Jumat, 05 November 2010

Larangan Taqlid dan Wajibnya Ittiba'

Larangan Taqlid dan Wajibnya Ittiba' :
Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba’

Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (Wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. (I’lamul Muwaqqi’in, 2/171). Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Adapun Taklid adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh al- Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad (Jami’ Bayanil Ilmi Wa Ahlihi, 2/ 993, I’lamul Muwaqqi’in, 2/ 178). Ada juga yang mengatakan taklid adalah mengikuti perkataan oranglain tanpa mengetahui dalilnya. (Mudzakkiroh Ushul Fiqh, hal. 314).

Di antara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taklid dan ittiba’ adalah larangan para imam dari taklid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’.

Al- Imam Abu Hanifah Rahimahulloh berkata, “Tidak halal atas seorang pun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”. Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”. (Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyah nya atas Bahru Raiq, 6/ 293, dan Sya’rony dalam al- Mizan, 1/ 55).

Al- Imam Malik Rahimahulloh berkata, “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan (bisa) keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam al- Jami’, 2/ 32).

Al- Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh berkata, “Jika kalian menjumpai Sunnah Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ittiba’ lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’, 9/ 107 dengan sanad yang shahih).

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits Shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam lebih utama untuk diikuti, janganlah kalian taklid kepadaku. (Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Adab Syafi’i hal. 93 dengan sanad Shahih).

Al- Imam Ahmad Rahimahulloh berkata, “Janganlah engkau taklid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Shahabatnya ambillah”. Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Shahabatnya”. (Masail al- Imam Ahmad, oleh Abu Dawud hal. 276- 277).


Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan- Nya seandainya Musa ‘Alaihis Salam hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku”. (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya, 6/ 113, Ibnu ...Abi Syaibah dalam Mushannafnya, 9/ 47, Ahmad dalam Mushannafnya, 3/ 387, dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi, 2/ 805, Syaikh al- Albani berkata dalam Irwa’ul Ghalil, 6/ 34: Hadits hasan).

Syaikh al- Albani rahimahulloh berkata, “Jika saja Musa Kalimulloh tidak boleh Ittiba’ kecuali kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bagaimana dengan yang lainnya..? Hadits ini merupakan dalil yang qoth’i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hal Ittiba’, dan ini merupakan keharusn Syahadat MUHAMMADAN RASUULULLOOH. Karena itulah Alloh sebutkan dalam QS. Ali Imran: 31, “Katakanlah: “Jika kamu (benar- benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu”. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Bahwa Ittiba’ kepada Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bukan kepada yang lainnya, adalah dalil Kecintaan Alloh kepadanya. (Muqaddimah Bidayatussul Fii Tafdhili Rosul, hal 5-6).

Al- Imam asy- Syafi’i Rahimahulloh berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan, “Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku, dan jika kebenaran bersamanya, maka aku ittiba’ kepadanya”. (Qowa’idul Ahkam Fii Mashalihil Anam, oleh al- ‘Izz bin Abdussalam, 2/ 136).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata, “Barangsiapa yang ta’ashub kepada seseorang dia kedudukannya seperti orang- orang Rofidhoh yang ta’ashub kepada salah seorang shahabat, dan seperti orang- orang Khowarij. Ini adalah jalan ahli bid’ah dan ahwa’ yang mereka keluar dari syari’at dengan kesepakatan umat dan dan menurut Kitab dan Sunnah..yang wajib kepada semua makhluk adalah ITTIBA’ KEPADA SEORANG YANG MA’SHUM (yaitu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ) yang mengucap bukan dari hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya”. (Mukhtashar Fatawa Mishriyyah, hal. 46- 47, Lihat Kitab al- Iqna’ Bima Ja’a A’immati Da’wah Minal –Aqwal Fil Ittiba’ oleh Syaikh Muhammad bin Hadi al- Madkholi).

Al- Imam Ibnu Abil ‘Iz al- Hanafi Rahimahulloh berkata, “UMAT INI TELAH SEPAKAT BAHWA TIDAK WAJIB TAAT KEPADA SEORANGPUN DALAM SEGALA SESUATU KECUALI KEPADA RASULULLOH SHALLALLAAHU 'ALAIHI WA SALLAM... maka barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya maka seperti orang yang ta’ashub kepada seorang Shahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang- orang Rafidhah yang ta’ashub kepada ‘Ali Radhialloohu 'Anhu dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. Ini adalah jalannya Ahlul Hawa’. (al- Ittiba’ cetakan ke.2, hal. 80).

Sumber: ‘Sudah Benarkah Sholat Kita: Bab ‘ Antara Taklid dan Ittiba’”. Hal. 8- 13. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu Publisher. Gresik.

Tidak ada komentar: