Sabtu, 15 Desember 2012

Wasiat Emas Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (Wafat Th. 561H)

Dalam Kitabnya al- Fathur Rabbani Wal Faidhur Rahmani hal. 207 beliau Rahimahullah mengatakan,
“Dasar Kebaikan itu adalah dengan mengikuti (ittiba’) Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam, baik dalam ucapan, maupun perbuatan beliau” (Syaikh Abdul Qadir al Jilani hal. 419)
Beliau juga menyatakan di dalam kitabnya, al- Ghunyah hal. 103:
“Yang paling utama bagi seorang mukmin yang berakal/ cerdik adalah mengikuti Sunnah, Tidak berbuat Bid’ah (Perkara baru dalam agama), Tidak berbuat hal yang melewati batas (Ghuluw), berdalam- dalam (dalam perkara yang dilarang) dan tidak pula membebani diri sendiri di luar kemampuan (Takalluf), semua itu agar dia tidak tersesat, tergelincir, dan binasa. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu telah mengatakan,
“Cukuplah bagimu untuk mengikuti saja (ittiba’), dan tidak perlu kamu berbuat bid’ah (mengadakan ajaran yang baru), karena Sesungguhnya (Ajaran Islam ini) telah sempurna (Sehingga tidak perlul penambahan)”.
(Atsar Shahih, Diriwayatkan oleh ath- Thabarani dalam al- Mu’jamul Kabir (IX/ 168) No. 8770, al- Haitsami mengatakan di dalam Majma’uz Zawaa-id (I/ 181): “Para Perawinya adalah Para Perawi Kitab Shahiih”, dan diriwayatkan juga oleh ad- Darimi (I/ 69), al- ‘Ajluni dalam Kitabnya Kasyful Khafa’ (I/ 36) No. 63 mengatakan, “An- Najm yakni Syaikh Najmuddin al- Ghazi) mengatakan, “Sanadnya Shahiih”.
Kemudian Imam Ahmad telah meriwaayatkannya juga dalam Kitab Az-Zuhd Hal. 202, Waki’ juga dalam Kitab Az-Zuhd Hal 315, ad-Darimi dalam Muqaddimah Sunan-nya (I/ 69), al- Baihaqi dalam Kitab al- Madkhal Ilas Sunan Hal. 204 dengan tambahan yang Shahiih, “Karena Sesungguhnya Setiap Bid’ah itu Sesat”. Sebagaimana Hal itu dikatakan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al- Hilali dalam Risalah-nya Min Washayas Salaf).
Dalam Kitabnya al- Fathur Rabbani Wal Faidhur Rahmani hal. 35 (majlis ke-10) beliau Rahimahullah mengatakan,
“Hendaklah kamu ber-ittiba’ dan janganlah kamu berbuat bid’ah, dan hendaklah kamu juga mengikuti madzhab Salafush Shalih, Berjalanlah kamu di Jalan yang Lurus”. (Syaikh Abdul Qadir al- Jilani hal, 76)
Imam adz-Dzahabi dalam Kitab-nya Siyaar A’laamin Nubala’ (XX: 442) menyebutkan bahwa Syaikh Abdul Qadir al- Jilani Seringkali mengatakan,
“Aqidah (keyakinan) kami adalah ‘Aqidah (kaum) Salafush Shalih dan ‘Aqidah Para Shahabat”
Dalam Kitab Futuhul Ghaib Hal. 21 disebutkan bahwa Syaikh ‘Abdul Qadir al- Jilani mengatakan,
“Sirnakanlah kegelapan (kezhaliman) dengan Cahaya Lentera, Yakni (Cahaya) Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam, Bila Terbesit di dalam hatimu sesuatu atau datang kepadamu suatu Ilham, maka timbanglah semua itu dengan Al Qur’an dan Sunnah. Bila kamu mendapati di dalam Al Qur’an dan Sunnah bahwa perkara tersebut telah diharamkan, Seperti Zina, Riya’, Bergaul dengan Orang- orang yang Fasik dan Zhalim, dan yang semisal dengan itu dari perbuatan Dosa dan Maksyiat, maka janganlah kamu menerima hal itu dan jangan pula kamu kerjakan, dan pastikanlah bahwa hal itu datangnya dari setan yang terlaknat”.
Beliau Rahimahullah juga mengatakan di Kitab Futuhul Ghaib Hal. 65:
“Perhatikanlah keadaanmu dengan penuh kasih dan sayang, dan Jadikanlah Al-Qur’an dan Sunnah Sebagai Imam yang berada di hadapanmu, Pelajarilah kandungan Al- Qur’an dan Sunnah itu, Kemudian Amalkanlah. Dan Janganlah kamu terpengaruh dengan apa yang dibicarakan oleh orag- orang dan dari perkataan yang Gila dan membingungkan. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman,
“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka kerjakanlah perintah tersebut. Dan apa yang dilarang olehnya atasmu, maka Tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr: 7).
Dan janganlah kamu menyelisihi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam Sehingga akhirnya kamu akan meninggalkan amal ibadah yang telah ditetapkan oleh beliau, dan justru kamu membuat- buat cara amal ibadah sendiri dengan tanpa mengikuti contoh beliau, sebagaimana yang telah Allah sebutkan tentang keadaan kaum Nashara yang telah tersesat dari Jalan- Nya, di mana Dia berfirman,
“Dan mereka mengada- adakan rabbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada- adakannya)” (QS.Al- Hadiid: 27)” (Syaikh Abdul Qadir al- Jilani Hal 507- 508)).
Beliau adalah Abdul Qadir bin Abi Shalih, Abu Muhammad, Muhyiddiin, Syaikh Abdul Qadir al- Jilani (471- 561H atau 1078- 1166M). Beliau disebut sebagai seorang Imam atau Syaikhul Islam. Madzhab beliau dalam Fikih adalah Madzhab Hanbali (Nisbat kepada al Imam Ahmad bin Hanbal (Wafat 241H/ 855M). Imam Ibnu Qudamah mengatakan,
“Syaikh Abdul Qadir, termasuk Seorang Pemimpin ulama di Baghdad dalam hal ilmu dan amal, … “ (Dzail Thabaqat Hanabilah (I/ 293- 294))
Syaikhul Islam Ibni Taimiyyah mengatakan dalam Kitab Majmuu’ Fatawa (X/ 488):
“Dan Syaikh Abdul Qadir dan yang semisalnya termasuk para ulama yang diagungkan pada zaman-nya, dan beliau juga termasuk seorang yang paling keras dalam memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada Ajaran Agama (Al- Qur’an dan As-Sunnah)…”
Rujukan mengenai Biografi Syaikh Abdul Qadir al- Jilani dapat dilihat pada Kitab al- Muntazham (X/ 219) oleh Ibnul Jauzi, Dzail Thabaqat Hanabilah (I/ 290) karya Ibnu Rojab, Siyaar A’laamin Nubala’ (XX/ 439- 451) oleh Imam Adz- Dzahabi, al- Bidayah Wan Nihayah (XII/ 252) karya Ibnu Katsir dan lainnya. Wallahu a’lam. Sumber: “Wasiat Emas & Aqidah SYAIKH ABDUL QADIR JAELANI Rahimahullahu Ta’ala” Hal. 25- 44. Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Jakarta.

Rabu, 12 Desember 2012

Do'a Nabi Yunus 'Alaihis Salam

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
"Dzunnun Sewaktu berada di perut ikan berdo'a, Laa Ilaaha Illaa Anta Subhaanaka innii kuntu minadz-dzhoolimiin (Tiada Tuhan yang berhak disembah Selain Engkau, Maha Suci Engkau, Sesungguhnya aku dahulu termasuk Orang- orang yang Zhalim) Setiap muslim yang berdo'a dengan do'a ini pasti akan Allah kabulkan"
(HSR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasaa-i, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Lihat Shahiih Jami'us Shaghir No. 3383) #Sms-T#

Sabtu, 24 November 2012

Ilmu Adalah Imamnya Amal.

Sebagian Ulama Salaf berkata, "Barangsiapa beribadah [beramal] kepada Allah tanpa Ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak dari pada apa yang dia perbaiki".
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, Siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya..." (QS. Al- Mulk: 2)
Imam Fudhail bin 'Iyadh Rahimahullah (wafat th. 187H) mengatakan,
"Maksudnya supaya Allah menguji kalian siapa diantara kalian yang paling Ikhlas amalnya dan paling benar. Sesungguhnya Suatu amal jika Ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika benar namun tidak Ikhlas juga tidak diterima hingga ia Ikhlas dan Benar. Ikhlas yaitu dilakukan karena Allah, dan Benar yaitu Harus Sesuai dengan Sunnah" [Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibni Taimiyyah (I/ 333)]
Ikhlas dan Sesuai Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam adalah dua Syarat diterimanya Amal. Seseorang tidak mungkin bisa mengerjakan suatu amal yang menghimpun kedua syarat tersebut kecuali dengan Ilmu. Tanpa Ilmu, amal tidak mungkin diterima oleh Allah 'Azza Wa Jalla. Jadi Ilmu adalah Petunjuk Jalan kepada Ikhlas dan Petunjuk jalan kepada mengikuti Sunnah Rasulillah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam. [Lihat al-'Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 92-93)] #bbm- T#

Jumat, 09 November 2012

Amalan yang Pahalanya tetap MENGALIR kepada Seorang Hamba setelah Mati.

Amalan yang Pahalanya tetap MENGALIR kepada Seorang Hamba setelah Mati. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Tujuh (7) perkara yang pahalanya mengalir kepada seorang hamba sementara dia di dalam kubur setelah mati: Orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid, atau mewariskan mushaf, atau dia meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya setelah kematiannya”.
Hasan, Diriwayatkan oleh al- Bazzar dan Samawaih dari Anas, dan dihasankan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahiih al- Jaami’, No. 3596, dan Shahiih at- Targhiib, 1/ 55. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Empat (4) perkara yang pahalanya mengalir kepada mereka setelah mati: Orang yang mati dalam keadaan Ribath (berjaga- jaga) di jalan Alloh, Orang yang mengajarkan Ilmunya, pahalanya mengalir selama ilmunya diamalkan, orang yang bersedekah, maka pahalanya mengalir untuknya selama masih ada, dan orang yang meninggalkan anak Shalih, yang berdo’a untuknya”.
Hasan, Diriwayatkan oleh Ahmad, dan ath- Thabrani dalam al- Mu’jam al- Kabir dari Abu Umamah dan dihasankan oleh Syaikh al- Albani Rahimahulloh dalam Shahiih al- Jaami’, No. 890. Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Empat (4) amalan orang hidup yang pahalanya mengalir untuk orang mati: Seorang laki- laki yang meninggalkan seorang anak yang Shalih yang berdo’a untuknya, do’anya berguna baginya. Seorang laki- laki yang bersedekah jariyah setelahnya, pahalanya untuknya selama ia mengalir setelahnya. Seorang laki- laki yang mengajarkan ilmu lalu ia diamalkan setelahnya, dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun”.
Hasan, Diriwayatkan oleh ath- Thabrani dalam al- Mu’jam al- Kabir dari Salman, dan dihasankan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahiih al- Jaami’, No. 901. Syaikh al- Albani di komentarnya dalam Shahiih al- Jaami’/ 1/ 30 berkata, “Ketika diperhatikan yang keempat tidak disebutkan, dan bisa jadi ia adalah orang yang Ribath (bersiap- siaga) di jalan Alloh, sebagaimana ia telah berlalu di hadits 890, kemudian aku tidak melihat hadits ini dinisbatkan kepada ath- Thabrani atau lainnya dari hadits Salman”. Dari hadits- hadits ini kita petik beberapa sebab lain yang dapat membuahkan ampunan selain yang telah disebutkan: Orang yang membuat Irigasi Pengairan, Orang yang Menggali Sumur, Orang yang Meninggalkan Sedekah Jariyah Sesudahnya, Orang yang Mewariskan Mushaf, Orang yang Mati dalam Keadaan Bersiap- siaga di jalan Alloh, Orang yang Meninggalkan Anak yang Memohonkan Ampun untuknya. Wallohu A’lam.

Selasa, 06 November 2012

Keutamaan Hari Jum'at

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam Bersabda,
“Sesungguhnya di antara hari- hari kalian yang paling baik adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam ‘Alaihis Salam diciptakan, pada hari itu juga dia diwafatkan, pada hari itu ditiup Sangkakala, dan pada hari itu pula semua makhluk hidup akan mati. Karena itu, Perbanyaklah membaca Shalawat kepadaku karena bacaan Shalawat kalian akan disampaikan kepadaku”.
Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana Shalawat kami akan disampaikan kepadamu Sedangkan (jasad) engkau telah hancur?” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa Ta'ala melarang Bumi untuk memakan jasad para Nabi”.
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 1047, 1531, an- Nasa-i III/91-92, Ibnu Majah No. 1636, Ahmad IV/ 8, Ibnu Hibban No. 550, dan al- Hakim I/ 278 di dalam Shahiih- nya. Syaikh al- Albani Rahimahullah men- Shahiih kan hadits ini dalam Shahiih at- Targhiib wat Tarhiib (No.696))#sms-t#

Sabtu, 27 Oktober 2012

Jaminan bagi Orang- orang yang memperbaiki Akhlaknya

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Saya menjamin sebuah rumah di Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan kendati mengandung kebenaran, rumah di tengah Surga bagi orang yang meninggalkan kebohongan kendati hanya bercanda, dan rumah di lantai atas Surga bagi orang yang memperbaiki akhlaknya (sampai menjadi akhlak hasanah). (HR. Abu Daud dinilai Shahih oleh Syaikh al-Albani dalam shahih sunan Abi dawud no. 4015)#sms-T#

Selasa, 23 Oktober 2012

Kisah Seorang Wanita Beserta Ibunya

Kisah Seorang Wanita Beserta Ibunya Dari Yahya bin Katsir dia berkata, “Suatu ketika Abu Musa al- Asy’ari dan Abu Amir datang menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam untuk berbaiat kepada beliau dan masuk Islam. Ketika itu beliau Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bertanya,
“Apa yang kamu lakukan terhadap istrimu yang kamu tuduh demikian dan demikian?”
Keduanya menjawab,
“Dia kami tinggalkan pada keluarganya”
Beliau menjawab,
“Sesungguhnya mereka telah diampuni”
Mereka menjawab,
“Mengapa, Wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab,
“Karena dia berbuat baik kepada Ibunya”
Kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam berkata melanjutkan,
“Dia memiliki seorang ibu yang sangat tua. Suatu ketika ada seseorang yang berseru, “Wahai manusia, ada musuh yang hendak memporak- porandakan kalian..!” . Lalu dia menggendong ibunya yang telah tua itu. Bila ia lelah, dia turunkan ibunya, kemudian dia pindah ke depan. Digendonglah ibunya dari arah depan. Dia taruh telapak kaki ibunya di atas kakinya untuk menghindarkan ibunya dari sengatan panas. Begitu terus sehingga akhirnya dia Selamat dari Sergapan musuh”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam kitab al- Mushannaf –nya).
Berbakti kepada kedua orang tua memiliki keutamaan dan pahala yang besar di Sisi Allah Subhaanahu Wa Ta'ala, dan merupakan Salah Satu amal perbuatan yang paling utama. Allah Ta'ala berfirman,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah Semakin lemah dan menyapihnya setelah berumur dua tahun. Bersyukurlah kepada- Ku dan kepada kedua orang tuamu” .(QS. Luqman: 14)
Shahabat Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu berkata,
“Aku bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam, “Amal Apakah yang paling utama?” Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam menjawab, “Shalat pada waktunya” (dalam riwayat lain disebutkan, “Shalat di awal waktunya" ). Ia berkata, “Aku bertanya, “Kemudian apa?’ Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua Orang tua”. Ia berkata, “Aku bertanya, Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad di Jalan Allah”’. (Shahiih, HR. al- Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85), an- Nasa-I (I/ 292- 293), at- Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/ 409- 410, 439 dan 451), dan lafazh ini milik Muslim).
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,
“Celakalah, Celakalah, dan Sekali lagi Celakalah!” Lalu ada yang bertanya. “Siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah berkata, “Orang yang mendapati kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau kedua- duanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk Surga (karena sikapnya kepada kedua orang tuanya itu)”. (Shahiih, HR. Muslim (no. 2551) dan Ahmad (II/ 254, 346). Wallahu a’lam.
Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah Subhaanahu Wa Ta'ala untuk menjadi anak2 yang berbakti kepada kedua orang tua kita. Aamiin. Sumber : ‘Kisah- kisah teladan Bakti Anak kepada Ibu Bapak’ Hal. 56- 57. Syaikh Ibrahim bin Abdullah Musa al Hazimi. Media Hidayah. & ‘Birrul Walidain: Berbakti kepada Kedua Orang tua”. Hal. 42, 54. Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. #bbm- T#

Seorang yang Benar- benar Mencari Ridho Allah Ta'ala

[Mencari Ridho Allah Subhaanahu Wa Ta'ala] Dari Tsauban Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam beliau bersabda,
“Sesungguhnya Seorang hamba benar- benar mencari Ridha Allah dan ia senantiasa demikian, maka Allah mengatakan kepada Jibril, 'Sesungguhnya fulan hamba- Ku mencari ridha- Ku. Ketahuilah bahwa rahmat- Ku untuknya'. Maka Jibril mengatakan, “Rahmat Allah untuk fulan”. Kata- kata itu pun diucapkan oleh para Pemikul ‘Arsy, lalu diucapkan oleh para Malaikat yang berada di sekeliling mereka, hingga diucapkan oleh penghuni tujuh langit, kemudian rahmat itu turun ke Bumi”.
(HR. Ahmad dalam Musnad- nya, dan Syaikh Syu’aib al- Arna’uth menilai Sanadnya Hasan). #sms- T#

Senin, 10 September 2012

TUMBUH DALAM ASUHAN IBUNDA [5]


TUMBUH DALAM ASUHAN IBU
5. Ibunda Imam asy- Syafi’i Rahimahullah.

[oleh Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran [Secara Ringkas- Edt]

Dia adalah Seorang Ibu dengan cita- cita mulia bagi putranya yang yatim. Kemiskinan hidup tak menyurutkan keinginannya agar putranya menjadi seorang yang berilmu. Dia pun menyerahkan asy- Syafi’i kecil ke kuttab (semacam tempat pendidikan anak- anak di masjid).

Karena sang ibu tak memiliki apa- apa yang bia diberikan kepada gurunya, asy- Syafi’i kecil rela belajar sambil berdiri. Ketika gurunya berdiri, asy- Syafi’i kecil menempati tempatnya dengan keridhaan sang guru. Demikian keadaannya hingga al- Imam asy- Syafi’i menyelesaikan hafalan al- Qur’an ketika masih berusia kanak- kanak. Setelah itu, barulah al- Imam asy- Syafi’i Rahimahullah duduk di majelis para ulama di masjid untuk mendengar pembahasan berbagai masalah dan menghafal hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam.

Saat itu pun sang Ibu belum memiliki biaya untuk keperluan puteranya menuntut ilmu. Al- Imam asy- Syafi’i kemudian mengumpulkan tulang, tembikar, kulit unta, dan pelepah kurma untuk menuliskan hadits yang dia dapatkan. Setelah penuh tulisan, tulang, tembikar dan yang lainnya itu disimpan dalam tempayan. Ibunya pun merelakan rumahnya yang kecil untuk meyimpan tempayan itu.

Suatu ketika tempayan- tempayan itu telah menyempitkan rumah mereka, hingga akhirnya al- Imam asy- Syafi’i menghafal semua hadits- hadits yang ditulis dan disimpannya. Kemudian Allah Subhaanahu Wa Ta'ala memberikan kelapangan kepada imam asy- Syafi’I Rahimahullah untuk menuntut ilmu ke Negeri Yaman, (Waratsatul Anbiya’ Hal. 36).

--------------------------------------------------

Inilah kiprah beberapa ibu yang shalehah dalam membesarkan dan mendidik buah hatinya. Semoga menjadi teladan yang baik bagi kita dalam hal keikhlasan, kemuliaan cita- cita, kesungguhan, dan kesabaran hingga berbuah kemuliaan dan kebahagiaan bagi anak- anak kita di dunia ini dan akhirat nanti. Wallahu a'lam.

Sumber: “Majalah Asy Syariah- Rubrik Permata Hati- ‘Tumbuh Dalam Asuhan Ibu- Oleh Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran- Hal. 90- 99. Edisi VIII/1433H/ 2012 N0. 85.

Referensi lainnya :

1. ‘Mereka Adalah Para Shahabiyah’ Hal. 165- 168, “Shafiyyah bintu ‘Abdul Muththalib, Bibi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam./ Dr.Abdurrahman Ra’fat Basya. Pustaka at- Tibyan.

2. ’10 Shahabat Nabi yang Dijamin Surga’, Hal. 327- 334. ‘az- Zubair bin al- ‘Awwam. /Muhammad Ahmad Isa. Pustaka imam asy- Syafi’i

3. “Mereka adalah Para Tabi’in” 125- 138, Ar- Rabi’ah Ar- Ra’yi/ Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya. Pustaka at- Tibyan.

4. “60 Biografi Ulama Salaf” Hal. 212- 230. Imam Sufyan Ats- Tsauri. / Syaikh Ahmad Farid. Pustaka al- Kautsar.

5. “60 Biografi Ulama Salaf” Hal. 258- 276. “Malik bin Anas, Imam Daar al- Hijrah”/ Syaikh Ahmad Farid. Pustaka al- Kautsar.

6. “60 Biografi Ulama Salaf: ‘Muhammad bin Idris asy- Syafi’i- Nashir al- Haq wa as- Sunnah- Hal. 355- 384. Syaikh Ahmad Farid. Pustaka al- Kautsar.

TUMBUH DALAM ASUHAN IBUNDA [4]


TUMBUH DALAM ASUHAN IBU
4. Ibunda al- Imam Malik bin Anas Rahimahullah (Wafat th. 179H)
.
[oleh Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran [Secara Ringkas- Edt]

Ibunda seorang imam besar yang mendapat gelar Imam Daarul Hijrah (Madinah). Seorang imam yang dikenal dengan kefakihannya dan kebagusan penampilannya saat hadir di majelis ilmu.

Setiap kali hendak keluar di hadapan murid- muridnya untuk menyampaikan hadits, Imam Malik terlebih dahulu berwudhu seperti berwudhu untuk SHalat. Lalu beliau mengenakan pakaiannya yang terbagus, mengenakan qalansuwah (kopiyah), menyisisr jenggotnya, serta memakai wangi- wangian. “Dengan ini semua, aku memuliakan hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam”. Demikian kata beliau.

Siapakah gerangan yang turut berperan dalam membentuk pribadi al- Imam Malik Rahimahullah yang sedemikian bagusnya?

Imam Malik menceritakan kisah di masa kecilnya,

“Aku pernah berpemitan kepada ibuku, “Ibu, aku hendak pergi belajar” Ibuku menahanku,

“Kemarilah dahulu! Kenakan pakaian Ilmu!” lantas ibuku memakaikanku mismarah, memasangkan kopiah di kepalaku, dan melilitkan serban di atasnya. Barulah ibuku mengatakan, “Nah, Sekarang berangkatlah dan belajarlah”.

Ibunya pula yang senantiasa memberikan nasihat kepadanya. Pernah sang ibu menasehatkan, “Pergilah ke Majelis Rabi’ah (guru Imam Malik), pelajarilah adab nya sebelum kau pelajari ilmunya!”. (Tahdzibul Kamal, Biografi Malik bin Anas, Waratsatul Anbiya’ Hal. 39).

TUMBUH DALAM ASUHAN IBUNDA [3]


TUMBUH DALAM ASUHAN IBU
3. Ibunda Sufyan ats- Tsauri (Sufyan ats- Tsauri Rahimahullah adalah seorang Tabi’in. beliau lahir tahun 97 H dan wafat di Bashrah tahun 161H. Guru dari imam Abdullah Ibnu al- Mubarak, Fudhail bin Iyadh, Abu Ishaq al- Fazari , Al- Faryabi dkk).
[oleh Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran [Secara Ringkas- Edt]

Ibu yang shalehah inilah yang memompa semangat kepada putranya untuk menuntut ilmu. Dengan penuh kesabaran, dia membimbing putranya agar selalu mengambil faedah dari ilmu yang didapatkan dan dari majelis para ulama. Dia menasehatkan pula kepada putranya, bahwa semestinya ilmu yang didapatkan akan berpengaruh pada perilaku, adab, dan pergaulannya para orang sekelilingnya. Jika tidak, tak ada gunanya ilmu itu.

Ibu yang baik ini mendorong putranya untuk hadir di majelis ilmu di hadapan para ulama, sembari mengatakan,

“Wahai anakku, ambillah sepuluh dirham ini dan pelajari 10 hadits! Jika hadits- hadits itu bisa mengubah perilaku dan ucapanmu pada manusia, ambillah hadits itu. Aku akan membantumu dengan alat pintalku ini. Jika tidak, tinggalkan hadits itu, karena aku takut hal itu hanya akan menjadi kebinasaan bagimu di hari Kiamat”. (Waratsatul Anbiya’ hal. 37).


Dari pendidikan ibu yang shalehah ini- dengan izin Allah 'Azza Wa Jalla – Sufyan ats- Tsauri Rahimahullah menjadi seorang imam, tokoh agama di zamannya. Dirinya dihiasi dengan kekokohan hafalan, sifat wara’ (kehati- hatian) dan zuhud, serta tidak pernah merasa butuh kepada pujian.

TUMBUH DALAM ASUHAN IBUNDA [2]



TUMBUH DALAM ASUHAN IBU
2. Ibunda Rabi’ah (Guru al- Imam Malik Rahimahullah, wafat di Madinah pada 136H).
[oleh Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran [Secara Ringkas- Edt]

Seorang Ibu bagi putranya yang alim, fakih, banyak menghafal hadits dan fikih. Bagi seorang ibu seperti dia, nilai seorang anak yang shaleh dan berilmu lebih berharga daripada sejumlah besar harta. Di tengah kepergian suaminya, ibu yang sholehah ini membesarkan putranya seorang diri, hingga Allah ta’ala memberikan anugerah Indah, Putranya menjadi seorang imam besar ketika dewasa.

Kala Rabi’ah masih berada dalam rahim ibunya, sang ayah, Farrukh Abu ‘Abdirrahman, berpamitan hendak pergi ke Khurasan untuk berperang pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Farrukh menitipkan uang sebesar 30.000 dinar kepada ibu Rabi’ah. Setelah itu, berangkatlan Farrukh meninggalkan negerinya, Madinah, menuju negeri yang jauh.

27 Tahun kemudian, barulah Farrukh kembali ke Madinah. Dengan menunggang kuda dan menggenggam tombaknya, Farrukh menuju ke rumahnya. Di depan rumahnya, dia turun dari kudanya, dan mendorong daun pintu rumahnya dengan tombaknya untuk masuk.
Tiba- tiba muncul Rabi’ah yang saat itu telah dewasa, menghadang Farrukh.

Farrukh marah besar melihatnya, “Hai musuh Allah! Kamu berani- berani masuk ke rumahku!”

“Tidak!” jawab Rabi’ah tak kalah berang.

“Hai musuh Allah! Kamu ini laki- laki yang lancing masuk menemui istriku!” ujar Farrukh.

Pertengkaran ini pun berlanjut dengan adu fisik hingga mengundang perhatian tetangga, mereka pun berdatangan. Berita ini terdengar oleh al- Imam Malik dan para tokoh lainnya. Mereka pun segera datang untuk menolong Rabi’ah. Saat mereka datang, perseteruan masih berlangsung.

“Demi Allah! Aku tak akan melepaskanmu selain ke hadapan Sulthan!” kata Rabi’ah.

“Demi Allah! Aku juga tak akan melepaskanmu selain di hadapan Sulthan, sementara kamu ada bersama istriku!” balas Farrukh.

Keributan masih terus berlangsung. Ketika melihat al- Imam Malik, barulah mereka semua diam. Dalam suasana tenang, al- Imam Malik mengatakan kepada Farrukh, “Wahai Syaikh, anda bisa mencari tempat lain selain di rumah ini”.

“Tetapi ini rumahku! Aku ini Farrukh maula Bani Fulan!”

Ibu Rabi’ah mendengar ucapan itu dari dalam rumah, bergegas dia keluar, “Benar, dia Suamiku dan ini anakku yang dia tinggalkan saat masih dalam kandungan”. Jelas Ibu Rabi’ah.

Mendengar penjelasan itu, mereka berdua saling berpelukan sambil menangis haru. Lantas mereka masuk ke dalam rumah.

“Ini anakku?” ujar Farrukh.

“Ya” Jawab ibu Rabi’ah.

“Mana Harta yang dahulu aku titipkan kepadamu? Aku membawa 4,000 dinar lagi” Tanya Farrukh.

“Harta itu sudah ku kubur, Nanti beberapa hari lagi aku keluarkan! Jawab ibu Rabi’ah.

Setelah itu Rabi’ah pergi keluar menuju masjid Nabawi. Di sana dia duduk di Halaqah Ilmu. Al- Imam Malik Rahimahullah dan para tokoh Madinah datang di majelisnya pula.

Di Rumahnya, ibu Rabi’ah berkata kepada Suaminya, “Pergilah! Shalatlah di Masjid Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam!”

Farrukh pergi Sholat di Masjid Nabawi. Di sana ia melihat majelis yang didatangi banyak orang. Dia datang mendekat. Orang- orang pun memberikan tempat baginya.

Rabi’ah menundukkan kepalanya agar tak terlihat oleh ayahnya. Saat itu ia memakai kopyah. Farrukh sedikit ragu melihatnya, “Siapa orang itu?” tanyanya kepada orang- orang di sebelahnya.

“Itu Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman!” Jawab mereka.

“Allah telah memuliakan anakku” gumam Farrukh.

Lalu dia segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Farrukh berkata, “Aku telah melihat anakmu dalam keadaan yang belum pernah ku lihat dari seorang ahli ilmu dan fikih seperti itu”.

“Nah, mana yang lebih kau sukai, uang 30,000 dinar atau anak yang mempuanyai kedudukan seperti itu? Tanya Ibu Rabi’ah.

“Demi Allah! Tentu saja aku lebih menyukai anak itu!” Jawab Farrukh dengan pasti.

“Sesungguhnya aku telah menghabiskan uang itu untuk keperluan anakmu itu” kata Ibu Rabi’ah.

Farrukh pun mengatakan, “Demi Allah, engkau tidak menyia- nyiakannya!” (Tahdzibul Kamal, Biografi Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman).

TUMBUH DALAM ASUHAN IBUNDA




TUMBUH DALAM ASUHAN IBU :
1. Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib Radhiyallahu 'Anha.
[oleh Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran [Secara Ringkas- Edt]

Ibu mempunyai peranan yang amat besar dalam perjalanan pembentukan pribadi anak. Karena itulah, Islam menganjurkan kepada para calon ayah untuk mencari istri- istri yang shalehah. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Utamakanlah wanita yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan celaka”. (HR. al-Bukhari no. 5090, dan Muslim no. 1466).

Ibu yang Shalehah ini adalah seorang wanita yang mengerti hak- hak Rabb- nya, hak- hak Suami, dan anak- anaknya. Dia memahami peran dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini. Ibu yang shalehah inilah yang akan menjadi madrasah pertama bagi anak- anaknya. Dia akan menghiasi anak- anak dalam buaiannya dengan pembawaan dan akhlak yang mulia. Semua kebaikan pribadinya –dengan izin Allah ta’ala- akan membias dan memberikan pengaruh kepada anak- anaknya. Ia akan mengajarkan mereka Kitabullah, mengajak mereka berpegang dengan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam.

Banyak Ibu yang Shalehah di masa para Shahabat dan para Salafush Shalih terdahulu, dan berikut ini hanya kami bawakan sebagiannya saja,

1. Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib Radhiyallahu 'Anha.

Inilah ibunda hawari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam, Zubair ibnul Awwam Radhiyallahu 'Anhu, Salah seorang Shahabat yang dijanjikan Surga oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam.

(Ketika terjadi perang Khandaq menghadapi Yahudi bani Quraizhah, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam mengatakan pada para Shahabat, “Siapa yang bisa mencari berita bani Quraizhah?” Seketika itu az- Zubair Radhiyallahu 'Anhu menjawab, “Saya!” . Dia pun pergi menunggang kudanya, lalu beberapa lama kemudian datang membawa berita tentang keadaan bani Quraizhah. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam menawarkan hal yang sama untuk kedua kalinya, lagi- lagi az- Zubair menjawab, “Saya!” begitu pula yang ketiga kalinya. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam pun mengatakan, Setiap Nabi memiliki hawari (Shahabat Setia), dan hawariku adalah az- Zubair”. (HR. al-Bukhari no. 3719, dan Muslim no. 2415)).

Az- Zubair dikenal sebagai sosok yang pemberani sejak kecil, pernah suatu ketika terdengar desas- desus bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam tertangkap oleh kaum musyrikin di dataran tinggi- Makkah. Desas- desus itu pun didengar oleh az- Zubair Radhiyallahu 'Anhu. Tanpa ragu az- Zubair yang saat itu masih berusia 12 tahun menghunus pedangnya, menuju tempat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam berada.

Orang- orang melihatnya dengan heran dan kagum, “Anak kecil menghunus pedang?” gumam mereka.

Di sana az- Zubair Radhiyallahu 'Anhu bertemu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam dalam keadaan tak kurang suatu apapun, justru beliau heran melihat az- Zubair tergopoh- gopoh sambil menghunus pedang, “Ada apa denganmu, wahai az- Zubair?”

“Aku mendengar engkau tertawan di dataran tinggi Makkah. Aku akan menebas orang yang menangkapmu dengan pedangku ini!” ujar az- Zubair.

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam merasa kagum dengan jawaban az- Zubair, lalu beliau mendo’akan az- Zubair dan pedangnya.

Sifat pemberani ini terus melekat dalam diri az- Zubair Radhiyallahu 'Anhu hingga ia dewasa. Lebih- lebih saat az- Zubair berhadapan dengan musuh dalam medan pertempuran. Sifat yang selalu ditanamkan sejak kecil oleh sang ibu, Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib Radhiyallahu 'Anha.

Terkadang, Shafiyyah tak segan memukul az- Zubair untuk mendidiknya. Orang- orang yang melihatnya pun berkomentar, “kamu bisa membunuh anakmu! Kamu bisa membinasakan anakmu!” Shafiyyah menjawab, “Aku memukulnya semata- mata agar ia merangkak dan menghela pasukan yang menuju medan perang”.

(Siyaar a’laamin Nubalaa’- Biografi az- Zubair Ibnul Awwam Radhiyallahu 'Anhu).

To Be Continued..

ANJURAN MEMPERBANYAK BERDO'A KEPADA ALLAH




Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidaklah seorang muslim berdo’a kepada Allah dengan suatu do’a yang di dalamnya tidak mengandung dosa dan pemutusan Silaturahmi, melainkan Allah akan memberikan kepadanya Salah satu dari 3 (tiga) kemungkinan, (yaitu)
(1) Dikabulkan segera do’anya itu, atau
(2) Dia akan menyimpan baginya di akhirat kelak, atau
(3) Dia akan menghindarkan darinya keburukan yang semisalnya”.

Maka Para Shahabat pun berkata, “Kalau begitu kita memperbanyaknya”. Beliau bersabda, “Allah lebih banyak (memberikan pahala)”.

(HR. Ahmad III/ 18, al- Bukhari dalam al- Adabul Mufrad no. 710, al- Hakim I/ 493 dari Abu Sa’id al- Khudri, dishahihkan oleh Syaikh al- Albani dalam Shahiih al- Adabil Mufrad no. 547. Diriwayatkan juga oleh at- Tirmidzi no. 3573, dari ‘Ubadah bin ash- Shamit, Shahiihul Jaami' Bayaanil 'Ilmi Wa Fadhlihi (5678) dan Shahiih at- Tirmidzi III/ 181, Hasan Shahih).

Seorang hamba Sangat membutuhkan do’a setiap waktu untuk kepentingan dunia dan akhiratnya, karena itu setiap muslim dianjurkan untuk selalu berdo’a kepada Allah setiap Hari, Siang dan Malam.

Mudah- mudahan dengan kita berdo’a kepada Allah dengan ikhlas dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam, akan dimudahkan semua urusan kita, dijauhkan dari berbagai malapetaka, dan diberkahi usaha kita. Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin.

رَبّنَا ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الْاَخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّاَرِ

“Yaa Rabb kami, Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari Siksa Neraka” (QS. Al- Baqarah: 201) #sms- T#

Jumat, 24 Agustus 2012

Keutamaan Sayyidul Istighfar



Dari Syaddad bin Aus dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam,
‘Sesungguhnya Sayyid Istighfar adalah Seseorang hamba mengucapkan,

ALLAHUMMA ANTA RABBII LAA ILAAHA ILLAA ANTA KHALAQTANII WA ANA ‘ABDUKA WA ANA ‘ALAA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU A’UDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA’TU ABUU’U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA ABUU-U BIDZANBII FAGHFIRLII FA INNAHUU LAA YAGHFIRU ADZ DZUNUUBA ILLAA ANTA

“Ya Allah, Engkau adalah Rabb- ku, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba- Mu.
Aku menetapi perjanjian- Mu, dan janji- Mu sesuai dengan kemampuanku.
Aku berlindung kepada- Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat- Mu kepadaku,
dan aku mengakui dosaku kepada- Mu, maka ampunilah aku,
Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”


(Beliau bersabda), “Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan,
lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni Surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan, lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni Surga”.



Hadits ini Shahih, diriwayatkan oleh:
1. Imam al- Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 6306, 6323), dan al- Adabul Mufrad (no. 617, 620).
2. Imam an- Nasaa-I (VIII/ 279), as- Sunanul Kubra (no. 9763, 10225), dan dalam ‘Amalul Yaum Wal Lailah (no. 19, 468, dan 587).
3. Imam Ibnu Hibban (no. 928- 929- at- Ta’liqaatul Hisaan ‘Alaa Shahiih Ibni Hibbaan).
4. Imam ath- Thabarani dalam al- Mu’jamul Kabiir (no. 7172), al- Mu’jamul Ausath (no. 1018), dan dalam Kitab ad- Du’aa (no. 312- 313).
5. Al- Haakim (II/ 458).
6. Imam Ahmad dalam Musnad-nya (IV/ 122, 124- 125).
7. Imam al- Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1308), dan lainnya dari Shahabat Syaddaad bin Aus Radhiyallahu 'Anhu.


Diriwayatkan juga oleh Imam at- Tirmidzi (no. 3393) dari Syaddaad bin Aus Radhiyallahu 'Anhu dengan lafazh awalnya berbeda, Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Maukah aku tunjukkan kepadamu Sayyidul Istighfar..?”

At- Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan Gharib”. Dishahiihkan oleh Syaikh al- Albani dengan beberapa jalan dan Syawaahid (penguat)nya dalam Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah (no. 1747).



Imam al- Bukhari Rahimahullah memasukkan hadits ini dalam “Bab Istighfar yang Paling Utama”. Ini menunjukkan bahwa Imam al- Bukhari Rahimahullah menganggap ini adalah Lafazh Istighfar yang terbaik. Juga kandungan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa do’a ini layak disebut dengan Sayyidul Istighfar (Penghulu Istighfar) sebagaimana disifati oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam.


Penjelasan Tentang Anjuran Istighfar



Setiap Bani Adam itu pasti banyak berbuat dosa, namun yang terbaik dari orang yang berbuat dosa yaitu yang memohon ampun kepada Allah 'Azza Wa Jalla, dan Bertaubat. Allah 'Azza Wa Jalla memerintahkan kepada hamba- Nya untuk selalu memohon ampun dan bertaubat kepada- Nya. Allah berjanji akan mengampuni orang- orang yang meminta ampun dan bertaubat kepada- Nya. Allah Ta’ala berfirman,


“Dan Sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang Bertaubat, Beriman, dan Berbuat Kebajikan, Kemudian Tetap dalam petunjuk”. (QS. Thaaha [20]: 82).


Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk banyak beristighfar /meminta ampun kepada- Nya. Begitu pula Allah memerintahkan Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam untuk beristighfar. Allah 'Azza Wa Jalla berfirman,


“..Dan mohonlah ampunan bagi dosamu, dan dosa orang mukmin laki- laki dan perempuan”. (QS. Muhammad [47]: 19).


“Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun”. (QS. Nuuh [71]: 10).


“Dan Mohon Ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. an- Nisaa’ [4]: 106).


“Maka Bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat”. (QS. an- Nashr [110]: 3).


“Dan Pada Akhir Malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)”. (QS. adz- Dzaariyaat [51]: 18).


Maksudnya, Bangun di akhir malam untuk Sholat Tahajjud, dan di waktu Sahur mereka memohon ampun kepada Allah 'Azza Wa Jalla.


Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam membaca do’a istighfar ketika Ruku’ atau Sujud Sebagai berikut:


“SUBHAANAKA ALLAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII”


“Maha Suci Engkau, ya Allah! Rabb Kami dan dengan memuji-Mu ya Allah ampunilah dosaku”.
(Shahiih, HR.al- Bukhari (no.794, 817), dan Muslim (no. 848).


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,


“Demi Allah, Sesungguhnya aku benar- benar memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada- Nya dalam sehari semalam lebih dari 70 kali”. (Shahiih, HR. al-Bukhari (no. 6307), at- Tirmidzi (no. 3259) dari Shahabat Abu Hurairah).


Dalam Riwayat Imam Muslim,

“…Dan sesungguhnya aku benar- benar memohon ampunan Allah dalam sehari semalam sebanyak 100 kali”. (Shahiih, HR. Muslim (no. 2701 (42)), dari Shahabat al- Agharr bin Yasar al- Muzani Radhiyallahu 'Anhu).


Para Ulama menyebutkan bahwa Allah 'Azza Wa Jalla memberikan rasa aman kepada manusia dengan 2 hal, yaitu adanya Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam di antara mereka dan dengan Istighfar. Sekarang Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam telah wafat, berarti yang masih ada yaitu Istighfar. Oleh karena itu Istighfar menjadi pengaman dari kemarahan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala.


Dan di antara do’a istighfar yang paling baik adalah Sayyidul istighfar, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam kepada Shahabat Syaddad bin Aus Radhiyallahu 'Anhu. Wallahu a’lam.


Sumber: ‘Keutamaan Sayyidul Istighfar’ oleh Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas Hafizhahullah. Majalah As- Sunnah Edisi Khusus (03- 04)/ Thn XVI/ Sya’ban –Ramadhan 1433H/ Juli- Agustus 2012M. Hal 16- 19.

Sabtu, 11 Agustus 2012

LAILATUL QODAR

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)

Kamis, 19 Juli 2012

Sikap Pertengahan Dalam Mencari Rezeki

Umar bin al- Khaththab Radhiyallaahu 'anhu mengatakan,

"Antara Seorang hamba dan rezekinya ada pemisah. Jika dia Qanaah (merasa cukup) dan jiwanya merasa ridha, rezekinya akan menghampirinya. Akan tetapi, jika dia memaksa masuk dan meruntuhkan hijab itu, dia tidak bisa menambah rezekinya di atas kadar yang telah ditentukan untuknya".


Sebagian Salaf berkata, "Bertawakallah, maka engkau akan dianugerahi rezeki tanpa kelelahan dan susah payah".

al- Marwazi bertanya kepada al- Imam Ahmad tentang seseorang yang hanya duduk di rumahnya -padahal ia mampu untuk beraktivitas- dan mengatakan,

"Aku akan duduk dan bersabar, aku tidak akan mengharapkan sesuatu dari orang lain".,

Imam Ahmad Rahimahullah menjawab, "Dia Keluar dari rumahnya, dan berbuat sesuatu, lebih aku sukai. Kalau dia hanya duduk di rumahnya, aku khawatir, dia malah berharap akan ada orang yang mengiriminya sesuatu". [diambil dari Jami'ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al- Hanbali, Hal. 591- 592]

Sumber: Majalah Asy- Syariah, No. 72/ VI/ 1432H/ 2011. Hal. 01.

Senin, 09 Juli 2012

'Dunia akan Berlalu, Akhirat akan Menyongsong'

'Umar bin Abdul Aziz Rahimahullaah berkata dalam salah satu khutbahnya,

"Sesungguhnya, Dunia bukanlah negeri keabadian kalian. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala telah menetapkan kefanaannya. Dia Subhaanahu Wa Ta'ala juga menetapkan bahwa penghuninya akan meninggalkannya.

Betapa banyak tempat yang makmur dan dicatat oleh sejarah, hancur dalam waktu sekejap. Betapa banyak orang yang tinggal dalam keadaan senang, tiba- tiba harus beranjak pergi.

Karena itu, Siapkanlah sarana terbaik yang ada pada kalian sekarang -Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta'ala merahmati kalian- untuk menempuh perjalanan (kelak).

Siapkanlah bekal, dan bekal terbaik adalah Takwa" [Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 516]

Sumber: 'Majalah Asy- Syariah Vol.VII/ No. 83/ 1433H/ 2012 hal. 1- Rubrik Permata Salaf

Senin, 02 Juli 2012

Amalan Yang Bermanfaat untuk Akhirat



Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya yang mendapati seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah kematiannya adalah;

Sebuah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, Seorang anak shalih yang dia tinggalkan, Sebuah mushhaf Al Quran yang dia wariskan atau Sebuah masjid yang dia bangun, Sebuah rumah untuk para musafir yang kehabisan bekal yang dia bangun, Sebuah sungai yang dia alirkan atau Sebuah sedekah yang dia keluarkan dari hartanya ketika di saat sehat dan hidupnya,-

Seluruhnya ini adalah amalan yang akan mendapatinya setelah kematiannya.”

(HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al Albani di dalam Shahih al Jami’) #sms- T ypia#

Minggu, 24 Juni 2012

Setiap Amal Perbuatan Pasti akan Ada Balasannya



Allah Ta’ala berfirman,

“(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman: 16).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Ini adalah wasiat yang amat berharga yang Allah ceritakan tentang Lukman al-Hakim supaya setiap orang bisa mencontohnya … Kezholiman dan dosa apa pun walau seberat biji sawi, pasti Allah akan mendatangkan balasannya pada hari kiamat ketika setiap amalan ditimbang. Jika amalan tersebut baik, maka balasan yang diperoleh pun baik. Jika jelek, maka balasan yang diperoleh pun jelek”

(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 55) #sms- T ypia#

Sabtu, 02 Juni 2012

Kebesaran dan Kemuliaan Allah 'Azza Wa Jalla



Dari Abu Dzarr al- Ghifari Radhiyallahu 'Anhu dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabb-nya Subhaanahu Wa Ta'ala, bahwasanya Dia berfirman,

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya kezhaliman itu atas diri kalian, maka Janganlah kalian Saling berbuat Zhalim.

Wahai hamba-Ku, kamu semuanya tersesat kecuali siapa yang telah Aku berikan petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan petunjuk kepadamu.

Wahai hamba-Ku, kamu semuanya kelaparan kecuali siapa saja yang telah Aku berikan makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku akan memberi makanan kepadamu.

Wahai hamba-Ku, kamu semuanya telanjang kecuali siapa yang telah Aku berikan pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Mu niscaya Aku akan berikan pakaian kepadamu.

Wahai hamba-Ku, kamu semuanya melakukan kesalahan (dosa) pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni dosa- dosamu.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kamu tidak akan dapat berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan mudharat bagi-Ku, dan kamu juga tidak akan dapat berbuat sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi-Ku.

Wahai hamba-Ku, seandainya sejak orang yang pertama sampai orang yang terakhir diantara kamu, baik golongan manusia maupun jin semuanya berada dalam keadaan hati seseorang yang paling bertaqwa diantara kamu, maka yang demikian itu tidak akan menambah kerajaan-Ku sedikitpun.

Wahai hamba-Ku, seandainya sejak orang yang pertama sampai orang yang terakhir diantara kamu, baik golongan manusia ataupun jin semuanya berada dalam kondisi hati seseorang yang paling durhaka diantara kamu, maka yang demikian itu tidak akan mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun.

Wahai hamba-Ku, seandainya sejak orang pertama sampai orang yang terakhir diantara kamu, baik manusia maupun jin semuanya berdiri di sebuah bukit kemudian mereka meminta kepada-Ku, lalu setiap orang yang meminta Aku penuhi permintaannya, yang demikian itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah lautan.

Wahai hamba-Ku, Sesungguhnya semuanya itu tergantung dari amal perbuatanmu dan Aku perhitungkan semua amalanmu, kemudian Aku beri balasannya.

Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah, dan Barangsiapa yang mendapatkan selainnya (yaitu keburukan) maka janganlah sekali- kali ia mencela kecuali hanya kepada dirinya”. (HR. Muslim, No. 2577))

Selasa, 15 Mei 2012

SEKILAS BIOGRAFI IMAM AL- BUKHARI RAHIMAHULLAH

Beliau adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al- Bukhari, penulis Kitab Hadits terbaik yang dinobatkan oleh para ulama, yaitu al- Jaami' Bayaanil 'Ilmi Wa Fadhlihi al- Musnad ash- Shahiih al- Mukhtashar Min Umuuri Rasuulillaah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam Wa Sunanihi Wa Ayyaamihi yang kemudian mashur dengan Sebutan ‘Shahiih al- Bukhaari’ yang beliau Susun selama 16 tahun.

Imam al- Bukhari Dilahirkan di Bukhara selepas Sholat Jum’at, tepatnya tanggal 13 Syawal 194H. Ayah Imam al- Bukhari yaitu seorang yang bertakwa dan wara’, sempat belajar dari Imam Malik Rahimahullah dan berjumpa dengan Hammad bin Zaid dan Abdullah Bin Mubarak Rahimahullah, namun Allah Ta’ala berkehendak mewafatkannya saat Imam al- Bukhari masih kanak- kanak. Karena itu beliau tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan asuhan sang Ibu.


Al Hafizh Ibnu Hajar al- Asqalani berkata,

“Ketika Ismail bin Ibrahim meninggal, Muhammad bin Ismail masih kecil. Oleh karena itu, Muhammad bin Ismail tumbuh dalam asuhan ibunya. Ibu Muhammad adalah seorang perempuan yang taat beribadah yang dikaruniai karomah.

Dikisahkan dari Ghunjar dalam Tarikh Baghdad dan al- Ilka’I dalam Syarh as- Sunnah, Bab Karamatu al- Auliya’ bahwa pada waktu kecil, kedua mata Muhammad bin Ismail telah buta. Kemudian ibu Muhammad dalam tidur melihat Nabi Ibrahim al- Khalil ‘Alahissalaam berkata kepadanya, “Wahai kaum perempuan, sungguh Allah telah mengembalikan kedua mata putramu karena kamu sering berdo’a kepadanya/ karena engkau banyak menangis (banyak berdo’a) kepada- Nya”.

Perawi menambahkan, “Di pagi harinya, Sungguh Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata Imam al- Bukhari”. (Hadyu as- Sari (Muqaddimah Fat-hul baari, 502)).





Imam al- Bukhari Rahimahullah memulai perjalanan ilmiahnya sejak dini. Beliau juga telah menghafalkan al- Qur’an semenjak kecil. Inilah salah satu factor yang menyebabkan beliau senang dan suka menghafalkan hadits- hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam. Kegemaran yang didukung oleh kecerdasan dan taufiq dari Allah Subhaanahu Wa Ta'ala, beliau menjadi orang yang sangat menonjol dalam ilmu hadits.

Imam al- Bukhari menimba ilmu bersama lebih dari Seribu (1000) guru. Sebelum meninggal imam al- Bukhari menyatakan,

“Aku menulis (hadits) dari seribu lebih Syaikh. Dari setiap Syaikh itu, aku tulis sepuluh ribu riwayat bahkan lebih. Tidaklah ada hadits padaku kecuali aku sebutkan sanadnya (juga)”. (LIhat as- Siyaar 12/ 407, al- Bidaayah, 11/ 12))..


Di antara nama Ulama besar yang menjadi guru beliau adalah Imam Ishaq bin Rahuyah, Imam Muhammad bin Yusuf al- Firyaabi, Imam Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam ‘Ali bin al- Madini, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Makki bin Ibraahim al- Balkhi, Abdaan bin ‘Ustman, Imam Abu Ashim an- Nabiil, Muhammad bin ‘Isa ath- Thabbaa’, ..dan masih banyak lagi.

Di antara sebagian murid- murid imam al- Bukhari yang terkenal beliau adalah Imam Muslim Rahimahullah, Imam at- Tirmidzi Rahimahullah, Imam Abu Hatim Rahimahullah, Imam Ibnu Khuzaimah Rahimahullah, Imam Ibnu Abi Dunya Rahimahullah, Imam Ibrahim bin Ishaq al- Harbi Rahimahullah.

Pujian Ulama terhadap imam al- Bukhari baik dari para Guru maupun teman- temannya juga murid- muridnya yang sangat banyak.

Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah (wafat 241H) –Salah satu guru Imam al- Bukhari- berkata,

“Belum pernah ada di Khurasan orang yang melahirkan anak seperti Muhammad bin Isma’il (al- Bukhari)”. (Siyaar a’laamin Nubalaa’ (XII/ 419)).


Imam Abu Hatim ar- Raazi Rahimahullah (wafat 277H) berkata,

“Tidak ada orang yang keluar dari Khurasan yang lebih hafal dari Muhammad bin Isma’il (al- Bukhari), dan tidak ada yang datang ke Iraq yang lebih ‘alim dari al- Bukhari Rahimahullah”. (Muqaddimah Fat-hul Baari, hal. 484- cet. Darul Fikri)).


‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Fadhl bin Bahram ad- Daarimi Rahimahullah (wafat 255H) berkata,

“Saya melihat ulama di Haramain, Hijaaz, SYam dan Iraq, dan tidak ada yang lebih sempurna (ajma’) daripada Muhammad bin Isma’il. Beliau (al- Bukhari) adalah orang yang paling ‘alim diantara kami, dan paling faqih serta paling banyak muridnya”. (Muqaddimah Fat-hul Baari, hal 484)).


Imamnya para imam, yaitu Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Rahimahullah (wafat 311H) berkata,

“Tidak ada di bawah langit ini orang yang lebih ‘alim tentang hadits daripada Muhammad bin Isma’il”. (Muqaddimah Fat-hul Baari, Hal. 485, dan SYarah ilal at- Tirmidzi, I/ 494 karya Ibnu Rojab al Hanbali).


Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at- Tirmidzi Rahimahullah (wafat 279H) berkata,

“Saya tidak melihat di Iraq dan Khurasan orang yang lebih ‘alim tentang ‘illat-illat hadits, tarikh, dan Sanad- sanad daripada Muhammad bin Isma’il al- Bukhari”. (Muqaddimah Fat-hul Baari, Hal. 485, dan SYarah ilal at- Tirmidzi, I/ 494 karya Ibnu Rojab al Hanbali).


Dan masih banyak lagi yang lainnya. Imam al- Bukhari wafat pada malam Sabtu, malam hari raya idul Fithri tahun 256H daalam Usia 62 Tahun. Semoga Rahmat Allah 'Azza Wa Jalla senantiasa tercurahkan pada seluruh ulama Islam di setiap masa dan tempat. Wallaahu a’lam. Semoga bermanfaat.

Sumber:

Imam al- Bukhari, Satu Tanda Kekuasaan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala’. Ust. Abu Minhal Lc Hafizhahullah. Rubrik Mabhats Majalah Assunnah Edisi 01/ thn XVI/ Jumadil Akhir 1433H/ Mei 2012M. Hal 1-43. (Resume).

[34]- Muhammad bin Isma’il- Syaikh al- Muhadditsiin. 60 Biografi Ulama Salaf. Hal. 467- 510. Syaikh Ahmad Farid. Pustaka al- Kautsar. Jakarta

Kekuatan Hafalan Imam al- Bukhari Rahimahullaah (Wafat th 256H)

Kekuatan hafalan imam al- Bukhari Rahimahullah sudah terakui oleh para ulama di masanya, bahkan banyak yang menyampaikan kalau beliau langsung menghafal suatu kitab hanya dengan membacanya sekali saja.

Hasyid bin Ismail pernah menceritakan,

“Dahulu Abu ‘Abdillah (Imam al- Bukhari) bersama kami mendatangi para guru di Bashrah. Waktu itu ia masih belia, dan tidak (tampak) mencatat apa yang telah didengar. Hal itu berlangsung beberapa hari. Kami pun bertanya kepadanya,

“Engkau menyertai kami mendengarkan hadits, tanpa mencatatnya. Apa yang kamu perbuat sebenarnya?

Enam belas hari kemudian, imam al- Bukhari Rahimahullah akhirnya menjawab, “Kalian telah sering bertanya dan mendesakku. Coba tunjukkanlah apa yang telah kalian tulis”.

Maka kami mengeluarkan apa yang kami miliki yang berjumlah lebih dari 15 ribu hadits. Selanjutnya ia menyebutkan seluruhnya dengan hafalan, sampai akhirnya kami membenahi catatan- catatan kami melalui hafalannya. Kemudian ia berkata, “Apa kalian menyangka aku bersama kalian hanya main- main saja dan menyia- nyiakan hari- hariku?!” Maka kami pun sadar, tidak ada seorangpun yang melebihinya”. (as- Siyaar: XII/ 407).




Kehebatan hafalan beliau juga tampak ketika Ulama Baghdad mendengar akan kedatangan Abu ‘Abdillah (Imam al- Bukhari) ke kota mereka,.dengan sengaja mereka mempersiapkan seratus hadits, dan kemudian menukar dan merubah matan dan sanadnya. Mereka menukar matan satu sanad dengan teks hadits yang lain, dan begitu sebaliknya. Setiap orang memegangi sepuluh hadits yang nantinya akan dilontarkan kepada Abu ‘Abdillah sebagai bahan ujian kekuatan hafalannya.


Orang- orang pun berkumpul di dalam majelis, orang pertama menanyakan kepada Imam al- Bukhari Rahimahullah sepuluh hadits yang ia miliki satu per satu. Setiap kali ditanya, imam al- Bukhari menjawab sampai hadits yang kesepuluh, “Saya tidak mengenalnya (hadits itu dengan sanad yang disebutkan)”. Para ulama yang hadir pun saling menoleh kepada yang lain dan berkata, “Orang ini (benar- benar) paham”. Sementara orang yang tidak tahu tujuan majelis itu diadakan menilai imam al- Bukhari Rahimahullah sebagai orang yang lemah hafalannya.

Kemudian tampillah orang kedua, melakukan hal yang sama, dan setiap kali mendengarkan satu hadits, beliau berkomentar sama, “Aku tidak mengenalnya”. Selanjutnya tampil orang ketiga sampai terakhir. Dan komentar beliau pun tidak lebih dari ucapan, “Aku tidak mengenalnya”.

Setelah semua selesai menyampaikan hadits- haditsnya, imam al- Bukhari Rahimahullah menoleh ke arah orang pertama seraya meluruskan, “Haditsmu yang pertama mestinya demikian, yang kedua mestinya demikian, yang ketiga mestinya demikian, .. “ sampai membenarkan hadits yang kesepuluh.

Setiap hadits beliau satukan dengan matan- matannya yang benar. Beliau melakukan hal yang sama kepada para ‘penguji’ lainnya sampai pada orang yang terakhir. Akhirnya orang- orang pun betul- betul mengakui akan kehebatan hafalan beliau Rahimahullah. (lihat al- Bidayah Wan Nihaayah: 11/12, as- Siyaar 12/ 409 hal. 62-63)).

Di Samarkand beliau juga menghadapi hal yang sama. Empat ratus ulama hadits menguji beliau dengan hadits- hadits yang sanad- sanad dan nama rijaal (para perawi) yang telah dicampuradukkan, menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam sanad penduduk Irak, meletakkan matan hadits bukan pada sanadnya. Kemudian mereka membacakan hadits- hadits dan sanad- sanadnya yang sudah campur aduk ini ke hadapan Imam al- Bukhari Rahimahullah. Dengan sigap beliau mengoreksi semua hadits dan sanad itu dan menyatukan setiap hadits dengan sanadnya yang benar. Para ulama yang menyaksikan hal itu tidak mampu menjumpai satu kesalahan pun dalam peletakan matan maupun penempatan posisi para perawi. (Lihat as- Siyaar 12/ 411, al- Bidayah 11/ 12)).


Abu Bakar bin al- Munir berkata, “Aku telah mendengar imam al- Bukhari berkata, “Sewaktu aku sedang bersama Abu Hafsh Ahmad bin Hafsh, aku telah mendengar kitab Al- Jaami' karya imam Sufyan ats- Tsauri. Lalu Abu Hafsh membacakannya, sementara yang dibaca itu tidak ada padaku. Ketika aku mengulangi bacaan Abu Hafsh, dia berkata, “Kedua, Ketiga?” dan aku mengulangi bacaan hadits yang telah aku hafal tersebut sampai dia terdiam. Kemudian Abu Hafsh bertanya, “Siapakah orang ini?” mereka yang hadir menjawab, “Ibnu Ismail (imam al- Bukhari)”. Lalu Abu Hafsh berkata,

“Hadits yang benar adalah hadits yang telah dibaca Ibnu Ismail dan kalian hafalkanlah hadits yang tadi ia baca. Sesungguhnya orang ini (Muhammad bin Ismail) kelak akan menjadi ulama Besar”.

(Taghliq at- Ta’liq, 5/ 387 dan al- Qishshah al- Musannadah Fii Tarikh Baghdad, 2/ 11)).



Beberapa kejadian tersebut sudah sangat cukup menjadi petunjuk akan kekuatan dan kekokohan daya ingat imam al- Bukhari Rahimahullah, sebab tanpa persiapan sedikitpun dan tidak mengetahui apa yang akan ia hadapi, ternyata beliau mampu melewati ‘ujian’ tersebut.

Abu Ja’far pernah menanyakan kepada Abu ‘Abdillah, “Apakah engkau hafal seluruh (riwayat) yang engkau masukkan dalam kitabmu?” beliau menjawab, “Tidak ada yang kabur pada (hafalan)ku seluruhnya” (As- Siyaar: 12/ 403)).

Mengenai cara menghasilkan daya ingat yang kuat, beliau tidak memandang adanya makanan atau minuman yang perlu dikonsumsi untuk menguatkan hafalannya, beliau berkata, “Aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada keinginan kuat seseorang dan sering menelaah (tulisan)”. (As- Siyaar: 12/ 406)).

Sumber:

Imam al- Bukhari, Satu Tanda Kekuasaan Allah Subhaanahu Wa Ta'ala’. Ust. Abu Minhal Lc Hafizhahullah. Rubrik Mabhats Majalah Assunnah Edisi 01/ thn XVI/ Jumadil Akhir 1433H/ Mei 2012M. Hal 1-43. (Resume).

[34]- Muhammad bin Isma’il- Syaikh al- Muhadditsiin. 60 Biografi Ulama Salaf. Hal. 467- 510. Syaikh Ahmad Farid. Pustaka al- Kautsar. Jakarta

Rabu, 09 Mei 2012

Kisah Keajaiban Hafalan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah

Imam Yusuf bin Muhammad as- Surmurri al- Hambali Rahimahullah (wafat th. 776H) berkata dalam kitab Amaali karya beliau dalam masalah hafalan,

“Di antara keajaiban yang ada dalam masalah menghafal dari orang yang hidup di zaman kita adalah Syaikhul Islam Abul Abbas Ahmad bin Abdul Hakim bin Taimiyyah. Sesungguhnya beliau pernah mendapatkan suatu kitab lalu membacanya sekali, maka terukirlah (isi kitab itu) dalam benaknya, dan ia dapat mengingatnya kembali dan mampu memindahkannya ke dalam kitab karyanya dengan lafal dan maknanya”.

“Di antara kejadian paling menakjubkan yang pernah aku dengar tentang dirinya adalah peristiwa yang disampaikan kepadaku oleh sebagian teman- temannya.

“Ketika ia masih kecil, pada suatu hari ayah beliau ingin mengajak anak- anaknya pergi ke taman untuk bertamasya, ia berkata kepada anaknya ini, “Ahmad, hendaknya engkau ikut pergi bersama saudara- saudaramu untuk beristirahat”.

Lalu beliau mengemukakan alasannya untuk tidak ikut serta.



Setelah itu ayah beliau mendesak dirinya untuk ikut pergi. Tapi beliau bersikeras tidak mau dan berkata, “Aku harap ayah mengizinkanku untuk tidak ikut”.

Akhirnya beliau ditinggal. Lalu ayahnya keluar bersama anak- anaknya yang lain. Dan pada hari itu, mereka terus berada di taman dan kembali menjelang Sore hari.

Ayah beliau berkata, “Wahai Ahmad, hari ini engkau membuat saudara- saudaramu murung dan menyusahkan mereka, sebab engkau tidak ikut bersama mereka, bagaimana ini?”

Ia menjawab, “Wahai ayahku, sesungguhnya hari ini aku telah menghafal kitab ini”.

Ayahnya menjawab, “Engkau telah menghafalnya?!” (seperti orang yang mengingkari dan kagum).

Lalu ia berkata, “Paparkanlah kepadaku”.

Maka beliau pun menyetorkannya. Dan ternyata kitab itu telah selesai dihafal semuanya.

Kemudian ayahnya mencium kening yang berada di antara kedua matanya, lalu mengatakan, “Wahai anakku, jangan kau katakan kepada seorangpun apa yang telah engkau lakukan, karena khawatir ain (penyakit yang ditimbulkan orang yang hasad) akan menimpanya”.


[ar- Radd al-Wafir ‘Ala Man Za’ama Anna Man Samma Ibna Taimiyyat Syaikh al- Islam Kafir, Karya Ibnu Nashiruddin ad- Dimasyqi, Hal. 133. Maktab Islami, Cet.I, Beirut 1393H].

Sumber: ‘Majalah adz-Dzakhiirah. Vol 8 Edisi 58, No.04 Th. 1431H/2010. Hal.59- Ragam Faedah.

Biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah lebih lengkap dapat dilihat pada buku ’60 Biografi Ulama Salaf’ Hal. 780- 811. Oleh Syaikh Ahmad Farid. Pustaka Al-Kautsar.

Senin, 07 Mei 2012

Mendengarkan Murottal Sambil Beraktivitas


Syaikh Shalih al- Fauzan Hafizhahullah pernah ditanya,

“Terkadang saya menghabiskan banyak waktu di dapur untuk menyiapkan masakan suamiku. Untuk memanfaatkan waktu, aku mendengarkan Al-Qur’anul Karim, baik melalui Siaran atau dari tape. Apakah perbuatanku ini benar? Ataukah tidak sepantasnya aku melakukan hal ini? Sebab Allah Ta’ala berfirman,

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik- baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al- A’raf: 204).


Syaikh Shalih al- Fauzan hafizhahullah menjawab,

“Tidak mengapa mendengarkan Al-Qur’an dari radio atau dari tape sambil mengerjakan suatu kesibukan, hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah,

“Maka dengarkanlah baik- baik dan perhatikanlah” (QS. Al-A’raf: 204)

Sebab Inshat (mendengarkan dengan baik) yang diminta (pada ayat ini- red) disesuaikan dengan kemampuan. Orang yang sibuk, ia boleh mendengarkan Al-Qur’an sesuai kemampuannya”. [al- Mutaqa Min Fatawa Syaikh Fauzan, Jilid 3. Hal 298]. Wallaahu a'lam.

Sumber: Majalah adz-Dzakhiirah, Vol.8 No. 9 Edisi 63 Thn.1431H/ 2010. Hal 49.

Senin, 23 April 2012

Sekapur Sirih Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah

Allah 'Azza Wa Jalla Wa Jalla mewajibkan kepada hamba- hamba- Nya bekerja untuk mencari rezeki supaya mereka bisa menjadikannya sebagai pendorong untuk melaksanakan ketaatan kepada- Nya. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman,

“..Dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allh banyak- banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al- Jumu’ah [62]: 10).

Di sini Allah menjadikan bekerja itu sebagai sebab terlaksananya Ibadah. Allah Subhaanahu Wa Ta'ala juga memberitahukan tentagn bagaimana manusia, dan kecintaannya terhadap harta. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta”. (QS. Al- ‘Adiyaat [100]: 8).

Allah juga memerintahkan hamba- hamba- Nya untuk mencari rezeki setelah selesai melaksanakan sebuah kewajiban agung, yaitu Sholat Jum’at dengan firman- Nya:

“..Maka bertebaranlah kamu di muka Bumi, dan carilah karunia Allah”. (QS. Al- Jumu’ah [62]: 10).



Imam al- Baghawi Rahimahullah berkata, “Maksudnya, apabila Sholat sudah usai, menyebarlah kalian di muka Bumi untuk berdagang serta bekerja untuk kebutuhan- kebutuhan kalian”. (Muhktashar Tafsir al- Baghawi (II/ 945).

Dikisahkan bahwa Shahabat Urrak bin Malik Radhiyallahu 'Anhu apabila telah selesai melaksanakan Sholat Jum’at, ia keluar kemudian berdiri di pintu masjid, dan mengucapkan,

“Ya Allah, Sesungguhnya telah ku penuhi panggilan- Mu serta telah ku kerjakan kewajiban sholat dari- Mu dan aku menyebar di Bumi sebagaimana yang Engkau perintahkan, maka berilah aku rezeki dari keutamaan- Mu. Dan Engkaulah sebaik- baik pemberi Rezeki”. (Tafsir Ibnu Katsir (IV/ 471)).

Islam menganjurkan kepada para pengikutnya untuk bekerja, dan berusaha. Jadi Islam sendiri merupakan agama yang memerintahkan untuk bekerja, aktif, dan melakukan Usaha di muka Bumi serta memakmurkannya. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sungguh Salah seorang dari kalian yang mengambil seutas tali kemudian ia ikat kayu bakar pada punggungnya, itu lebih baik daripada ia mendatangi orang yang Allah beri karunia- Nya kemudian meminta kepadanya, baik (permintaan itu) diterima atau ditolak”. (Muttafaqun ‘Alaih).

Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam pun telah memuji harta yang baik dan dipegang oleh tangan hamba yang Shalih, beliau Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

"Sebaik- baik harta yang bagus adalah yang dimiliki oleh seorang hamba yang shalih”. (HR. Tirmidzi)

Kenikmatan dunia itu sendiri sebenarnya tidak tercela, ia tercela tak lain karena kemasyiatan, dosa- dosa, serta perbuatan memakan harta haram yang terdapat di dalamnya. Jadi dunia yang diharamkan adalah yang memalingkan dari agama dan dihimpun dari barang yang haram. Artinya engkau mengumpulkannya dari yang haram serta menggunakannya pada sesuatu yang haram.

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Dunia itu milik empat orang, Seseorang yang mengumpulkan harta dari yang halal, kemudian menginfakkan sesuai hak-nya. Inilah derajat tertinggi. Kemudian seseorang yang mengumpulkan harta bukan dari yang halal, kemudian membelanjakannya pada hak-nya. Ini lah seburuk- buruk derajat…… “ (HR. Tirmidzi).

Bekerja dan berusaha menjadi kewajiban bagi mereka yang sudah mempunyai keluarga atau sudah memiliki tanggung jawab. Islam telah menjadikan sikap menyia- nyiakan hak isteri, anak- anak, serta kedua orang tua termasuk dalam kategori dosa- dosa besar.

Dari Wahb bin Jabir ia berkata, “Aku pernah menyaksikan Abdullah bin Amru Ibnul Ash di Baitul Muqaddas didatangi oleh salah seorang pembantunya, ia berkata, “Bulan ini saya ingin tinggal di sini” – saat itu bulan Ramadhan- Abdullah berkata, “Sudahkah engkau tinggalkan kebutuhan pokok untuk keluargamu? Ia menjawab, “Belum”. Beliau berkata, “Kalau begitu jangan, pulanglah engkau, tinggalilah kebutuhan yang mencukupi mereka, sebab aku pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia- nyiakan orang yang menjadi tanggungannya”. (HR. Abu Dawud).

Dan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'Anhuma berkata,

“Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam apabila melihat seseorang kemudian merasa kagum kepadanya, beliau bertanya, “Apakah ia memiliki profesi?” jika orang- orang menjawab, ‘Tidak’, lelaki itu jatuh (hina) di mata beliau. Ada yang bertanya, “Bagaimana bisa begitu wahai Rasulullah?’ beliau bersabda, “Sebab seorang mungkin apabila tidak memiliki profesi, ia akan hidup dengan mengandalkan hutangnya”. (Kitaabul Jaami' (I/ 34)).

Perlu dicatat bahwa seorang muslim itu mendapatkan pahala dari nafkah yang ia berikan kepada keluarganya. Sebagaimana Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, serta satu dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu, yang paling besar adalah yang engkau belanjakan untuk keluargamu”. (HR. Muslim).

Harta jika dikelola oleh seorang muslim akan menjadi sarana menghantarkan kepada kehidupan yang mulia di dunia dan kebahagiaan di kampong akhirat.

Sa’id bin Musayyib Rahimahullah berkata,

“Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mau mengumpulkan harta dari sumbernya yang halal, kemudian ia bisa memberi, menuntut haknya yang sesuai serta menutup wajah dari meminta- minta kepada manusia”. (as- Siyaar (IV/ 238)).

Ali Ibnul Fudhail berkata, “Aku mendengar ayahku berkata kepada Ibnul Mubarak Rahimahullah, “Anda menyuruh kami untuk Zuhud, hidup sederhana dan sekedarnya saja, sementara kami melihat anda mendatangkan barang- barang dagangan dari Negeri Khurasan menuju tanah haram, bagaimana ini?” Ibnul Mubarak menjawab, “Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan hal itu untuk menjaga wajahku, memuliakan kehormatanku, serta membantuku untuk berbuat taat kepada Rabb- ku”. (as- Siyaar (VII/ 277)).

Agama Islam adalah agama Tawakkal, bukan Tawaakul (Sikap Mengandalkan Orang).

Umar Radhiyallahu 'Anhu berkata,

“Janganlah kalian duduk saja, tidak mencari rezeki, sembari mengucapkan, “Ya Allah, berilah aku Rezeki”,.bukankah kalian sudah mengerti bahwa langit tidak akan mengucurkan hujan emas dan perak?!” (al- Ihya’ (II/ 71)).

Muhammad bin Munkadir berkata dalam sebuah ungkapannya yang Indah perihal harta, “Sebaik- baik Sesuatu yang membantu untuk bertakwa kepada Allah 'Azza Wa Jalla Wa Jalla adalah kekayaan”. (Hilyatul Auliyaa’ (II/ 149)).

Zuhud terhadap dunia bukanlah dengan cara meninggalkan harta sama sekali atau menghambur-hamburkannya begitu saja semaunya secara beruntun dan sesuai kehendak hati. Tetapi zuhud terhadap dunia adalah meninggalkan dunia karena tahu betapa remehnya ia jika dibandingkan dengan mahalnya akhirat. Dan siapa yang tahu bahwa dunia itu ibarat Es yang akan mencair sementara akhirat ibarat batu mutiara yang abadi, maka akan semakin menguatkan keinginannya untuk menjual dunia ini dengan mutiara abadi. (Minhaajul Qaashidiin, Hal. 355)).

Imam Ibnu Qudamah berkata dalam keterangan beliau yang begitu rinci ketika berbicara mengenai keadaan pencari dunia,

“Telah kami terangkan sebelumnya bahwa harta itu secara dzatnya tidaklah tercela, bahkan sepatutnya dipuji. Sebab harta merupakan sarana untuk menggapai kemaslahatan agama dan dunia.

Allah Subhaanahu Wa Ta'ala sendiri menyebutnya sebagai sebuah kebaikan dan harta itulah yang menjadi penopang hidup manusia. Allah 'Azza Wa Jalla Wa Jalla berfirman pada permulaan Surat An- Nisaa’,

"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang- orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu),..” (QS- An- Nisaa’ [4]: 5)).

Abu Ishaq as- Subai’I berkata, “Mereka (maksud beliau mungkin adalah para Shahabat Radhiyallahu 'Anhum, red) menganggap bahwa kelapangan hidup merupakan sarana untuk membantu merealisasikan ajaran Diin (agama,-ed).

Sufyan berkata, “Harta di zaman kita sekarang ini adalah senjata orangn- orang mukmin”.

Kesimpulannya, Harta itu ibarat seekor ular, di sana ada bisanya, tapi di sana juga ada obat penawarnya. Obat penawar itulah faedahnya, sementara hal- hal yang merusak itulah racun bisa- nya. Maka siapa yang mengerti mana faedahnya, ia akan bisa melindungi diri dari keganasannya serta mengambil kebaikannya. (Mukhtashar Minhaajul Qaashidiin, hal. 214)). Wallaahu a’lam.

Sumber: “Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah”. Hal. 7- 19. Penulis: Abdul Malik al- Qasim. Pustaka al- Qowam. Surakarta.

Selasa, 27 Maret 2012

Tidak Meremehkan Risalah, Walaupun tampak Kecil.

Beberapa Faedah di balik ‘Sedikit’
Oleh Ust. Muhtar Arifin, Lc.

Tidak Meremehkan Risalah, Walaupun tampak Kecil.

Kitab- kitab yang disusun oleh para ulama dan peneliti ada yang besar sampai puluhan jilid, bahkan ada pula yang beberapa lembar saja. Dalam kitab Kutub fi as-Saahah al- Islamiyyah, disebutkan:

“Ketahuilah bahwa tidak ada kitab yang kosong dari faedah. Maka janganlah engkau meremehkan kitab apapun milik seorang muslim,….Berapa banyak masalah yang telah tertahqiq dalam sebuah kitab kecil, sedangkan engkau tidak menemukannya dalam kitab yang terdiri dari berjilid- jilid”.

(Hal. 23, Dar ash- Shumai’I, Cet. 1, 1992M).


Satu Demi Satu Faedah Akan menjadi Melimpah

Ada yang mengatakan:



Pada Hari ini sedikit, demikian juga keesokan harinya sedikit,

Dari Nukhbah- nukhbah orang yang alim yang dapat diambil,

Dengannya, seseorang akan mendapatkan sebuah hikmah,

Sesungguhnya Banjir itu adalah kumpulan Tetesan Air




(Bughyah al- Wu’at, as- Suyuti (I/ 14) al- Maktabah al- Ashariyyah, 1424H, Beirut, tahqiq Muhammad Abul Fadhl Ibrahim).

Syaikh Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid berpesan, “Kerahkanlah Kesungguhanmu untuk menjaga ilmu dengan menulisnya. Hal itu karena mencatat ilmu dengan tulisan adalah merupakan:

(1) Keamanan dari lenyapnya

(2) Meringkas waktu untuk meneliti ketika dibutuhkan, terutama berkaitan dengan masalah- masalah ilmu yang berada pada tempat- tempat yang tidak disangka- sangka.

(2) Di antara fawa’id- Nya yang paling besar adalah ketika telah lanjut usia dan kekuatan telah melemah, maka engkau memiliki materi yang dapat engkau ambil suatu permasalahannya yang akan engkau tulis darinya tanpa bersusah payah dalam mencarinya.

Oleh karena itu, hendaklah engkau memiliki kumpulan atau catatan untuk menulis fawa’id dan faroo’id (faedah- faedah istimewa) serta pembahasan- pembahasan yang bercerai- berai dan berada bukan pada tempat yang disangka- sangka”.
(Al- Majmu’ah al- ‘Ilmiyyah, hal. 175)).



Belajar Agama Dimulai Dari Perkara yang ‘Tampak’ Sederhana

Allah telah memerintahkan hamba- Nya untuk menjadi hamba- hamba yang Rabbani sebagaimana firman- Nya:

“Akan tetapi (dia berkata), ‘Hendaklah kamu menjadi orang- orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al- Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali Imran: 79).


Imam al- Bukhari Rahimahullah menjelaskan bahwa ada yang mengatakan tentang makna Rabbani, yaitu:

“Rabbani adalah orang yang mendidik manusia dari ilmu yang kecil sebelum ilmu yan besar”.

(Shahiih al- Bukhari, dalam Bab ke-10, Kitab al- ‘Ilm)).


Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

“Ilmu- ilmu yang kecil maksudnya adalah masalah- masalah yang tampak jelas, sedangkan ilmu- ilmu yang besar adalah masalah- masalah yang pelik”.

Ada yang mengatakan: (maksudnya adalah) mengajar juz’iyyah (parsial) ilmu sebelum kulliyah-nya (global), atau furu’- nya (cabang) sebelum ‘ushul- nya (intinya), atau muqaddimah- nya sebelum maksud- maksudnya”.


(Fat-hul Baari, I/ 213)).


Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa penuntut ilmu, sebelum masuk ke dalam kitab- kitab yang pembahasannya panjang, terlebih dahulu hendaknya memulai dengan kitab- kitab yang ringkas dan pendek”. (Lihat Kitab al- ‘Ilm, Syaikh ‘Utsaimin, Hilyah Thalib al- ‘Ilm, dll)).

Syaikh ‘Muhammad bin SHalih al- Utsaimin Rahimahullah berkata,

“Sudah sepantasnya bagi seseorang ketika menyebarkan ilmu untuk menjadi orang yang bijak dalam mengajar, di mana dia menyampaikan kepada para penuntut ilmu masalah- masalah yang mampu dicerna oleh akal- akal mereka, sehingga dia tidak membawa masalah- masalah yang mu’dholat, akan tetapi mendidik mereka sedikit – demi sedikit

Oleh karena itu, sebagian di antara mereka mengatakan tentang alim rabbani yaitu rabbani adalah orang yang mendidik manusia dari ilmu yang kecil sebelum ilmu yang besar.

Kita semua telah mengetahui bahwa bangunan itu tidak didatangkan secara utuh kemudian diletakkan di permukaan tanah, lalu menjadi sebuah istana yang berdiri tegak, akan tetapi dibangun satu bata demi satu bata, sampai bangunan itu menjadi sempurna”.


(Fatawa Syaikh Shalih al- ‘Utsaimin, Jilid 1, hal. 389- 390, dikumpulkan oleh Asyraf ‘Abdul Maqshud, Cet. 2. Riyadh. Dar ‘Alam al- Kutub)).

Menghafal Sedikit demi Sedikit

Imam at- Tibrizi Rahimahullah berpesan,

“Hendaknya menghafalkan hadits sedikit demi sedikit bersama berlalunya hari- hari dan malam- malam”. (Al- Kafi, hal. 669)).


Imam az- Zuhri Rahimahullah berkata,

“Barangsiapa yang mencari ilmu secara sekaligus, maka akan hilang secara sekaligus juga. Ilmu itu diperoleh dari satu hadits, dua hadits”.

(Dikeluarkan oleh Mubarok bin ‘Abdul Jabbar dalam ath- Thoyyuriyat, (no 1336- pilihan Thahir Salafi), dan al- Khathib dalam al- Jami’ (I/ 232) no. 450. Demikian penjelasan Syaikh Masyhur dalam tahqiq al- Kafi, hal. 671)).


