Sabtu, 11 Desember 2010

Dalil- dalil Ijma’ Yang Memerintahkan untuk Mengikuti Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam


Kaum muslimin sejak masa Shahabat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan generasi- generasi yang sesudahnya sampai hari ini mereka selalu mengembalikan setiap persoalan agama kepada Al- Qur’an dan As- Sunnah, berpegang teguh dengannya dan menjaganya.

Di antara dalil- dalil yang menunjukkan bahwa para Shahabat dan Tabi’in ini berpegang teguh kepada As- Sunnah adalah sebagai berikut,

Pertama, tatkala Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu memegang tampuk khilafah, datang Fathimah binti Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menemuinya menanyakan sebagian warisan dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, kemudian Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu berkata kepadanya,

“Sesungguhnya aku mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya apabila Alloh memberi makan seorang Nabi kemudian ia diwafatkan, maka ia menjadikan warisan bagi orang yang sesudahnya’. Karena itu, aku memandang bagian itu harus dikembalikan kepada kaum Muslimin’. Fathimah Radhialloohu 'Anha berkata, “Engkau lebih mengetahui daripada aku tentang apa- apa yang telah engkau dengar dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”. (Shahih, HR. Ahmad, I/4, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menshahihkan hadits ini dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad, No. 14).

Dalam riwayat lain, Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang diamalkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, karena aku khawatir bila aku meninggalkan perintahnya aku akan tersesat”. (Shahih, HR. al- Bukhori, No. 3093).

Kedua, ‘Umar bin al- Khaththab Radhialloohu 'Anhu berdiri di hadapan Hajar Aswad seraya berkata,

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu, yang tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menciummu niscaya aku tidak akan menyentuh dan menciummu”. (Shahih, HR. al- Bukhori No. 1597, 1605, dan Muslim No. 1270).

Ketiga, ‘Ali bin Abi Thalib Radhialloohu 'Anhu berkata tentang berdirinya orang- orang ketika jenazah lewat,

“Aku pernah melihat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri, maka kami pun berdiri, dan ketika beliau duduk, kami pun duduk”. (Shahih, HR. Ahmad (No. 631, 1094, 1167), Tahqiq Ahmad Syakir, Muslim (No. 962 (84)), Ibnu Majah (No. 1544), dan ath- Thayalisy (I/ 127, No. 145).

Keempat, ada orang berkata kepada ‘Abdulloh bin ‘Umar, “Kami tidak mendapati dalam Al- Qur’an tentang cara Sholat Safar..?” Ibnu ‘Umar berkata,

“Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada kita dan tadinya kita tidak mengetahui sesuatu. Karena itu, kita berbuat (beramal) sebagaimana kita melihat apa yang Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam amalkan”.

Dalam riwayat yang lain ia berkata,

“Tadinya kita sesat, lalu Alloh menunjukkan kita dengan beliau, karena itu kita wajib mengikuti jejak beliau”. (Shahih, HR. Ahmad, II/ 66 dan 94, atau (No. 5333 dan 5683) tahqiq Ahmad Muhammad Syakir.

Kelima, datang seorang wanita kepada ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu ia berkata, “Aku diberi kabar bahwa engkau melarang wanita menyambung rambut?” ‘Abdulloh bin Mas’ud berkata, “Benar”. Wanita itu berkata, “Apakah larangan itu ada salam Kitabulloh, atau engkau dengar langsung dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam?” ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu menjawab, “Larangan itu ada dalam Kitabulloh dan sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam!”. Wanita tersebut berkata lagi, “Demi Alloh, aku telah membaca mush-haf Al- Qur’an dari awal hingga akhir tetapi aku tidak mendapatkan larangan itu”. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukankah ada di dalam ayat:

“..Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Alloh. Sungguh, Alloh sangat keras siksaan- Nya”. (QS. Al- Hasyr: 7).

Wanita itu menjawab, “Ya”. Selanjutnya Ibnu Mas’ud berkata,

“Sesungguhnya aku mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang (dalam lafazh lain: melaknat) mencabut bulu dahi, mengikir gigi, menyambung rambut, dan mencacah (mentato) kecuali karena sakit”. (Shahih, HR. al- Bukhori (No. 4886), Muslim (No. 2125 (120)), Ahmad (No. 3945), tahqiq Ahmad Syakir, Abu Dawud (No. 4169), Ibnu Baththah Fil Ibaanah (I/ 236 No. 68), dan al- Ajurri dalam asy- Syari’ah (I/ 420- 422) No. 103- 104, dan ini adalah lafazh Ahmad).

Masih banyak lagi contoh- contoh berpegangnya para Shahabat dan Tabi’in terhadap Sunnah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang kemudian diikuti oleh orang- orang sesudahnya. Mutharrif bin ‘Abdillah bin Syikhir (salah seorang dari kalangan Tabi’in) pernah ditanya oleh seseorang, “Jangan engkau sampaikan kepada kami melainkan dari Al- Qur’an saja”. Mutharrif berkata,

“Demi Alloh, kami tidak menghendaki ganti dari Al- Qur’an, tetapi kami ingin (menyampaikan) penjelasan dari orang yang lebih mengetahui tentang Al- Qur’an daripada kami, yaitu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”.(Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi, II/ 1193 No. 2349 oleh Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahulloh). Wallohu A'lamu.


Sumber: ‘Kedudukan As- Sunnah dalam Syari’at Islam’. Hal. 74- 80. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Sholat Dalam kendaraan.


Syaikh Muhammad bin Sholih al- Utsaimin Rahimahulloh berkata,

“Sholat di pesawat wajib dilakukan bila telah masuk waktunya. Tetapi jika kesulitan melakukan sholat di pesawat sebagaimana sholat di Bumi, maka tidak usah melakukan sholat fardhu kecuali jika pesawat telah mendarat, dan waktu sholat masih mencukupi. Atau jika waktu sholat berikutnya masih bisa ditemui untuk melakukan jamak”.


Misalnya, jika anda tinggal landas dari Jeddah sebelum matahari terbenam, lalu saat di udara matahari telah terbenam, maka anda tidak usah sholat maghrib sampai pesawat mendarat di bandara, dan anda turun padanya. Jika anda khawatir waktunya habis maka niatkanlah untuk melakukan Jama’ Ta’khir lalu melakukan Jama’ setelah turun. Jika anda khawatir waktu Isya’ akan habis sebelum mendarat, sedang waktu isya’ yakni sampai pertengahan malam maka hendaklah ia sholat maghrib dan Isya’ di pesawat sebelum waktunya habis.

Tata cara sholat di pesawat yaitu hendaknya orang itu berdiri menghadap kiblat lalu bertakbir, membaca al- Fatihah dan sebelumnya membaca do’a iftitah, sedang sesudahnya membaca surat Al- Qur’an, lalu ruku’, lalu bangkit dari ruku’, lalu bersujud. Bila tidak bisa bersujud cukup dengan duduk seraya menundukkan kepala sebagai pengganti sujud, begitulah yang harus ia perbuat sampai akhir dan kesemuanya menghadap kiblat.

Untuk Sholat Sunnah dalam pesawat maka ia Sholat dengan duduk di atas kursinya, dan menganggukkan kepala dalam ruku’ dan sujud dengan anggukan sujudnya lebih rendah”. (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Sholih al- Utsaimin Rahimahulloh, Bab Ibadah, Hal. 412, Pustaka Arofah).

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz Rahimahulloh berkata,

“Yang wajib bagi seorang muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu sholat, hendaknya ia melaksanakannya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku’ dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu maka hendaknya ia melakukan sambil duduk, mengisyaratkan ruku’ dan sujud (dengan membungkukkan badan).

Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk sholat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya, maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Maka bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu”. (QS. At- Taghobun [64]: 16).

Dan Sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Sholatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu maka dengan terbaring”. (Diriwayatkan oleh al- Bukhori dalam Shahih- nya, 1/ 376).

Dan Diriwayatkan pula oleh imam an- Nasa’i dengan sanad yang Shahih, dengan tambahan,

“Jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring terlentang”.

Yang lebih utama baginya adalah sholat di awal waktu. Tapi jika ia menundanya hingga akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah landing (mendarat) maka itu pun boleh. Berdasarkan keumuman dalil- dalil yang ada. Demikian juga hukumnya di Mobil, Kereta, dan Kapal Laut”. (Fatawa Muhimah Tata’allaqu Bish Sholah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh Bin Baaz Rahimahulloh. hal. 40- 41).

Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Dibolehkan sholat fardhu di perahu, demikian juga di pesawat. Dibolehkan dholat di dalam pesawat dan perahu dengan duduk jika takut terjatuh”. (‘Talkhis Sifat Sholat Nabi’ oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh, Hal. 8).

Sumber: ‘Sudah Benarkah Sholat Kita: Sholat Dalam Kendaraan”. Hal. 73- 74. Arif Fathul Ulum Bin Ahmad Saifulloh. Majelis Ilmu Publisher. Gresik.

Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.

Hadits Yang Terlihat Bertentangan dengan Al- Qur’an.

Soal: Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya orang yang mati itu diadzab karena tangisan keluarganya”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (al- Jana’iz/ 1290/ Fath), dan Muslim (al- Jana’iz/ 927/ Abdul Baqi).

Bagaimana memadukan hadits ini dengan firman- Nya,

“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain”. (QS. Al- Isra: 15)...?

Jawab: Ayat yang mulia ini meskipun kenyataan memang seperti itu, hanya saja itu bukanlah ketentuan yang bersifat umum atau hukum yang bersifat mutlak, karena disebutkan juga dalam Al- Qur’an:

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang- orang yang zhalim saja di antara kamu”. (QS. Al- Anfal: 25).

Dan disebutkan dalam hadits:

“Wahai Rasululloh, apakah kita akan dibinasakan, sedangkan di antara kita masih banyak orang Shalih..?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Ya, jika keburukan sudah merajalela”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhori (Ahadits al- Anbiya’ /3346/ Fath), dan Muslim (al- Fitan/ 2880/ Abdul Baqi)).

Jika keburukan sudah merajalela –dan itu sudah terjadi di zaman kita- maka orang- orang shalih akan binasa bersamaan dengan binasanya orang- orang yang berbuat kerusakan. Kelak mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niatnya masing- masing. Dan Alloh akan menghisab amal- amal mereka. Adzab ditimpakan atas orang- orang musyrik, sedangkan di tengah- tengah mereka terdapat anak- anak yang tidak berdosa, tapi ikut binasa bersama dengan orang tua mereka yang musyrik. Demikian pula binatang melata ikut binasa, bersamaan dengan dibinasakannya manusia durjana. Ini semua dalam kategori firman Alloh,

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang- orang yang zhalim saja di antara kamu”. (QS. Al- Anfal: 25).

Hadits yang sedang kita bicarakan, “Sesungguhnya mayit itu diadzab karena tangisan keluarganya”. Maknanya sebagai berikut, kata “Mayit” ditafsirkan sebagai orang kafir, seperti pada firman- Nya,

“Dan kamu sekali- kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar”. (QS. Fathir: 22).

Orang- orang yang hidup adalah orang- orang yang beriman, dan orang- orang yang mati adalah orang- orang kafir, artinya, orang kafir itu diadzab karena kekafirannya, dan terkadang ditambah adzabnya karena tangisan keluarganya, karena mereka tidak memiliki keimanan yang dapat menghalanginya dari tangisan itu, seperti dikatakan dalam hadits,

“Ada dua perkara di tengah umatku yang termasuk kekufuran, yaitu MENCELA NASAB, dan MERATAPI MAYAT”. (Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim (al- Iman/ 67/ Abdul Baqi’).

Demikianlah keadaan kaum kafir dan kaum jahiliyyah, seperti sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Bukan golongan kami orang yang menampari pipinya, merobek sakunya dan memanggil dengan panggilan jahiliyyah”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (al- Jana’iz/1294/Fath), dan Muslim (al- Iman/ 927/ Abdul Baqi’).

Adapun kata ‘Mayyit) secara umum, maka ia mencakup Muslim dan kafir. Jika yang dimaksud dengan kata itu adalah seorang Muslim, artinya adalah orang muslim yang mati dan ia ridho dengan tangisan keluarganya, atau ia memerintahkannya dan mewasiatkannya, seperti dilakukan orang- orang jahil sampai zaman kita sekarang ini. Ia mewasiatkan agar diadakan ratapan yang besar sehingga orang- orang mengetahui kedudukannya setelah kematiannya, dan agar diselenggarakan begini dan begitu saat kematiannya. Ini tanpa diragukan lagi bahwa ia akan disiksa atas perbuatannya ini dan keridhoannya terhadap tangisan keluarganya serta mewasiatkan hal itu kepada mereka.



Sedangkan seorang Muslim yang tidak ridho akan hal ini dan tidak memerintahkannya, bahkan ia memperingatkan dan melarangnya, serta ia menulis dalam wasiatnya bahwa ia berlepas diri dari hal itu, maka orang ini tidak termasuk dalam hadits tersebut. Walaupun termasuk juga, maka itu hanya dari satu sisi saja, yaitu adzab maknawi atau terganggu, seperti perkataan seseorang kepada orang lain, “Tangisanmu menggangguku”. Atau “Tangisanmu menyiksaku”, seperti dikatakan seorang ibu kepada anaknya, ketika seorang anak menangis terus sementara sang ibu tidak mengerti karena apa anaknya menangis, akibatnya ia merasa tersiksa karena derita anaknya, dan ia menangis karena tangisan anaknya.

Ini kemungkinan yang terlalu jauh. Karena hadits ini (hadits di atas_ Red) mengenai orang yang meridhoi tangisan itu, demikian pula ini berlaku untuk orang- orang yang kafir, seperti dipahami oleh ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha. Ketika mendengarnya dari ‘Abdulloh bin Umar Radhialloohu 'Anhuma, ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha berkata,

“Semoga Alloh mengampuni Abu Abdirrahman, ia tidak berbohong, tapi ia lupa atau keliru. Yang benar bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita Yahudi yang sudah mati sedang ditangisi keluarganya, maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian menangisinya, padahal ia akan diadzab di kuburnya”. Wallohu a’lamu.


Sumber: “Hadits Shahih yang Disalahpahami”. Hal.180- 182. Prof. Dr. Umar bin ‘Abdul Azizi Quraisyi. Pustaka at- Tazkia. Jakarta.

Beberapa Kaidah Penting Bagi Pelaku Bisnis

Ada dua (2) kaidah yang sangat penting untuk bisa memahami hampir seluruh permasalahan yang berhubungan dengan hukum Islam, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim al- Jauziyyah Rahimahulloh,

“Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram, kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu’amalah adalah halal kecuali kalau ada dalil yang melarangnya”. (Lihat ‘I’lamul Muwaqqi’in, 1/ 344).

Dalil ibadah adalah sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mengamalkan sesuatu yang tidak ada contohnya dari kami, maka akan tertolak”. (HR. Muslim).

Adapun dalil masalah mu’amalah adalah firman Alloh ta’ala,

“Dia lah Alloh yang telah menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu”. (QS. Al- Baqoroh: 29). (Lihat Ilmu Ushul al- Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan al- Halabi, Al- Qowa’id al- Fiqhiyah, oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as- Sa’di Rahimahulloh, hal. 58).

Oleh karena itu, apapun nama dan model bisnis tersebut, pada dasarnya dihukumi halal selagi dilakukan atas dasar suka rela dan tidak mengandung unsur keharaman. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala,

“Dan Alloh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al- Baqoroh: 275).

Juga firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Wahai orang- orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu”. (QS. An- Nisaa’: 29).

Adapun hal- hal yang bisa membuat sebuah transaksi bisnis menjadi haram adalah,

(1) Riba

Dari ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Riba itu memiliki tujuh puluh tiga (73) pintu, yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri”. (HR. Ahmad, 15/ 69/ 230, Lihat Shahiihul Jaami’, no. 3375).

(2) Gharah (adanya spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas).

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang jual beli Gharar”. (HR. Muslim, No. 1513).

(3) Penipuan

Dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu, maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim, 1/ 99/ 102, Abu Dawud No. 3455, Ibnu Majah, No. 2224).

(4) Perjudian atau Adu Nasib

Firman Alloh Ta’ala,

“Hai orang- orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithon, maka jauhilah”. (QS. Al- Maidah: 90).

(5) Kezhaliman

Sebagaimana firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Wahai orang- orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil”. (QS. An- Nisaa’: 29).

(6) Yang dijual adalah barang yang haram

Dari Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhu berkata, Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Alloh apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud, No. 3477, al- Baihaqi 6/ 13 dengan sanad yang Shahih).

(Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Zaadul Ma’ad oleh Imam Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, 5/ 746, Taudhihul Ahkam oleh Syaikh Abdulloh Alu Bassam, 2/ 233, Ar Raudlah an- Nadiyah, 2/ 345, dan Al- Wajiz oleh Syaikh Abdul Adlim al- Badawi, Hal. 332).

Sumber: ‘Pengusaha Muslim: Sukses Dunia Akhirat”. Edisi VIII/ Volume 1/ 15-08-2010/Hal. 68- 69. Ust. Ahmad Sabiq Abu Yusuf.



Membacakan Ayat Al- Qur’an Atas Air Zamzam (Bolehkah?)

Diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau minum air Zamzam, membawanya dan menganjurkan untuk meminumnya. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Air Zamzam berkhasiat untuk tujuan meminumnya”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan No. 3062, dan Ahmad dalam Musnad nya, No. 3/ 357).

Catatan: Saya (Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz_penulis. Red) telah mendengar Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahulloh berkata tentang hadits, “Air Zamzam berkhasiat untuk tujuan meminumnya”. Dalam acara ‘Nur Alad Darbi pada hari Jum’at Tanggal 24/2/1420H, beliau berkata “terdapat kelemahan dalam sanad hadits ini”.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhuma, bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mendatangi tempat air, dan minta minum darinya. Al- Abbas berkata,

“Wahai Fadhl, pergilah ke ibumu dan ambilkan air minum untuk Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”. Rasululloh berkata, “Berilah aku minum”. Ibnu Abbas berkata, “Wahai Rasululloh, orang- orang telah memasukkan tangan- tangan mereka ke dalam air ini”. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Berilah aku minum”. Maka beliau pun meminum dari air itu. Kemudian beliau mendatangi Zamzam sementara orang- orang sedang memberi minum dan melakukan sesuatu di dalamnya. Beliau bersabda, “Lakukanlah karena kalian berada di atas suatu perbuatan yang baik”. Kemudian beliau meneruskan, “Kalaulah tidak kalian dahului, niscaya aku akan turun dengan mengenakan ikatan”. Maksudnya ikatan di kepalanya, beliau menunjuk kepada kepalanya. (Diriwayatkan oleh al- Bukhori, No. 1635 dalam Kitab al- Hajj, Bab “Memberi Minum Orang yang Berhaji”).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhuma, bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Air Zamzam berkhasiat untuk tujuan meminumnya. Jika engkau meminumnya untuk tujuan meminta kesembuhan, maka Alloh akan menyembuhkanmu. Jika engkau meminumnya agar kenyang, maka Alloh akan mengenyangkanmu. Jika engkau meminumnya untuk menghilangkan kehausanmu, maka Alloh akan menghilangkan hausmu. Zamzam adalah galian Jibril dan minuman Isma’il”. (Diriwayatkan oleh al- Hakim 1/ 473, dan ad- Daruquthni, 2/ 279).

Diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha bahwasanya beliau membawa air Zamzam dan mengatakan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah membawanya. (Diriwayatkan oleh at- Tirmidzi No. 963, dan ia berkata, Hadits ini Shahih Gharib, tidak diketahui selain dari jalur ini. Syaikh al- Albani Rahimahulloh menshahihkannya dalam Kitab as- Silsilaatush Shahiihah, No. 883).

Dan masih banyak lagi hadits- hadits tentang fadhilah air Zamzam dan kekhususannya. Hadits- hadits ini meski sebagian ada beberapa catatan atasnya, tapi sebagian ulama menshahihkannya dan dilakukan oleh para Shahabat, dan perbuatan ini terus dilakukan hingga saat ini. Hal ini dikuatkan oleh hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda tentang air Zamzam,

“Sesungguhnya ia membawa keberkahan dan makanan yang mengenyangkan”.

Abu Dawud meneruskan dengan sanad yang shahih,

“Dan penyembuh penyakit”.

Tetapi tidak ada riwayat dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau membacakan ayat Al- Qur’an atas air Zamzam untuk kemudian diminumkan kepada salah seorang dari shahabatnya, atau mengusapkannya untuk suatu tujuan atau untuk meringankan suatu penyakit, meskipun keberkahan Zamzam sedemikian tinggi, manfaatnya yang nyata dan keinginan beliau yang kuat untuk memberikan kebaikan utnuk umatnya. Padahal beliau sempat merasa sayang untuk meninggalkan Zamzam sebelum hijrah, dan dalam umrahnya berkali- kali serta haji yang dilakukan beliau setelah hijrah. Meski demikian tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menyuruh para shahabatnya untuk membacakan sesuatu atas air Zamzam untuk penyembuhan sebagaimana air- air yang lain padahal hal tersebut lebih pantas untuk dilakukan atas air Zamzam dikarenakan adanya keberkahan dan penyembuhan padanya, berdasarkan hadits- hadits yang telah disebutkan di atas. (Fatwa Lajnah Da’imah, No. 1515).

Sumber: “Penyimpangan Terhadap Al Qur’an/ Bida’un Naas Fiil Qur’an (Kumpulan Fatwa:Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da’imah Lil Buhuts al- ‘Ilmiyah”. Hal. 89- 92. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Pustaka Darul Haq. Jakarta.

Suara Wanita Di Dalam Ibadah

Adakah Adzan Bagi Wanita..?

Kaum wanita tidak ada kewajiban adzan dan iqomat, bahkan haram bagi mereka mengeraskan suara lalu didengar oleh kaum pria karena hal itu menimbulkan fitnah. Hanya, boleh baginya untuk adzan atau iqomat apabila untuk diri sendiri atau jama’ah khusus wanita saja. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/ 302, oleh Syaikh Musthofa al- ‘Adawi. Lihat pula buku, ‘Fiqih Adzan dan Iqomat’, karya Ust. Abu Ubaidah Yusuf as- Sidawi, Darul Ilmi).

Menegur Imam yang Lupa

Apabila wanita sholat berjama’ah di masjid, lalu imam lupa, maka bagi kaum wanita cukup mengingatkannya dengan menepuk punggung tangan kirinya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ahmad, Imam asy- Syafi’i, dan al- Auza’i (at- Tahmid 7/ 436 oleh Ibnu Abdil Barr, al- Mughni 1/ 267, oleh Ibnu Qudamah Rahimahulloh) berdasarkan hadits yang berbunyi,

“Apabila kalian mengalami sesuatu dalam sholat kalian, maka hendaklah kaum lelaki mengucapkan ‘Subhanalloh’ dan kaum wanita menepuk tangannya”. (HR. Bukhori, No. 7190, dan Muslim, No. 421).

Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan,

"Sebagian Ahli Ilmu mengatakan, ‘Alasan dibencinya mengucapkan ‘Subhanalloh’ bagi kaum wanita dan mereka hanya diperbolehkan menepuk tangan karena suara wanita itu umumnya lembut, dan ditakutkan mengganggu pikiran jama’ah sholat”. (at- Tahmid, 7/ 437).

Talbiyah ketika Umroh dan Haji

Wanita ketika umroh tetap diperintahkan bertalbiyah. Cara bertalbiyahnya tidak dengan suara keras, cukup didengar oleh dirinya sendiri. Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Jibril datang menemuiku, dan dia memerintahkan agar aku memerintahkan para shahabatku mengeraskan suara ketika bertalbiyah”. (HR. Abu Dawud, No. 1814, Syaikh al- Albani Rahimahulloh menyatakan hadits ini Shahih dalam Kitab al- Misykah, No. 2549).

Perintah mengeraskan suara saat talbiyah dalam hadits ini khusus untuk laki- laki, karena kalimatnya adalah ‘Ashhabi’, maksudnya adalah para shahabat laki- laki. Imam Syaukani Rahimahullloh berkata,

“Wanita tidak mengeraskan suara ketika bertalbiyah, tetapi cukup bertalbiyah dengan suara yang didengar dirinya sendiri”. (Lihat Nailul Author, 4/ 323).

Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahulloh berkata,

“Ulama telah sepakat bahwasanya yang sunnah bagi wanita adalah tidak mengeraskan suara ketika bertalbiyah, tetapi cukuplah ia bertalbiyah dengan suara yang terdengar oleh dirinya sendiri”. (al- Istidzkar, 11/ 122, al- Iqna’ Fi Masa’il al- Ijma’, 1/ 255).

Suara Wanita bukan Aurat

Suara wanita bukan aurat. Namun karena suara wanita bisa mengundang fitnah bagi orang lain, dan membahayakan dirinya maka syari’at Islam mengaturnya dengan aturan yang rapi dan Indah.

Ummu Athiyyah Radhialloohu 'Anha berkata,

“Kami membai’at Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu beliau membaca ayat, “Mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Alloh”. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang kami berbuat Niyahah (meratapi orang mati_ red), lalu ada seorang wanita di antara kami yang memgang tangannya seraya berkata, “Fulanah telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas budi baiknya”. Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menjawab sedikitpun, lalu wanita tersebut pergi dan kembali...”. (HR. al- Bukhori, No. 6989).

Al- Hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani Rahimahulloh berkata,

“Hadits ini menunjukkan suara wanita yang bukan mahrom boleh didengar, dan suaranya bukan aurat”. (Fat- hul Baari, 13/ 203).

Inilah pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa suara wanita bukan aurat. Boleh wanita berbicara kepada laki- laki yang bukan mahromnya untuk suatu keperluan. Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulama. Para ulama Syafi’iyyah berkata, “Suara wanita bukan aurat”. (Mughnil Muhtaj, 3/ 129). Demikian pula ulama madzhab Hanbali mengatakan, “Suara wanita yang bukan mahrom bukanlah aurat”. Para Ulama Mallikiyyah mengatakan, “Suara wanita bukan aurat”. (Hasyiyah ad- Dasuqi, 1/ 195), Para Ulama Hanafiyyah mengatakan, “Suara wanita bukan aurat menurut pendapat yang terkuat”. (Raddul Mukhtar, 1/ 405).

Sumber: ‘Ketika Wanita ingin Berbicara’. Abu Anisah bin Lukman al- Atsari. Majalah Al- Furqon Edisi 107. Edisi 4/th 10/1431H/ Hal. 74-76.

Minggu, 21 November 2010

Sholat dengan memejamkan mata, bolehkah..?

Soal: Apakah hukumnya seseorang Sholat dengan memejamkan matanya dengan alasan lebih khusyu’ ..?

Jawab: Tidak boleh sholat dengan memejamkan mata karena hal ini menyelisihi sunnah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh al- Baihaqi di dalam Sunan al- Kubra, 2/ 283 dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh di dalam Sifat Sholat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam halaman 89, bahwasanya,

“Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ketika sholat menundukkan kepalanya, dan melihat dengan matanya ke tanah”.

Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Di dalam hadits ini bahwa yang Sunnah hendaknya seseorang mengarahkan pandangannya ke tempat sujudnya di tanah, sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang yang sholat dengan memejamkan mata di dalam sholatnya maka ini adalah sikap yang berlebihan, dan sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”. (Sifat Sholat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam hal. 89).

_____________________________________________________________

Soal: Apakah plester, perban, dan semisalnya yang menutupi luka menyebabkan wudhu tidak sah..? bagaimana tatacara wudhu/ mandi orang yang kulitnya/ lukanya ditutup plester..?

Jawab:
Telah datang riwayat dari Ibnu Umar Radhialloohu 'Anhuma yang diriwayatkan oleh al- Baihaqi dalam Sunan al- Kubra, 1/ 228, dan dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh di dalam Tamamul Minnah, Hal. 134 bahwa dia berwudhu dalam keadaan telapak tangannya diperban, maka dia mengusap anggota tubuh yang diperban, dan membasuh yang lainnya.

___________________________________________________________________

Soal: Bagaimana hukum mengangkat tangan untuk berdo’a setiap kali selesai sholat fardhu..? Bagaimana jika dilakukan setiap selesai sholat sunnah..?

Jawab: Tidak disyari’atkan mengangkat tangan untuk berdo’a setiap kali selesai sholat fardhu karena Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak pernah melakukannya. Adapun setiap selesai sholat sunnah maka dibolehkan meskipun yang lebih afdhol tidak melakukannya secara terus- menerus, karena yang terus- menerus tidak diriwayatkan dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. (Lihat Tanya Jawab Tentang Rukun Islam, oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, hal. 118).

____________________________________________________________________

Soal: Jika seorang Wanita Suci dari Haidnya pada waktu Ashar, apakah wajib baginya melakukan Sholat Dzuhur..?

Jawab: Jika seorang wanita suci dari haidnya pada waktu ashar, maka wajib baginya melakukan sholat dzuhur, menurut pendapat yang rojih. Karena waktu kedua sholat tersebut adlah satu bagi orang yang mendapat halangan seperti wanita yang haid. (Lihat Tanya Jawab Tentang Rukun Islam oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Hal. 90).

____________________________________________________________________

Soal: Apakah mengantuk membatalkan wudhu.? Sah kah Sholat orang yang mengantuk..?

Jawab: Mengantuk tidak membatalkan wudhu dan sholat. (Lihat Fatawa Wa Maqolat Syaikh Bin Baaz, Jilid 10, Bab ‘Nawaqidul Wudhu’).

____________________________________________________________________

Soal: Apa yang seharusnya dilakukan jika seseorang sedang sholat sunnah di masjid, kemudian muadzin mengumandangkan iqomah..?

Jawab: Jika seseorang sedang sholat sunnah di masjid kemudian muadzin mengumandangkan iqomah maka hendaknya dibatalkan sholatnya dan mengikuti sholat wajib dengan dalil sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya, 2/ 153:

“Jika Sudah dikumandangkan iqomah, maka tidak boleh sholat kecuali yang wajib” (Lihat Fatwa Lajnah Da’imah: 5107).

_____________________________________________________________________

Soal: Apakah Seoang makmum tetap wajib membaca surat al- Fatihah pada sholat Jahriyyah..?

Jawab: Makmum tidak wajib membaca surat Al- Fatihah pada sholat jahriyyah sebagaimana riwayat dari Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwa para shahabat tidak membaca surat al- Fatihah ketika sholat jahriyyah bersama Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al- Muwaththo’ 1/ 86, dan Humaidi di dalam Musnad nya, 2/ 423, dan Ahmad di dalam Musnadnya, 2/ 240, Abu Dawud di dalam Sunan nya, 1/ 218, dan dishahihkan oleh Abu Hatim dan Ibnul Qayyim al- Jauziyyah, Lihat Sifat Sholat Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, hal. 99).

_________________________________________________________________

Soal: Sebagian wanita ketika sholat kelihatan lengan tangannya (karena menggunakan mukena yang tidak syar’i) apakah sholatnya sah..?

Jawaban: Jika seseorang wanita ketika sholat kelihatan lengan tangannya (karena menggunakan mukena yang tidak Syar’i) maka sholatnya tidak sah, dan hendaknya mengulang sholatnya. (Lihat Qoulul Mubin Fii Akhtho’il Mushollin, hal. 27).

Sumber: ‘Sudah Benarkan Sholat Kita: dirangkum dari Kitab- kitab Ulama Ahli Hadits dan Ahli Fiqih”. Hal. 145, 147, 151, 153, 154. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu Publishing. Gresik.

Penyajian Hidangan Makanan Oleh Keluarga Mayit

Tentang penyajian makanan untuk tamu, sepintas memang perkara yang terpuji. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit –baik untuk sajian tamu undangan tahlilan atau lainnya- maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para shahabatnya Radhialloohu 'Anhum.

Shahabat Jarir –salah seorang shahabat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam- menemui Umar bin Khaththab Radhialloohu 'Anhu. Umar berkata, ‘Apakah kalian sering meratapi mayit..?’ Jarir menjawab, “Oh, tidak..!”. Umar Radhialloohu 'Anhu bertanya lagi, “Apakah ada di antara kaum wanita kalian punya kebiasaan berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya?”. Jarir menjawab, “Ya!”. Umar Radhialloohu 'Anhu berkata, “ITU SAMA SAJA DENGAN MERATAPI MAYIT”. (Mushanaf Ibni Abi Syaibah, 3/ 291, No. 11467).

Karena itulah dalam beberapa riwayat, disebutkan Jarir bin Abdillah al- Bajali Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Kami memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari Niyahah (meratapi mayit)”. (Sunan Ibnu Majah, 1/ 514, No. 1612, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh).

Begitu pula Abu Bakhtari berkata,

“Hidangan kematian dari keluarga mayit adalah perkara jahiliyah, menginapnya para wanita yang bukan keluarga mayit di rumah keluarga mayit juga perkara jahiliyah, begitu pula meratapi mayit termasuk perkara jahilyah”. (Mushanaf Ibni Abi Syaibah, 3/ 559, No. 6689).

Sehingga jelas, berdasarkan Ijma’ para Shahabat Radhialloohu 'Anhum –yang belajar Islam langsung kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam- bahwa acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama. Wallohu A’lam.

Sumber: 'Fatawa: Majalah khusus berisi fatwa ulama Dunia'. Vol. VI/ No. 09. Hal. 5. Pustaka at- Turots. Islamic Centre Bin Baaz. Yogyakarta.



Betulkah Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh mengirim Pahala Bacaan..?


Masyarakat yang mempunyai kebiasaan melakukan kenduri/ tahlilan/ yasinan biasanya mengaku sebagai pengikut madzhab Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh. Bahkan, mereka mengklaim kenduri/ tahlilan/ yasinan adalah ciri khas ajaran madzhab Syafi’i yang harus dilestarikan di bumi madzhab Syafi’i –sebutan mereka terhadap Indonesia- ini. Bagaimana sebenarnya imam asy- Syafi’i dan ulama- ulama besar dari kalangan madzhab Syafi’i berpandangan tentang kenduri/ tahlilan/ yasinan..?

Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh, dalam kitabnya berkata,

“Aku membenci acara berkumpulnya orang di rumah keluarga mayit (ma- tam) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka”. (Al- Um, Juz. 1 hal. 279).

Imam Nawawi Rahimahulloh, seorang imam besar madzhab Syafi’i setelah mengutip perkataan Syafi’i tersebut di dalam kitabnya berkata,

“Ini adalah lafazh beliau dalam kitab Al- Um. Inilah yang diikuti oleh murid- murid beliau. Adapun pengarang kitab ini (al- Muhadzdzab, asy- Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen laiin yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada- adakan dalam agama (muhdats)”. (Majmu’ Syarh al- Muhadzdzab, Juz. 5 hal. 306).

Sebelumnya Imam Nawawi Rahimahulloh juga berkata,

"Pengarang ‘asy- Syamil’ dan lainnya berkata, “Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut adalah tidak ada dalil naqli- nya dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah bukan suatu yang disukai”. (al- Majmu’, Juz.5 hal. 320).

Dalam kitab fikih madzhab Syafi’iyah, dikutip bahwa Imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,

“Dan, dibenci menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga, dan seterusnya setelah sepekan. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan secara musiman (seperti haul dan sadranan)”. (I’anatut Thalibin, Juz. 2 hal. 146).

Dalam baris sebelumnya dikutip,

“Dibenci pertamuan dengan penyajian makanan yang disediakan oleh keluarga mayit, karena hal ini hanya dilakukan dalam suasana gembira, kebiasaan itu adalah bid’ah”. (I’anatut Thalibin, Juz.2 Hal. 146).

Makruh dalam konteks ucapan Imam Syafi’i Rahimahulloh dan murid- murid nya tersebut di atas adalah bermakna haram. Tentu, sebagian pembela kenduri./ yasinan/tahlilan membantah pernyataan itu. Tetapi dalam kitab yang sama disebutkan bahwa imam Syafi’i Rahimahulloh menegaskan keharamannya,

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai- ramai pada hari ke empat puluh, padahal semua itu adalah haram”. (I’anatut Thalibin, juz. 2 Hal. 146- 147).

Jadi Imam Syafi’i sendiri yang menegaskan perbuatan makruh tersebut adalah kebiasaan yang diharamkan. Yang disukai beliau Rahimahulloh adalah sebaliknya, MENYEDIAKAN MAKANAN UNTUK KELUARGA MAYIT. Mungkin kerabat atau tetangganya bisa meringankan kesedihan dan kesibukan keluarga mayit dengan membantu memberikan bantuan berupa makanan yang siap santap. Imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,

“Aku suka kalau tetangga si mayit atau kerabat si mayit menyediakan makanan untuk keluarga si mayit pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya inilah amalan yang Sunnah dan perbuatan ahli kebaikan”. (Al- Hawi Fi Fiqhisy Syafi’i, Juz 3, Hal. 66 dan al- Majmu’ Syarh al- Muhadzdzab, Juz. 5 hal. 319).

Pendapat imam Syafi’i Rahimahulloh dan para muridnya tersebut sesuai dengan larangan yang disebutkan dalam atsar –baik dipandang sebagai ijma’ shahabat atau bahkan taqrir dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam- dan perintah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ketika kaum Muslimin menghadapi kematian tetangganya.

Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan/ yasinan tidak memiliki argumentasi/dalih melainkan hanya satu dalih saja yaitu istihsan, yaitu menganggap baiknya suatu amalan, dengan dalil- dalil yang bersifat umum. Dalil yang dipegang adalah keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al- Qur’an, berdzikir, ataupun berdo’a, dan anjuran memuliakan tamu sajian hidangan yang diniati sebagai sedekah.

Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Ushul Fiqhisy Syafi’iyyah dikatakan bahwa istihsan yang diartikan dengan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (Al- Qur’an dan As- Sunnah) kepada ketentuan budaya adalah ditolak. Karena itu imam Syafi’i Rahimahulloh berkata,

“Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan (tanpa dicontohkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam) berarti telah menciptakan hukum syari’at sendiri”. Wallohu A’lam.

Sumber: 'Fatawa: Majalah khusus berisi fatwa ulama Dunia'. Vol. VI/ No. 09. Hal. 5-6. Pustaka at- Turots. Islamic Centre Bin Baaz. Yogyakarta.

Jin dan Urusan Ghaib.

Jin dan Urusan Ghaib.

Pertanyaan: Apakah Jin mengetahui perkara yang Ghaib..?

Jawaban: Jin tidak mengetahui perkara Ghaib. Tidak ada yang mengetahui perkara ghaib baik makhluk Alloh yang ada di langit maupun yang ada di Bumi. Yang mengetahui persoalan ghaib hanyalah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala semata. Coba perhatikan firman Alloh Ta’ala berikut,

“Maka tatkala Kami telah tetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan”. (QS. Saba: 14).

Barangsiapa yang menyatakan dirinya mengetahui perkara ghaib berarti telah kafir. Barangsiapa yang membenarkan orang yang menyatakan dirinya tahu yang ghaib berarti juga kafir. Hal ini berdasarkan firman Alloh Ta’ala,

“Katakanlah, “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Alloh”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”. (QS. An- Naml: 65).

Sungguh, tidak ada yang mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali hanyalah Alloh saja. Yang mengaku- ngaku dirinya tahu perkara yang ghaib atau perkara yang akan terjadi, adalah termasuk perdukunan. Ada sebuah riwayat hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya barangsiapa mendatangi seorang dukun lalu bertanya kepada dukun, maka sholatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Hadits riwayat Muslim,

“Barangsiapa mendatangi tukang ramal (dukun atau paranormal) lantas bertanya tentang sesuatu, maka sholatnya tidak diterima selama empat puluh malam”.

HR. Muslim dalam Kitab as- Salaam (No. 3230) dan Ahmad dalam Kitab ‘Musnad Madaniyyin, No. 16202, dan kitab “Baqi Musnad Anshar” No. 22711.

Kalau seseorang sampai membenarkannya, berarti dirinya telah kafir. Karena telah membenarkan ucapan dukun, yang menyatakan dirinya tahu perkara yang ghaib, dan berarti telah mendustakan firman Alloh Ta’ala dalam surat An- Naml ayat 65 di atas.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as- Sa’di Rahimahulloh dalam kitabnya ‘Taisiru al- Karimi ar- Rahman Fii Tafsiri Kalami al- Manan, (Birut: Muasasah al- Risalah. 1421H/ 2000M hal. 946) menjelaskan tafsir ayat 14 Surat Saba di atas tersebut,

“Setan senantiasa bekerja membangun berbagai macam bentuk bangunan untuk Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam. Sebelumnya mereka selalu menipu manusia dan menyebarkan berita bahwasanya mereka mengetahui perkara ghaib dan malihat hal yang tersembunyi. Alloh Ta’ala berkehendak untuk menampakkan kedustaan mereka kepada manusia. Setan terus menerus mengerjakan pekerjaannya, sementara Alloh telah menetapkan kematian Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam. Beliau meninggal tetap dalam posisi bersandar pada tongkatnya, setan selalu menyangka beliau masih hidup, sehingga bila setan melewatinya selalu menghormati dan mengagungkannya. Hal itu berjalan selama setahun penuh (berdasarkan satu keterangan) hingga Nabi Sulaiman jatuh tersungkur karena tongkatnya habis dimakan rayap. Setan pun akhirnya bubar. Jelaslah bagi manusia bahwasanya jim itu (kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib, tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan) berupa pekerjaan yang berat itu. Kalau seandainya mereka tahu yang ghaib, pastilah bisa mengetahui kematian Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam. Yang mana mereka ingin segera lepas dari beban pekerjaan yang berat yang diawasi oleh Nabi Sulaiman ‘Alaihis Salam".

(Fatawa Arkanu al- Islam, Soal. No. 44, hal. 98, Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahulloh).

Sumber: 'Fatawa: Majalah khusus berisi fatwa ulama Dunia'. Vol. VI/ No. 09. Hal. 9. Pustaka at- Turots. Islamic Centre Bin Baaz. Yogyakarta.

Setiap ayat dan Surat dalam Al- Qur’an merupakan penyembuh hati, rahmat, dan petunjuk bagi orang- orang yang beriman.

Mengkhususkan Surat- Surat Al- Kahfi, As- Sajdah, Yasin, Fushshilat, Ad- Dukhan, Al- Waqi’ah, Al- Hasyr, dan Al- Mulk sebagai Ayat- ayat Penyelamat. (Bolehkah..??)

(Fatawa Lajnah Da’imah Lil Buhuuts al ‘Ilmiyyah, No. 1260).

Setiap ayat dan Surat dalam Al- Qur’an merupakan penyembuh hati, rahmat, dan petunjuk bagi orang- orang yang beriman serta penyelamat bagi orang yang berpegang teguh dengannya, dan mengambil petunjuknya dari kekufuran, kesesatan, dan adzab yang pedih.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah menerangkan dengan ucapan, perbuatan dan persetujuannya terhadap diperbolehkannya ruqyah:

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhialloohu 'Anhu bahwa ia berkata, “Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memberi keringanan untuk membolehkan ruqyah dari mata jahat (sawan), sengatan dan (gigitan) semut”. Diriwayatkan oleh Muslim No. 2196, dalam Kitab as- Salaam, Bab. “Disunnahkannya Ruqyah dari mata jahat (sawan)”..

Dari Auf bin Malik Radhialloohu 'Anhu ia berkata, “Kami pernah melakukan ruqyah pada zaman Jahiliyyah, kemudian kami bertanya, “Wahai Rasululloh, bagaimana hukum ruqyah kami tersebut?” Beliau menjawab, “Tunjukkan padaku Ruqyah kalian tersebut, tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”. (HR. Muslim, No. 2200, dalam Kitab as- Salaam, Bab “Diperbolehkan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”.).

tetapi TIDAK ADA RIWAYAT dari beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang mengkhususkan Delapan (8) Surat dalam Al- Qur’an ini sebagai surat- surat penyelamat. Yang ada justru bahwa beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memohonkan perlindungan untuk dirinya sendiri dengan surat Al- Ikhlas, Al Falaq, dan An- Naas yang beliau baca tiga (3) kali kemudian beliau tiupkan ke kedua telapak tangan setiap kali selesai, lalu mengusapkannya ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau”.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam apabila berkehendak untuk tidur setiap malam, beliau menggabungkan kedua telapak tangannya, dan meniupkan kepadanya dengan membaca, “Qul Huwallohu Ahad”, “Qul ‘Auudzu Birobbil Falaq”, dan Surat “Qul ‘Auudzu birobbin Naas” kemudian beliau mengusapkan ke seluruh tubuh yang bisa dijangkau, dimulai dari tubuh bagian depan, dilakukan sebanyak tiga (3) kali”. (HR. al- Bukhori, No. 5017, dalam Kitab ‘Fadho’ilul Qur’an”, Bab “Keutamaan tiga Surat Mu’awwidzaat”).

Abu Sa’id pernah meruqyah dengan Al- Fatihah kepada suku kaum kafir yang disengat binatang berbisa, hingga ia sembuh dengan izin Alloh Ta’ala, dan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam membolehkan hal tersebut.

Kisah tentang Abu Sa’id yang meruqyah salah seorang kepala suku kaum kafir yang disengat binatang berbisa, kemudian sembuh karenanya dengan seizin Alloh Ta’ala, dikisahkan oleh al- Bukhori dalam haditsnya No. 2276 dalam Kitab Ijarah, Bab. “Upah atas Ruqyah dengan Al- Fatihah terhadap suatu kaum Arab”. Dan diriwayatkan pula oleh Muslim, No. 2201, dalam Kitab as- Salaam, Bab “Diperbolehkannya mengambil upah atas ruqyah dengan ayat Al- Qur’an dan Dzikir- dzikir”.

Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga membolehkan ruqyah dengan bacaan ayat Kursi ketika hendak tidur, dan bahwa yang membacanya tidak akan didekati setan pada malam tersebut. Yaitu pada kisah seorang pencuri yang tertangkap saat datang kepada Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu untuk mencuri harta zakat. Kemudian Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu menceritakan pengakuan pencuri tersebut kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maka beliau mengatakan bahwa dia adalah setan, dan beliau membenarkan apa yang disebutkan oleh setan tersebut kepada Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu tentang Fadhilah Ayat Kursi:

‘Jika engkau berkehendak tidur, maka bacalah ayat Kusi, maka niscaya engkau akan selaluu dijaga oleh Alloh dan engkau tidak akan didekati setan hingga menjelang pagi”. Diriwayatkan oleh al- Bukhori No. 2311, dalam Kitab ‘Wakalah”, Bab “Jika seseorang mewakilkan kepada orang lain”, dan diriwayatkan pula No. 3275, dan 5010.

MAKA BARANGSIAPA YANG MENGKHUSUSKAN SURAT- SURAT YANG TELAH TERSEBUT DI ATAS SEBAGAI SURAT- SURAT PENYELAMAT, MAKA BERARTI IA TELAH BERBUAT BID’AH. Barangsiapa mengurutkan Surat- surat ini dan memisahkan dari surat- surat lainnya dalam Al- Qur’an dengan tujuan mencari keselamatan, penjagaan diri, dan mencari berkah, maka ia telah bermaksyiat karena telah mengingkari urutan mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh para Shahabat Radhialloohu 'Anhum, dan telah meninggalkan sebagian besar Al- Qur’an dengan mengkhususkan sebagian kecil, yang tidak pernah dikhususkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam atau salah seorang dari Shahabatnya.

Dengan demikian maka wajib hukumnya untuk melarang perbuatan ini dan mencegah pencetakan model ini, sebagai pengingkaran terhadap kemungkaran.

Sumber: ‘Penyimpangan Terhadap Al- Qur’an, Kumpulan Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abbullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al- 'ilmiyyah” Hal. 87- 89. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Darul Haq. Jakarta.

Bacaan Al- Qur’an atas Orang Yang Telah Meninggal


(1) Bacaan Al- Qur’an atas Orang yang Telah Meninggal. (Lihat Fatawa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah dalam ‘Kitabud Da’wah (1/ 210)).

Perbuatan ini dan sejenisnya tidak ada dasarnya sama sekali, juga tidak ada riwayat dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maupun para Shahabatnya Radhialloohu 'Anhum bahwasanya mereka membacakan Al- Qur’an untuk orang yang telah meninggal. Justru Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda,

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim dalam Kitab Shahiih nya)

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1718, jilid 18, dalam kitab al- Uqdhiyah, bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Dalam Kitab Shahihain, Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa mengada- adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia akan tertolak”.

Diriwayatkan oleh al- Bukhori No. 2697, dalam al- Shulh, bab ‘Idza Ishthalahu ‘alaa Shulhin Juur Fash Shulh Mardud’ dan Muslim, No. 1718, jilid 18, dalam kitab al- Uqdhiyah, bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir Radhialloohu 'Anhu bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda dalam Khutbahnya pada hari Jum’at,

“Amma ba’du, Sesungguhnya sebaik- baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, dan seburuk- buruk perkara adalah perkara yang diada- adakan dan setiap bid’ah merupakan kesesatan”.

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 867, 43, dalam Kitab Jum’ah, Bab. “Memendekkan Sholat dan Khutbah”. An- Nasa-i menambahkan dengan sanad Shahih, “Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka”. (Potongan Hadits yang diriwayatkan oleh an- Nasa’i No. 1577, Kitab Khutbah, Bab. Tatacara Khutbah’ dari Hadits Jabir bin Abdullah Radhialloohu 'Anhu.

(2) Bacaan Al- Fatihah atas orang yang Telah Meninggal. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, dalam ‘Nur Alad Darbi’ Juz 1 oleh I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah).

Membacakan Al- Fatihah atas orang yang telah meninggal tidak saya dapatkan adanya nash hadits yang membolehkannya. Berdasarkan hal tersebut maka tidak diperbolehkan membacakan Al- Fatihah atas orang yang sudah meninggal. Karena pada dasarnya suatu ibadah itu tidak boleh dikerjakan hingga ada suatu dalil yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut dan bahwa perbuatan itu termasuk syari’at Alloh Ta’ala. Dalilnya adalah bahwasanya Alloh mengingkari orang yang membuat Syari’at dan ketentuan dalam agama Alloh yang tidak diizinkan- Nya.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Apakah mereka mempunyai sembahan- sembahan selain Alloh yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang yang tidak diizinkan Alloh, sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Alloh) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang- orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih”. (QS. Asy- Syuura: 21).

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak”

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1718, jilid 18, dalam kitab al- Uqdhiyah, bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Apabila tertolak maka termasuk perbuatan bathil yang tidak ada manfaatnya, Alloh berlepas dari ibadah untuk mendekatkan diri kepada Nya dengan cara sedemikian. Adapun mengupah orang untuk membacakan AL- Qur’an kemudian pahalanya diberikan untuk orang yang telah meninggal termasuk perbuatan haram dan tidak diperbolehkan mengambil upah atas bacaan yang dikerjakannya. Barangsiapa mengambil upah atas bacaan yang dilakukannya maka ia telah berdosa, dan tidak ada pahala baginya, karena membaca Al- Qur’an termasuk ibadah, dan suatu ibadah tidak boleh dipergunakan sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan duniawi.

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan” (QS. Huud: 15)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

“Tidak pantas mengupah seseorang untuk membacakan Al- Qur’an atas kematian, kemudian menghadiahkan pahala bacaanya untuk yang meninggal, karena tidak ada satu riwayat pun dari para imam yang membolehkannya”.

Sedangkan para ulama telah berkata,

“Sesungguhnya orang yang membaca Al- Qur’an untuk mendapatkan upah atas bacaannya, tidak mendapatkan pahala atas bacaannya. Maka pahala mana yang akan dihadiahkan untuk orang yang telah meninggal..?”



(4) Bacaan Al- Fatihah untuk Kedua orang Tua yang telah meninggal.

Membacakan Surat Al- Fatihah untuk kedua orang tua yang telah meninggal dunia atau yang lainnya merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Yang disyari’atkan adalah MENDO’AKAN BAGI KEDUA ORANG TUA DALAM SHOLAT ATAU SESUDAHNYA, MEMOHONKAN AMPUNAN DAN MAGHFIROH BAGI KEDUANYA, DAN SEJENISNYA YANG TERMASUK DO’A YANG BISA BERMANFAAT BAGI YANG SUDAH MENINGGAL. (Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dalam ‘Nur Alad Darbi, Juz III oleh I’dad Fayis Musa Abu Syaikhah).

Sumber: ‘Penyimpangan Terhadap Al- Qur’an, Kumpulan Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abbullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al- 'ilmiyyah” Hal. 34, 61. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Darul Haq. Jakarta.

Tambahan:

Adapun Hadits:

“Bacalah untuk para Mayitmu Surat Yasin”

Menurut Ibnu Qaththan, “Setelah melalui penelitian dengan cermat (#al- jarh wat Ta’dil), hadits itu mudhtharib (kacau), mauquf (tidak sampai sanadnya kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ), dan majhul (tidak diketahui).

Daruquthni mengatakan, “hadits itu mudhtharib sanadnya (para perawinya kacau, tidak jelas), majhul matan nya (kandungan maknanya tidak diketahui), dan tidak shahih (haditsnya Dhoif, lemah).

Tidak ada keterangan dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam juga tidak dari Para Shahabat Radhialloohu 'Anhum bahwa mereka membacakan Al- Qur’an untuk mayit, baik bacaan surat Yasin, Al- Fatihah, atau surat lainnya dari Al- Qur’an. Tetapi yang DIANJURKAN RASULULLOH SHALLALLAAHU 'ALAIHI WA SALLAM KEPADA PARA SHAHABATNYA seusai menguburkan mayyit adalah:

“Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu, dan mintakanlah keteguhan (iman) untuknya, karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya”. (HR. Abu Dawud dan lainnya, Hadits Shahih).

Sumber: ‘Jalan Golongan yang Selamat, Al- Qur'an untuk orang Hidup bukan OrangMati”. Hal. 65. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu. Pustaka Darul Haq. Jakarta.

Berkumpul Untuk Membaca Al- Qur’an Bersama- sama


(1) Hukum Membaca Al- Qur’an Bersama- sama (Lihat Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhuts al- Ilmiyyah, No. 4394).

Membaca Al- Qur’an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

Pada dasarnya membaca Al- Qur’an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mencontohkannyabersama para Shahabat beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para Shahabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama- sama dengan satu Suara, akan tetapi mereka membacanya SENDIRI- SENDIRI, atau SALAH SEORANG MEMBACA DAN ORANG LAIN YANG HADIR MENDENGARKANNYA.

Telah diriwayatkan bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin setelahku”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 4607 dalam Kitab ‘Sunnah’ Bab, “Fii Luzuumis Sunnah’, Ibnu Majah No. 42 dalam al- Muqaddimah, Bab ‘Ittiba’ul Khulafa’ur Rasyidinal Mahdiyyin” dari hadits al- Irbath Radhialloohu 'Anhu. Diriwayatkan oleh at- Tirmidzi No. 2676 dalam al- Ilmu bab, “Maa Jaa-a Fil Akhdzi Bis Sunnati Wajtinabil Bida’, ia mengatakan “Hadits ini hasan Shahih”. Al- Arnauth berkata, “Sanadnya Hasan”. Lihat Syarhus Sunnah, 1/ 205, hadits No. 102.

Sabda beliau lainnya,

“Barangsiapa mengada- adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak”.

Diriwayatkan oleh al- Bukhori No. 2697, dalam al- Shulh, bab ‘Idza Ishthalahu ‘alaa Shulhin Juur Fash Shulh Mardud’ dan Muslim, No. 1718, jilid 18, dalam kitab al- Uqdhiyah, bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Dalam riwayat lain disebutkan,

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak”.

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1718, jili 18, dalam Kitab al- Uqdhiyah bab. Naqdhul Ahkamil Bathilah Wa Raddu’ Muhdatsatil Umur’ dari hadits ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha.

Diriwayatkan pula dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada Abdullah bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu untuk membacakan kepada beliau Al- Qur’an. Ia berkata kepada Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Wahai Rasululloh, apakah aku akan membacakan AL- Qur’an di hadapanmu sedangkan Al- Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Saya senang mendengarkannya dari orang lain”.

Diriwayatkan oleh al- Bukhori, No. 5050, dalam Fadha-ilul Qur’an, Bab ‘Barangsiapa senang mendengarkan Al- Qur’an dari orang selainnya’ dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu, ia berkata, “Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkata kepadaku, “Bacakan Al- Qur’an untukku”. Saya berkata, “Wahai Rasululloh, Apakah saya akan membacakannya sedangkan Al- Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Ya”. Maka saya pun membacakan Surat An- Nisaa’ hingga pada ayat, “Maka bagaimanakah (halnya orang- orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap- tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (QS. An- Nisaa’: 41). Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berkata, “Cukup”, saya menoleh kepada beliau ternyata kedua matanya sedang berlinang air mata”.

(5) Berkumpul Guna Membaca Al- Qur’an untuk Orang Mati Atau Orang yang Mengundangnya.

(Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dalam “Nur ‘Alad Dardi”, Juz I, I’dad Faziy Musa Abu Syaikhah)

Barangsiapa mengumpulkan manusia untuk membaca Al- Qur’an bersama- sama kemudian menghadiahkan pahalanya untuk orang- orang yang sudah meninggal , perbuatan ini tidak ada dalilnya, dan termasuk Bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat. In idari satu sisi.

Dari sisi lain, apabila para pembacanya diberi upah atas bacaannya, sebagaimana yang sering terjadi di antara mereka, maka perbuatan mereka ini tidak akan mendapatkan pahala, karena mereka membacanya bukan untuk tujuan ibadah kepada Alloh Ta’ala, akan tetapi membacanya untuk tujuan mendapatkan upah. Suatu ibadah apabila dikerjakan untuk tujuan mendapatkan upah, maka perbuatannya itu tidak akan mendapatkan pahala. Demikian pula niat seseorang dalam amalnya untuk tujuan duniawi, akan membatalkan amalnya tersebut.

Suatu bacaan Al- Qur’an akan mendatangkan manfaat apabila tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Alloh, baik dari yang membacanya maupun yang mendengarkannya. Dan harus pula dikerjakan dengan tatacara yang telah disyari’atkan bukan dengan tatacara yang diada- adakan dan dengan lagu- lagu yang dibuat oleh orang- orang bodoh yang menjadikannya sebagai amalan bid’ah. Bacaan dengan cara ini (dengan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal, atau bahkan orang yang masih hidup sekalipun) termasuk perbuatan bid’ah yang tidak mendatangkan pahala.

Kewajiban bagi seorang muslim hendaknya meninggalkan perbuatan semacam ini. Bila menginginkan suatu manfaat bagi orang yang sudah meninggal, hendaknya mengerjakan perbuatan- perbuatan yang bermanfaat sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam berbagai dalil, DARI MULAI MENDO’AKAN AGAR ALLOH MENGASIHI MEREKA, BERSEDEKAH ATAS NAMA MEREKA, MENGHAJIKAN, DAN MENGUMRAHKAN MEREKA. Inilah perbuatan- perbuatan yang mempunyai dasar dalil, yang bisa mendatangkan bagi kaum Muslimin, baik yang hidup maupun yang Mati. Adapun suatu perbuatan yang tidak berdasarkan pada dalil Syar’i. Termasuk perbuatan bid’ah yang sesat”.

(9) Membacakan Al- Fatihah atas Ruh Seseorang atau yang Lain. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah Lil Buhuts al- Ilmiyyah, No. 8946.)
Membacakan Al- Fatihah seusai do’a atau seusai membaca Al- Qur’an, atau sebelum nikah termasuk perbuatan bid’ah karena perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maupun salah seorang dari para Shahabatnya Radhialloohu 'Anhum. Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tiada perintah dari kami padanya, maka amal tersebut tertolak”.

Diriwayatkan oleh Muslim, No. 1718.

Sumber: ‘Penyimpangan Terhadap Al- Qur’an, Kumpulan Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abbullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al- 'ilmiyyah” Hal. 8- 13- 16. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Darul Haq. Jakarta.

Senin, 15 November 2010

Menuliskan Al- Qur’an di atas Kertas Kemudian mencelupkannya ke dalam Air untuk Diminumkan kepada Orang Sakit.

Menuliskan Al- Qur’an di atas Kertas Kemudian mencelupkannya ke dalam Air untuk Diminumkan kepada Orang Sakit.

Yang mempunyai dasar Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam adalah Ruqyah dengan cara membacakan Al- Qur’an atas orang yang sedang sakit secara langsung kemudian meniupkannya ke tubuhnya. Inilah cara ruqyah yang mempunyai dasar dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Atau dengan cara memohonkan perlindungan atasnya dengan do’a- do’a yang digunakan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam untuk berlindung kepada Alloh, semisal mengucapkan (yang artinya),

“Aku memohonkan perlindungan untukmu dengan kalimat- kalimat Alloh yang sempurna dari kejahatan yang diciptakan”.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Radhialloohu 'Anhu bahwasanya ia berkata, “Ada seorang lelaki mendatangi Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Wahai Rasululloh, apa yang harus aku perbuat atas kalajengking yang telah menyengatku tadi malam?”. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“Apabila engkau mengucapkan saat menjelang malam: “Aku berlindung kepada Alloh dengan kalimat- kalimat Alloh yang sempurna dari kejahatan yang diciptakan”, niscaya tidak akan membahayakanmu”. Diriwayatkan oleh Muslim No. 2709, dalam kitab Dzikir dan Do’a, Bab “Berlindung dari Takdir yang Buruk, kesusahan dan lainnya”.

Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhu meriwayatkan bahwasanya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mendo’akan perlindungan untuk Hasan dan Husain, Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya ayah kalian pernah mengucapkannya untuk melindungi Ismail dan Ishaq, “Aku berlindung kepada Alloh dari Setan, Kesedihan dan setiap Mata Jahat”. Diriwayatkan oleh al- Bukhori, No. 3371, dalam Kitab al- Anbiya’, Bab. 10.

atau juga dengan do'a (yang artinya):

“Dengan menyebut Nama Alloh aku memanterai kamu dari segala penyakit yang menyerangmu, dari setiap kejahatan jiwa dan mata jahat yang dengki. Bismillah, aku memanteraimu”.

(Dari Abu Sa’id al- Khudri Radhialloohu 'Anhu diriwayatkan bahwasanya Malaikat Jibril datang kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, apakah engkau merasa sakit..?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Betul”. Malaikat berkata, “Dengan menyebut Nama Alloh aku memanterai kamu dari segala penyakit yang menyerangmu, dari setiap kejahatan jiwa dan mata jahat yang dengki. Bismillah, aku memanteraimu”. Diriwayatkan oleh Muslim, No. 2186, dalam Kitab ‘Salaam’, Bab “Kedokteran, Sakit, dan Mantera”.

atau dengan berdo'a (yang artinya):

“Rabb ku Alloh yang ada di Langit, Maha Suci Nama Mu. Perkara Mu ada di Langit dan Bumi. Sebagaimana Rahmat Mu ada di Langit, maka jadikan pula Rahmat Mu di Bumi. Ampunilah dosa dan kesalahan kami, Engkau Rabb bagi orang- orang yang baik, turunkanlah rahmat dari rahmat Mu, dan kesembuhan dari Kesembuhan Mu”.

Dan beberapa do’a- do’a syar’i lainnya yang digunakan untuk mengobati orang yang sakit.

Adapun menuliskan ayat- ayat Al- Qur’an di atas kertas, piring atau bejana kemudian dicuci lalu orang yang sakit meminum bekas airnya, SEBAGIAN ULAMA MEMPERBOLEHKANNYA KARENA MENGANGGAP MASIH DALAM BATAS RUQYAH. Akan tetapi YANG BENAR adalah yang telah disebutkan bahwa HENDAKNYA MERUQYAH ORANG YANG SAKIT SACARA LANGSUNG, misalnya dengan membacakan Al- Qur’an atas orang yang sakit, atau membacakan Al- Qur’an di atas air kemudian diminumkan kepada si sakit sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Inilah yang benar dan lebih utama, karena kita mengutamakan yang ada dalil- dalilnya. (Fatwa Syaikh Shalih Fauzan al- Fauzan dalam al- Muntaqa, Juz I, hal 72- 73). Wallohu A’lam.

