Sabtu, 11 Desember 2010

Suara Wanita Di Dalam Ibadah

Adakah Adzan Bagi Wanita..?

Kaum wanita tidak ada kewajiban adzan dan iqomat, bahkan haram bagi mereka mengeraskan suara lalu didengar oleh kaum pria karena hal itu menimbulkan fitnah. Hanya, boleh baginya untuk adzan atau iqomat apabila untuk diri sendiri atau jama’ah khusus wanita saja. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/ 302, oleh Syaikh Musthofa al- ‘Adawi. Lihat pula buku, ‘Fiqih Adzan dan Iqomat’, karya Ust. Abu Ubaidah Yusuf as- Sidawi, Darul Ilmi).

Menegur Imam yang Lupa

Apabila wanita sholat berjama’ah di masjid, lalu imam lupa, maka bagi kaum wanita cukup mengingatkannya dengan menepuk punggung tangan kirinya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Ahmad, Imam asy- Syafi’i, dan al- Auza’i (at- Tahmid 7/ 436 oleh Ibnu Abdil Barr, al- Mughni 1/ 267, oleh Ibnu Qudamah Rahimahulloh) berdasarkan hadits yang berbunyi,

“Apabila kalian mengalami sesuatu dalam sholat kalian, maka hendaklah kaum lelaki mengucapkan ‘Subhanalloh’ dan kaum wanita menepuk tangannya”. (HR. Bukhori, No. 7190, dan Muslim, No. 421).

Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan,

"Sebagian Ahli Ilmu mengatakan, ‘Alasan dibencinya mengucapkan ‘Subhanalloh’ bagi kaum wanita dan mereka hanya diperbolehkan menepuk tangan karena suara wanita itu umumnya lembut, dan ditakutkan mengganggu pikiran jama’ah sholat”. (at- Tahmid, 7/ 437).

Talbiyah ketika Umroh dan Haji

Wanita ketika umroh tetap diperintahkan bertalbiyah. Cara bertalbiyahnya tidak dengan suara keras, cukup didengar oleh dirinya sendiri. Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Jibril datang menemuiku, dan dia memerintahkan agar aku memerintahkan para shahabatku mengeraskan suara ketika bertalbiyah”. (HR. Abu Dawud, No. 1814, Syaikh al- Albani Rahimahulloh menyatakan hadits ini Shahih dalam Kitab al- Misykah, No. 2549).

Perintah mengeraskan suara saat talbiyah dalam hadits ini khusus untuk laki- laki, karena kalimatnya adalah ‘Ashhabi’, maksudnya adalah para shahabat laki- laki. Imam Syaukani Rahimahullloh berkata,

“Wanita tidak mengeraskan suara ketika bertalbiyah, tetapi cukup bertalbiyah dengan suara yang didengar dirinya sendiri”. (Lihat Nailul Author, 4/ 323).

Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahulloh berkata,

“Ulama telah sepakat bahwasanya yang sunnah bagi wanita adalah tidak mengeraskan suara ketika bertalbiyah, tetapi cukuplah ia bertalbiyah dengan suara yang terdengar oleh dirinya sendiri”. (al- Istidzkar, 11/ 122, al- Iqna’ Fi Masa’il al- Ijma’, 1/ 255).

Suara Wanita bukan Aurat

Suara wanita bukan aurat. Namun karena suara wanita bisa mengundang fitnah bagi orang lain, dan membahayakan dirinya maka syari’at Islam mengaturnya dengan aturan yang rapi dan Indah.

Ummu Athiyyah Radhialloohu 'Anha berkata,

“Kami membai’at Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu beliau membaca ayat, “Mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Alloh”. Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang kami berbuat Niyahah (meratapi orang mati_ red), lalu ada seorang wanita di antara kami yang memgang tangannya seraya berkata, “Fulanah telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas budi baiknya”. Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menjawab sedikitpun, lalu wanita tersebut pergi dan kembali...”. (HR. al- Bukhori, No. 6989).

Al- Hafizh Ibnu Hajar al- ‘Asqalani Rahimahulloh berkata,

“Hadits ini menunjukkan suara wanita yang bukan mahrom boleh didengar, dan suaranya bukan aurat”. (Fat- hul Baari, 13/ 203).

Inilah pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa suara wanita bukan aurat. Boleh wanita berbicara kepada laki- laki yang bukan mahromnya untuk suatu keperluan. Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulama. Para ulama Syafi’iyyah berkata, “Suara wanita bukan aurat”. (Mughnil Muhtaj, 3/ 129). Demikian pula ulama madzhab Hanbali mengatakan, “Suara wanita yang bukan mahrom bukanlah aurat”. Para Ulama Mallikiyyah mengatakan, “Suara wanita bukan aurat”. (Hasyiyah ad- Dasuqi, 1/ 195), Para Ulama Hanafiyyah mengatakan, “Suara wanita bukan aurat menurut pendapat yang terkuat”. (Raddul Mukhtar, 1/ 405).

Sumber: ‘Ketika Wanita ingin Berbicara’. Abu Anisah bin Lukman al- Atsari. Majalah Al- Furqon Edisi 107. Edisi 4/th 10/1431H/ Hal. 74-76.

Tidak ada komentar: