatu”.

Kemudian beliau Rahimahulloh menjelaskan, “Bahwa Alloh menciptakan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Alloh membutuhkan ‘Arsy tetapi Alloh mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu”. Ibid, hal. 372.

Sumber: ‘Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah’ Hal. 201- 204. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Bogor

12. Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Menetapkan Sifat al- ‘Uluw (Ketinggian) bagi Alloh ‘Azza Wa Jalla.

12. Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Menetapkan Sifat al- ‘Uluw (Ketinggian) bagi Alloh ‘Azza Wa Jalla.

Sifat al- ‘Uluw merupakan salah satu dari sifat- sifat Dzatiyah Alloh ‘Azza Wa Jalla yang tidak terpisah dari- Nya. Sifat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala ini –sebagai- mana sifat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala lainnya- diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Sifat Alloh ini ditunjukkan oleh Sama’ (Al- Qur’an dan As- Sunnah), akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil- dalil yang bersumber dari Al- Qur’an dan As- Sunnah tentang penetapan ketinggian Alloh Subhanahu Wa Ta’ala di atas seluruh makhluk- Nya.

Di antara dalil- dalil Al- Qur’an dan As- Sunnah tentang Sifat al- ‘Uluw adalah,

1. Firman Alloh ‘Azza Wa Jalla,

“Apakah kamu merasa aman terhadap Alloh yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan Bumi bersamamu, sehingga dengan tiba- tiba Bumi itu tergoncang”. (QS. Al- Mulk: 16).

2. Firman Alloh ‘Azza Wa Jalla,

“Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)”. (QS. An- Nahl: 50).

3. Firman Alloh Ta’ala,

“Sucikanlah Nama Rabb- mu Yang Maha Tinggi”. (QS. Al- A’laa: 1).

4. Firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaaan, maka bagi Alloh kemuliaan itu semuanya. Kepada- Nya lah naik perkataan- perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan- Nya. Dan orang- orang yang merencanakan kejahatan, bagi mereka adzab yang keras dan rencana jahat mereka akan hancur”. (QS. Faathir: 10).


‎5. Pertanyaan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada seorang budak wanita,

“Di mana Alloh?” Ia menjawab, “Alloh itu ada di atas langit”. Lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa aku?” “Engkau adalah Rasululloh”, jawabnya. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Merdekakan lah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah”.

Shahih, HR. Muslim (No. 537), Abu ‘Awanah (II/ 141- 142), Abu Dawud (No. 930), an- Nasa’i (III/ 14-16), ad- Darimi (I/ 353- 354), Ibnul Jarud dalam al- Muntaqaa’ (No. 212), al- Baihaqi (II/ 249- 250), dan Ahmad (V/ 447- 448), dari Shahabat Mu’awiyah bin Hakam as- Sulami Radhialloohu 'Anhu.

Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini:
Pertama, disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang muslim, “Di mana Alloh?”. Kedua, jawaban yang ditanya adalah, “Di (atas) Langit”.
Maka barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini berarti ia memungkiri al- Musthafa (Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam). (Lihat Mukhtasharul ‘Uluw Hal. 81, oleh Imam adz- Dzahabi, tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani).

6. Hadits tentang Kisah Isra’ dan Mi’raj

Yaitu sebuah hadits yang mutawatir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Rahimahulloh, beliau berkata, (lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al- Islamiyyah Hal. 55 oleh Imam Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun) “Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Alloh di atas ‘Arsy- Nya, di antaranya ungkapan,

“Lalu aku dinaikkan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit Dunia), ia pun mohon ijin agar dibukakan (pintu langit)”.

HR. al- Bukhori (No. 3887) dan Muslim (No. 164 (264)) dari Shahabat Malik bin Sha’ sha’ah Radhialloohu 'Anhu; Lihat lafazh hadits ini selengkapnya pada pembahasan ke- 25: Isra’ dan Mi’raj di halaman 272).

7. Jawaban Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada Dzul Khuwaishirah:

“Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Alloh yang ada di atas Langit..?”

HR. al- Bukhori (No. 4351), Muslim (No. 1064) dari Shahabat Abu Sa’id al- Khudri Radhialloohu 'Anhu.

Ibnu Abil ‘Izz Rahimahulloh berkata, “Ketinggian Alloh di samping ditetapkan melalui Al- Qur’an dan As- Sunnah ditetapkan pula melalui akal dan fithrah. Adapun tetapnya ketinggian Alloh melalui akal dapat ditunjukkan dari sifat kesempurnaan- Nya, sedangkan tetapnya ketinggian Alloh secara fithrah, maka perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Alloh ‘Azza Wa Jalla, pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini terjadi pada siapa saja yang besar maupun yang kecil , orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai- sampai di dalam sujud pun seorang mendapat kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorangpun dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke bawah”.

(Diringkas dari Syarhul ‘Aqidah ath- Thahawiyyah Hal. 389- 390, takhrij dan ta’liq Syu’aib al- Arnauth dan ‘Abdulloh bin ‘Abdul Muhsin at- Turki, lihat juga kitab ‘Minhajul Imaam asy- Syafi’i Fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/ 347).

Sumber: ‘Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah’ Hal. 197- 200. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Bogor.

Orang Yang Baik Di Dunia adalah Orang Yang Baik Di Akhirat

98. Orang Yang Baik di Dunia adalah Orang Yang Baik di Akhirat- 114

163/ 221. Dari Qabishah Ibnu Burmah al- Asadi berkata,

“Saya berada di samping Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu saya mendengarnya bersabda, “Orang yang baik di Dunia adalah orang yang baik di Akhirat, dan orang yang keji di Dunia adalah orang yang keji di Akhirat”.

Shahih Lighairihi, di dalam Kitab ar- Ruadhun Nadhir (No. 1031, 1082). Qabishah bin Burmah al- Asadi tidak memiliki sedikitpun riwayat dalam Kutubus- Sittah.

Maksudnya: Pelaku kebaikan mendapatkan kebaikan dari Alloh, dan pelaku kemunkaran akan ditimpa kemunkaran tersebut (siksa) di akhirat. Saya berkata, ‘Seolah- olah hadits tersebut merupakan tafsir dari firman Alloh, “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, maka niscaya dia melihat balasannya”. (QS. Az- Zalzalah (99): 8).

164/ 223. Dari Mu’tamir berkata,

“Saya menyebutkan kepada bapak saya hadits Abu Utsman dari Salman, bahwasanya dia berkata, “Sesungguhnya pelaku kebaikan di Dunia mereka adalah pelaku kebaikan di Akhirat”. Lalu Mu’tamir berkata, “Sesungguhnya saya mendengar hadits tersebut dari Abu Utsman yang meriwayatkan hadits dari Salman, maka saya tahu bahwa kebaikan itu seperti itu dan aku sama sekali tidak pernah mengatakan hadits itu pada orang lain. (Menurut riwayat Abu Utsman, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda seperti itu)”.

Shahih, yang diriwayatkan dengan periwayatan yang mauquf dan merupakan hadits shahih lighairihi yang diriwayatkan dengan periwayatan yang marfu’, ar- Ruadhun- Nadhiru (1031, 1082)



99. Setiap Kebaikan Adalah Sedekah- 115

165/ 224. Dari Jabir Ibnu Abdullah, dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Setiap kebaikan adalah sedekah”.

Shahih, di dalam Kitab ash- Shahihah (2040). (Bukhori, 78- Kitab al- Adab, 33- Bab Kullu Ma’rufin Shodaqotun, Wa Ya’ti Bi Atamma Minhu: 304).

166/ 225. Abu Musa berkata, “Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“WAJIB (ATAS) SETIAP ORANG MUSLIM UNTUK BERSEDEKAH”.

Para Shahabat berkata, “Bagaimana jika dia tidak mendapatkan (sesuatu untuk disedekahkan)?” Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“HENDAKNYA DIA BEKERJA DENGAN KEDUA TANGANNYA, SEHINGGA MEMBERIKAN KEMANFAATAN BAGI DIRINYA LALU BERSEDEKAH”.

Para Shahabat bertanya, “Jika dia tidak mampun (bekerja) atau tidak dapat melakukannya?”, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“HENDAKNYA DIA MENOLONG ORANG YANG SANGAT MEMBUTUHKAN”.

Shahabat bertanya, “Jika dia tidak mampu untuk melakukannya?”, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“HENDAKNYA IA MEMERINTAHKAN KEBAIKAN ATAU MEMERINTAHKAN YANG MA’RUF”,

Shahabat bertanya, “Jika dia tidak mampu untuk melakukannya?”, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“HENDAKNYA DIA MENAHAN DIRI UNTUK TIDAK MELAKUKAN KEJAHATAN, MAKA SESUNGGUHNYA HAL ITU ADALAH SEDEKAH BAGINYA”.

Shahih, di dalam Kitab ash- Shahihah (573), Bukhori, 78- Kitab al- Adab, 33- Bab Kullu Ma’rufin Sodaqoh. Muslim, 12- Kitab az- Zakat, 16- Bab Bayanu Anna ismas- Shadaqati Yaqa’u ‘ala Kulli Nau’in Minal Ma’ruf, Hadits 55.

167/ 227. Dari Abu Dzarr, ia berkata, “Dikatakan,

“Wahai Rasululloh, Orang- orang kaya pergi membawa pahalanya. Mereka sholat sebagaimana kita sholat, mereka berpuasa sebagaimana kita berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”, Nabi menjawab, “Bukankah Alloh telah menjadikan bagi kalian sesuatu yang kalian bisa jadikan sedekah? Sesungguhnya pada setiap Tasbih (Subhanalloh) dan Tahmid (Alhamdulillah) terdapat sedekah, sampai pada kemaluan salah seorang di antara kalian (bersetubuh dengan istrinya) adalah sedekah”. Dikatakan kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, “Apakah di dalam syahwat seseorang terdapat sedekah?” Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Bagaimana jika dia melampiaskan di dalam yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa.?, maka demikian pula jika dia menyalurkannya pada yang halal maka baginya pahala”.

Shahih, di dalam Kitab ash- Shahihah (454). (Muslim, 12- Kitab az- Zakat, 16- Bab Bayanu Inna ismas- Shadaqati Yaqa’u ‘Ala Kulli Nau’in Minal Ma’ruf, Hadits 53).

Sumber: ‘Shahih Adabul Mufrad” Hal. 136- 140. Syaikh Nashiruddin al- Albani. Pustaka Azzam. Jakarta.

Kamis, 21 Oktober 2010

SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP KESALAHAN ULAMA. [Resume].

SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP KESALAHAN ULAMA. [Resume].
Oleh Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al- ‘Abbad

Tidak seorangpun yang Ma’shum (terpelihara) dari kesalahan selain Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak ada seorang ulama pun yang tidak lepas dari kesalahan. SIAPA YANG SALAH TIDAK BOLEH DIIKUTI KESALAHANNYA, NAMUN KESALAHANNYA TERSEBUT TIDAK BOLEH DIJADIKAN SEBAGAI ALASAN UNTUK MENCELANYA, DAN MENJAUHKAN ORANG LAIN DARINYA. Tetapi kesalahannya yang sedikit tertutup dengan kebenarannya yang banyak.

Dan siapa saja di antara ulama tersebut yang sudah wafat maka dianjurkan untuk mengambil faedah dari Ilmu mereka. Bersamaan dengan itu, perlu kehati- hatian agar tidak mengikuti kesalahannya, serta tak lupa mendo’akannya semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni dan merahmatinya.

Siapa saja yang masih hidup baik ia seorang ulama atau sebagai seorang penuntut ilmu, maka ia perlu diberitahu tentang kesalahannya dengan ramah dan lemah lembut serta menginginkan bagaimana ia bisa terlepas dari kesalahan dan kembali kepada kebenaran.

Ulama- ulama dahulu juga memiliki beberapa kekeliruan dalam sejumlah masalah aqidah. Namun para Ulama dan penuntut ilmu tetap merasa butuh terhadap ilmu mereka. Bahkan buku- buku karangan mereka tetap menjadi rujukan- rujukan yang amat penting bagi orang- orang yang aktif menggali ilmu Syar’i seperti Imam al- Baihaqi Rahimahulloh, Imam an- Nawai Rahimahuloh, dan Ibnu Hajar al- Asqalani Rahimahulloh.

Alangkah Indah perkataan Imam Malik Rahimahulloh, “SETIAP ORANG BERHAK UNTUK DITERIMA ATAU DITOLAK PENDAPATNYA KECUALI PENGHUNI MAKAM INI”. Lalu beliau menunjuk makam Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Inilah berbagai nukilan dari kelompok ahli Ilmu dalam menentukan dan menjelaskan bahwa kesalaahan seorang ulama tertutupi dengan kebenarannya yang banyak,

Sa’id bin Musayyib Rahimahulloh (Wafat 93H) berkata, “Tiada seorang ulama pun, tidak pula seorang yang mulia dan seorang yang memiliki keutamaan, kecuali ia memiliki kelemahan (aib), tetapi barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dibanding kekurangannya, maka kekurangannya tertutupi dengan keutamaannya. Sebagaimana orang yang lebih dominan kekurangannya, akan tertutuplah keutamaannya”.

‘Abdulloh bin al- Mubarak Rahimahulloh (wafat 181H) berkata, “Apabila kebaikan seseorang lebih dominan daripada kejelekannya, maka itu tidaklah disebut sebagai kejelekannya. Dan apabila kejelekan seseorang lebih dominan daripada kebaikannya, maka itu tidaklah disebut kebaikannya”. (Silahkan lihat Siyar A’laam an- Nubala’ karya imam adz- Dzahabi Rahimahulloh, 8/ 352).


Imam Ahmad Rahimahulloh (wafat 241H) berkata, “Tidak seorang pun yang menyebrangi negeri Khurasan seperti Ishaq bin Rahuyah. Walaupun ia berbeda pendapat dengan kita dalam beberapa masalah. Sesungguhnya para ulama senantiasa berselisih pendapat satu sama lainnya”. (Silahkan lihat Siyar A’laam an- Nubala’, 11/ 371).

Abu Hatim bin Hibban Rahimahulloh (wafat 354H), berkata, “Abdul Malik bin Abi Sulaiman adalah seorang ulama pilihan Ahli Kuffah dan termasuk penghafalnya. Kebanyakan orang yang hafal dan meriwayatkan hadits dari hafalannya kemungkinan ada salahnya. Bukanlah suatu keadilan ditinggalkannya hadits seorang perawi yang terpercaya agamanya, disebabkan adanya kesalahan dalam riwayatnya. Jika kita menempuh cara seperti ini (membuang setiap riwayat orang yang salah), maka kita terpaksa menolak hadits az- Zuhri, Ibnu Juraij, ats- Tsauri, dan Syu’bah. Karena mereka adalah para penghafal yang matang. Mereka juga meriwayatkan hadits dari hafalan, sedangkan mereka bukanlah orang yang ma’shum sehingga mereka tidak pernah keliru dalam meriwayatkan hadits. TETAPI DEMI KEHATI- HATIAN DAN YANG LEBIH UTAMA DALAM HAL INI ADALAH DITERIMANYA APA – APA YANG DIRIWAYATKAN OLEH SEORANG YANG KUAT HAFALANNYA, DAN MENINGGALKAN SESUATU YANG TELAH JELAS BAHWA IA KELIRU DI DALAMNYA, SELAMA KEKELIRUAN ITU TIDAK MENCOLOK SEHINGGA LEBIH DOMINAN DARIPADA KEBENARANNYA. Jika hal itu terjadi padanya maka ia berhak untuk ditinggalkan seketika itu juga”. (Silahkan lihat ats- Tsiqaat, 7/97- 98).

Imam adz- Dzahabi Rahimahulloh (wafat 748H) berkata, “Sesungguhnya seorang ulama besar apabila kebenarannya cukup banyak, dan diketahui kesungguhannya dalam mencari kebenaran kemudian ia seorang yang memiliki ilmu yang luas, cerdas, shaleh, wara’, dan mengikuti sunnah, kesalahannya diampuni, maka kita tidak boleh menyesatkan dan menjatuhkannya, atau kita melupakan segala kebaikannya. Suatu hal yang sudah dimaklumi bahwa kita dilarang mencontoh bid’ah dan kesalahannya tersebut, kita mengharapkan semoga ia bertaubat dari kesalahannya tersebut”. (Silahkan lihat Siyar A’laam an- Nubala’, 5/ 271).

Imam Ibnul Qayyim Rahimahulloh (wafat 751H) berkata, “Mengenal keutamaan para Ulama Islam, kehormatan dan hak- hak mereka serta tingkatan mereka, bahwa mereka memiliki keutamaan, ilmu dan nasihat untuk Alloh dan Rasul- Nya, tidaklah mengharuskan kita untuk menerima segala yang mereka katakan. Bila terdapat dalam fatwa- fatwa mereka berbagai masalah yang masih tersembunyi atas mereka apa yang dibawa oleh Rasul Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam lalu mereka berfatwa sesuai dengan ilmu mereka sedangkan yang benar adalah sebailknya, Maka tidak semestinya kita membuang pendapatnya secara keseluruhan, atau mengurangi rasa hormat dan mencela mereka. Dua macam tindakan tersebut adalah melenceng dari keadilan. JALAN YANG ADIL ADALAH DIANTARA KEDUANYA, KITA TIDAK MENYALAHKANNYA SECARA MUTLAK DAN TIDAK PULA MENGANGGAPNYA BERSIH DARI KESALAHAN”. Sampai pada perkataannya,

“Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang syari’at dan realita yang pasti mengetahui bahwa seseorang yang terhormat, memiliki perjuangan dan usaha- usaha yang baik untuk Islam, dia juga seorang yang disegani di tengah- tengah umat Islam, boleh jadi terdapat padanya kekeliruan dan kesalahan yang masih bisa ditolerir bahkan mendapat pahala karena ijtihadnya. MAKA KESALAHANNYA TIDAK BOLEH DIIKUTI NAMUN TIDAK PULA DIJATUHKAN KEHORMATAN DAN KEDUDUKANNYA DARI HATI KAUM MUSLIMIN”. (Silahkan Lihat I’laamul Muwaaqi’iin, 3/ 295).

Ibnu Rajab al- Hanbali Rahimahulloh (wafat 795H) berkata, “ALLOH ENGGAN UNTUK MEMBERIKAN KEMA’SHUMAN BAGI SELAIN KITAB- NYA. SEORANG YANG ADIL ADALAH ORANG YANG MEMAAFKAN KESALAHAN ORANG YANG SEDIKIT KESALAHANNYA, DIBANDINGKAN DENGAN KEBENARANNYA YANG BANYAK”. (Lihat al- Qawa’id, Hal. 3).

Sumber: “Lembutnya Dakwah Ahlus Sunnah”. Hal 63- 77. Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al- ‘Abbad. Pustaka Darul Ilmi. Bogor.

LEMAH LEMBUT DAN KASIH SAYANG.

LEMAH LEMBUT DAN KASIH SAYANG.
Oleh Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al- ‘Abbad

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala telah menggambarkan sifat Nabi- Nya, Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa sesungguhnya Beliau memiliki akhlak yang agung. Firman Alloh Ta’ala,

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung”. (QS. Al- Qalam: 4).

Alloh Ta’ala menggambarkan Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga dengan sifat ramah dan lemah lembut, Alloh Ta’ala berfirman,

“Maka dengan sebab rahmat Alloh- lah engkau berlemah lembut terhadap mereka dan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu”. (QS. Ali Imran: 159).

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menggambarkan beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dengan sifat kasih sayang dan santun terhadap orang yang beriman, Alloh Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, amat berat baginya segala yang menyusahkan kalian, sangat menginginkan untuk kalian (segala kebaikan), amat santun dan berkasih sayang terhadap orang- orang yang beriman”. (QS. At- Taubah: 128).

Dan Rasul Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam sendiripun memerintahkan untuk berlaku lemah- lembut dan menganjurkannya, Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan, dan sebarkanlah olehmu kabar gembira, dan jangan kamu membuat orang lari (darimu)”. (HR. al- Bukhori No. 69, dan Muslim No. 1734, Diriwayatkan dari Shahabat Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhuma).

Dan disebutkan pula oleh Imam Muslim Rahimahulloh dalam Shahihnya, Hadits No. 1732, dari hadits Abu Musa al- Asy’ ari Radhialloohu 'Anhu dengan lafazh,

“Sampaikanlah olehmu kabar gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu), dan hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan”.


