Sabtu, 11 Desember 2010

Dalil- dalil Ijma’ Yang Memerintahkan untuk Mengikuti Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam


Kaum muslimin sejak masa Shahabat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan generasi- generasi yang sesudahnya sampai hari ini mereka selalu mengembalikan setiap persoalan agama kepada Al- Qur’an dan As- Sunnah, berpegang teguh dengannya dan menjaganya.

Di antara dalil- dalil yang menunjukkan bahwa para Shahabat dan Tabi’in ini berpegang teguh kepada As- Sunnah adalah sebagai berikut,

Pertama, tatkala Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu memegang tampuk khilafah, datang Fathimah binti Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menemuinya menanyakan sebagian warisan dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, kemudian Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu berkata kepadanya,

“Sesungguhnya aku mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya apabila Alloh memberi makan seorang Nabi kemudian ia diwafatkan, maka ia menjadikan warisan bagi orang yang sesudahnya’. Karena itu, aku memandang bagian itu harus dikembalikan kepada kaum Muslimin’. Fathimah Radhialloohu 'Anha berkata, “Engkau lebih mengetahui daripada aku tentang apa- apa yang telah engkau dengar dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”. (Shahih, HR. Ahmad, I/4, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menshahihkan hadits ini dalam Tahqiq Musnad Imam Ahmad, No. 14).

Dalam riwayat lain, Abu Bakar Radhialloohu 'Anhu berkata,

“Aku tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang diamalkan oleh Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, karena aku khawatir bila aku meninggalkan perintahnya aku akan tersesat”. (Shahih, HR. al- Bukhori, No. 3093).

Kedua, ‘Umar bin al- Khaththab Radhialloohu 'Anhu berdiri di hadapan Hajar Aswad seraya berkata,

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu, yang tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menciummu niscaya aku tidak akan menyentuh dan menciummu”. (Shahih, HR. al- Bukhori No. 1597, 1605, dan Muslim No. 1270).

Ketiga, ‘Ali bin Abi Thalib Radhialloohu 'Anhu berkata tentang berdirinya orang- orang ketika jenazah lewat,

“Aku pernah melihat Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri, maka kami pun berdiri, dan ketika beliau duduk, kami pun duduk”. (Shahih, HR. Ahmad (No. 631, 1094, 1167), Tahqiq Ahmad Syakir, Muslim (No. 962 (84)), Ibnu Majah (No. 1544), dan ath- Thayalisy (I/ 127, No. 145).

Keempat, ada orang berkata kepada ‘Abdulloh bin ‘Umar, “Kami tidak mendapati dalam Al- Qur’an tentang cara Sholat Safar..?” Ibnu ‘Umar berkata,

“Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam kepada kita dan tadinya kita tidak mengetahui sesuatu. Karena itu, kita berbuat (beramal) sebagaimana kita melihat apa yang Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam amalkan”.

Dalam riwayat yang lain ia berkata,

“Tadinya kita sesat, lalu Alloh menunjukkan kita dengan beliau, karena itu kita wajib mengikuti jejak beliau”. (Shahih, HR. Ahmad, II/ 66 dan 94, atau (No. 5333 dan 5683) tahqiq Ahmad Muhammad Syakir.

Kelima, datang seorang wanita kepada ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu ia berkata, “Aku diberi kabar bahwa engkau melarang wanita menyambung rambut?” ‘Abdulloh bin Mas’ud berkata, “Benar”. Wanita itu berkata, “Apakah larangan itu ada salam Kitabulloh, atau engkau dengar langsung dari Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam?” ‘Abdulloh bin Mas’ud Radhialloohu 'Anhu menjawab, “Larangan itu ada dalam Kitabulloh dan sabda Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam!”. Wanita tersebut berkata lagi, “Demi Alloh, aku telah membaca mush-haf Al- Qur’an dari awal hingga akhir tetapi aku tidak mendapatkan larangan itu”. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukankah ada di dalam ayat:

“..Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Alloh. Sungguh, Alloh sangat keras siksaan- Nya”. (QS. Al- Hasyr: 7).

Wanita itu menjawab, “Ya”. Selanjutnya Ibnu Mas’ud berkata,

“Sesungguhnya aku mendengar Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang (dalam lafazh lain: melaknat) mencabut bulu dahi, mengikir gigi, menyambung rambut, dan mencacah (mentato) kecuali karena sakit”. (Shahih, HR. al- Bukhori (No. 4886), Muslim (No. 2125 (120)), Ahmad (No. 3945), tahqiq Ahmad Syakir, Abu Dawud (No. 4169), Ibnu Baththah Fil Ibaanah (I/ 236 No. 68), dan al- Ajurri dalam asy- Syari’ah (I/ 420- 422) No. 103- 104, dan ini adalah lafazh Ahmad).

Masih banyak lagi contoh- contoh berpegangnya para Shahabat dan Tabi’in terhadap Sunnah Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang kemudian diikuti oleh orang- orang sesudahnya. Mutharrif bin ‘Abdillah bin Syikhir (salah seorang dari kalangan Tabi’in) pernah ditanya oleh seseorang, “Jangan engkau sampaikan kepada kami melainkan dari Al- Qur’an saja”. Mutharrif berkata,

“Demi Alloh, kami tidak menghendaki ganti dari Al- Qur’an, tetapi kami ingin (menyampaikan) penjelasan dari orang yang lebih mengetahui tentang Al- Qur’an daripada kami, yaitu Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam”.(Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi, II/ 1193 No. 2349 oleh Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahulloh). Wallohu A'lamu.


Sumber: ‘Kedudukan As- Sunnah dalam Syari’at Islam’. Hal. 74- 80. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Tidak ada komentar: