Minggu, 28 Juni 2009

KETELADANAN RASULULLAH SAW SAAT KEHILANGAN ‘BUAH HATI’

KETELADANAN RASULULLAH SAW SAAT KEHILANGAN ‘BUAH HATI’



Sebagai contoh terbaik bagi umat ini, kita dapatkan dari keteladanan kisah nyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat putranya, Ibrahim, meninggal dunia pada usia yang sangat dini. Namun demikian Rasulullah tegar dalam menjalani ujian kehidupan tersebut. Ketika Ibrahim telah dekat dengan ajalnya, Rasulullah mendekapnya dalam pangkuan, Beliau menciumnya dan beberapa saat kemudian Ibrahim menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saat itu Rasulullah meletakkannya dan beliaupun menangis.

‘Abdurrahman bin ‘Auf bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah engkau menangis padahal engkau telah melarang (Kami) menangis (yakni tangis ratapan atau niyahah)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya aku tidak melarang (Kalian) menangis, hanya saja aku melarang dua jenis suara bodoh lagi jahat; yakni suara alunan (musik) yang melalaikan dan seruling-seruling setan, serta suara tamparan wajah dan mengoyak pakaian ketika musibah. Adapun (tangisan) ini adalah kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak disayangi. Jikalah ini bukan janji (Allah ‘Azza Wajalla) yang pasti terjadi dan ucapan yang benar, serta yang telah wafat mendahului kita pastilah akan kita susul, maka kita akan lebih bersedih dari ini. Sungguh Kami bersedih dengan (kepergianmu) wahai Ibrahim. Air mata berlinang..., hati bersedih..., kita tidak mengucapkan (sesuatu) yang akan mendatangkan murka Allah ‘Azza Wajalla”.

(HR. Al-Bukhari 1303, Muslim 2025, Shahih Sunan Abu Dawud dengan No. 2681 (3126), Ahmad 13014 Seluruhnya dari Anas Radhiallahu ‘anhu, Ibnu Majah 1589 dari Asma bintu Yazid Radhiallahu ‘Anha, Adapun lafadz dan kisah di atas diriwayatkan oleh Hakim 6825 dari Jabir dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu ‘anhu).
Lihatlah ketegaran dan ketabahan hati Rasulullah, sekalipun hati beliau bersedih dan air mata berlinang namun beliau menjauhkan diri dari segala sesuatu yang akan mendatangkan murka Allah, karena Beliau meyakini bahwa semua yang terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah, yang sarat kebaikan serta hikmah. Tidak sedikitpun Allah mendzolimi hamba-Nya.



Allah ta’ala berfirman yang artinya : “Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’am (6): 18). “Dan Aku sekali-kali tidak mendzolimi hamba-hamba-Ku” (QS. Qaaf (50): 29). Dengan meyakini hal ini, maka seorang mukmin akan mudah berlapang dada terhadap segala yang terjadi karena Allah ta’ala pasti memberikan yang terbaik. Menyadari bahwa semua yang kita miliki hanyalah ujian serta titipan sementara yang suatu saat akan kembali kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya : “Kepunyaan Allah ‘Azza Wajalla sajalah segala yang ada di langit dan di bumi; dan hanya kepada Allah ta’ala segala urusan dikemballikan”. (QS. Ali Imran (3): 109).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya : “Apabila Allah ta’ala mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji mereka, Barangsiapa ridha, maka akan mendapatkan ridho (Allah ‘Azza Wajalla), dan barangsiapa marah (benci) maka baginya kebencian dan kemurkaan (Allah ‘Azza Wajalla)”. (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah; Lihat Shahih Sunan Tirmidzi 2396, Shahih Sunan Ibnu Majah 4031 dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu. Syaikh al-Albaniy berkata hadits ini Hasan).

Sumber : Majalah Assunnah edisi Rajab 1430H, Rubrik Baituna edisi 04, Juli 2009 Hal. 2-3.

Tidak ada komentar: