Jumat, 30 Oktober 2009

SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA (1)

SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA.

Syubhat Pertama:

Pemahaman mereka terhadap hadits:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang hasanah(baik) dalam Islam, maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang sayyi’ah (buruk), maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. (Ditakhrij oleh Muslim No. 1017).

Bantahan:
1. Bahwasanya makna ‘Man Sanna’, adalah “barangsiapa yang melakukan suatu amalan sebagai penerapan dari ajaran syari’at yang ada, BUKAN orang yang melakukan suatu amalan sebagai penetapan suatu syari’at yang baru”. Karena itu maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah beramal shaleh sesuai ajaran sunnah nabawiyyah yang ada.



Yang menunjukkan hal ini adalah faktor penyebab disabdakannya hadits itu, yakni sedekah yang disyari’atkan. Sebab disebutkannya hadits tersebut adalah sebagai berikut: Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau memberi semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk bersedekah sampai-sampai nampak kemarahan di wajah beliau kemudian datanglah seorang Anshar dengan sekantong (sedekah) lalu orang-orang (bersedekah) mengikutinya sehingga nampak keceriaan di wajah beliau, maka beliaupun bersabda: “Barangsiapa yang .... dst “ Lafadz hadits ini diriwayatkan ad-Daarimiy, No. 514 (1/ 141) dan dalam riwayat Muslim lebih panjang dari ini.

2. Bahwasanya orang yang mengatakan ‘Man Sanna Fil Islaam Khasanah..’ beliau juga yang mengatakan ‘Kulla Bid’ah Dholaalah..’.


Tidak mungkin akan muncul dari mulut orang yang benar lagi dipercaya suatu perkataan yang mendustakan perkataan yang lain dari beliau sendiri, dan selamanya tidak mungkin perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam saling bertentangan. (al-Ibdaa’ Fii Kamaalis Syar’i Wakhatharil Ibtidaa’ oleh Ibnu ‘Utsaimin, Hal. 19).



Oleh karena itu, kita tidak dibenarkan mengamalkan suatu hadits lalu berpaling dari hadits yang lain, sebab hal yang demikian merupakan ciri orang-orang yang beriman terhadap sebagian dari Al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain.

3. Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan ‘Man Sanna..’ (barangsiapa yang yang menerapkan sunnah pertama kali). Dan beliau tidak mengatakan ‘Man ibtida’...’ (barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru dalam agama), dan beliau mengatakan ‘Fil Islaam’ (dalam Islam), sedangkan bid’ah itu bukan dari islam. Beliau mengatakan ‘Hasanah.’ (yang baik), sedangkan bid’ah bukan merupakan sesuatu yang baik. (Ibid, Hal. 20).

Dan jelas sekali perbedaan antara sunnah dan bid’ah, sebab sunnah merupakan suatu jalan yang diikuti dan bid’ah itu merupakan suatu yang dibuat-buat dalam agama.

4. Tidak pernah dinukilkan dari seorangpun dari ulama salaf yang menafsirkan kata “Sunnatun Hasanah..’ dengan arti bid’ah diada-adakan oleh manusia dari diri mereka sendiri.

5. Bahwasanya makna ‘Man Sanna..’ adalah barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah yang pernah ada kemudian hilang lalu dihidupkan kembali. Oleh karena itu, maka jadilah kata “Sunnah” itu disandarkan kepada orang yang menghidupkan sunnah tersebut setelah sunnah ditinggalkan orang.

Dalilnya adalah hadits: “Barangsiapa yang menghidupkan salah satu sunnahku lalu orang-orang ikut mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala dari orang yang ikut mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah lalu mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dari orang yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (Sunan Ibnu Majah, No. 209 dan dishahihkan oleh al-Albaniy).



6. Bahwasanya perkataan beliau ‘Man Sanna Sunnatun Khasanah..” dan “Man Sanna Sunnatun Sayyi’ah..” tidak mungkin kita tafsirkan “menciptakan sesuatu yang baru..”, sebab keberadaannya sebagai suatu yang baik atau buruk itu tidak mungkin diketahui kecuali melalui syari’at agama. Karena itulah maka yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut haruslah baik menurut syara’ atau sebaliknya buruk menurut syara’.

Maka pengertian itu hanya berlaku bagi bentuk sedekah yang telah disebutkan, adapun sedekah yang serupa dengannya merupakan bagian dari sunnah-sunnah yang telah disyari’atkan, sehingga tinggallah kedudukan ‘Sunnah Sayyi’ah (yang buruk)’ itu ditafsirkan sebagai perbuatan maksiyat yang keberadaanya menurut syara’ jelas-jelas maksiyat, seperti membunuh, sebagaimana yang diperingatkan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita) dalam hadits mengenai anak Adam, dimana beliau bersabda: “Sebab dialah yang pertama-tama melakukan sunnah membunuh”. (Lihat al-I’tishaam, oleh as-Syaatibhy, 1/236).

Dan begitu pula bid’ah itu (dikatakan sebagai suatu hal yang buruk), sebab telah ada celaan dan larangan terhadapnya dari syara’. (dikeluarkan oleh al-Bukhari, No.2010).

Bersambung.

Sumber=
Al-Luma’ Fil-Rudd ‘Alaa Muhassiny Al-Bida’ karya Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As-Shahibany Hal. 31-36.


Tidak ada komentar: