Sabtu, 11 Desember 2010

Dalil- dalil Ijma’ Yang Memerintahkan untuk Mengikuti Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam


Kaum muslimin sejak masa Shahabat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan generasi- generasi yang sesudahnya sampai hari ini mereka selalu mengembalikan setiap persoalan agama kepada Al- Qur’an dan As- Sunnah, berpegang teguh dengannya dan menjaganya.

Di antara dalil- dalil yang menunjukkan bahwa para Shahabat dan Tabi’in ini berpegang teguh kepada As- Sunnah adalah sebagai berikut,

Pertama, tatkala Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu memegang tampuk khilafah, datang Fathimah binti Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menemuinya menanyakan sebagian warisan dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, kemudian Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu berkata kepadanya,

“Sesungguhnya aku mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya apabila Alloh memberi makan seorang Nabi kemudian ia diwafatkan, maka ia menjadikan warisan bagi orang yang sesudahnya’. Karena itu, aku memandang bagian itu harus dikembalikan kepada kaum Muslimin’. Fathimah Radhialloohu 'Anha berkata, “Engkau lebih mengetahui daripada aku tentang apa- apa yang telah engkau dengar dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”. (Shahih, HR. Ahmad, I/4, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menshahihkan hadits ini dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad, No. 14).

Dalam riwayat lain, Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang diamalkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, karena aku khawatir bila aku meninggalkan perintahnya aku akan tersesat”. (Shahih, HR. al- Bukhori, No. 3093).

Kedua, ‘Umar bin al- Khaththab Radhialloohu 'Anhu berdiri di hadapan Hajar Aswad seraya berkata,

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu, yang tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menciummu niscaya aku tidak akan menyentuh dan menciummu”. (Shahih, HR. al- Bukhori No. 1597, 1605, dan Muslim No. 1270).

Ketiga, ‘Ali bin Abi Thalib Radhialloohu 'Anhu berkata tentang berdirinya orang- orang ketika jenazah lewat,

“Aku pernah melihat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri, maka kami pun berdiri, dan ketika beliau duduk, kami pun duduk”. (Shahih, HR. Ahmad (No. 631, 1094, 1167), Tahqiq Ahmad Syakir, Muslim (No. 962 (84)), Ibnu Majah (No. 1544), dan ath- Thayalisy (I/ 127, No. 145).

Keempat, ada orang berkata kepada ‘Abdulloh bin ‘Umar, “Kami tidak mendapati dalam Al- Qur’an tentang cara Sholat Safar..?” Ibnu ‘Umar berkata,

“Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada kita dan tadinya kita tidak mengetahui sesuatu. Karena itu, kita berbuat (beramal) sebagaimana kita melihat apa yang Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam amalkan”.

Dalam riwayat yang lain ia berkata,

“Tadinya kita sesat, lalu Alloh menunjukkan kita dengan beliau, karena itu kita wajib mengikuti jejak beliau”. (Shahih, HR. Ahmad, II/ 66 dan 94, atau (No. 5333 dan 5683) tahqiq Ahmad Muhammad Syakir.

Kelima, datang seorang wanita kepada ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu ia berkata, “Aku diberi kabar bahwa engkau melarang wanita menyambung rambut?” ‘Abdulloh bin Mas’ud berkata, “Benar”. Wanita itu berkata, “Apakah larangan itu ada salam Kitabulloh, atau engkau dengar langsung dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam?” ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu menjawab, “Larangan itu ada dalam Kitabulloh dan sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam!”. Wanita tersebut berkata lagi, “Demi Alloh, aku telah membaca mush-haf Al- Qur’an dari awal hingga akhir tetapi aku tidak mendapatkan larangan itu”. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukankah ada di dalam ayat:

“..Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Alloh. Sungguh, Alloh sangat keras siksaan- Nya”. (QS. Al- Hasyr: 7).

Wanita itu menjawab, “Ya”. Selanjutnya Ibnu Mas’ud berkata,

“Sesungguhnya aku mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang (dalam lafazh lain: melaknat) mencabut bulu dahi, mengikir gigi, menyambung rambut, dan mencacah (mentato) kecuali karena sakit”. (Shahih, HR. al- Bukhori (No. 4886), Muslim (No. 2125 (120)), Ahmad (No. 3945), tahqiq Ahmad Syakir, Abu Dawud (No. 4169), Ibnu Baththah Fil Ibaanah (I/ 236 No. 68), dan al- Ajurri dalam asy- Syari’ah (I/ 420- 422) No. 103- 104, dan ini adalah lafazh Ahmad).

Masih banyak lagi contoh- contoh berpegangnya para Shahabat dan Tabi’in terhadap Sunnah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang kemudian diikuti oleh orang- orang sesudahnya. Mutharrif bin ‘Abdillah bin Syikhir (salah seorang dari kalangan Tabi’in) pernah ditanya oleh seseorang, “Jangan engkau sampaikan kepada kami melainkan dari Al- Qur’an saja”. Mutharrif berkata,

“Demi Alloh, kami tidak menghendaki ganti dari Al- Qur’an, tetapi kami ingin (menyampaikan) penjelasan dari orang yang lebih mengetahui tentang Al- Qur’an daripada kami, yaitu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”.(Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi, II/ 1193 No. 2349 oleh Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahulloh). Wallohu A'lamu.


Sumber: ‘Kedudukan As- Sunnah dalam Syari’at Islam’. Hal. 74- 80. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Sholat Dalam kendaraan.


Syaikh Muhammad bin Sholih al- Utsaimin Rahimahulloh berkata,

“Sholat di pesawat wajib dilakukan bila telah masuk waktunya. Tetapi jika kesulitan melakukan sholat di pesawat sebagaimana sholat di Bumi, maka tidak usah melakukan sholat fardhu kecuali jika pesawat telah mendarat, dan waktu sholat masih mencukupi. Atau jika waktu sholat berikutnya masih bisa ditemui untuk melakukan jamak”.


Misalnya, jika anda tinggal landas dari Jeddah sebelum matahari terbenam, lalu saat di udara matahari telah terbenam, maka anda tidak usah sholat maghrib sampai pesawat mendarat di bandara, dan anda turun padanya. Jika anda khawatir waktunya habis maka niatkanlah untuk melakukan Jama’ Ta’khir lalu melakukan Jama’ setelah turun. Jika anda khawatir waktu Isya’ akan habis sebelum mendarat, sedang waktu isya’ yakni sampai pertengahan malam maka hendaklah ia sholat maghrib dan Isya’ di pesawat sebelum waktunya habis.

Tata cara sholat di pesawat yaitu hendaknya orang itu berdiri menghadap kiblat lalu bertakbir, membaca al- Fatihah dan sebelumnya membaca do’a iftitah, sedang sesudahnya membaca surat Al- Qur’an, lalu ruku’, lalu bangkit dari ruku’, lalu bersujud. Bila tidak bisa bersujud cukup dengan duduk seraya menundukkan kepala sebagai pengganti sujud, begitulah yang harus ia perbuat sampai akhir dan kesemuanya menghadap kiblat.

Untuk Sholat Sunnah dalam pesawat maka ia Sholat dengan duduk di atas kursinya, dan menganggukkan kepala dalam ruku’ dan sujud dengan anggukan sujudnya lebih rendah”. (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Sholih al- Utsaimin Rahimahulloh, Bab Ibadah, Hal. 412, Pustaka Arofah).

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz Rahimahulloh berkata,

“Yang wajib bagi seorang muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu sholat, hendaknya ia melaksanakannya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku’ dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu maka hendaknya ia melakukan sambil duduk, mengisyaratkan ruku’ dan sujud (dengan membungkukkan badan).

Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk sholat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya, maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Maka bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu”. (QS. At- Taghobun [64]: 16).

Dan Sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Sholatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu maka dengan terbaring”. (Diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam Shahih- nya, 1/ 376).

Dan Diriwayatkan pula oleh imam an- Nasa’i dengan sanad yang Shahih, dengan tambahan,

“Jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring terlentang”.

Yang lebih utama baginya adalah sholat di awal waktu. Tapi jika ia menundanya hingga akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah landing (mendarat) maka itu pun boleh. Berdasarkan keumuman dalil- dalil yang ada. Demikian juga hukumnya di Mobil, Kereta, dan Kapal Laut”. (Fatawa Muhimah Tata’allaqu Bish Sholah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh Bin Baaz Rahimahulloh. hal. 40- 41).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Dibolehkan sholat fardhu di perahu, demikian juga di pesawat. Dibolehkan dholat di dalam pesawat dan perahu dengan duduk jika takut terjatuh”. (‘Talkhis Sifat Sholat Nabi’ oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh, Hal. 8).

Sumber: ‘Sudah Benarkah Sholat Kita: Sholat Dalam Kendaraan”. Hal. 73- 74. Arif Fathul Ulum Bin Ahmad Saifulloh. Majelis Ilmu Publisher. Gresik.

Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.

Hadits Yang Terlihat Bertentangan dengan Al- Qur’an.

Soal: Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya orang yang mati itu diadzab karena tangisan keluarganya”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (al- Jana’iz/ 1290/ Fath), dan Muslim (al- Jana’iz/ 927/ Abdul Baqi).

Bagaimana memadukan hadits ini dengan firman- Nya,

“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain”. (QS. Al- Isra: 15)...?

Jawab: Ayat yang mulia ini meskipun kenyataan memang seperti itu, hanya saja itu bukanlah ketentuan yang bersifat umum atau hukum yang bersifat mutlak, karena disebutkan juga dalam Al- Qur’an:

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang- orang yang zhalim saja di antara kamu”. (QS. Al- Anfal: 25).

Dan disebutkan dalam hadits:

“Wahai Rasululloh, apakah kita akan dibinasakan, sedangkan di antara kita masih banyak orang Shalih..?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Ya, jika keburukan sudah merajalela”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhori (Ahadits al- Anbiya’ /3346/ Fath), dan Muslim (al- Fitan/ 2880/ Abdul Baqi)).

Jika keburukan sudah merajalela –dan itu sudah terjadi di zaman kita- maka orang- orang shalih akan binasa bersamaan dengan binasanya orang- orang yang berbuat kerusakan. Kelak mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niatnya masing- masing. Dan Alloh akan menghisab amal- amal mereka. Adzab ditimpakan atas orang- orang musyrik, sedangkan di tengah- tengah mereka terdapat anak- anak yang tidak berdosa, tapi ikut binasa bersama dengan orang tua mereka yang musyrik. Demikian pula binatang melata ikut binasa, bersamaan dengan dibinasakannya manusia durjana. Ini semua dalam kategori firman Alloh,

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang- orang yang zhalim saja di antara kamu”. (QS. Al- Anfal: 25).

Hadits yang sedang kita bicarakan, “Sesungguhnya mayit itu diadzab karena tangisan keluarganya”. Maknanya sebagai berikut, kata “Mayit” ditafsirkan sebagai orang kafir, seperti pada firman- Nya,

“Dan kamu sekali- kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar”. (QS. Fathir: 22).

Orang- orang yang hidup adalah orang- orang yang beriman, dan orang- orang yang mati adalah orang- orang kafir, artinya, orang kafir itu diadzab karena kekafirannya, dan terkadang ditambah adzabnya karena tangisan keluarganya, karena mereka tidak memiliki keimanan yang dapat menghalanginya dari tangisan itu, seperti dikatakan dalam hadits,

“Ada dua perkara di tengah umatku yang termasuk kekufuran, yaitu MENCELA NASAB, dan MERATAPI MAYAT”. (Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim (al- Iman/ 67/ Abdul Baqi’).

Demikianlah keadaan kaum kafir dan kaum jahiliyyah, seperti sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Bukan golongan kami orang yang menampari pipinya, merobek sakunya dan memanggil dengan panggilan jahiliyyah”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (al- Jana’iz/1294/Fath), dan Muslim (al- Iman/ 927/ Abdul Baqi’).

Adapun kata ‘Mayyit) secara umum, maka ia mencakup Muslim dan kafir. Jika yang dimaksud dengan kata itu adalah seorang Muslim, artinya adalah orang muslim yang mati dan ia ridho dengan tangisan keluarganya, atau ia memerintahkannya dan mewasiatkannya, seperti dilakukan orang- orang jahil sampai zaman kita sekarang ini. Ia mewasiatkan agar diadakan ratapan yang besar sehingga orang- orang mengetahui kedudukannya setelah kematiannya, dan agar diselenggarakan begini dan begitu saat kematiannya. Ini tanpa diragukan lagi bahwa ia akan disiksa atas perbuatannya ini dan keridhoannya terhadap tangisan keluarganya serta mewasiatkan hal itu kepada mereka.



Sedangkan seorang Muslim yang tidak ridho akan hal ini dan tidak memerintahkannya, bahkan ia memperingatkan dan melarangnya, serta ia menulis dalam wasiatnya bahwa ia berlepas diri dari hal itu, maka orang ini tidak termasuk dalam hadits tersebut. Walaupun termasuk juga, maka itu hanya dari satu sisi saja, yaitu adzab maknawi atau terganggu, seperti perkataan seseorang kepada orang lain, “Tangisanmu menggangguku”. Atau “Tangisanmu menyiksaku”, seperti dikatakan seorang ibu kepada anaknya, ketika seorang anak menangis terus sementara sang ibu tidak mengerti karena apa anaknya menangis, akibatnya ia merasa tersiksa karena derita anaknya, dan ia menangis karena tangisan anaknya.

Ini kemungkinan yang terlalu jauh. Karena hadits ini (hadits di atas_ Red) mengenai orang yang meridhoi tangisan itu, demikian pula ini berlaku untuk orang- orang yang kafir, seperti dipahami oleh ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha. Ketika mendengarnya dari ‘Abdulloh bin Umar Radhialloohu 'Anhuma, ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha berkata,

“Semoga Alloh mengampuni Abu Abdirrahman, ia tidak berbohong, tapi ia lupa atau keliru. Yang benar bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita Yahudi yang sudah mati sedang ditangisi keluarganya, maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian menangisinya, padahal ia akan diadzab di kuburnya”. Wallohu a’lamu.


Sumber: “Hadits Shahih yang Disalahpahami”. Hal.180- 182. Prof. Dr. Umar bin ‘Abdul Azizi Quraisyi. Pustaka at- Tazkia. Jakarta.

Beberapa Kaidah Penting Bagi Pelaku Bisnis

Ada dua (2) kaidah yang sangat penting untuk bisa memahami hampir seluruh permasalahan yang berhubungan dengan hukum Islam, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim al- Jauziyyah Rahimahulloh,

“Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram, kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu’amalah adalah halal kecuali kalau ada dalil yang melarangnya”. (Lihat ‘I’lamul Muwaqqi’in, 1/ 344).

Dalil ibadah adalah sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mengamalkan sesuatu yang tidak ada contohnya dari kami, maka akan tertolak”. (HR. Muslim).

Adapun dalil masalah mu’amalah adalah firman Alloh ta’ala,

“Dia lah Alloh yang telah menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu”. (QS. Al- Baqoroh: 29). (Lihat Ilmu Ushul al- Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan al- Halabi, Al- Qowa’id al- Fiqhiyah, oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as- Sa’di Rahimahulloh, hal. 58).

Oleh karena itu, apapun nama dan model bisnis tersebut, pada dasarnya dihukumi halal selagi dilakukan atas dasar suka rela dan tidak mengandung unsur keharaman. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala,

“Dan Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al- Baqoroh: 275).

Juga firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Wahai orang- orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu”. (QS. An- Nisaa’: 29).

Adapun hal- hal yang bisa membuat sebuah transaksi bisnis menjadi haram adalah,

(1) Riba

Dari ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Riba itu memiliki tujuh puluh tiga (73) pintu, yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri”. (HR. Ahmad, 15/ 69/ 230, Lihat Shahiihul Jaami’, no. 3375).

(2) Gharah (adanya spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas).

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang jual beli Gharar”. (HR. Muslim, No. 1513).

(3) Penipuan

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu, maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim, 1/ 99/ 102, Abu Dawud No. 3455, Ibnu Majah, No. 2224).

(4) Perjudian atau Adu Nasib

Firman Alloh Ta’ala,

“Hai orang- orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithon, maka jauhilah”. (QS. Al- Maidah: 90).

(5) Kezhaliman

Sebagaimana firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Wahai orang- orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil”. (QS. An- Nisaa’: 29).

(6) Yang dijual adalah barang yang haram

Dari Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Alloh apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud, No. 3477, al- Baihaqi 6/ 13 dengan sanad yang Shahih).

(Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Zaadul Ma’ad oleh Imam Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, 5/ 746, Taudhihul Ahkam oleh Syaikh Abdulloh Alu Bassam, 2/ 233, Ar Raudlah an- Nadiyah, 2/ 345, dan Al- Wajiz oleh Syaikh Abdul Adlim al- Badawi, Hal. 332).

Sumber: ‘Pengusaha Muslim: Sukses Dunia Akhirat”. Edisi VIII/ Volume 1/ 15-08-2010/Hal. 68- 69. Ust. Ahmad Sabiq Abu Yusuf.



Membacakan Ayat Al- Qur’an Atas Air Zamzam (Bolehkah?)

Diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau minum air Zamzam, membawanya dan menganjurkan untuk meminumnya. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Air Zamzam berkhasiat untuk tujuan meminumnya”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan No. 3062, dan Ahmad dalam Musnad nya, No. 3/ 357).

Catatan: Saya (Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz_penulis. Red) telah mendengar Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahulloh berkata tentang hadits, “Air Zamzam berkhasiat untuk tujuan meminumnya”. Dalam acara ‘Nur Alad Darbi pada hari Jum’at Tanggal 24/2/1420H, beliau berkata “terdapat kelemahan dalam sanad hadits ini”.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhuma, bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mendatangi tempat air, dan minta minum darinya. Al- Abbas berkata,

“Wahai Fadhl, pergilah ke ibumu dan ambilkan air minum untuk Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”. Rasululloh berkata, “Berilah aku minum”. Ibnu Abbas berkata, “Wahai Rasululloh, orang- orang telah memasukkan tangan- tangan mereka ke dalam air ini”. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Berilah aku minum”. Maka beliau pun meminum dari air itu. Kemudian beliau mendatangi Zamzam sementara orang- orang sedang memberi minum dan melakukan sesuatu di dalamnya. Beliau bersabda, “Lakukanlah karena kalian berada di atas suatu perbuatan yang baik”. Kemudian beliau meneruskan, “Kalaulah tidak kalian dahului, niscaya aku akan turun dengan mengenakan ikatan”. Maksudnya ikatan di kepalanya, beliau menunjuk kepada kepalanya. (Diriwayatkan oleh al- Bukhori, No. 1635 dalam Kitab al- Hajj, Bab “Memberi Minum Orang yang Berhaji”).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhuma, bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Air Zamzam berkhasiat untuk tujuan meminumnya. Jika engkau meminumnya untuk tujuan meminta kesembuhan, maka Alloh akan menyembuhkanmu. Jika engkau meminumnya agar kenyang, maka Alloh akan mengenyangkanmu. Jika engkau meminumnya untuk menghilangkan kehausanmu, maka Alloh akan menghilangkan hausmu. Zamzam adalah galian Jibril dan minuman Isma’il”. (Diriwayatkan oleh al- Hakim 1/ 473, dan ad- Daruquthni, 2/ 279).

Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha bahwasanya beliau membawa air Zamzam dan mengatakan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah membawanya. (Diriwayatkan oleh at- Tirmidzi No. 963, dan ia berkata, Hadits ini Shahih Gharib, tidak diketahui selain dari jalur ini. Syaikh al- Albani Rahimahulloh menshahihkannya dalam Kitab as- Silsilaatush Shahiihah, No. 883).

Dan masih banyak lagi hadits- hadits tentang fadhilah air Zamzam dan kekhususannya. Hadits- hadits ini meski sebagian ada beberapa catatan atasnya, tapi sebagian ulama menshahihkannya dan dilakukan oleh para Shahabat, dan perbuatan ini terus dilakukan hingga saat ini. Hal ini dikuatkan oleh hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda tentang air Zamzam,

“Sesungguhnya ia membawa keberkahan dan makanan yang mengenyangkan”.

Abu Dawud meneruskan dengan sanad yang shahih,

“Dan penyembuh penyakit”.

Tetapi tidak ada riwayat dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau membacakan ayat Al- Qur’an atas air Zamzam untuk kemudian diminumkan kepada salah seorang dari shahabatnya, atau mengusapkannya untuk suatu tujuan atau untuk meringankan suatu penyakit, meskipun keberkahan Zamzam sedemikian tinggi, manfaatnya yang nyata dan keinginan beliau yang kuat untuk memberikan kebaikan utnuk umatnya. Padahal beliau sempat merasa sayang untuk meninggalkan Zamzam sebelum hijrah, dan dalam umrahnya berkali- kali serta haji yang dilakukan beliau setelah hijrah. Meski demikian tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menyuruh para shahabatnya untuk membacakan sesuatu atas air Zamzam untuk penyembuhan sebagaimana air- air yang lain padahal hal tersebut lebih pantas untuk dilakukan atas air Zamzam dikarenakan adanya keberkahan dan penyembuhan padanya, berdasarkan hadits- hadits yang telah disebutkan di atas. (Fatwa Lajnah Da’imah, No. 1515).

Sumber: “Penyimpangan Terhadap Al Qur’an/ Bida’un Naas Fiil Qur’an (Kumpulan Fatwa:Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da’imah Lil Buhuts al- ‘Ilmiyah”. Hal. 89- 92. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Pustaka Darul Haq. Jakarta.

Suara Wanita Di Dalam Ibadah

Adakah Adzan Bagi Wanita..?

Kaum wanita tidak ada kewajiban adzan dan iqomat, bahkan haram bagi mereka mengeraskan suara lalu didengar oleh kaum pria karena hal itu menimbulkan fitnah. Hanya, boleh baginya untuk adzan atau iqomat apabila untuk diri sendiri atau jama’ah khusus wanita saja. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/ 302, oleh Syaikh Musthofa al- ‘Adawi. Lihat pula buku, ‘Fiqih Adzan dan Iqomat’, karya Ust. Abu Ubaidah Yusuf as- Sidawi, Darul Ilmi).

Menegur Imam yang Lupa

Apabila wanita sholat berjama’ah di masjid, lalu imam lupa, maka bagi kaum wanita cukup mengingatkannya dengan menepuk punggung tangan kirinya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ahmad, Imam asy- Syafi’i, dan al- Auza’i (at- Tahmid 7/ 436 oleh Ibnu Abdil Barr, al- Mughni 1/ 267, oleh Ibnu Qudamah Rahimahulloh) berdasarkan hadits yang berbunyi,

“Apabila kalian mengalami sesuatu dalam sholat kalian, maka hendaklah kaum lelaki mengucapkan ‘Subhanalloh’ dan kaum wanita menepuk tangannya”. (HR. Bukhori, No. 7190, dan Muslim, No. 421).

Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan,

"Sebagian Ahli Ilmu mengatakan, ‘Alasan dibencinya mengucapkan ‘Subhanalloh’ bagi kaum wanita dan mereka hanya diperbolehkan menepuk tangan karena suara wanita itu umumnya lembut, dan ditakutkan mengganggu pikiran jama’ah sholat”. (at- Tahmid, 7/ 437).

Talbiyah ketika Umroh dan Haji

Wanita ketika umroh tetap diperintahkan bertalbiyah. Cara bertalbiyahnya tidak dengan suara keras, cukup didengar oleh dirinya sendiri. Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Jibril datang menemuiku, dan dia memerintahkan agar aku memerintahkan para shahabatku mengeraskan suara ketika bertalbiyah”. (HR. Abu Dawud, No. 1814, Syaikh al- Albani Rahimahulloh menyatakan hadits ini Shahih dalam Kitab al- Misykah, No. 2549).

Perintah mengeraskan suara saat talbiyah dalam hadits ini khusus untuk laki- laki, karena kalimatnya adalah ‘Ashhabi’, maksudnya adalah para shahabat laki- laki. Imam Syaukani Rahimahullloh berkata,

“Wanita tidak mengeraskan suara ketika bertalbiyah, tetapi cukup bertalbiyah dengan suara yang didengar dirinya sendiri”. (Lihat Nailul Author, 4/ 323).

Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahulloh berkata,

“Ulama telah sepakat bahwasanya yang sunnah bagi wanita adalah tidak mengeraskan suara ketika bertalbiyah, tetapi cukuplah ia bertalbiyah dengan suara yang terdengar oleh dirinya sendiri”. (al- Istidzkar, 11/ 122, al- Iqna’ Fi Masa’il al- Ijma’, 1/ 255).

Suara Wanita bukan Aurat

Suara wanita bukan aurat. Namun karena suara wanita bisa mengundang fitnah bagi orang lain, dan membahayakan dirinya maka syari’at Islam mengaturnya dengan aturan yang rapi dan Indah.

Ummu Athiyyah Radhialloohu 'Anha berkata,

“Kami membai’at Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu beliau membaca ayat, “Mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Alloh”. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang kami berbuat Niyahah (meratapi orang mati_ red), lalu ada seorang wanita di antara kami yang memgang tangannya seraya berkata, “Fulanah telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas budi baiknya”. Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menjawab sedikitpun, lalu wanita tersebut pergi dan kembali...”. (HR. al- Bukhori, No. 6989).

Al- Hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani Rahimahulloh berkata,

“Hadits ini menunjukkan suara wanita yang bukan mahrom boleh didengar, dan suaranya bukan aurat”. (Fat- hul Baari, 13/ 203).

Inilah pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa suara wanita bukan aurat. Boleh wanita berbicara kepada laki- laki yang bukan mahromnya untuk suatu keperluan. Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulama. Para ulama Syafi’iyyah berkata, “Suara wanita bukan aurat”. (Mughnil Muhtaj, 3/ 129). Demikian pula ulama madzhab Hanbali mengatakan, “Suara wanita yang bukan mahrom bukanlah aurat”. Para Ulama Mallikiyyah mengatakan, “Suara wanita bukan aurat”. (Hasyiyah ad- Dasuqi, 1/ 195), Para Ulama Hanafiyyah mengatakan, “Suara wanita bukan aurat menurut pendapat yang terkuat”. (Raddul Mukhtar, 1/ 405).

Sumber: ‘Ketika Wanita ingin Berbicara’. Abu Anisah bin Lukman al- Atsari. Majalah Al- Furqon Edisi 107. Edisi 4/th 10/1431H/ Hal. 74-76.