Senin, 13 Juli 2009

HAK WARIS SEORANG WANITA

HAK WARIS SEORANG WANITA
Oleh Ummu Salamah As-Salafiyyah
Sabtu, 26 April 2008 01:27:20 WIB


Dengan hak inilah yang membuat manusia terbagi menjadi bersikap berlebihan, lengah, dan pertengahan.

Dalam masalah hak waris wanita ini, di antara mereka ada yang merujuk kepada keadaan Jahiliyyah pertama, dimana mereka melarang wanita dari mendapatkan warisan. Tetapi Islam datang dan mengangkat status wanita serta memberinya hak warisan.

Allah Ta’ala berfirman:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." [An-Nisaa': 7]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Sa’id bin Jubair dan Qatadah berkata, ‘Dahulu, orang-orang musyrik memberikan harta hanya kepada laki-laki dewasa serta tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita atau anak-anak. Maka, Allah menurunkan surat (An-Nisaa’: 7).’ “Artinya seluruhnya sama di dalam hukum Allah, masing-masing sama dalam hukum asal waris mewarisi sekalipun bertingkat-tingkat sesuai ketentuan yang dibuat oleh Allah dengan melihat yang lebih dekat kepada mayit dari bentuk kekerabatan, pernikahan atau loyalitas, karena loyalitas adalah bagian dari famili yang sama dengan kekerabatan dalam nasab.”



Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat satu bab tersendiri, yaitu, “Bab Miiraats al-Banaat.” Kemudian dia menyebutkan hadits berikut ini:

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah jatuh sakit di Makkah yang kemudian sembuh dan selamat dari kematian. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang membesukku, maka aku tanyakan, Wahai Rasulullah, ‘Aku memiliki harta yang banyak dan tidak ada yang mewarisi hartaku kecuali seorang anak wanita, apakah aku boleh bersedekah dengan 2/3 dari hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Kukatakan, ‘Apakah separuh saja?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ ‘Apakah sepertiga?’ tanyaku. Beliau menjawab. "“Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta apa yang ada di tangan orang lain. Sesungguhnya, tidaklah engkau berikan nafkah kepada keluargamu kecuali engkau akan diganjar atasnya, bahkan sampai-sampai satu suapan yang engkau berikan ke mulut isterimu”

Maka aku katakan, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan meninggalkan tanah hijrahku (Madinah)?’ Rasulullah menjawab, ‘Engkau tidak akan pernah meninggalkan tanah hijrahku sepeninggalanku, maka beramallah sambil mengharapkan ridha Allah niscaya ketinggian derajat(mu) akan bertambah. Barangkali engkau akan terus hidup sepeninggalanku hingga orang-orang (kaum muslimin) mengambil manfaat padamu dan sebagian lainnya (orang-orang kafir) mendapatkan mudharat. Akan tetapi yang meninggal di Makkah adalah Sa’ad bin Khaulah”

Rasulullah kasihan padanya, yang meninggal di Makkah (Sa’ad bin Khaulah). Sufyan berkata, “Sa’ad bin Khaulah adalah seseorang dari Bani ‘Amir bin Lu’ay.”

Terdapat satu atsar dari al-Aswad bin Yazid, dia berkata,..
lebih lengkap di :http://www.almanhaj.or.id/content/2425/slash/0

Semoga Bermanfaat--

Tidak ada komentar: