Senin, 14 Juni 2010

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah
Kategori Aqidah | 09-04-2010 | 6 Komentar

Salah satu karakteristik agama Islam adalah keadilan, bersikap pertengahan antara sikap melampaui batas dan sikap terlalu meremehkan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا… {143}

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….” (QS. Al Baqarah: 143)

Demikian pula keadaan Ahlus sunnah wal jama’ah di tengah firqah-firqah yang ada, mereka bersikap adil. Berikut di antara sikap adil Ahlus sunnah dalam memahami agama ini.

Dalam Keimanan Terhadap Nama dan Sifat Allah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “ Termasuk iman kepada Allah adalah beriman terhadap seluruh sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya dan juga yang disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan tahrif dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan tamsil[1], bahkan wajib beriman bahwa Allah Ta’ala :

… لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ {11}

“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11)[2]



Inilah keyakinan Ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka bersikap adil, berada


pertengahan antara Ahlu ta’thil dan Ahlu tamsil. Ahlu ta’thil mengingkari seluruh nama dan sifat yang wajib bagi Allah. Mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menafikan semuanya, seperti keyakinan Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Sedangkan kelompok yang kedua menafikan sebagiannya, seperti Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.Sedangkan Ahlu tamsil menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, seperti yang diyakini oleh kelompok Karomiyyah dan Husyaamiyyah.[3]

Jadi, Ahlus sunnah dalam keimananan terhadap nama dan sifat Allah berada di antara dua kelompok yang menyimpang, kelompok yang yang ghuluw (bersikap berlebih-lebihan) dalam menyucikan dan menafikan sifat Allah yaitu Ahlu ta’thil dan kelompok yang ghuluw dalam menetapkan sifat Allah yaitu Ahlu tamsil. Ahlus sunnah tidak ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan dan menafikan, mereka menetapkan nama dan sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk sbegaimana firman Allah dalam surat Asy Syuura’ di atas.[4].

Dalam firman Allah (yang artinya) “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia’” merupakan penafian yang mengandung kesempurnaan. Ini merupakan bantahan terhadap Ahlu tamsil. Sedangkan dalam firman Allah “Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” merupakan penetapan nama dan sifat-Nya. Ini merupakan bantahan terhadap Ahlu ta’thil.



Dalam Memahami Takdir Ilahi Ahlus sunnah beriman bahwa Allah telah menetapkan seluruh takdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai dengan takdir yang telah Allah tetapkan.

Adapun orang-orang yang menyelisihi al Quran dan sunnah mereka bersikap berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremahkan dan yang lain melampaui batas. Kelompok Qodariyyah mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba. Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir. Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya. [5]

Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahami takdir sebagaimana ditunjukkan dalam dalil yang banyak. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla

لِمَن شَآءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ {28} وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ {29}

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29)



Pada ayat “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menenmpuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menenmpuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah karena pada ayat ini Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[6]

Dalam Memaknai Janji dan Ancaman Allah
Banyak dalil baik dari al Quran dan sunnah tentang janji Allah bagi orang yang beriman, baik itu berupa kenikmatan surga, penghapusan dosa, pahala yang banyak, dan iming-iming lainnya. Di antaranya adalah firman Allah :

ُلْ يَاعِبَادِي الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لاَتَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ {53}

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar:53)

Contoh dari sunnah misalnya sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu ‘anhu,



“Tidaklah seorang hamba mengatakan, ‘Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Allah’, kemudian dia meninggal dengan berpegang teguh pada hal tersebut, melainkan dia pasti masuk surga.”[7]. Dalil-dali di atas disebut nusuusul wa’di (dalil-dalil tentang janji kebaikan)

Demikian juga banyak dalil-dalil tentang ancaman, baik itu berupa adzab yang pedih, kekal di neraka, disifati dengan kekafiran dan kefasikan, serta ancaman-ancaman lainnya. Semisal firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا {93}

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An Nisaa’:93).

Dan juga sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam,
“Mencerca orang muslim adalah fasiq dan memeranginya adalah kufur“[8]. Dalil-dali di atas disebut nusuusul wa’iid (dalil-dalil ancaman).
Manusia dalam memahami dalil-dalil di atas terbagi menjadi 2 kelompok yang menyimpang dan satu kelompok pertengahan.

Kelompok pertama adalah Murjiah. Mereka mengambil dalil-dalil tentang janji kebaikan, namun meninggalkan dalil-dalil ancaman. Mereka mengatakan bahwa setiap dosa selain syirik pasti diampuni. Keimanan menurut mereka tidak akan dipengaruhi oleh kemaksiatan sebagaimanana ketaatan tidak akan bermanfaat dalam kekafiran. Mereka menyimpang dalam masalah ini karena mereka beribadah kepada Allah hanya berlandaskan raja’ (rasa harap) semata, dan mengesampingkan sisi khauf (rasa takut).
Kelompok kedua disebut Wa’idiyyah, termasuk di dalamnya kelompok Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka mengambil dalil-dalil tentang janji kebaikan dan juga ancaman, namun mereka berlebih-lebihan dalam dalil-dalil ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah Ta’ala pasti menunaikan janji dan ancaman-Nya. Yang menyebabkan mereka salah dalam masalah ini karena mereka beribadah kepada Allah dengan khauf semata, dan mengesampingkan raja’.



Adapun Ahlus sunnah dalam masalah ini bersikap adil, bersikap pertengahan antara Murjiah dan Wa’idiyyah. Mereka mengambil dalil-dalil tentang janji sekaligus ancaman Allah. Mereka menggabungkan antara sikap khauf dan raja’.[9]

Dalam Menggelari dan Menghukumi Seseorang
Yang dimaksud dengan pemberian gelar di sini adalah penamaan/gelar di dalam agama, yakni istilah yang Allah tetapkan sesuai janji dan ancaman-Nya, seperti mukmin, muslim, kafir, fasik, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum adalah hukum yang berkaitan dengan pemilik gelar tersebut baik hukum di dunia maupun di akherat.
Dalam hal menggelari dan menghukumi seseorang, Ahlus sunnah bersikap adil, pertengahan antara sikap kelompok Wa’idiyyah dan Murjiah.

Pertama: Dalam menggelari seseorang di dunia. Kelompok Wa’idiyyah meniadakan gelar ‘iman’ bagi pelaku dosa besar di dunia. Mereka menyebutnya kafir sebagaimana yang dilakukan Khawarij, atau mendudukkannya dalam kedudukan antara keimanan dan kekufuran (manzilah baina manzilatain), dia tidak mukmin dan tidak pula kafir, sebagaimana perbuatan Mu’tazilah.

Adapun kelompok Murjiah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa pelaku dosa besar adalah mukmin yang tetap sempurna keimanannya. Hal ini karena keimanan menurut mereka hanyalah yang terdapat di dalam hati (ma’rifah qolbiyyah). Mereka menganggap maksiat tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat dalam kekafiran.

Sedangkan keyakinan Ahlus sunnah wal jama’ah, tetap memutlakkan bagi pelaku dosa besar sebagai mukmin, namun bukan mukmin yang sempurna imannya, yakni mukmin yang bermaksiat, mukmin yang fasik, atau mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besar yang dilakukannya. Dengan hilangnya sebagiannya saja tidaklah menghilangkan seluruh keimanannya, namun tidak pula disebut iman yang mutlak (sempurna). Allah ‘Azza wa Jalla telah menggelari kaum mukminin yang saling berperang dalam firman-Nya,

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ {10}

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil(9). Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujuraat:9-10)



Kedua: Dalam masalah menghukumi pelaku dosa besar di akhirat. Kelompok Wa’idiyyah menghukumi pelaku dosa besar kekal di neraka. Demikian pula yang diyakini Khawarij dan Mu’tazilah. Adapun keyakinan Ahlus sunnah, bahwasanya pelaku dosa besar, bisa mendapat adzab, bisa pula mendapat rahmat Allah berupa ampunan. Jika diampuni, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga tanpa mengadzabnya, ini merupakan keutamaan yang Allah berikan bagi hambanya. Jika tidak, maka Allah akan mengadzabnya dan memasukkannya ke dalam neraka, ini sesuai dengan keadilan-Nya. Namun, dia tidak kekal dalam neraka seperti orang kafir.[10]

Dalam Menyikapi Para Sahabat
Para sahabat adalah orang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beriman padanya, dan meninggal dalam keadaan Islam.
Dalam menyikapi para sahabat, Ahlus sunnah bersikap adil, pertengahan antara sikap Rafidhah dan Khawarij.

Kelompok Rafidhah (yang dikenal sebagai Syiah di zaman sekarang) ghuluw terhadap sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan kepada ahli bait. Mereka melebihkannya daripada para sahabat yang lainnya, memerangi sebagian sahabat yang lainnya, menghina, mencela, dan bahkan mengkafirkan sebgaian di antara mereka, khususnya terhadap khalifah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Ustman radhiyallahu ‘anhum.

Sebaliknya adalah sikap Khawarij. Mereka mengkafirkan sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan banyak sahabat yang lainnya. Mereka memeranginya dan menghalalkan darah dan harta mereka.[11]

Adapun Ahlus sunnah menyikapi mereka secara adil, berada pertengahan antara dua kelompok sesat di atas. Mereka mencintai para sahabat radhiyallahu ‘anhum , meridhai mereka, meyakini keadilan mereka dan bahwasannya mereka adalah umat yang paling utama. Allah telah menjadikan mereka penjaga agama-Nya, dan menegakkan dengan sebab mereka akidah keimanan yang lurus dan suci.

Dalil dalil al Quran dan sunnah tentang keutamaan mereka sangat banyak. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

ُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فاَسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمَا {29}

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath:29)

Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَصِيفَهُ وَلَا أَحَدِهِمْ مُدَّ بَلَغَ مَا ذَهَبًا أُحُدٍ مِثْلَ أَنْفَقَ أَحَدَكُمْ أَنَّ لَوْفَ أَصْحَابِي تَسُبُّوا لَا

“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebanyak bukit uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya”[12].[13]
Pembaca yang dirahmati Allah, inilah di antara bentuk sikap adil Ahlus sunnah. Sikap beragama yang harus kita pegang teguh dalam melaksanakan agama ini. Semoga paparan ringkas ini dapat memperkokoh akidah dan keyakinan kita. Washalallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M.A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1]. Tahrif adalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa adanya dalil. Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi irodatul khoir (menginginkan kebaikan).
Ta’thil yaitu menolak nama dan sifat Allah baik secara total maupun sebagiannya, baik dengan memalingkan maknanya atau mengingkarinya. Seperti menolak sifat tangan bagi Allah.



Takyif adalah menyebutkan hakekat sesuatu tanpa menyamakannya dengan yang lain. Seperti menyatakan panjang tangannya adalah 50 cm. Takyif tidak boleh dilakukan terhadap sifat Allah karena Allah tidak memberitahukan bagaimana hakekat sifat-Nya dengan sebenarnya.

Tamtsil adalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti menyatakan Allah memiliki tangan dan sama dengan tanganku.. (lihat penjelasan lebih rinci dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah Syaikh ‘Utsaimin, dan Syaikh Shalih Fauzan)

[2]. Matan Al ‘Aqidah al Wasithiyah
[3]. Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007
[4]. Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah hal 442, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[5]. Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 49-51
[6]. Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqad hal 243-244. Syaikh Sholih Al Fauzan. Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
[7]. H.R. Muslim 138
[8]. H.R. Bukhari 46
[9]. Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 52-54
[10]. Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 55-57
[11]. Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah hal 453-454, Syaikh Shalih Fauzan. Dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah. Kumpulan Ulama. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi
[12]. H.R Bukhari 3397
[13]. Lihat Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhid hal 58


Sumber: http://muslim.or.id/aqidah/sikap-pertengahan-ahlus-sunnah.html/comment-page-1#comment-55549

Semoga Bermanfaat.

Tidak ada komentar: