Senin, 02 November 2009

SYUBHAT-SYUBHAT ORANG YANG MENGAKUI BID’AH HASANAH BESERTA BANTAHANNNYA (2)- Lanjutan

Berikut ini kami nukilkan perkataan beberapa Imam sebagai bukti dari atas apa yang telah kami sebutkan:

1. Ibnu Taimiyyah berkata: “Paling jauh dalam hal bahwa Umar menyebutkan sebagai bid’ah yang dianggap baik, namun merupakan penamaan menurut tinjauan bahasa saja, bukan menurut syara’. Karena bid’ah dalam pengertian bahasa meliputi segala apa yang dikerjakan pertama kali tanpa mempunyai contoh sebelumnya. Adapun bid’ah menurut syara’ adalah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syara’. (Tafsiiru Ibni Katsiir, terhadap surat al-Baqarah ayat 117).

2. Ibnu Katsir berkata: “Bid’ah itu ada dua macam: (1) terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut syara’, seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (2) terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menrut bahasa, sebagaimana perkataan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab mengenai perbuatannya ketika mengumpulkan orang-orang untuk sholat tarawih dan secara kontinyu: “Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. (Jaami’ul ‘Uluum Wal Hikam,. No. 28 dengan sedikit perubahan).



3. Ibnu Rajab berkata: “Adapun apa yang terdapat pada perkataan para ulama salaf mengenai adanya anggapan baik terhadap sebagian bid’ah maka yang dimaksud adalah bid’ah lughawiyyah (bid’ah menurut bahasa), bukan

syar’iyyah (menurut agama). Di antaranya adalah perkataan Umar: “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
Maksudnya adalah bahwa perbuatan tersebut belum ada dengan cara demikian pada saat itu, namun sebelumnya ia mempunyai asal dari syariat yang dijadikan rujukan. (Tafsiirul Manaar (9/660) melalui Ilmu Ushulul Bida’ oleh Ali Hasan, hal. 95).



4. Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Sesungguhnya kata bid’ah itu digunakan dalam dua makna: (1) Penggunaan secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang belum ada contoh sebelumnya. Menurut makna ini, maka benarlah perkataan mereka yang menyatakan bahwa bid’ah itu bisa dihukumi dengan lima hukum syari’at (wajib, sunnah, dst). (2) Diantaranya adalah perkataan Umar saat mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada satu imam dalam sholat tarawih: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah’. (3) Dalam pengertian syar’i (agama), maknanya adalah: segala sesuatu dari urusan agama yang belum pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada masa beliau dalam masalah-masalah aqidah, ibadah, dan pengharaman sesuatu secara syar’i. Inilah yang terdapat dalam hadits: ‘Fainna Kulla Muhdatsatin Bid’ah, Wa Kulla Bid’atin Dholaalah’.



Dan Bid’ah menurut syara’ ini yang ada hanyalah kesesatan belaka, sebab Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya dan telah mencukupkan dengan (agama)tersebut nikmat-Nya terhadap Makhluk-nya. Maka tak seorangpun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berhak menambah-nambah sesuatu terhadap agama ini, baik terhadap masalah aqidah, ibadah, maupun syi’ar-syi’ar agama. Begitu pula tidak boleh mengurangi sesuatupun dari agama ini maupun merubah tata caranya, seperti mengubah sholat-sholat jahriyyah (yang dikeraskan suara di dalamnya) menjadi sholat sirriyyah (yang tidak dikeraskan suara di dalamnya) atau sebaliknya. Demikian pula tidak boleh mengubah ibadah yang bersifat mutlak (umum) menjadi sesuatu yang dibatasi dengan waktu atau tempat tertentu, atau mesti dilakukan secara kolektif atau perorangan tanpa ada dasarnya dari agama. (Ditakhrij oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/ 379).

Bersambung,..

Tidak ada komentar: