Senin, 28 Februari 2011

Batasan Berbohong Kepada Istri

Seorang suami boleh berbohong kepada istrinya dalam rangka menyenangkan perasaan istrinya dan dalam rangka memperdalam rasa kasih sayang antara keduanya. Hal itu berdasarkan hadits Ummu Kultsum binti ‘Uqbah Radhialloohu 'Anha, ia berkata, “Saya belum pernah mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam membolehkan dusta sedikitpun kecuali dalam tiga keadaan, beliau mengatakan,


“Aku tidak menganggap sebuah dusta, (1) Seorang yang mendamaikan antara manusia, ia mengatakan sesuatu yang tujuannyatidak lain adalah memperbaiki hubungan manusia. Begitu pula (2) seorang yang mengatakan sesuatu dalam peperangan. Dan juga (3) Seseorang suami yang mengatakan sesuatu untuk istrinya serta seorang istri yang mengatakan sesuatu untuk suaminya”.

Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhori dan Muslim, serta Abu Dawud (XIII/ 263), an- Nasa-i dan Ahmad (VI/ 404), Ibnu Jarir dalam Tahdzibul Atsar (III/ 131- 132& 133), al- Khatib dalam al- Kifayah (180- 181), dan selain mereka. Ada penyerta baginya dari Hadits Asma’ binti Yazid Radhialloohu 'Anha.

Dikeluarkan oleh at- Tirmidzi (VI/ 68), Ahmad (VI/ 454, 459, 461), Ibnu Jarir dalam Tahdzibul Atsar (III/ 128). At- Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan, kami tidak mengetahui hadits Asma’ ini kecuali dari jalur Ibnu Khutseim”. Saya (Abu Ishaq al- Huweini al- Atsary_ penulis.red) katakan, “Ibnu Khutseim ini namanya adalah Abdulloh bin Utsman, seorang perawi Tsiqah insya ALLOH. Ucapan an- Nasa-i mengesankan ia bukan seorang hafizh sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam Badzlul Ihsan.

Namun sanad dalam hadits tersebut terdapat Syahr bin Hausyab, ia banyak dikomentari negatif oleh para Imam. Barangkali at- Tirmidzi menghasankannya karena banyaknya penyerta yang menguatkannya. Wallohu a’lam.

Berkenaan dengan hadits di atas, Imam an- Nawawi Rahimahulloh berkata,

“Adapun masalah berbohongnya suami kepada istrinya, dan berbohongnya istri kepada suaminya maksudnya adalah dalam kaitannya mengungkapkan rasa cinta, janji- janji yang tidak mengikat, dan sejenisnya. Adapun bohong yang berbau tipu muslihat untuk menghalangi hak salah satu dari keduanya, atau dalam rangka merampas yang bukan haknya, maka hal itu HARAM hukumnya menurut kesepakatan kaum muslimin”. (Lihat Syarah Muslim, karya Imam an- Nawawi).
Wallohu a’lam.

Sumber: ‘Bekal- bekal menuju pelaminan mengikuti Sunnah”. Hal. 126- 128. Abu Ishaq al- Huwaini al- Atsari. Pustaka at- Tibyan. Solo.

Kamis, 24 Februari 2011

Seandainya kedua orang tua Menyuruh untuk Bercerai.


Apabila kedua orang tua menyuruh anak untuk menceraikan istrinya, apakah harus ditaati atau tidak..?

Di bawah ini dibawakan beberapa hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, di antaranya hadits yang Diriwayatkan oleh imam at- Tirmidzi dan Abu Dawud dari Ibnu ‘Umar Radhialloohu 'Anhuma, dia berkata,

“Aku mempunyai seorang istri dan aku mencintainya, sedangkan ‘Umar tidak suka kepada istriku. ‘Umar berkata kepadaku, ‘Ceraikan istrimu!’. Aku pun enggan, maka ‘Umar datang kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan menceritakannya, kemudian Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkata kepadaku, ‘Ceraikan istrimu!


Hasan, HR. Ahmad (II/ 42, 53, 157), Abu Dawud (No. 5138), at- Tirmidzi (No. 1189), Ibnu Majah (No. 2088), ath- Thahawi dalam Syarh Musykiilul aatsaar (No. 1386), Ibnu Hibban (No. 2024, 2025/ al- Mawaarid), dan (No. 427, 428/ at- Ta’liqaatul Hisaan), dan al- Hakim (II/ 197), at- Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan Shahih”. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 919.


Diriwayatkan dari Abud Darda’ Radhialloohu 'Anhu ketika ada seorang yang datang kepadanya dan berkata,

“Sesungguhnya aku mempunyai seorang istri dan ibuku menyuruhku agar menceraikannya”. Maka beliau berkata, “Aku mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Orang tua itu adalah sebaik- baik pintu Surga, Jika engkau sanggup, maka jangan kau sia- siakan pintu itu atau jagalah ia”.

Shahih, HR. at- Tirmidzi No. 1900, dan selainnya. Beliau mengatakan, “Hadits ini Hasan Shahih”.

Hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa seandainya orang tua kita menyuruh untuk menceraikan istri kita, maka wajid ditaati. (Lihat Nailul Authaar, VII/ 4).

Hal ini terjadi bukan hanya para zaman Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam saja tetapi juga pada zaman Nabi Ibrahim ‘alaihis Salaam. Ketika Nabii Ibrahim ‘alaihis Salaam berkunjung ke rumah anaknya, Isma’il ‘alaihis Salaam, dan anaknya saat itu tidak ada di tempat, lalu Nabii Ibrahim ‘Alaihis Salaam berkata kepada istri Isma’il ‘Alaihis Salaam,

“Sampaikan pada suamimu hendaklah dia mengganti palang pintu ini”.

Ketika Isma’il datang, istrinya mengatakan bahwa ada orang tua yang datang menyuruhnya mengganti palang pintu rumahnya. Isma’il kemudian mengatakan bahwa orang tua yang datang itu adalah ayahnya yang menyuruhnya untuk menceraikan istrinya”. (Shahih, HR. al- Bukhori, No. 3364).

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa jika orang tua kita menyuruh menceraikan istri, maka tidak harus ditaati. (Masaa-il Min Fiqhil Kitaab Was Sunnah, Hal. 96- 97).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh ketika ditanya tentang seseorang yang sudah memiliki istri dan anak, kemudian ibunya tidak suka kepada istrinya dan mengisyaratkan agar menceraikannya. Beliau rahimahulloh berkata,

“Dia tidak boleh menthalaq (menceraikan) istrinya karena mengikuti perintah ibunya. Menceraikan istri tidak termasuk berbakti kepada ibu”. (Majmuu’ Fatawaa, XXXIII/ 112).


Ada seseorang bertanya kepada Imam Ahmad Rahimahulloh, “Apakah boleh menceraikan istri karena kedua orang tua menyuruh untuk menceraikannya?” Dikatakan oleh Imam Ahmad,

“Engkau tidak boleh menthalaq (menceraikan)nya”. Orang tersebut bertanya lagi, “Tetapi, bukankah ‘Umar pernah menyuruh anaknya agar menceraikan istrinya?”. Imam Ahmad berkata, “Engkau boleh mentaati orang tuamu, jika bapakmu sama dengan ‘Umar karena ‘Umar memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu”. (Masaa-il Min Fiqhil Kitaab Was Sunnah, Hal. 97).



Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk menceraikan istri, sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu, para imam (a- Immah) sudah menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada zaman Imam Ahmad (abad ke 2H) dan zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (abad ke 7H) rahimahumulloh permasalahan ini sudah terjadi dan sudah dijelaskan bahwa TIDAK BOLEH TAAT KEPADA KEDUA ORANG TUA UNTUK MENCERAIKAN ISTRI KARENA HAWA NAFSU. Kecuali jika istri tidak taat pada suami, berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak mengurus anaknya, berjalan dengan laki- laki lain, tidak memakai jilbab (tabarruj), jarang sholat, dan suami sudah menasehati serta mengingatkan tetapi istri tetap saja nusyuz (durhaka), maka perintah untuk menceraikan istri wajib ditaati. Walloohu A’lam.

Sumber: ‘Birrul Walidain: Bab 10: Seandainya Orang Tua menyuruh bercerai. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Hal 99- 103. Pustaka at- Taqwa. Bogor.



Tidak boleh sesuatu yang dilarang itu LEBIH BESAR (dosanya) daripada keadaan darurat.

Hukum meminjam Uang dari bank Ribawi.
(Tanya Jawab bersama Syaikh Prof. Dr. Sulaiman ar- Ruhaily Hafidzohulloh).

Syaikh Sulaiman ar- Ruhaily hafidzohulloh pernah ditanya seputar fatwa yang beredar di Eropa, tentang bolehnya seseorang untuk meminjam uang dari Bank Ribawi, bila ia terdesak dalam menggunakannya, misalnya untuk memiliki tempat tinggal, dengan alasan bahwa tempat tinggal merupakan kebutuhan yang sangat mendesak (primer), dan mendekati keadaan darurat. Sedangkan kaidah berkata, “Keadaan darurat itu membolehkan hal- hal yang dilarang”.

Beliau menjawab:

Fatwa ini tidaklah benar, akan tetapi yang benar menurutku –Wallohu Ta’ala A’lamu- Bahwa Riba itu tidak bisa dibolehkan dengan alasan keadaan darurat. Karena di antara syarat darurat yang membolehkan hal- hal yang dilarang adalah tidak boleh sesuatu yang dilarang itu LEBIH BESAR (dosanya) daripada keadaan darurat.

Contoh: seandainya ada orang yang kelaparan dan tidak mendapati makanan, kemudian ia menjumpai jasad Nabi yang sudah meninggal, apakah boleh dia memakannya? Demikianlah para ulama membuat contoh untuk memperjelas masalah, meskipun terkadang contoh itu jauh dari kenyataan. Maka tidak boleh bagi orang yang kelaparan itu untuk memakan jasad Nabi, hal itu dikarenakan kehormatan Nabi lebih besar dan lebih mulia dari pada menjaga hidup orang yang kelaparan.

Dan dalam hal ini, riba pun demikian dengan beberapa alasan:

Alasan Pertama, Sesungguhnya Riba adalah dosa besar yang Alloh ta’ala dan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menyatakan perang terhadapnya, yang mana Alloh dan Rasul- Nya tidak pernah menyatakan perang terhadap suatu dosa secara bersamaan kecuali terhadap RIBA. Ya memang ada hadits yang menyatakan bahwa Alloh ta’ala mengumumkan perang terhadap dosa selain Riba yaitu hadits,

“Barangsiapa memusuhi wali- Ku, maka Aku menyatakan perang terhadapnya”


Tetapi hadits ini Alloh menyatakan perang terhadap orang yang memusuhi wali- Nya dengan Diri- Nya sendiri, tanpa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Berbeda dengan riba, yang di situ dinyatakan perang dari Alloh dan Rasul- Nya.

Ini merupakan ancaman besar bagi pelaku Riba, juga menunjukkan bahwa Riba tidak bisa dibolehkan dengan alasan darurat. Di antara hadits- hadits lain yang menunjukkan besarnya ancaman Riba adalah,

“Dirham yang dihasilkan dari Riba itu lebih besar dosanya di sisi Alloh daripada dosa tiga puluh enam (36) wanita pezina”. (al- Jami’ al- Kabir Lis Suyuthi 1/ 12433, al- Baihaqi dalam Su’abul Iman, 4/ 393).


Dalam riwayat yang lain,

“Dosa Riba yang paling ringan adalah seperti orang yang berzina dengan Ibunya di depan Ka’bah”.


Riwayat ini dikuatkan oleh syaikh al- Albani dan selainnya.

Dari sini bisa dipetik kesimpulan bahwa sebuah dosa yang sampai pada derajat ini tidak bisa dibolehkan dengan alasan darurat.

Alasan kedua, Sesungguhnya meminjam uang dari Bank Ribawi bukanlah satu- satunya solusi dari masalah ini. Karena seseorang bisa saja memiliki rumah dengan cara lain. Misalnya dengan cara menyewa, karena banyak kita jumpai hamba- hamba Alloh yang tidak memiliki rumah, tapi mereka bisa bertempat tinggal dengan cara mengontrak (sewa) dan mereka terhindar dari kesulitan.

Jadi pendapat yang rajih menurutku dalam masalah ini setelah saya teliti dan saya cermati, adalah bahwa: dalam Maasalah Riba, tidak ada dalil yang membolehkannya meskipun dalam kondisi darurat. Bahkan para ulama menetapkan bahwa syarat darurat yang membolehkan hal yang terlarang tidak terpenuhi dalam masalah ini., Wallohu A’lam.

Sumber: ‘Soal Jawab Bersama Syaikh Prof. Dr. Sulaiman ar- Ruhaily’. Majalah Dakwah adz- Dzakhiirah. Vol.8 No. 10 edisi 64. Th 1431H/ 2010. Hal. 5-6. STAI Ali bin Abi Thalib. Surabaya.



Selasa, 22 Februari 2011

Orang- orang yang dibolehkan Meminta- minta

Diriwayatkan dari Shahabat Qabishah bin Mukhariq al- Hilali Radhialloohu 'Anhu ia berkata, “Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta- minta itu tidak Halal, kecuali bagi salah satu dari tiga (3) orang, (1) Seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta- minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) Seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta- minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) Seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga (3) orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup’, ia boleh meminta- minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta- minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah Haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.


Shahih, HR. Muslim No. 1044, Abu Dawud No. 1640, Ahmad (III/ 477), V/ 60, an- Nasa-i (V/ 89- 90), ad- Darimi (I/ 396), Ibnu Khuzaimah (No. 2359, 2360, 2361, 2375), Ibnu Hibban (No. 3280, 3386, 3387- at- Ta’liqaatul Hisaan), dan Selainnya.


Fawaa-id Hadits:

1) Hadits ini menunjukkan bahwa meminta- minta adalah haram, tidak dihalalkan, kecuali untuk tiga orang, Seseorang yang menanggung hutang dari orang lain, baik karena menanggung diyat orang maupun untuk mendamaikan antara dua kelompok yang saling memerangi. Maka ia boleh meminta- minta meskipun ia orang kaya. Seseorang yang hartanya tertimpa musibah, atau tertimpa paceklik dan gagal panen secara total, maka ia boleh meminta- minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, Seseorang yang menyatakan bahwa dirinya ditimpa kemelaratan, maka apabila ada tiga orang yang berakal dari kaumnya memberi kesaksian atas itu, maka ia boleh meminta- minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.


2) Meminta- minta selain dari tiga hal tersebut adalah tidak dihalalkan. Berdasarkan hadits ini, sesungguhnya meminta- minta hukumnya haram, dan apa yang ia makan dari hasil meminta- minta itu adalah haram.


3) Tidak boleh memberikan zakat kepada orang kaya, kecuali orang tersebut memiliki tiga kriteria di atas.


4) Seorang imam (pemimpin) berkewajiban memberikan nasihat dan bimbingan kepada rakyat dan bawahannya, serta memerintahkan mereka untuk saling tolong- menolong dalam kebajikan dan ketakwaan serta memenuhi kebutuhan orang- orang yang membutuhkan. (Taudhiihul Ahkaam, III/ 427- 428) dan Bahjatun Naazhiriin, I/ 594- 595).


Di antara bentuk minta- minta yang dibolehkan adalah meminta derma atau sumbangan kepada orang- orang kaya untuk kepentingan kaum muslimin, bukan untuk kepentingan pribadi. Di antaranya untuk membangun pondok pesantren, membangun masjid atau musholla, panti- panti asuhan, sekolah- sekolah, madrasah- madrasah dan lainnya. Tetapi caranya bukan minta dipinggir- pinggir jalan, karena cara yang demikian tidak dibenarkan, tidak ada contoh dari shalafush Shalih memaksa- maksa orang untuk bersedekah. Sebenarnya cara- cara seperti ini membuat malu dan merusak nama baik agama Islam serta mengganggu jalan kaum muslimin. Dan terkadang ada yang mencari sumbangan dengan cara- cara yang diharamkan seperti dengan memainkan musik, konser amal, lagu, ikhtilath (campur baur laki- laki dan perempuan), tabarruj (membuka aurat), dan terkadang orang- orang yang meminta sumbangan tersebut tidak sholat.


Solusinya: mestinya orang- orang kaya tersebut didatangi, lalu mereka diminta untuk membantu baik dengan mewakafkan tanah dan membangun untuk satu masjid atau pondok pesantren atau dengan memberikan bantuan berupa uang tunai. Wallohu a’lam.


Sumber: Hukum Meminta- minta dan Mengemis dalam Syari’at Islam. Hal. 49- 52. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Selasa, 15 Februari 2011

Mengusapkan Telapak Tangan ke Wajah Seusai Sholat

Soal: Apakah disyari’atkan mengusapkan Telapak Tangan ke Wajah Seusai Berdo’a?

Jawab:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata,

Banyak hadits Shahih yang menceritakan bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengangkat tangannya saat berdo’a (Syarat& Ketentuan berlaku_red). Adapun mengenai mengusap wajah dengan telapak tangan seusai berdo’a hanya ada satu atau dua hadits yang lemah (dho’if) sehingga tidak bisa dijadikan hujjah”.
(Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 22/ 519).

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz Rahimahulloh berkata,

"Tidak ada satupun hadits yang shahih yang menerangkan tentang mengusap tangan ke wajah. Yang ada hanyalah beberapa hadits yang lemah. Oleh karena itu yang rajih (kuat) adalah agar seseorang itu tidak mengusapkan telapak tangannya ke wajah, hanya saja sebagian ulama mengatakan bahwa hal itu tidak mengapa karena hadits- hadits tersebut walaupun dho’if namun saling menguatkan, maka bisa terangkat menjadi hadits hasan lighoirihi, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani Rahimahulloh dalam Kitab Bulughul Maram bab terakhir. Kesimpulannya tidak ada satupun hadits shahih yang mensyari’atkan mengusap wajah selesai berdo’a. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak pernah melakukannya baik saat sholat istisqo’, juga tidak pada saat lainnya misalnya saat berada di bukit Shofa, Marwa, di Padang Arofah, Muzdalifah, melempar Jumroh. Maka lebih baiknya hal itu ditinggalkan”.
(Lihat Fatawa Islamiyyah, 4/ 184, Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baaz 11/ 184).