Sumber: Majalah adz- Dzaakhiirah. Hal. 580 60. Rubrik Fawa’id. Edisi 72. Vol 09 no. 06. 1432H/ 2011.

Senin, 05 Maret 2012

Imam Baqi’ bin Makhlad Rahimahullah “Berjalan kaki dari Spanyol Menuju Baghdad untuk Belajar dengan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah”


Imam Baqi’ bin Makhlad (wafat th. 276H) Rahimahullah melakukan perjalanan pada tahun 221H dengan berjalan kaki dari Andalusia (Spanyol) ke kota Baghdad hanya untuk bertemu Imam Ahmad dan mengambil ilmu darinya.

Imam Baqi’ menuturkan, “Ketika mendekati Baghdad, Sampailah kepadaku tentang ujian Imam Ahmad (yaitu firnah perkataan Al-Qur’an adalah makhluk) dan beliau dikekang (dilarang untuk mengajarkan hadits). Aku sangat sedih, lalu aku menetap di Baghdad dan memilih sebuah rumah rumah sebagai tempat bermalam. Kemudian aku pergi ke Masjid untuk duduk bersama orang lain. Lalu, aku terdorong untuk menghadiri sebuah halaqah yang mulia, dan aku melihat seseorang berbicara tentang ilmu Rijalul Hadits. Ada yang berkata kepadaku, ‘Ini adalah Yahya bin Ma’in’.

Lalu mereka melowongkan tempat untukku dan aku berdiri di hadapannya seraya berkata, “Wahai Abu Zakaria, semoga Allah merahmati anda. Seseorang yang asing telah meninggalkan kampong halamannya, wajib diberikan kesempatan untuk bertanya dan jangan anda menganggap lancang”.

Dia (Imam Yahya) berkata, ‘Katakanlah!’ maka aku menanyakan tentang orang- orang yang kutemui, sebagian ia merekomendasikan dan sebagian lagi ia sebutkan kekurangannya.

Aku bertanya tentang Hisyam bin ‘Ammar (wafat th. 245H). Dia berkata kepadaku, ‘Abu Walid pengarang kitab Shalat dari Damaskus. Dia Tsiqah, bahkan lebih dari tsiqah. Walaupun ia sedikit angkuh, tetapi hal itu tidak berpengaruh kepada kebaikan dan keutamaannya’.

Orang yang hadir di halaqah berteriak, ‘Cukup! Semoga Allah merahmati anda, berikan kesempatan kepada yang lain untuk bertanya”. Aku berkata sambil berdiri di depan, “Ungkapkanlah tentang satu orang, Ahmad bin Hanbal?’ Dia (Imam Yahya bin Ma’in) menatapku penuh keheranan, lalu berkata, “Orang seperti kita mengungkapkan tentang Ahmad bin Hanbal? Dia adalah Imamnya kaum Muslimin, yang terbaik dan paling utama”.

Kemudian aku pergi dan meminta mereka menunjukkan kepadaku di mana rumah Imam Ahmad, mereka memberitahuku, lau aku mengetuk pintu rumahnya. Dia keluar dan aku bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, Seseorang yang asing telah meninggalkan kampung halamannya. Ini adalah kali pertama aku datang ke tempat ini, aku ingin belajar hadits dan menguasai sunnah, dan tidak ada yang ku tuju dari perjalananku ini selain Anda”.

Dia berkata, “Masuklah ke dekat tiang ini agar engkau tidak terlihat”. Kemudian aku masuk dan dia berkata kepadaku, “Dari mana asalmu?” ‘Jauh ke Sebelah Barat”, jawabku. Dia kembali bertanya, “Afrika?”, Kujawab, “Lebih jauh dari Afrika. Aku harus mengarungi lautan bila ingin pergi dari daerahku ke Afrika, negeriku Andalusia”. Dia berkata, “Tempatmu sangat jauh, tidak ada yang lebih aku sukai daripada menjamu orang sepertimu. Akan tetapi aku berada dalam keadaan diuji, mungkin engkau sudah mengetahui hal itu”.

Aku menjawab,

“Ya, aku sudah mengetahuinya sejak pertama kali sampai ke tempat ini. Di sini tidak ada orang yang mengenalku. Jika anda mengizinkan, aku akan datang setiap hari dengan penampilan seorang pengemis. Ketika sampai di depan pintu aku akan berkata seperti apa yang dikatakan seorang pengemis kemudian Anda keluar. Kalaulah anda tidak mengajarkan kepadaku, kecuali hadits saja setiap harinya, sudah cukup rasanya bagiku”.


“Ya Baiklah. Dengan syarat engkau tidak menceritakannya kepada siapa pun tidak juga kepada Ahli Hadits”. Kukatakan, “Aku memegang Syarat Anda”.

Kemudian aku mengambil sebuah tongkat dan membuat kepalaku dengan sehelai kain yang telah lusuh, lalu aku mendatangi rumahnya sambil berteriak, “Kasihanilah Aku! Semoga Allah merahmati Anda”. Kemudian dia keluar aku pun masuk. Dia menutup pintu dan mengajarkanku dua atau tiga hadits, bahkan terkadang lebih. Itulah yang kulakukan terus hingga meninggal penguasa yang memfitnahnya dan digantikan oleh seorang yang berpemahaman Ahlus Sunnah.

Kemudian imam Ahmad bebas kembali dan dia diberi hadiah beberapa unta. Dia telah melihat kesabaranku. Jika aku mendatangi majelisnya, aku disediakan tempat dan dia menceritakan tentang kisahku dengannya kepada ahli hadits. Dia mengajarkanku hadits dan aku membacakan hadits di hadapannya. Ketika aku sakit, dia pun menjengukku bersama murid- muridnya”. (Siyar A’laamin Nubalaa (XIII/ 291- 294), karya Imam adz- Dzahabi Rahimahullah)).

Sumber: ‘Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga: Bab.11- Sekilas Perjalanan Ulama Dalam Menuntut Ilmu. Hal 255- 258. Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Ancaman Berdusta atas nama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di Neraka”.

(Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (no. 110), Muslim dalam Muqaddimah Kitab Shahiih-nya (no. 3 dan 4) dan selain keduanya dengan Sanad mutawatir dari banyak para Shahabat).


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Janganlah kamu berdusta atas namaku karena barangsiapa berdusta atas namaku, maka silahkan ia masuk Neraka”.

(Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (no. 106), Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahiih-nya (no. 1), Ahmad (I/83), dan at- Tirmidzi (no. 2660) dari Shahabat ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu).


Maksud berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam ialah membuat- buat omongan atau cerita yang sengaja disandarkan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam, lalu mengatakan: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam pernah bersabda demikian, atau melakukan hal ini dan itu”.

Para Ulama telah sepakat tentang haramnya membawakan hadits- hadits maudhu’ (palsu), yakni hadits yang diada-adakan seseorang atas nama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam dengan sengaja maupun tidak sengaja.

Diperbolehkan membawakan hadits yang palsu HANYA ketika menerangkan kepalsuannya kepada ummat agar mereka selamat dari berdusta atas nama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam.

Para Ulama Hadist berusaha mengumpulkan dan membukukan hadits- hadits lemah (dhoif) dan palsu (maudhu’) dengan tujuan agar kaum muslimin berhati- hati dalam membawakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam dan menyebarkan hadits- hadits tersebut sehingga masyarakat menganggapnya sebagai hadits yang Shahih padahal tidak, bahkan palsu.

Kendatipun sudah dimuat dan dijelaskan kelemahan dan kepalsuan hadits- hadits tersebut, tetapi masih saja kita lihat para da’i, muballigh, ustadz, kyai, dan ulama yang membawakannya tanpa menjelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Bahkan banyak pula yang dimuat dalam buku- buku dan majalah- majalah. Wallaahul musta’an.

Ancaman bagi Orang yang membawakan hadits- hadits Dha’if (Lemah).

Imam Abu Syammah asy- Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665H) mengatakan,

“Perbuatan ulama yang membawakan hadits- hadits dha’if adalah suatu kesalahan yang nyata menurut para pakar hadits, ulama ushul, dan pakar fiqih bahkan mereka wajib menerangkannya jika ia mampu. Jika ulama itu tidak mampu menerangkannya, maka ia termasuk orang- orang yang diancam oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam dengan sabdanya,

“Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, dia sangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah seorang pendusta”.


(Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh oleh Muslim (I/9 tanpa sanad), at- Tirmidzi (no. 2662), dan Ibnu Majah (no. 38) dari Shahabat Samurah Radhiyallahu 'Anhu).


Beliau Rahimahullah berpendapat bahwa seseorang tidak boleh membawakan satu hadits dha’if pun, melainkan ia wajib menerangkan kelemahannya. (lihat al- Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits (hal. 54) dan Tamamul Minnah (hal. 32-33).

Imam Ibnu Hibban Rahimahullah mengatakan,

“Di dalam kabar ini (hadits di atas) terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seseorang yang menyampaikan hadits atau meriwayatkannya yang tidak sah dari Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang lemah atau yang diada-adakan oleh manusia, sedang ia mengetahuinya bahwa itu dusta, maka ia termasuk para pendusta. Padahal zhahir hadits ini lebih keras lagi. Baliau Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, dia sangka bahwa itu dusta..” beliau tidak bersabda, “…dia yakin bahwa itu dusta..” maka setiap orang yang masih meragukan keshahihan atau kelemahan apa- apa yang disampaikan atau diriwayatkan, maka ia masuk dalam zhahir hadits ini”.

(Kitaabul Majruuhiin Minal Muhadditsiin (I/ 6-17) karya Imam Ibnu Hibban Rahimahullah, tahqiq Hamdi ‘Abdul Majid as-Salafi, Cet. I, th.1420H)).


Jika Ulama, kyai, atau ustadz tersebut TIDAK MENGETAHUI KELEMAHAN RIWAYAT HADITS TERSEBUT, TETAPI DIA MASIH MENYAMPAIKANNYA maka dia termasuk orang yang berdosa karena telah berani menisbatkan (menyandarkan) hadits atau riwayat kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam tanpa mengetahui Sumber riwayat tersebut.

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta apabila ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar”.

(Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahiih-nya (no. 5), Abu Dawud (no. 4992), dan al- Hakim (I/ 112), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu. LIhat Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah (no. 2025)).


Imam Ibnu Hibban Rahimahullah berkata,

“Di dalam hadits ini ada ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang ia dengar sampai ia tahu dengan seyakin- yakinnya bahwa hadits atau riwayat tersebut Shahih”.

(Adh- Dhu’afaa (I/ 9). Lihat juga Tamamul Minnah (hal. 33).

Pendapat para Ulama tentang Hadits Dha’if

Syaikh Muhammad Jamaluddin al- Qasimi Rahimahullah mengatakan,

“Hadits- hadits dha’if tidak bisa dipakai secara mutlak untuk Ahkaam (hukum- hukum) maupun Fadhaa-ilul a’maal (Keutamaan Amal). Hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam Kitabnya, ‘Uyuunul Atsar, dari Yahya bin Ma’in dan dalam kitab Fat-hul Mughiits. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Bakar Ibnul ‘Arabi. Ini juga zhahir dari madzhab Imam al- Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ibnu Hazm”.

(Qawaa’idut Tahdiits min Funuuni Mushthalahil Hadiits (hal. 113) tahqiq Muhammad Bahjah al- Baithar)).


Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahullah mengatakan, “Inilah pendapat yang benar, dan saya tidak meragukan lagi kebenarannya”. (Tamaamul Minnah fii Ta’liiq ‘Alaa Fiqhis Sunnah (hal. 34). Lihat masalah hadits lemah dan palsu dalam buku penulis, ar- Rasaa-il, jilid I. pustaka ‘Abdullah- Jakarta, tahun 2004)). Wallaahu a'lam.


Sumber: ‘Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga: Bab. 13- Hadits- hadits Lemah dan Palsu Seputar Ilmu Syar’i” Hal. 289- 293. Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.