Sumber: “Penyimpangan Terhadap Al Qur’an/ Bida’un Naas Fiil Qur’an (Kumpulan Fatwa:Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al- Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al- Fauzan, dan Lajnah Da’imah Lil Buhuts al- ‘Ilmiyah”. Hal. 70- 72. Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz. Pustaka Darul Haq. Jakarta.

Sabtu, 13 November 2010

Sesungguhnya Jampi, Jimat, dan Tiwalah (Pengasihan) adalah Syirik

AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH MALARANG MEMAKAI JIMAT

Kata Tamaa-im adalah bentuk jamak dari tamimah, yaitu suatu jimat yang dikalungkan di leher atau bagian dari tubuh seseorang yang bertujuan mendatangkan manfaat atau menolak mudhorot, baik kandungan jimat itu adalah Al- Qur’an atau benang atau kulit atau kerikil dan semacamnya. Orang- orang Arab biasa menggunakan jimat bagi anak- anak mereka sebagai perlindungan dari sihir atau guna- guna dan semacamnya.

Jimat terbagi menjadi dua (2) macam,

Pertama, yang tidak termasuk dari Al- Qur’an. Inilah yang DILARANG oleh syari’at Islam. Jika ia percaya bahwa jimat itu adalah subjek atau faktor yang berpengaruh, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat SYIRIK BESAR. Tetapi jika ia percaya bahwa jimat hanya menyertai datangnya manfaat atau mudharat, maka ia dinyatakan telah melakukan Syirik kecil.

Hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam Shahiihul Bukhori dari Shahabat Abu Basyir al- Anshari bahwa beliau pernah bersama Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam suatu perjalanan lalu ia berkata,

“Lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus seseorang untuk mengumukan, kemudian beliau bersabda, “Jangan sisakan satu kalung pun yang digantung di leher unta melainkan kalungnya harus dipotong”.” (HR. al- Bukhori (No. 3005), dan Muslim (No. 2115), dari Shahabat Abu Basyir al- Anshari Radhialloohu 'Anhu).

Dari Ibnu Mas’ud Radhialloohu 'Anhu ia berkata,

“Aku telah mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Jampi, Jimat, dan Tiwalah (Pengasihan) adalah Syirik”. (HR. Abu Dawud No. 3883, Ibnu Majah No. 3530, Ahmad, (I/ 381), dan al- Hakim (IV/ 417- 418), dari Shahabat ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu. Hadits ini Shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 331 dan 2972).

Tiwalah adalah sesuatu yang digunakan oleh Wanita untuk merebut cinta suaminya (pelet) dan ini dianggap sebagai sihir. Jimat diharamkan oleh Syari’at Islam karena ia mengandung makna keterkaitan hati dan tawakkal kepada selain Alloh, dan membuka pintu bagi masuknya kepercayaan- kepercayaan yang rusak tentang berbagai hal yang ada pada akhirnya mengantarkan kepada Syirik Besar.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa menggantungkan Jimat, maka ia telah melakukan Syirik”. (HR. Ahmad, IV/ 156, al- hakim (IV/ 417), dari Shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir al- Juhani Radhialloohu 'Anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 492).

Kedua, yang bersumber dari Al- Qur’an. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Yaitu ada sebagian yangmembolehkan dan ada yang mengharamkannya. Pendapat yang KUAT adalah pendapat yang KEDUA, yaitu MENGHARAMKAN nya. Karena dalil yang mengharamkan jimat menyatakannya sebagai perbuatan Syirik dan tidak membedakan apakah jimat berasal dari Al- Qur’an atau bukan dari Al- Qur’an. Dengan membolehkan jimat dari ayat Al- Qur’an sebenarnya kita telah membuka peluang menyebarnya jimat dari jenis pertama yang jelas- jelas haram. Maka, sarana yang dapat mengantar kepada perbuatan haram mempunyai hukum yang sama dengan perbuatan haram itu sendiri. Ia juga menyebabkan tergantungnya hati kepadanya, sehingga pelakunya akan ditinggalkan oleh Alloh dan diserahkan kepada Jimat tersebut untuk menyelesaikan masalahnya.

Selain itu, pemakaian jimat dari Al- Qur’an juga mengandung unsur penghinaan terhadap Al- Qur’an, khususnya di waktu tidur dan ketika sedang buang hajat atau sedang berkeringat dan semacamnya. Hal semacam itu tentu saja bertentangan dengan kesucian dan kesakralan Al- Qur’an. Selain itu juga, jimat ini dapat pula dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menyebarkan kemusyrikan ddengan alasan jimat yang dibuat dari AL- Qur’an. (Lihat Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al- Islaamiyyah, Hal. 151).
Ibrahim an- nakha’i Rahimahulloh (Wafat tahun 96H) berkata,

“Mereka membenci Jimat, baik yang berasal dari Al- Qur’an maupun yang berasal bukan dari Al- Qur’an”. Maksudnya, Ijma’ ulama Salaf dalam mengharamkan Jimat secara keseluruhan. (Fathul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid, Hal. 153).

Sa’id bin Jubair Rahimahulloh (wafat tahun 95H) berkata,

“Barangsiapa yang memotong sebuah jimat dari seseorang maka pahalanya sama dengan memerdekakan seorang budak”. Perkataan seperti ini tentu saja tidak akan diucapkan tanpa dasar wahyu yang jelas, sehingga ucapan ini dapat dianggap sebagai hadits Mursal, atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’in dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tanpa menyebutkan nama Shahabat, dan ia termasuk seorang pembesar Tabi’in. Maka, hadits mursal semacam ini menjadi hujjah bagi yang menjadikannya sebagai dalil”. (lihat Fat- hul Majiid Syarah Kitaabut Tauhiiid, bab VII: Maa Jaa-a Fir Ruqaa wat Tamaa-im, hal 145- 154, dan al- Madkhal Li Diraasatil ‘Aqiidah al- Islaamiyyah, hal. 150- 151). Wallohu A’lam.

Sumber: ‘Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah”. Hal. 483- 485. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Bogor.

Keterangan

Hadits Mursal= Hadits yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi'in. Gambarannya adalah, apabila seorang Tabi'in mengatakan, "Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "..." atau, "Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melakukan ini dan itu...". (Lihat Shahih at- Targhiib Wa at- Tarhiib IV/ 29. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh. Pustaka Sahifa. Jakarta).

Laut itu Suci airnya dan halal bangkainya

Beberapa Faedah Seputar Makanan

Bangkai Laut Yang Terapung

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah ditanya tentang air Laut maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Laut itu Suci airnya dan halal bangkainya”. (Shahih, Lihat Irwa’ul Ghalil: 9, dan ash- Shahiihah: 480 oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh).


Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air". Alangkah bagusnya apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhialloohu 'Anhuma tatkala beliau ditanya, “Bolehkah saya memakan sesuatu yang terapung di atas air (laut)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. (HR. ad- Daruquthni: 538).



Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Silsilah ash- Shahiihah No. 480, lihat juga al- Muhalla 6/ 60- 65 oleh Ibnu Hazm, dan Syarh Shahih Muslim 13/ 76 oleh imam an- Nawawi).



Hukum Kodok

“Dari Abdurrahman bin Utsman al- Qurosyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Kodok/ Katak dijadikan obat, lalu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang membunuhnya”. (HR. Ahmad 3/ 453, Abu Dawud: 5269, an- Nasa’i: 4355, al- Hakim 4/ 410- 411, al- Baihaqi 9/ 258, 318, dishahihkan oleh al- hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani dan Syaikh al- Albani Rahimahulloh).



Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa Ulama lainnya serta pendapat yang shalih dari madzhab Syafi’i. Al- Abdari menukil dari Abu Bakar ash- Shidiq, Umar bin al- Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ibnu Abbas Radhialloohu 'Anhum, bahwa SELURUH BANGKAI LAUT HUKUMNYA HALAL KECUALI KATAK. (Lihat al- Majmuu’ 9/ 35 oleh Imam an- nawawi, al- Mughni 13/ 345 oleh Ibnu Qudamah, Adhwa’ul Bayan 1/ 59 oleh asy- Syanqithi, Aunul Ma’bud 14/ 121 oleh Adzim Abadi, dan Taudhihul Ahkam 6/ 26 oleh al- Bassam).



Imam Ahmad Rahimahulloh berkata,

“Katak tidak halal sebagai obat, karena Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang membunuhnya”. Penulis al- Qonun (Dia adalah Ibnu Sina, beliau memiliki buku berjudul, ‘al- Qonun Fii ath- Thib, dan buku ini memiliki Syarah dan ringkasan yang banyak sekali, sebagaimana dalam ‘Kasyfu Zhunun’ 2/ 1312), berkata, “Barangsiapa makan darah katak, atau dagingnya, maka badannya akan menjadi lemah, dan kulitnya menjadi pucat dan banyak mengeluarkan mani sehingga bisa membuatnya mati. Oleh karena itu para dokter tidak menjadikannya sebagai obat karena khawatir bahayanya”. (Ath- Thibbun Nabawi, hal. 307 oleh Ibnul Qayyim al- Jauziyyah Rahimahulloh).



Dan menurut keterangan Dr. H. Muhammad Eidman, M.Sc, Tenaga Ahli dari Institute Pertanian Bogor, bahwa dari kurang lebih 150 jenis katak yang berada di Indonesia, baru 10 jeniss yang diyakini tidak mengandung RACUN. (Lihat Himpunan Majelis Ulama Indonesia, hal. 207).





Makan dan Minum dengan Dua Tangan

Syaikh Muhammad bin Sholih al- Utsaimin Rahimahulloh pernah ditanya tentang hukum Makan dan Minum dengan menggunakan dua tangan, apakah dibolehkan? Beliau menjawab,

“Sesungguhnya memegang gelas dengan tangan kiri dan menyandarkannya pada tangan kanan, hukumnya antara boleh dan haram, karena dia tidak menggunakan tangan kiri secara keseluruhan. Demikian pula apabila memegang piring besar dengan dua tangan, atau memegang tulang, atau memegang semangka dengan dua tangan, maka dibolehkan karena darurat, karena dia tidak mengkhususkan tangan kiri, akan tetapi memakai tangan kanan lebih utama”. (Tafsir Surat al- baqoroh, Adab ath- Tho’am, hal, 20).



Makan dengan Sendok

Boleh makan dengan menggunakan sendok (asy- Syarh al- Mumthi’ 12/ 363), karena perkara ini hanya masalah adat kebiasaan saja bukan perkara ibadah.

Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata,

“Aneh, sebagian orang ada yang beranggapan jelek apabila makan dengan sendok! Mereka mengira hal ini menyelisihi Sunnah! Padahal perkara ini hanya adat kebiasaan saja, bukan perkaara ibadah, persis seperti naik Mobil, naik pesawat, atau sarana laionnya yang muncul dewasa ini”. (Adh- Dho’ifah, 3/ 347. Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahulloh).



Cuci Tangan Sebelum Makan

Telah terjadi silang pendapat di anatar ulama tentang hukum mencuci tangan sebelum makan, apakah hal itu termasuk Sunnah ataau tidak..?



Yang mendekati kebenaran bahwa mencuci tangan sebelum makan bukan termasuk perkara ibadah, karena tidak adanya hadits yang shahih dalam masalah ini (Imam al- Baihaqi Rahimahulloh berkata, “Hadits mencuci tangan SETELAH MAKAN adalah Hasan, dan TIDAK ADA HADITS YANG SHAHIH tentang MENCUCI TANGAN SEBELUM MAKAN”. (al- Adaab asy- Syar’iyyah, 3/ 371).



Namun hal ini dianjurkan apabila untuk menghillangkan kotoran yang melekat pada tangannya. Demikian yang ditegaskan oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzib as- Sunan, No. 10/ 166. Lihat pula perinciannya dalam al- Adaab asy- Syar’iyyah, 3/ 369. Walhasil mencuci tangan sebelum makan BUKAN SUNNAH SECARA MUTLAK, juga JANGAN DITINGGALKAN SECARA MUTLAK. Apabila ada kotoran melekat, maka hendaklah dicuci, jika tidak ada maka tidak mengapa makan dengan tanpa mencuci tangan. (Adab ath- Tho’am Wasy Syarob, hal. 7 oleh Ummu Abdillah, asy- Syarh al- Mumthi’, 12/ 368 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin Rahimahulloh). Wallohu A'lamu.



Sumber: ‘Majalah al- Furqon, edisi 4 tahun X. Dzulqo’dah 1431H. Hal 34- 36. Penulis Abu Ubaidah, dan Abu Abdillah”.

Kamis, 11 November 2010

Adab- adab Hari Jum’at

1. Memperbanyak do’a dan mendekatkan diri kepada Alloh, karena di hari Jum’at terdapat waktu yang mustajab (dikabulkannya do’a). Hal ini berdasarkan hadits Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seorang muslim melakukan sholat di dalamnya, dan memohon sesuatu kepada Alloh Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan”. Lalu beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam memberi isyarat dengan tangannya, yang menunjukkan sedikitnya waktu itu”. (HR. al- Bukhori No. 9300, dan Muslim No. 852).

Waktu itu batasnya adalah sampai dengan ‘Ashar dan inilah pendapat jumhur ulama yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Kitabnya, Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad I/ 389,- 394, berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhialloohu 'Anhu, dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,

“Hari Jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Alloh dalam waktu- waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Alloh. Maka carilah di akhir waktu tersebut, yaitu setelah ‘Ashar”. (HR. Abu Dawud No. 1048, an- Nasa-i dalam Sunannya, III/ 99-100, dan al- Hakim dalam al- Mustadrak, I/ 279).

2. Memperbanyak Sholawat kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Perbanyaklah oleh kalian Shalawat kepadaku pada hari Jum’at dan malam Jum’at karena barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali niscaya Alloh bershalawat kepadanya sepuluh kali”. (HR. al- Baihaqi (III/ 249), dari Anas Radhialloohu 'Anhu, sanadnya HASAN. Lihat Silsilah Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 1407).

3. Mandi besar, memakai wangi- wangian dan memakai pakaian yang terbagus. Hal tersebut berrdasarkan sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, beminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kamudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan sholat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa- dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut dan ke Jum’at berikutnya”. (HR. al- Bukhori, No. 883).

4. Membaca Al- Qur’an surat Al- Kahfi, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Barangsiapa membaca surat Al- Kahfi pada hari Jum’at akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at”. (HR. al- Hakim II/ 368, dan al- Baihaqi III/ 249, dishahihkan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Irwaa-ul Ghaliil, No. 626).

5. Bersegera untuk datang lebih awal pada shalat Jum’at. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum;at seperti mandi janabah, lalu segera pergi ke Masjid, maka seakan- akan berkurban dengan unta yang gemuk”. (HR. al- Bukhori No. 881, Muslim No. 850, Abu Dawud N0. 351, dan at- tirmidzi No. 499).

6. Hendaknya mengerjakan sholat Sunnah empat roka’at setelah selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Apabila kalian telah selesai mengerjakan Sholat Jum’at, maka Sholat (sunnah)lah empat Roka’at”. (HR. Muslim, No. 881 (68)).

Mengerjakan sholat sunnah empat rokaat setelah sholat Jum’at –dikerjakan setelah selsesai berdzikir atau telah keluar dari Masjid- (HR. Muslim, No. 883), dapat pula dikerjakan di Masjid sebanyak dua rokaat kemudian ditambahkan dua roka’at lagi dikerjakan di Rumah, (HR. Muslim, N0. 881 (68)), dan tidak boleh melakukan Sunnah tersebut di tempat mengerjakan Sholat Jum’at (HR. Ibnu Majah, No. 1127)). Wallohu A’lam/.

Sumber: “Aadaab Islaamiyyah/ Adab Harian Muslim Teladan”. Hal. 165- 168. ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as- Suhaibani. Pustaka Ibnu Katsir. Bogor.


Sesungguhnya Alloh tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa- apa yang diharamkan atas kalian.


(56). Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Melarang Nusyrah (Mengobati Sihir dengan Sihir)

Dalam Islam DILARANG MENGOBATI SIHIR DENGAN SIHIR atau mendatangi DUKUN, karena dukun hanyalah mengusir Syaithan Sihir dengan syaithan sihir yang lain. Maka ibarat mengusir maling dengan meminta bantuan perampok atau penjarah.


Ibnul Jauzi Rahimahulloh (wafat tahun 597H) berkata,

“Nusyrah adalah melepaskan sihir dari orang yang tekena sihir, dan hampir tidak ada yang mampu melakukannya kecuali oleh orang yang mengetahui sihir”. (Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid, Hal. 341, tahqiq Dr. Al- Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad al- Furaiyan).


Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhialloohu 'Anhuma, ia berkata,

“Sesungguhnya Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah ditanya tentang Nusyrah, maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab,

“NUSYRAH ITU TERMASUK PERBUATAN SYAITHAN”

HR. Ahmad (III/ 294), Abu Dawud (No. 3868), al- Baihaqy (IX/ 351), al- Hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani mengatakan, “Sanadnya Hasan”. Lihat Fat- hul Baari (X/ 233), dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Hidaayatur Ruwaat, No. 4481.


Ibnu Qayyim al- Jauziyyah Rahimahulloh (Wafat tahun 751H) menjelaskan,

“NUSYRAH adalah penyembuuhan terhadap seseorang yang terkena sihir. Caranya ada dua macam, (1) Dengan menggunakan Sihir pula, dan INILAH YANG TERMASUK PERBUATAN SYAITHAN, (2) Penyembuhan dengan menggunakan Ruqyah, ayat- ayat Ta’awwudz (perlindungan), obat- obatan, dan do’a- do’a yang diperkenankan. Cara ini hukumnya JA- IZ (Boleh)”. (Lihat Fat- hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid, hal 343).


Para ulama telah sepakat untuk membolehkan Ruqyah dengan tiga (3) Syarat,

1. Ruqyah itu dengan menggunakan firman Alloh ‘Azza wa Jalla atau Asma’ dan Sifat- Nya atau Sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam.
2. Ruqyah itu harus diucapkan dalam bahasa Arab, diucapkan dengan makna yang jelas dan dapat dipahami maknanya.
3. Harus diyakini bahwa bukanlah zat ruqyah itu sendiri yang memberikan pengaruh, tetapi yang memberikan pengaruh itu adalah kekuasaan Alloh ‘Azza Wa Jalla, sedangkan ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja. (Lihat Fat- hul Baari (X/ 195), juga Fataawaa al- ‘Allamah Ibnu Baaz (II/ 384).

Apabila seseorang terkena Sihir, santet, Guna- guna, kesurupan jin dan lainnya, maka hendaknya BERIKHTIAR SESUAI DENGAN SYARI’AT dan MENCARI OBATNYA DENGAN USAHA YANG MAKSIMAL. Dalam usaha seorang hamba, untuk mengobati penyakit yang diderita, haruslah memperhatikan 2 (dua) hal,


Pertama, bahwa OBAT dan DOKTER hanyalah SARANA KESEMBUHAN, sedangkan yang benar- benar menyembuhkan adalah Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Alloh Ta’ala berfirman mengisahkan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, “WA IDZAA MARIDHTU FAHUWA YASYFIIN”

“Dan apabila aku sakit, Dia- lah yang menyembuhkanku”. (QS. Asy- Syu’ araa’ :80).

Kedua, ikhtiar tersebut TIDAK BOLEH DILAKUKAN DENGAN CARA- CARA YANG HARAM DAN SYIRIK. Di antara yang haram seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang, atau barang- barang haram karena Alloh tidak mengijinkan penyembuhan dari barang yang haram.

Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya Alloh menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram”.

(HR. Ad- Daulabi dalam al- Kuna, dihasankan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Silsilatul Ahaadiits ash- Shahiihah, No. 1633, dari Shahabat Abud Darda’ Radhialloohu 'Anhu).


‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Sesungguhnya Alloh tidak menjadikan kesembuhan penyakit kalian pada apa- apa yang diharamkan atas kalian”.

(HR. al- Bukhori, Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya Shahiih atas syarat al- Bukhori dan Muslim”. Lihat Fat- hul Baari (X/ 78- 79), dari Shahabat ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu dan di- Maushul- kan oleh ath- Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (IX/ 345, No. 9714- 9717).

Langkah yang ditempuh oleh orang yang terkena sihir, guna- guna, santet, dan lainnya hendaklah ia berobat dengan pengobatan Syar’i dengan cara memakan 7 butir Kurma ‘Ajwah (Kurma Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam) setiap pagi, minum Habbatus Sauda’ (Jintan Hitam), dibekam, dan diruqyah (dibacakan ayat- ayat Al- Qur’an dan do’a- do’a dari Sunnah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang Shahih), insya Alloh akan sembuh dengan izin Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. (Tentang pengobatan sihir dan Guna- guna serta lainnya, lihat buku ‘Do’a dan Wirid mengobati Guna- guna dan Sihir menurut Al- Qur’an dan Sunnah oleh Penulis (#Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas). Penerbit Pustaka Imam asy- Syafi’i). Walloohu a'lamu.


Sumber: “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah”. Hal. 468- 470. Bab 58:Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Melarang Nusyrah. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam asy- Syafi’i. Bogor.