Sabtu, 11 Juni 2011

Kisah Abu Zur'ah Rahimahulloh [Menjelaskan Beberapa Hadits Para Perawi Dalam Keadaan Sakaratul Maut].

Abu Ja’far at- Tusturi Rahimahulloh menceritakan,

“Kami mendatangi Abu Zur’ah Rahimahulloh –Yakni ar- Razi- yang sedang dalam keadaan Sakaratul Maut. Dia didampingi oleh Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, al- Mundzir bin Syadzan, dan sekelompok ulama hadits lainnya. Mereka membicarakan hadits tentang Talqin dan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam

لقنوا مو تا كم لا إله إلا الله

“Bisikkanlah kepada orang yang menghadapi kematian di antara kalian, kalimat: ‘Laa Ilaaha Illallaah (Tiada Ilah (yang haq) Selain Alloh”.


Abu Ja’far Rahimahulloh meneruskan, “Mereka semua merasa malu kepada Abu Zur’ah , mereka takut kepadanya. Lalu mereka berkata, “Kesinilah, mari kita bicarakan hadits itu”.

Muhammad bin Muslim Rahimahulloh berkata, “Kami mendapatkan hadits ini dari adh- Dhahhak bin Makhlad, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih,..” Namun dia tidak bisa meneruskan perawinya selanjutnya.

Abu Hatim menceritakan bahwa dia mendapatkan riwayat hadits ini dari Bundar, dari Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih. Namun dia juga hanya sampai pada perawi ini. Adapun yang lainnya hanya terdiam.

Lalu Abu Zur’ah – yang sedang Naza’ (Sakaratul Maut)- berkata, “Kami mendapatkan riwayat ini dari Bundar, dari Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Shalih, dari Shalih bin Abu ‘Arib, dari Kutsair bin Murrah al- Hadhrami, dari Mu’adz bin Jabal yang berkata bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

من كان اخر كلا مه لا إله إلا الله دخل الجنة

“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah kalimat, “Laa ilaaha illallaah”, maka dia akan masuk Surga”.

Tidak lama kemudian Abu Zur’ah meninggal dunia. (Lihat Taqdimah al- Jarh Wa at- Ta’diil, Hal. 345; Ma’rifat ‘Ulum al- Hadits, Hal. 76, al- Irsyad li al- Khalily (II/ 677), Syu’b al- Iiman (VI/ 546), Tarikh Baghdad (X/ 335), Tarikh Madinat Dimsyiq (38/ 35).



Abu Hatim Rahimahulloh menambahkan kisah ini: ‘Rumah itu menjadi gaduh dengan tagisan orang yang hadir’.

Ibnu Abi Hatim memuat Kisah ini dalam sebuah bab, “Bab Maa Zahara Li Abi Zur’ah Min Sayyidi ‘Amalihi ‘Inda Wafatihi’ (Amal Mulia Abu Zur’ah yang tampak menjelang wafat beliau) juga menceritakan,

“Aku mendatangi ayahku Rahimahulloh yang sedang dalam keadaan Naza’, sedang aku tidak mengetahui hal tersebut. Aku bertanya kepada beliau mengenai ‘Uqbah bin Abdul Ghafir yang meriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, “Apakah dia memiliki derajat sebagai Shahabat?” Dengan menggelengkan kepala dan dengan suara lemah, ayahku menjawab, “Tidak”.

"Aku tidak bisa menangkap jawaban beliau, lalu aku pun berkata, “Apakah ayah paham maksudku?”, Ayah menjawab lagi, “Dia (‘Uqbah bin Abdul Ghafir) adalah seorang Tabi’in”.

"Amalan mulia ayahku adalah karena beliau mengetahui hadits, penukil atsar, dan beliau menyalin hadits sepanjang hidupnya, maka Alloh berkehendak menampakkan andil yang telah beliau lakukan semasa hidupnya ketika ajal itu tiba”. Wallohu a’lam. (Taqdimah al- Jarh Wa at- Ta’diil, Hal. 367, al- Jarh Wa at- Ta’diil (VI/ 313).

Sumber : “Menggali Harta Karun Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam: Menelusuri Jejak Ahli Hadits Dalam Mencari Hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”, Hal 23- 26. DR. Ali Bin ‘Abdulloh ash- Shayyah. Daar an- Naba. Solo.

Referensi : Al- Jarh Wa At- Ta’diil, Ibnu Abi Hatim ‘Abdurrahman bin Muhammad (Wafat 327H): Kaji Ulang: Abdurrahman al- Mu’allimi, cetakan pertama, 1371H, Majelis Dairah al- Ma’arif, India.

Tambahan:

Al- Jarh Wa at- Ta’diil adalah ilmu yang mempelajari tentang derajat keshahihan seorang perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, baik dari segi ittishal (Sambungnya satu perawi dengan perawi sebelumnya), sanad, dhabt (ketepatan), dan sebagainya.

Keutamaan Mempelajari dan Menyampaikan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Semoga Alloh memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan hadits dari kami, kemudian ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Banyak orang yang disampaikan hadits lebih faham daripada orang yang mendengarnya langsung”. (Shahih, HR. at- Tirmidzi (No. 2657), Ibnu Hibban (No. 74- 76/ Mawaarid), dan selainnya, dari Shahabat ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu. At- Tirmidzi berkata, Hadits ini ‘Hasan Shahiih’).


Sumber: “Kedudukan as- Sunnah dalam Syari’at Islam”, Hal. 17. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Referensi : Mawaariiduz Zam-aan ilaa Zawaa-idi Ibni Hibban (Wafat 356H), karya al- Hafizh Nuruddin ‘Ali bin Abu Bakar al- Haitsami (Wafat 807H), Tahqiq Muhammad ‘Abdurrazaq Hamzah, Cet. Darul Kutub ‘ilmiyyah, Beirut.

NB: Kisah di atas merupakan salah satu dari sekian banyak kedahsyatan kisah para Ahli Hadits dalam mencari dan meriwayatkan hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yg ada dalam buku tersebut. Buku ini bagus, literasi+ daftar pustaka nya sesuai Sunnah insya ALLOH. Semoga Bermanfaat.