Senin, 30 November 2009

NUR MUHAMMAD SHALLALLAHU "ALAIHI WASALLAM

NUR MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM

Assalamu’alaikum Warohmatullah. Apakah dibenarkan kita mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah manusia biasa seperti kita, dia makan, dan minum seperti kita, dia tidur seperti kita, untuk menepis anggapan bahwa Rasullullah adalah nur yang mana segala sesuatu diciptakan karena nur-nya? Terima kasih atas penjelasannya. (H.A. Sidoarjo).

Jawab:
Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Perkataan di atas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia biasa adalah masih global., di dalamnya masih mengandung makna yang benar dan makna yag bathil. Oleh karena itu, sebaiknya perkataan di atas dilengkapi supaya tidak mengandung makna bathil dengan semisal perkataan bahwa ‘Rasulullah adalah manusia biasa seperti kita, beliau makan, minum, tidur, sehat, sakit, akan mengalami kematian seperti kita, akan tetapi beliau dikhususkan oleh Alloh ta’ala dengan kenabian, wahyu dan risalah. Beliau diutus untuk semua manusia sebagai Rohmatan Lil ‘Alamin, pemberi peringatan dan kabar gembira bagi manusia, demikianlah yang diwahyukan oleh Alloh ta’ala sebagaimana firmannya:



“Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Rabb yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya”. (QS.al-Kahfi [18]: 110).
Adapun anggapan bahwa Rasulullah adalah Nur, maka inipun perlu diperinci. Jika Rasulullah


dianggap sebagai nur dalam artian cahaya petunjuk yang menerangi dan menunjukkan kepada jalan Alloh, dan membedakan antara yang haq dengan yang bathil, maka ini adalah benar. Sebagaimana firman Alloh:



“Hai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu banyak dari isi al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu nur/ cahaya dari Alloh, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Alloh menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Alloh mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus”. (QS. al-Maidah [5]: 15-16).

Tetapi jika dianggap bahwa badan Nabi adalah nur (cahaya) atau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah nur yang merupakan sifat Alloh ta’ala (bukan makhluk-Nya), maka ini adalah bathil. Karena jasad Nabi adalah sama dengan manusia biasa, terbentuk dari daging, tulang dan semisalnya. Beliau diciptakan dari air ayah dan ibunya seperti hal nya kita. Beliau makan, minum, dan melakukan segala aktivitas yang kita laukan , bahkan beliau mempunyai bayangan seperti kita jika berada di bawah matahari (berbeda dengan orang yang menganggap jasadnya adalah nur yang tidak mempunyai bayangan). Hal ini didasari oleh hadits:



“Malaikat diciptakan dari cahaya, iblis diciptakan dari bara api, sedangkan Adam diciptakan dari apa yang telah disebutkan buat kalian”. (HR. Muslim dan lainnya).
Syaikh al-Albaniy Rahimahullah berkata: Hadits ini memberi isyarat tentang bathil-nya hadits yang terkenal (yang sering) diucapkan orang, seperti hadits:
“Pertama kali yang diciptakan Alloh adalah nur Nabimu wahai Jabir”

Beliau menambahkan bahwa demikian pula hadits-hadits semisal yang di dalamnya ada ucapan bahwa Nabi Muhammad diciptakan dari Nur, Maka sungguh (hadits di atas, tentang penciptaan Malaikat) menjadi dalil yang sangat gamblang bahwasanya hanya para Malaikat yang diciptakan dari nur. Sedangkan Nabi Adam ‘Alaihissalam beserta anak cucunya tidak (diciptakan dari Nur). (Silsilah Ahadits Shohiihah: 1/820).

Sumber: Majalah Alfurqon Edisi 4 tahun ke 9/ Dzulqo’dah 1430H (Oktober/ November 2009) Hal 4-5.


Selasa, 10 November 2009

Dapatkah Do’a Merubah Takdir..?

Dapatkah Do’a Merubah Takdir..?
Soal:
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh. Apakah benar bahwa takdir bisa dirubah dengan do’a?, mohon penjelasannya. (Rohmat –Lamongan).

Jawab:
Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh. Benar, takdir bisa dirubah dengan do’a, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tidak ada yang dapat mencegah takdir kecuali do’a”. (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrok: 1/ 493, dari hadits Tsauban, dan dihasankan oleh al-Albaniy dalam Shohih at-Targhib wat-Tarhib: 2/ 129).

Makna hadits ini ialah bahwa do’a itu adalah sebab/ jalan untuk mendapatkan kebaikan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perkara-perkara yang telah ditentukan/ ditakdirkan tetapi diikat dengan sebab tertentu. Jika dipenuhi sebabnya maka terwujudlah apa yang ditakdirkan, namun jika tidak dipenuhi sebabnya maka tidak akan terwujud (sebagaimana yang diharapkan). Apabila

seorang muslim berdo’a kepada Robb-nya, maka dia akan mendapatkan kebaikan, dan jika tidak berdo’a akan terjadi hal yang buruk baginya. Sebagaimana Allah ta’ala menjadikan silaturrahmi sebagai sebab panjangnya umur, dan sebaliknya, memutuskan silaturrahmi sebagai sebab pendeknya umur. Wallohu a’lamu.

(Oleh: Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali AM. Jawaban dinukil dari al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan: 1/ 37).

SUmber= Majalah al-Furqon edisi 4 tahun IX/ Dzulqo'dah 1430H/ OKtober-November 2009 Hal.4

Senin, 02 November 2009

SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA (2)- Lanjutan

Berikut ini kami nukilkan perkataan beberapa Imam sebagai bukti dari atas apa yang telah kami sebutkan:

1. Ibnu Taimiyyah berkata: “Paling jauh dalam hal bahwa Umar menyebutkan sebagai bid’ah yang dianggap baik, namun merupakan penamaan menurut tinjauan bahasa saja, bukan menurut syara’. Karena bid’ah dalam pengertian bahasa meliputi segala apa yang dikerjakan pertama kali tanpa mempunyai contoh sebelumnya. Adapun bid’ah menurut syara’ adalah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syara’. (Tafsiiru Ibni Katsiir, terhadap surat al-Baqarah ayat 117).

2. Ibnu Katsir berkata: “Bid’ah itu ada dua macam: (1) terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut syara’, seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (2) terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menrut bahasa, sebagaimana perkataan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab mengenai perbuatannya ketika mengumpulkan orang-orang untuk sholat tarawih dan secara kontinyu: “Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. (Jaami’ul ‘Uluum Wal Hikam,. No. 28 dengan sedikit perubahan).



3. Ibnu Rajab berkata: “Adapun apa yang terdapat pada perkataan para ulama salaf mengenai adanya anggapan baik terhadap sebagian bid’ah maka yang dimaksud adalah bid’ah lughawiyyah (bid’ah menurut bahasa), bukan

syar’iyyah (menurut agama). Di antaranya adalah perkataan Umar: “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
Maksudnya adalah bahwa perbuatan tersebut belum ada dengan cara demikian pada saat itu, namun sebelumnya ia mempunyai asal dari syariat yang dijadikan rujukan. (Tafsiirul Manaar (9/660) melalui Ilmu Ushulul Bida’ oleh Ali Hasan, hal. 95).



4. Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Sesungguhnya kata bid’ah itu digunakan dalam dua makna: (1) Penggunaan secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya. Menurut makna ini, maka benarlah perkataan mereka yang menyatakan bahwa bid’ah itu bisa dihukumi dengan lima hukum syari’at (wajib, sunnah, dst). (2) Diantaranya adalah perkataan Umar saat mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada satu imam dalam sholat tarawih: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah’. (3) Dalam pengertian syar’i (agama), maknanya adalah: segala sesuatu dari urusan agama yang belum pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa beliau dalam masalah-masalah aqidah, ibadah, dan pengharaman sesuatu secara syar’i. Inilah yang terdapat dalam hadits: ‘Fainna Kulla Muhdatsatin Bid’ah, Wa Kulla Bid’atin Dholaalah’.



Dan Bid’ah menurut syara’ ini yang ada hanyalah kesesatan belaka, sebab Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya dan telah mencukupkan dengan (agama)tersebut nikmat-Nya terhadap Makhluk-nya. Maka tak seorangpun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhak menambah-nambah sesuatu terhadap agama ini, baik terhadap masalah aqidah, ibadah, maupun syi’ar-syi’ar agama. Begitu pula tidak boleh mengurangi sesuatupun dari agama ini maupun merubah tata caranya, seperti mengubah sholat-sholat jahriyyah (yang dikeraskan suara di dalamnya) menjadi sholat sirriyyah (yang tidak dikeraskan suara di dalamnya) atau sebaliknya. Demikian pula tidak boleh mengubah ibadah yang bersifat mutlak (umum) menjadi sesuatu yang dibatasi dengan waktu atau tempat tertentu, atau mesti dilakukan secara kolektif atau perorangan tanpa ada dasarnya dari agama. (Ditakhrij oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/ 379).

Bersambung,..