Imam al- Bukhori Rahimahulloh meriwayatkan dalam Shahihnya, hadits No. 220, dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkata kepada para Shahabat dalam kisah seorang arab Badui yang buang air kecil dalam masjid Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Biarkanlah ia, dan siramlah di atas kencingnya se-ember air, atau semangkuk air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan kalian tidak diutus untuk menyulitkan”.
Imam al- Bukhori Rahimahulloh meriwayatkan pula dalam Shahihnya, hadits No. 6927, dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Wahai ‘Aisyah!, Sesungguhnya Alloh itu Maha Lembut, Ia mencintai kelembutan dalam segala urusan”.

Menurut Lafazh Imam Muslim Rahimahulloh hadits No. 2593,

“Wahai ‘Aisyah!, Sesungguhnya Alloh itu Maha Lembut, Dia mencintai kelembutan, Dia memberi dengan kelembutan sesuatu yang tidak Dia beri dengan kekasaran, dan tidak pula dengan selainnya”.

Imam Muslim Rahimahulloh meriwayatkan dalam Shahihnya, hadits No. 2594, dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya kelembutan tidak terdapat pada sesuatu melainkan membuatnya Indah, dan tidak dicabut dari sesuatu melainkan membuatnya jelek”.

Dan Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim Rahimahulloh, hadits No. 2592dari Jabir bin ‘Abdillah Rahimahulloh bahwa Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang diharamkan (mempunyai) sifat lemah lembut berarti ia telah diharamkan dari kebaikan”.

Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah menyuruh dua orang Nabi yang mulia, Nabi Musa ‘Alaihis Salam dan Nabi Harun ‘Alaihis Salam untuk menyeru Fir’aun dengan sopan dan lemah lembut, Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya dia telah melampaui batas (kesesatan), maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata- kata lemah lembut, mudah- mudahan ia mendapat peringatan dan takut (terhadap Alloh)”. (QS. Thaha: 43- 44).

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menggambarkan tentang sifat para Shahabat yang mulia Radhialloohu 'Anhum dengan sifat saling berkasih sayang antara sesama mereka, Alloh Ta’ala berfirman,

“Muhammad itu adalah utusan Alloh dan orang- orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka”. (QS. Al- Fath: 29).

Sumber: “Lembutnya Dakwah Ahlus Sunnah”. Hal 52- 59. Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al- ‘Abbad. Pustaka Darul Ilmi. Bogor.

Sabtu, 16 Oktober 2010

PERINTAH MENGAJARKAN ILMU KEPADA MANUSIA DAN MENGAJAK MEREKA KEPADA KEBAIKAN

Wasiat 13:
PERINTAH MENGAJARKAN ILMU KEPADA MANUSIA DAN MENGAJAK MEREKA KEPADA KEBAIKAN

Diriwayatkan dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, niscaya ia akan mendapat pahala sebagaimana orang yang mengikutinya tanpa dikurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, niscaya ia akan mendapat dosa sebagaimana orang yang mengikutinya tanpa dikurangi dosa mereka sedikitpun”.

Shahiih, Diriwayatkan oleh Muslim (No. 2674), Ibnu Majah (No. 194), at- Tirmidzi (No. 2674), ad- Darimi (No. I/ 31), Ahmad (No. II/ 397), al- Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. I/ 232, al- Haitsami dalam Majma’ az- Zawaaid (No. I/ 168), an- Nawawi dalam al- Adzkar (No. 278), al- Mundziri dalam at- Targhiib (No. I/ 120), dan at- Tibriizi dalam al- Misykaah (No. 158).

Dalam Wasiat ini Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan agar kita mengajarkan perkara- perkara agama kepada orang banyak dan mengajak mereka kepada kebaikan. Sebab itulah tugas para Nabi yang Alloh mengutus mereka karenanya. Itu merupakan tugas yang paling agung bagi siapa saja yang Alloh beri taufik untuk berjalan di atas jalan para Nabi dalam mengajarkan perkara agama kepada umat manusia dan membimbing mereka kepada kebaikan. Mereka telah memperoleh kebaikan yang sangat banyak disebabkan jasa mereka menyebarkan agama dan nilai- nilai kebaikan. Dan siapa saja yang menjadi penyebab kebaikan niscaya akan dilipatgandakan pahalanya. Sebagaimana juga penyebab kejahatan akan dilipatgandakan siksanya.

BERUSAHALAH WAHAI SAUDARAKU AGAR ENGKAU MENDAPAT BAGIAN DALAM MENGAJAK MANUSIA KEPADA KEBAIKAN YANG AGUNG DAN PAHALA YANG BESAR INI.

Semoga Alloh merahmati Ibnul Jauzi yang mengatakan,

“Mengapa engkau menunda- nunda amal?! Berambisi meraih angan- angan kosong? Tertipu dengan penangguhan yang diberikan? Tidak mengingat serbuan kematian? Sungguh engkau bukan dilahirkan untuk tanah, dan bukan pula dibesarkan untuk binasa, sungguh apa yang engkau kumpulkan akan hilang, dan apa yang engkau kerjakan akan dicatat dalam kitab dan disimpan untuk ditunjukkan pada hari Hisab”.

Ketahuilah, semua manusia di atas dunia ini sedang bersafar, Beramallah untuk dirimu demi menyelamatkanmu dari Api Saqor pada hari Berbangkit Kelak.

Sumber:
“58 Wasiat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam Kepada Setiap Muslim”. Hal.53- 55. Syaikh Usamah Na’im Musthafa. Daar an- Naba’. Surakarta

NILAI- NILAI KEBAIKAN DAN ETIKA PERGAULAN

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ

NILAI- NILAI KEBAIKAN DAN ETIKA PERGAULAN

1354. Diriwayatkan dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu ie berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa ingin rizqy-nya dilapangkan dan umurnya dipanjangkan hendaklah ia menjalin hubungan silaturrahim”.

[HR. al- Bukhori No. 5985 dengan sanad yang Shahiih].

1355. Diriwayatkan dari Zubeir bin Muth’im Radhialloohu 'Anhu ia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak akan masuk Surga Orang yang memutuskan, yaitu memutuskan hubungan Silaturrahim”.

[Muttafaqun ‘Alaih, al- Bukhori No. 5984, dan Muslim No. 2556, dengan sanad yang Shahiih, Menurut penjelasan Sufyan bin Uyainah, hadits ini hanya terdapat dalam riwayat Muslim dan tidak terdapat dalam riwayat al- Bukhori].

1356. Diriwayatkan dari al- Mughirah bin Syu’bah Radhialloohu 'Anhu bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Alloh mengharamkan atas kalian perbuatan durhaka terhadap Ibu, mengubur anak perempuan hidup- hidup, dan menahan harta namun terus meminta. Dan Alloh membenci atas kalian Qila wa Qola (kata Si Anu dan kata Si Anu), banyak bertanya (banyak meminta), dan menyia- nyiakan harta”.

[Muttafaqun ‘Alaih, al- Bukhori No. 5975, Muslim dalam kitab Shahiihnya (III/ 593), dengan Sanad yang Shahiih].

1357. Diriwayatkan dari Abdulloh bin Amru Radhialloohu 'Anhuma, dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau bersabda,

“Ridho Alloh ada dalam ridho Ibu Bapa, dan Murka Alloh ada dalam murka Ibu Bapa”.

[HR. at- Tirmidzi, diShahiihkan oleh Ibnu Hibban dan al- Hakim] >> at- Tirmidzi No. 1900, Ibnu Hibban dalam Kitab Shahiihnya, No. 2026, dan al- Hakim dalam Kitab al- Mustadrak nya (IV/ 151- 152), Hadits ini dinyatakan Shahiih oleh Syaikh al- Albani dalam Kitabnya, ‘Shahiih Sunan at- Tirmidzi’, Lihat Kitab Silsilah al- Ahaadiits Ash- Shahiihah No. 516].




1358. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda,

“Demi Alloh yang jiwaku berada di Tangan- Nya, tidak sempurna iman seorang hamba hingga ia menyukai bagi tetangganya atau saudaranya, apa- apa yang ia sukai bagi dirinya sendiri”.

[Muttafaqun ‘Alaih, al- Bukhori No. 13, dan Muslim No. 45, dengan Sanad Shahiih, dan lafadz ini adalah lafadz dalam Riwayat Imam Muslim].

1359. Diriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tentang dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab,

“Engkau menjadikan sekutu bagi Alloh sedangkan Dia- lah yang menciptakanmu”. “Kemudian Apa lagi?” tanyaku. Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu”. “Kemudian apa lagi?” tanyaku. Beliau bersabda, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”.

[Muttafaqun ‘Alaih, al- Bukhori No. 4477, dan Muslim No. 86, dengan tambahan, “Maka Alloh menurunkan Firman- Nya,

“Dan orang- orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Alloh, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Alloh (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapatkan (pembalasan) dosa (nya)”. QS. Al- Furqon: 68)].

1360. Diriwayatkan dari Abdulloh bin Amru bin al- Ash Radhialloohu 'Anhuma, bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Termasuk Dosa besar adalah seseorang memaki kedua orang tuanya sendiri”. Ada yang bertanya, “Mungkinkah seseorang memaki kedua orang tuanya sendiri?”. Rasululloh berkata, “Ya, ia memaki ayah orang lain lalu orang itu balas memaki ayahnya. Dan ia memaki ibu orang lain, lalu orang itu balas memaki ibunya”.

[Muttafaqun ‘Alaih, HR. at- Tirmidzi (IV/ 1899), dinyatakan Shahiih oleh Syaikh al- Albani dalam Silsilah Ash- Shahiihah No. 515].

1361. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Radhialloohu 'Anhu bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya seiman lebih dari tiga hari, Keduanya bertemu akan tetapi yang satu berpaling dan yang lain juga berpaling. Dan yang paling baik di antara keduanya adalah yang lebih dahulu memberi salam”.

[Muttafaqun ‘Alaih, al- Bukhori No. 6077, dan Muslim No. 2560 dengan sanad yang Shahiih].


1362. Diriwayatkan dari Jabi Radhialloohu 'Anhu bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Setiap perbuatan Ma’ruf itu adalah sedekah”.

[HR. al- Bukhori No. 6021 dengan sanad yang Shahiih, dan Diriwayatkan oleh juga beliau dalam kitab Adabul Mufrod dengan sanad yang tidak mengapa/ Laa Ba’sa Bihi].

1363. Diriwayatkan dari Abu Dzarr Radhialloohu 'Anhu ia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Janganlah kamu menganggap remeh apa saja dari kebaikan, Meski hanya engkau bertemu saudaramu dengan muka yang manis”.

[HR. Muslim, dalam Kitab Shahiihnya No. 2626, dengan sanad yang Shahiih].

1364. Dari Abu Dzarr Radhialloohu 'Anhu ia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Apabila engkau masak lauk maka banyakkanlah kuahnya dan hadiahkanlah kepada tetanggamu”.

[HR. Muslim dalam kitab Shahihnya No. 2625, dengan sanad yang Shahiih].

1365. Diriwayatkan dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu ia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa melepaskan seorang muslim dari sebuah kesusahan dari kesusahan dunia niscaya Alloh akan melepaskannya dari kesusahan- kesusahan Akhirat. Dan barangsiapa memberi kelonggaran kepada orang yang susah niscaya Alloh akan memberi kelonggaran baginya di Dunia dan di Akhirat. Dan barangsiapa menutup aib seorang muslim niscaya Alloh akan menutup aibnya di Dunia dan di Akhirat. Dan Alloh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”.

[HR. Muslim, dalam Kitab Shahiihnya No. 2699 dengan Sanad Shahiih].

1366. Diriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu ia berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya”.

[HR. Muslim, dalam Kitab Shahiihnya No. 1893, dari Jalur Shahabat Abu Mas’ud dengan Sanad yang Shahih].

1367. Diriwayatkan dari Abdulloh bin Umar Radhialloohu 'Anhuma, dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda,

“Siapa saja yang meminta perlindungan kepadamu dengan menyebut Nama Alloh aka lindungilah, Siapa saja yang meminta kepadamu dengan menyebut Nama Alloh maka berilah, Siapa Saja yang mengundangmu maka datangilah, Siapa saja yang berbuat baik kepadamu maka balaslah, Jika kamu tidak memiliki (Sesuatu untuk membalasnya) maka do’akanlah ia”.

[HR. al- Baihaqi dalam al- Kubra (IV/ 199)].

Sumber: ‘Terjemah Bulughul Maram’ Hal. 670- 675, Bab Nilai- nilai Kebaikan dan Etika Pergaulan’. al- Hafizh Ibnu Hajar al- Asqalani. Pustaka at- Tibyan. Solo.

Memohon Karunia Kepada Alloh Ketika Mendengar Kokokan Ayam, dan Berlindung Kepada Alloh ketika Mendengar Ringkikan Keledai dan Lolongan Anjing

‎112. Memohon Karunia Kepada Alloh Ketika Mendengar Kokokan Ayam, dan Berlindung Kepada Alloh ketika Mendengar Ringkikan Keledai dan Lolongan Anjing, dan Larangan Thiyarah/ Tathoyyur.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Apabila engkau mendengar Ayam Jago berkokok (di waktu malam), mintalah Anugerah kepada Alloh, sesungguhnya ia melihat malaikat. Tetapi apabila engkau mendengar keledai meringkik (di waktu malam), mintalah perlindungan kepada Alloh dari gangguan syaithan, sesungguhnya ia melihat syaithan”.

HR. al- Bukhori No. 3303/ Fat-hul Baari VI/ 350, Muslim No. 2729. Tambahan yang terdapat dalam kurung (*di waktu malam. Red) diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam al- Adabul Mufrad No. 1236, Lihat Shahiih al- Adabil Mufrad No. 938, dan Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah No. 3183, Diriwayatkan dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Jika kalian mendengar lolongan Anjing dan ringkikan keledai pada malam hari, maka berlindunglah kepada Alloh darinya karena ia melihat apa yang tidak dapat kalian lihat”.

HR. Abu Dawud No. 5103, Ahmad III/ 306, 355-356, Shahiih al- Adabil Mufrad No. 937, Serta Ibnus Sunni No. 311 dalam ‘Amalul Yaum Wal Lailah’. Diriwayatkan dari jabir bin ‘Abdillah Radhialloohu 'Anhuma.





Larangan Thiyarah

Diriwayatkan dari ‘Abdulloh bin ‘Amr Radhialloohu 'Anhuma, ia berkata, ‘Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa mengurungkan niatnya karena Thiyarah, maka ia telah berbuat Syirik”. Para Shahabat bertanya, ‘Lalu apakah Tebusannya?’ Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, ‘Hendaklah ia mengucapkan,

ALLOOHUMMA LAA KHOIRO ILAA KHOIRUKA WA LAA THOIRO ILLAA THOIRUKA WA LAA ILAAHA GHOIRUKA

‘Ya Alloh tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathoyyur) melainkan makhluk- Mu, dan tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau’”.

Shahiih, Diriwayatkan oleh Ahmad II/ 220, dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Musnad Ahmad No. 7045, dishahihkan juga oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani dalam Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah No. 1065.