Hadits yang dimaksud di atas adalah apa yang disebutkan oleh al- Hafidz Ibnu Hajar al- ‘Asqalani Rahimahulloh dalam Bulughul Marom, No. 1466:

Dari ‘Umar Radhialloohu 'Anhu berkata, “Apabila Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengangkat tangannya saat berdo’a, maka beliau tidak menurunkannya sehingga mengusapkan pada wajahnya”. (HR. Abu Dawud, 1485, at- Tirmidzi: 3386, al- hakim: 1/ 719).

Hadits ini Dho’if sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh dalam Dho’if Sunan Abu Dawud, Hal. 112). Lihat Fiqh Ad’ iyah Wal Adzkar 2/ 195, dan Syaikh Abu Bakr Abu Zaid mempunyai sebuah risalah khusus mengenai hal ini dengan judul Juz Fii Mashil Wajh Bil Yadain Ba’da Rofihima Liddu’a. Wallohu A’lam.

Sumber: ‘Mengangkat Tangan Saat Berdo’a: antara Pembela dan Pencela”. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Majalah Al- Furqon Edisi 8/ tahun IV. Hal. 36.



Keutamaan Pemberi Tempo dan Pembebas Hutang.

Pemberi hutang hendaknya memaklumi, orang yang berutang ada yang kaya dan ada yang miskin. Orang miskin boleh jadi belum mampu membayar tepat waktu bahkan mungkin tidak bisa membayar karena kemiskinannya. Sebab itu, barangsiapa yang memberi kelonggaran kepada mereka atau membebaskannya, kelak Alloh Ta’ala akan menggantinya dengan yang lebih banyak dan dia mendapatkan kenikmatan di Akhirat. Di bawah ini adalah keutamaan bagi pemberi hutang yang memberi tempo –kepada yang belum mampu membayar- dan yang mampu membebaskannya,

1. Dijamin masuk Surga

Hudzaifah Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Malaikat mencabut ruh orang yang meninggal sebelum kalian, lalu mereka (Malaikat) menanya, “Apakah kamu tahu perbuatanmu yang baik?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tidak tahu”. Mereka berkata, “Ingat- ingatlah kebaikanmu!” Lalu dia menjawab, “Aku menghutangi orang lalu aku menyuruh budakku agar memberi tempo bagi orang yang belum mampu dan membebaskan sebagian hutang”. Maka Alloh berkata, “Bebaskan dia dari Neraka”.
(HR. Muslim: 2917).

2. Dosanya diampuni

Hadits dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Ada seorang pedagang yang (biasa) menghutangi orang. Jika orang (yang dihutangi) itu belum mampu membayar, dia berkata kepada budaknya, “Maafkan dia, semoga Alloh memaafkan kita”. Maka Alloh mengampuni dosanya”.
(HR. al- Bukhori: 1936).

3. Meraih Naungan dari Alloh pada hari Kiamat

Hadits dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memberi tempo kepada orang yang belum mampu membayar hutang atau dia membebaskannya, maka Alloh akan menaungi dia pada hari Kiamat di bawah naungan ‘Arys- Nya pada suatu hari yang tidak ada naungan kecuali naungan- Nya”.
(HR. at- Tirmidzi :1227, dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Silsilah ash- Shahiihah: 909).

4. Setiap hariya dicatat seperti orang yang Bersedekah.

Buraidah Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memberi tempo kepada orang yang belum mampu membayar hutang, maka dia setiap hari mendapatkan pahala seperti orang yang bersedekah semisal barang yang dihutang”.
(HR. Ahmad: 21968, dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahih at- Targhib: 1/ 221).

5. Berlipat ganda pahala Sedekahnya

Buraidah Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memberi tempo kepada orang yang belum mampu membayar hutang, maka dia dicatat setiap harinya seperti orang yang bersedekah sebesar barang yang dihutang sampai dibayar hutang itu. Jika tiba waktunya membayar pemberi hutang memberi tempo lagi maka setiap harinya ia sepeerti bersedekah dua kali dari harta yang dihutang”.
(Lihat Musykilul Atsar karya Imam ath- Thohawi Rahimahulloh, 8/ 304, dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh dalam Silsilah ash Shahiihah, 86).

Sumber: ‘Sudahkah Kau Bayar Hutangmu”. Ust. Aunur Rofiq bin Ghufron. Majalah Al- Furqon.07/th8/1430-2009/ hal. 12-13. Ma’had Al- Furqon. Gresik.



Seorang Mukmin tidak akan ditambah umurnya kecuali karena memilliki kebaikan

Orang tua yang mukmin memiliki kedudukan di sisi Alloh dan tidaklah ditambah umurnya melainkan karena dia memiliki kebaikan.


Sangat banyak hadits- hadits yang datang dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang menyatakan bahwa seorang mukmin tidak akan ditambah umurnya kecuali karena memiliki kebaikan, terlebih lagi seorang mukmin memiliki kedudukan yang khusus, ini terbukti dengan diampuninya kesalahan- kesalahannya, dan bisa memberikan syafa’at bagi keluarganya. Dalam hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Janganlah salah seorang dari kalian berangan- angan untuk mati dan janganlah dia berdo’a meminta kematian sebelum tiba kepadanya karena apabila seorang dari kalian telah mati maka terputuslah amalannya. Sesungguhnya umur seorang mukmin tidak menambahinya kecuali kebaikan”. (Shahih Muslim, Juz 8 Hal. 65).

Sebagaimana Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Maukah aku beritahukan kepada kalian orang- orang terbaik di antara kalian?” Mereka menjawab, “Ya, Wahai Rasululloh”. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkata, “Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling panjang umurnya apabila mereka di atas kebenaran”. (Musnad Abu Ya’la al- Mushlihi, Ahmad bin Ali at- Tamimi. Tahqiq Husain Asad, Daar al- Ma’mun Lit- Turots, Juz 6. Hal. 214. Al- Haitsami berkata dalam al- Majmu’ az- Zawaid, Juz. 10 hal. 206, “Sanadnya Hasan”).

Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu meriwayatkan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Orang- orang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling panjang umurnya dan baik amalannya”. (Al- Musnad, Juz 2, hal. 310).

Di dalam Al- Musnad, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak ada seorangpun yang lebih utama di sisi Alloh dari seorang mukmin yang berumur panjang di dalam Islam karena Tasbih, Takbir, dan Tahlil- nya”. (Al- Musnad, Juz.1 hal. 20, Pendahuluan hadits ini, “Sesungguhnya sekelompok orang dari Bani ‘Adzrah ...”).

Dan telah diriwayatkan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Kebaikan itu bersama dengan orang- orang tua kalian”. (Mukhtashar Zawaid Musnad al- Bazzar, Ibnu Hajar, Muassasah al- Kutub ats- Tsaqafiyah, 1412H, juz. 2 hal 188. Az- Zarqani berkata, “Shahih”. Lihatlah Mukhtashar al- Maqashid al- Hasanah, az- Zarqani. Tahqiq Muhammad ash- Shabbagh, al- Maktabah al- Islami, hal. 82 dan Syaikh al- Albani Rahimahulloh menyebutkannya di dalam Shahih al- Jaami’, No. 2881).


Imam Ahmad Rahimahulloh mengeluarkan di dalam Musnad nya dari Shahabat Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak ada orang yang berumur panjang di dalam Islam dengan umur empat puluh (40) tahun kecuali Alloh akan menjauhkan darinya tiga musibah, Gila, Kusta, dan Sopak. Apabila mencapai umur lima puluh tahun (50), Alloh akan memudahkan baginya Hisab. Apabila mencapai umur enam puluh (60) tahun, Alloh akan memberikan rezeki Taubat kepadanya dengan apa yang Alloh cintai. Apabila mencapai umur tujuh puluh tahun (70), Alloh akan mencintainya dan mencintainya pula penduduk langit. Apabila mencapai umur delapan puluh tahun (80), akan diterima kebaikan- kebaikannya dan dihapus kesalahan- kesalahannya. Apabila mencapai umur sembilan puluh tahun (90), Alloh akan mengampuni dosa yang telah lalu dari dosa- dosanya dan yang akan datang. Dia dinamakan Tawanan Alloh di Muka Bumi, dan dia bisa memberikan Syafa’at bagi anggota keluarganya”. (Al- Musnad, Juz 3 hal. 275, Lihat Musnad Abi Ya’la Al- Mushlihi, Juz 7 Hal. 241. Syaikh al- Albani Rahimahulloh menyebutkan hadits ini di dalam Dha’if al- jaami’ No. 4047. Dan Syaikh Ahmad Syakir telah membantah Ibnul Jauzi ketika memasukkan hadits ini ke dalam kitabnya, ‘Al- Maudhu’at” dan Syaikh Ahmad Syakir menguatkan hadits ini serta menyebutkan berbagai jalannya. Lihat Jami’ al- Ahaadiits al- Qudsiyah, ash- Shababithi, 1991M, Juz 3. Hal. 435).

Dan dari Abdulloh bin Busrin Radhialloohu 'Anhu berkata, “Dua orang Arab menemui Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan salah satunya bertanya kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, “Siapa manusia yang terbaik itu wahai Muhammad?. Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya..”. (Al- Musnad Juz 4, hal. 258, Syaikh al- Albani Rahimahulloh menyebutkan di dalam Shahih al- Jaami’, No. 329).

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu berkata, “Ada dua orang dari Bali –sebuah desa suku Qudha’ah- telah masuk Islam bersama Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Kemudian salah satu dari keduanya mati syahid sedangkan yang lainnya menyusul setelah satu tahun”. Thalhah bin Ubaidillah Radhialloohu 'Anhu berkata, “Aku (mimpi) melihat Surga dan aku melihat orang yang meninggal belakangan dari dua orang tersebut terlebih dahulu masuk Surga mendahului orang yang mati Syahid sehingga aku merasa heran. Keesokan harinya aku menanyakan hal itu kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maka Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Bukankah (orang yang terakhir meninggal) melaksanakan puasa Ramadhan sepeninggal orang yang mati Syahid, dia mengrjakan Sholat sebanyak enam ribu rokaat dan mengerjakan berbagai sholat selama setahun?!”. (Al- Musnad, Juz 2 hal. 439. Al- Haitsami berkata, “Sanadnya Hasan”. Majmu’ az- Zawaid: juz 10 hal. 207).

Dalam sebuah hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Alloh mencintai orang- orang yang berumur tujuh puluh (70) tahun dan malu terhadap orang- orang yang berumur delapan puluh tahun”.

Al- Munawi Rahimahullloh berkata, “Alloh berhubungan terhadap mereka dengan hubungan orang yang malu, sehingga tidak mengadzab mereka. Dan tidak dimaksudkan dengan ini hakekat malu yang berarti menahan diri dari kehinaan”. (At- taisir Bi Syarh al- Jami’ ash- Shaghir, Juz 1, hal. 272. Pensyarah kitab ini berkata, “Sanadnya Hasan:. Sedangkan Syaikh al- Albani Rahimahulloh menyebutkannya di dalam Dha’if Al- Jaami’, No. 1696. Wallohu A'lamu.

Sumber: ‘OLD is GOLD: Yang Tua yang Istimewa”. Abdulloh bin Nashir bin Abdulloh as- Sadhan. Hal 57- 60. Daar An Naba. Jakarta.



Mereka Beralasan dengan Takdir untuk Menganggap Baik Apa yang mereka Lakukan dari Kesyirikan.

Syubhat yang dilontarkan orang- orang Musyrik Quraisy dan selain mereka yang ada pada zaman ini, yaitu mereka beralasan dengan takdir untuk menganggap baik apa yang mereka lakukan dari Kesyirikan, Alloh Ta’ala berfirman,

“Orang- orang yang mempersekutukan Alloh akan mengatakan, “Jika Alloh menghendaki, niscaya kami dan bapak- bapak kami tidak mempersekutukan- Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatupun”. (QS. Al An’am: 148).

Alloh juga berfirman,

“Dan berkatalah orang- orang musyrik, “Jika Alloh menghendaki niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak- bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)- Nya”. (QS. An Nahl: 35).

Dan Alloh juga berfirman,

“Dan mereka berkata, “Jikalau Alloh Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (Malaikat)". (QS. Az- Zukhruf: 20).

Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahulloh berkata mengkomentari ayat pada surat Al- An’am tersebut,

“Ini adalah dialog yang disebutkan Alloh dan sebagai syubhat yang dijadikan tempat bergantung oleh kaum musyrikin untuk tetap melakukan kesyirikan dan mengharamkan apa yang mereka haramkan, Alloh akan menampakkan apa yang mereka lakukan, Alloh mampu untuk merubahnya dengan mengaruniakan kepada kita keimanan, dan memisahkan antara kita dan orang- orang kafir, dan kalaupun Alloh tidak merubahnya, hal ini sesuai dengan kehendak dan keinginan Alloh serta ridho- Nya kepada kita”.

Kemudian beliau melanjutkan,

“Hujjah yang dimiliki oleh orang- orang kafir sangatlah rapuh dan bathil karena kalau hujjah itu benar, niscaya Alloh tidak akan merasakan kepada mereka siksa yang pedih, dan tidak akan membinasakan mereka, dan tidak akan memenangkan Rasul- rasul- Nya yang mulia”.

(Katakan wahai Muhammad, “Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan) yang menyatakan Alloh itu ridho terhadap perbuatan kalian, dan apa saja yang kalian lakukan, (sehingga kelian dapat mengemukakannya kepada Kami?) yakni kalian sanggup untuk mengatakannya, dan menjelaskannya, (kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka) yakni anggapan dan khayalan, (dan kalian tidak lain hanya berdusta) berdusta atas Nama Alloh terhadap apa yang kalian meyakininya”. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz II, hal. 586- 587).

Ibnu Katsir juga mengomentari ayat pada surat An- Nahl tersebut sebagai berikut,

“Dan maksud yang terkandung dari ucapan mereka ini adalah kalau seandainya Alloh tidak suka terhadap apa yang kami lakukan, niscaya Alloh akan mengingkarinya dengan mendatangkan siksa kepada kami dan tidak justru memberi kesempatan kepada kami untuk melakukan perbuatan itu”. Alloh telah membantah syubhat semacam ini dengan firman- Nya,

“Maka tidaklah para Rasul itu kecuali orang- orang yang menyampaikan bukti dengan jelas”.

Firman- Nya,

“Sungguh Kami telah mengutus dalam setiap ummat seorang Rasul yang menyerukan hendaklah kalian menyembah Alloh dan menjauhi Thaghut, maka di antara ummat itu ada yang Alloh beri petunjuk dan ada di antara orang- orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang- orang yang mendustakan (Rasul- rasul)”. (QS. An- Nahl: 36).

Artinya: Perkaranya tidak seperti yang kalian sangka, yaitu Alloh tidak mengingkari kalian (mereka mengira Alloh tidak mengingkari kesyirikan dan mengharamkan yang mereka haramkan_red); bahkan Alloh telah mengingkari kalian dengan pengingkaran yang sangat keras, dan telah melarang kalian dengan tegas pula. Dan Alloh telah mengutus (pada setiap ummat) yakni pada setiap generasi dan kelompok manusia seorang Rasul, yang mana seluruhnya memerintahkan dan menyeru untuk menyembah kepada Alloh dan melarang beribadah kepada selain Alloh, mereka menyeru hendaklah kalian menyembah kepada Alloh, dan hendaklah kalian menjauhi thaghut.

Alloh Ta’ala terus mengutus para Rasul kepada manusia dengan membawa misi tersebut semenjak terjadinya kesyirikan di kalangan anak Adam ‘Alaihis Salam di masa Kaum Nuh ‘Alaihis Salam. Ketika Alloh mengutus Nabi Nuh ‘Alaihis Salam, dan dia (Nuh) adalah Rasul pertama yang Alloh bangkitkan untuk penduduk Bumi, hingga Alloh menutup para Rasul dengan mengutus Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang dakwah beliau telah diserukan kepada manusia dan jin, timur dan barat, sebagaimana firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyu kan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian”. (QS. Al- Anbiya: 25).

“Dan tanyakanlah kepada Rasul- rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, “Adakah Kami menentukan tuhan- tuhan untuk disembah Selain Alloh Yang Maha Pemurah..?” (QS. Az- Zukhruf: 45).

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap ummat (untuk menyeru), “Sembahlah Alloh (saja), dan menjauhi thaghut itu”. (QS. An- Nahl: 36).

Maka bagaimana bisa seorang musyrik –setelah adanya keterangan demikian- berkata, “Jika Alloh berkehendak, niscaya kami hanya menyembah- Nya”. Maka kehendak Alloh yang syar’iyah tidak ada pada mereka, sebab Alloh telah melarang mereka dari hal tersebut melalui lisan- lisan para Rasul- Nya. Adapun mereka seperti itu secara qodar, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Dia (Ibnu Katsir Rahimahulloh) berkata,


“Kemudian Alloh Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia mengingkari perbuatan mereka dengan ancaman hukuman di Dunia setelah adanya peringatan dari para Rasul”. (Selesai Ucapan Ibnu Katsir).

Maka mereka –dengan ucapan ini- tidak ingin mencari udzur terhadap perbuatan mereka yang jelek, sebab mereka tidak meyakini bahwa perbuatan mereka adalah jelek, bahkan mereka mengira bahwa perbuatannya adalah baik. Mereka menyembah berhala (dengan tujuan) agar mendekatkan diri mereka kepada Alloh. (Sebagaimana firman Alloh Ta’ala),

“Supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat- dekatnya”. (QS. Az- Zumar: 3).

Mereka tidak menginginkan kecuali beralasan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar disyari’atkan dan diridhoi oleh Alloh. Maka Alloh membantah mereka –bahwa kalau memang keadaannya demikian- tentu Alloh tidak mengutus para Rasul untuk mengingkarinya (mereka), dan tentu Alloh tidak menghukum mereka karena perbuatannya. Wallohu A’lamu.

Sumber: ‘Hakikat Tauhid dan Makna Laa Ilaaha Illallaah”. Hal. 54- 60. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al- Fauzan. Pustaka Haura’. Yogyakarta.

Rabu, 09 Februari 2011

Sebuah Kaidah Dalam Melangkah: Bertanya Kepada Ahlinya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin Rahimahulloh pernah bercerita (dalam Ceramahnya_red),

“Disebutkan dari seorang Ulama (Universitas) al- Azhar bahwa ia pernah berada di Eropa. Ketika sedang berada di sebuah restoran, di sisinya terdapat seorang Nasrani. Lalu orang Nasrani itu bertanya, “Sesungguhnya Al- Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu, lalu manakah penjelasan tentang tata cara pembuatan aneka ragam makanan seperti Sambosa, Daging, Mafrum, dan makanan- makanan sejenisnya..? Di manakah penjelasannya..?”

Aku (Syaikh Ibnu Utsaimin_red) bertanya kepada kalian wahai para penuntut ilmu (Syaikh mengarahkan pertanyaannya kepada para hadirin_red), “Apakah pengajaran tentang ini dalam Al- Qur’an, Jawabannya ‘Tidak?!’.

Ulama al- Azhar itu menjawab, “Ini ada dalam Al- Qur’an!”. Orang Nasrani itu menyanggah, “Tidak Ada!”. Lalu Ulama al- Azhar tersebut memanggil pemilik restoran itu, dan mengajukan pertanyaan kepadanya. Ia bertanya, “Bagaimana Engkau membuat Ini Semua..?”. Pemilik restoran menjawab, “Aku membuatnya dengan cara demikian, dan demikian.....”. Lalu dia pun menjelaskan tata Cara pembuatannya.


Ulama al- Azhar itu mengatakan, “Demikianlah keterangan yang ada dalam Al- Qur’an! Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“MAKA BERTANYALAH KEPADA ORANG YANG MEMPUNYAI PENGETAHUAN JIKA KAMU TIDAK MENGETAHUI”. (QS. An- Nahl: 43).

Ini adalah Sebuah Kaidah yang hendaknya kita berjalan di atasnya. Hendaklah kita menanyakan segala hal yang tidak kita ketahui kepada ahlinya.


Apabila aku mendapatkan suatu kesulitan dalam pelajaran Nahwu misalnya, apakah aku pergi kepada Ahli Hadits agar ia mengajariku Nahwu..? Jawabannya, “Tidak!”, akan tetapi aku pergi kepada Orang yang Ahli Nahwu. Apabila aku mendapatkan kesulitan dalam masalah hadits, maka aku pergi kepada Ahli Hadits. Hal ini ada dalam Al- Qur’an, yaitu bimbingan agar bertanya kepada orang yang memiliki Ilmu”.

(Washaya Wa Taujihat Lithullab al- ‘Ilm, dikumpulkan dan ditakhrij oleh Dr. Sulaiman bin Abdulloh Aba al- Khail, Jilid 1, hal. 150- 153, Cetakan 1, 1425H/ 2004M. Ceramah ini disampaikan oleh Syaikh al- Utsaimin di Asrama Mahasiswa Universitas Imam Ibn Su’ud, Cabang Qashim, Tanggal 25 Jumadil ‘Ula 1417H/1996M).


Sumber: 'Adz- Dzakiirah: Majalah Islamiyyah Manhajiyyah' Hal. 57- 58. Vol.8/No.7/edisi 61/1431H/ Abu Ashim Muhtar Arifin. STAI Ali Bin Abi Thalib, Surabaya.

Ancaman terhadap orang yang diundang Makan lalu menolak tanpa alasan, dan perintah memenuhi undangan serta tentang makanan dua orang yang berlomba.

2152-1: Shahih, Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwasanya ia pernah berkata,

“Seburuk- buruk makanan adalah makanan pesta pernikahan yang diundang kepadanya hanya orang- orang kaya, dan orang- orang miskin diabaikan. Dan barangsiapa yang tidak mendatangi undangan, maka sesungguhnya ia telah mendurhakai Alloh dan Rasul- Nya”.

Diriwayatkan oleh al- Bukhori, Muslim, Abu Dawud, an- Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan sanad Mauquf pada Abu Hurairoh.

Dan Diriwayatkan oleh Muslim juga dengan sanad Marfu’ kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Seburuk- buruk makanan adalah makanan pesta pernikahan, orang yang seharusnya datang (orang miskin) dicegah (tidak diundang), sedangkan orang yang enggan (orang kaya) diundang kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sesungguhnya ia telah mendurhakai Alloh dan Rasul- Nya”.



2153-2: Shahih, Dari Abdulloh bin Umar Radhialloohu 'Anhuma, bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda,

“Apabila salah seorang di antara kalian diundang kepada pesta pernikahan (walimah), maka hendaknya ia datang”.

Diriwayatkan oleh al- Bukhori, Muslim, dan Abu Dawud.



2154-3: Shahih, Dan darinya (Abdulloh bin Umar Radhialloohu 'Anhuma) ia menuturkan, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Apabila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, maka hendaknya ia memenuhinya, baik undangan pernikahan, ataupun yang semisalnya”.

Diriwayatkan oleh Muslim, dan Abu Dawud. Di dalam riwayat lain milik Muslim disebutkan,

“Apabila kalian diundang kepada (hidangan makan) betis sapi, maka penuhilah”.




2155-4: Shahih, Dari Jabir –yaitu bin Abdulloh Radhialloohu 'Anhuma, ia menuturkan, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Apabila salah seorang dari kalian diundang kepada suatu jamuan makanan, maka hendaklah ia memenuhi, kemudian jika ia mau, silahkan makan dan jika tidak, maka silahkan tidak makan”.

Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, an- Nasa’i, dan Ibnu Majah.


2156-5: Shahih, Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,



“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima, menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, memenuhi undangan, dan bertasymit kepada orang yang bersin”.


Diriwayatkan oleh al- Bukhori dan Muslim. Tasymit adalah mendo’akan kerahmatan dengan mengucapkan YARHAMUKALLOH (Semoga Alloh merahmatimu) kepada orang yang bersin, dan mengucapkan HAMDALAH, kemudian orang yang bersin tersebut berkewajiban membalas do’a itu dengan mengucapkan, YAHDIKUMULLOOHU WA YUSHLIHU BAA LAKUM (Semoga Alloh memberi hidayah kepadamu dan memperbaiki urusanmu).



2157-6: Shahih, Abu asy- Syaikh Ibnu Hayyan telah meriwayatkan di dalam Kitab at- Taubikh dan lainnya, dari Abu Ayyub al- Anshari, ia menuturkan, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda,


“Ada enam perkara yang wajib bagi muslim atas muslim lainnya, barangsiapa mengabaikan salah satu di antaranya maka sesungguhnya ia telah mengabaikan satu hak yang wajib, ia memenuhi undangannya apabila ia mengundangnya, apabila ia menjumpainya, ia memberi salam kepadanya, apabila ia bersin, maka ia bertasymit untuknya, apabila ia sakit, maka ia menjenguknya, [apabila ia mati, maka ia mengiringi jenazahnya]1, dan apabila ia dimintai nashihat, maka ia memberinya nashihat”.

1 Tidak termuat dalam naskah aslinya, dan juga dalam manuskripnya, Saya (Syaikh al- Albani Rahimahulloh_red) mengistadrak nya dalam al- Adab al Mufrad, karya al- Bukhori Rahimahulloh, No. 922, dan dalam al- Mu’jam al- Kabir karya ath- Thabrani Rahimahulloh , 4/ 215- 216, No. 4076. Hadits di atas mempunyai Syahid dari hadits Abu Hurairoh yang diriwayatkan secara marfu’ serupa sanadnya dengan yang diriwayatkan oleh Muslim, 7/ 3, dan selainnya.



2158-7: Shahih Lighairihi, Dari Ikrimah, ia menuturkan Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhuma pernah berkata,



“Sesungguhnya Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah melarang memakan makanan kedua orang yang berlomba”.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan ia berkata, “Kebanyakan orang yang meriwayatkannya dari Jarir tidak menyebutkan Ibnu Abbas di dalamnya”. Yang beliau maksud adalah bahwa kebanyakan para perawi meriwayatkannya dengan sanad Mursal.



Al- Hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani Rahimahulloh berkata, “Yang Shahih adalah bahwasanya ia dari Ikrimah, dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, Mursal”. Saya (Syaikh al- Albani Rahimahulloh_red) mengatakan akan tetapi ia mempunyai Syahid yang kuat, yang telah dimuat dalam ash- Shahiihah, No. 626, dari hadits Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu.



Sumber: ‘Shahih at- Targhiib Wa at- Tarhiib 4: Bab 8. Ancaman terhadap orang yang diundang Makan lalu menolak tanpa alasan, dan perintah memenuhi undangan serta tentang makanan dua orang yang berlomba.

Hal. 352- 356. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani. Pustaka Shahifa. Jakarta.



Keutamaan Pemberi Tempo dan Pembebas Hutang.

Pemberi hutang hendaknya memaklumi, orang yang berutang ada yang kaya dan ada yang miskin. Orang miskin boleh jadi belum mampu membayar tepat waktu bahkan mungkin tidak bisa membayar karena kemiskinannya. Sebab itu, barangsiapa yang memberi kelonggaran kepada mereka atau membebaskannya, kelak Alloh Ta’ala akan menggantinya dengan yang lebih banyak dan dia mendapatkan kenikmatan di Akhirat. Di bawah ini adalah keutamaan bagi pemberi hutang yang memberi tempo –kepada yang belum mampu membayar- dan yang mampu membebaskannya,

1. Dijamin masuk Surga

Hudzaifah Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Malaikat mencabut ruh orang yang meninggal sebelum kalian, lalu mereka (Malaikat) menanya, “Apakah kamu tahu perbuatanmu yang baik?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tidak tahu”. Mereka berkata, “Ingat- ingatlah kebaikanmu!” Lalu dia menjawab, “Aku menghutangi orang lalu aku menyuruh budakku agar memberi tempo bagi orang yang belum mampu dan membebaskan sebagian hutang”. Maka Alloh berkata, “Bebaskan dia dari Neraka”. (HR. Muslim: 2917).


2. Dosanya diampuni

Hadits dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Ada seorang pedagang yang (biasa) menghutangi orang. Jika orang (yang dihutangi) itu belum mampu membayar, dia berkata kepada budaknya, “Maafkan dia, semoga Alloh memaafkan kita”. Maka Alloh mengampuni dosanya”. (HR. al- Bukhori: 1936).



3. Meraih Naungan dari Alloh pada hari Kiamat

Hadits dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu, Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memberi tempo kepada orang yang belum mampu membayar hutang atau dia membebaskannya, maka Alloh akan menaungi dia pada hari Kiamat di bawah naungan ‘Arys- Nya pada suatu hari yang tidak ada naungan kecuali naungan- Nya”. (HR. at- Tirmidzi :1227, dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Silsilah ash- Shahiihah: 909).



4. Setiap hariya dicatat seperti orang yang Bersedekah.

Buraidah Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memberi tempo kepada orang yang belum mampu membayar hutang, maka dia setiap hari mendapatkan pahala seperti orang yang bersedekah semisal barang yang dihutang”. (HR. Ahmad: 21968, dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahih at- Targhib: 1/ 221).



5. Berlipat ganda pahala Sedekahnya



Buraidah Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memberi tempo kepada orang yang belum mampu membayar hutang, maka dia dicatat setiap harinya seperti orang yang bersedekah sebesar barang yang dihutang sampai dibayar hutang itu. Jika tiba waktunya membayar pemberi hutang memberi tempo lagi maka setiap harinya ia sepeerti bersedekah dua kali dari harta yang dihutang”. (Lihat Musykilul Atsar karya Imam ath- Thohawi Rahimahulloh, 8/ 304, dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh dalam Silsilah ash Shahiihah, 86).



Sumber: ‘Sudahkah Kau Bayar Hutangmu”. Ust. Aunur Rofiq bin Ghufron. Majalah Al- Furqon.07/th8/1430-2009/ hal. 12-13. Ma’had Al- Furqon. Gresik.