Thiyaroh/ Tathoyyur adalah ANGGAPAN SIAL Kerena melihat /mendengar sesuatu. Pada asalnya tathoyyur itu adalah anggapan sial atau untung karena melihat burung tertentu, atau melihat kijang. Kaum Jahiliyyah adakalanya menangguhkan niat mereka karena melihat hal- hal tersebut, Lalu Syari’at melarang dan mengharamkannya.

Tathoyyur termasuk adat Jahiliyyah. Mereka biasanya berpatokan kepada burung- burung, jika mereka lihat burung itu terbang ke arah kanan, mereka bergembira, dan meneruskan niatnya. Jika burung itu terbang ke arah kiri, mereka angap membawa sial dan mereka menangguhkan niat. Bahkan sebagian mereka sengaja menerbangkan burung untuk meramal Nasib.

Syari’at yang hanif ini telah melarang segala bentuk Tathoyyur. Sebab Thair (burung) tidak memiliki keistimewaan apapun sehingga gerak- geriknya harus dijadikan sebagai petunjuk untung atau rugi, Dalam banyak hadits, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah menegaskan berulang kali, “Tidak ada Thiyarah!”. Penegasan seperti ini juga dinukil dari sejumlah Shahabat Radhialloohu 'Anhum.


Bukti lain yang menguatkan riwayat yang menafikan adalah larangan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam terhadap thiyarah dan Syu’m (kesialan) secara umum dan pujian beliau terhadap orang- orang yang menjauhinya, beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tujuh puluh ribu orang dari Umatku akan masuk Jannah tanpa hisab. Mereka adalah orang- orang yang tidak berobat dengan cara kay (*besi panas), tidak minta dirukyah, tdak bertathoyyur, dan hanya bertawakkal kepada Alloh semata”.

HR. al- Bukhori No. 6472 dari Ibnu ‘Abbas Radhialloohu 'Anhuma, diriwayatkan juga dengan lafadz yang panjang oleh al- Bukhori No. 5705, 5752, dan Muslim No. 220 dari Ibnu ‘Abbas Radhialloohu 'Anhuma.

DO’A AGAR MENDAPATKAN KEMUDAHAN KETIKA DI HISAB

‘ALLOOHUMMA HAASIBNI HISAABAN YASIIROO’

‘Ya Alloh, Hisablah diriku dengan Hisab yang Mudah’.

HR. Ahmad VI/ 48, dan al- Hakim I/ 255, dan dia mengatakan, “Bahwa hadits ini shahih dengan Syarat Muslim”. Dan disepakati oleh adz- Dzahabi. ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha menceritakan bahwa ketika beliau berpaling, kukatakan, “Wahai Nabi Alloh, Apakah yang dimaksud dengan hisab yang ringan itu?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“Yaitu Alloh melihat ke dalam kitabnya dan kemudian Dia melewatinya (memaafkannya) begitu saja, Sesungguhnya orang yang diminta pertanggungjawaban hisabnya, hai ‘Aisyah, maka dia akan binasa. Dan apa yang menimpa seorang mukmin, akan dihapuskan (dosanya) oleh Alloh Yang maha Perkasa lagi Maha Mulia darinya, bahkan sampai duri yang menusuknya sekalipun”.

Sumber: ‘Kumpulan Do’a dari Al-Qur’an dan As- Sunnah yang Shahih’. Hal. 238- 242, Hal. 187. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Bogor.

Do’a – Do’a Apa Saja Yang Paling Penting Dimohonkan Seorang Hamba Kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala

Do’a – Do’a Apa Saja Yang Paling Penting Dimohonkan Seorang Hamba Kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِِ

Seorang hamba selalu memohon dan meminta kepada Alloh Ta’ala apa saja yang dibutuhkannya setiap hari untuk kepentingan dunia maupun akhirat, ...karena semua perbendaharaan Langit dan Bumi ada di Sisi Alloh.

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu”. (QS. Al- Hijr: 21).

Do’a penting yang dimohonkan oleh Seorang Hamba:

1. Memohon Hidayah/ Petunjuk kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu hidayah Taufiq agar ditunjuki di atas jalan yang Haq (Benar).

2. Memohon Kepada Alloh Ta’ala agar diampuni segala dosa yang dilakukan, karena setiap hari siang dan malam seorang hamba tidak luput dari berbuat dosa dan maksiyat.

3. Memohon kepada Alloh Ta’ala agar dimasukkan ke Surga dan dijauhkan dari Api Neraka.

4. Memohon kepada Alloh Ta’ala keselamatan di Dunia dan Akhirat, serta dijauhkan dari berbagai macam bencana dan malapetaka.

5. Memohon kepada Alloh Ta’ala agar hatinya ditetapkan di atas agama dan tetap istiqomah dalam melaksanakan ketaatan kepada- Nya.

6. Memohon kepada Alloh Ta’ala agar ditetapkan nikmat Islam, Sunnah, dan diselamatkan dari segala kemurkaan- Nya.

(Diringkas dari ‘Syuruuthud Du’aa Wa Mawaani’ul Ijaabah Fii Dhau-il Kitaab Was Sunnah’, Hal. 136- 149).

Sumber: ‘Kumpulan Do’a dari Al-Qur’an dan As- Sunnah yang Shahih’. Hal. 8-10. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Bogor.