Sabtu, 11 Desember 2010

Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.

Hadits Yang Terlihat Bertentangan dengan Al- Qur’an.

Soal: Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya orang yang mati itu diadzab karena tangisan keluarganya”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (al- Jana’iz/ 1290/ Fath), dan Muslim (al- Jana’iz/ 927/ Abdul Baqi).

Bagaimana memadukan hadits ini dengan firman- Nya,

“Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain”. (QS. Al- Isra: 15)...?

Jawab: Ayat yang mulia ini meskipun kenyataan memang seperti itu, hanya saja itu bukanlah ketentuan yang bersifat umum atau hukum yang bersifat mutlak, karena disebutkan juga dalam Al- Qur’an:

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang- orang yang zhalim saja di antara kamu”. (QS. Al- Anfal: 25).

Dan disebutkan dalam hadits:

“Wahai Rasululloh, apakah kita akan dibinasakan, sedangkan di antara kita masih banyak orang Shalih..?” Beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab, “Ya, jika keburukan sudah merajalela”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhori (Ahadits al- Anbiya’ /3346/ Fath), dan Muslim (al- Fitan/ 2880/ Abdul Baqi)).

Jika keburukan sudah merajalela –dan itu sudah terjadi di zaman kita- maka orang- orang shalih akan binasa bersamaan dengan binasanya orang- orang yang berbuat kerusakan. Kelak mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niatnya masing- masing. Dan Alloh akan menghisab amal- amal mereka. Adzab ditimpakan atas orang- orang musyrik, sedangkan di tengah- tengah mereka terdapat anak- anak yang tidak berdosa, tapi ikut binasa bersama dengan orang tua mereka yang musyrik. Demikian pula binatang melata ikut binasa, bersamaan dengan dibinasakannya manusia durjana. Ini semua dalam kategori firman Alloh,

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang- orang yang zhalim saja di antara kamu”. (QS. Al- Anfal: 25).

Hadits yang sedang kita bicarakan, “Sesungguhnya mayit itu diadzab karena tangisan keluarganya”. Maknanya sebagai berikut, kata “Mayit” ditafsirkan sebagai orang kafir, seperti pada firman- Nya,

“Dan kamu sekali- kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar”. (QS. Fathir: 22).

Orang- orang yang hidup adalah orang- orang yang beriman, dan orang- orang yang mati adalah orang- orang kafir, artinya, orang kafir itu diadzab karena kekafirannya, dan terkadang ditambah adzabnya karena tangisan keluarganya, karena mereka tidak memiliki keimanan yang dapat menghalanginya dari tangisan itu, seperti dikatakan dalam hadits,

“Ada dua perkara di tengah umatku yang termasuk kekufuran, yaitu MENCELA NASAB, dan MERATAPI MAYAT”. (Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim (al- Iman/ 67/ Abdul Baqi’).

Demikianlah keadaan kaum kafir dan kaum jahiliyyah, seperti sabda Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam,

“Bukan golongan kami orang yang menampari pipinya, merobek sakunya dan memanggil dengan panggilan jahiliyyah”. (Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (al- Jana’iz/1294/Fath), dan Muslim (al- Iman/ 927/ Abdul Baqi’).

Adapun kata ‘Mayyit) secara umum, maka ia mencakup Muslim dan kafir. Jika yang dimaksud dengan kata itu adalah seorang Muslim, artinya adalah orang muslim yang mati dan ia ridho dengan tangisan keluarganya, atau ia memerintahkannya dan mewasiatkannya, seperti dilakukan orang- orang jahil sampai zaman kita sekarang ini. Ia mewasiatkan agar diadakan ratapan yang besar sehingga orang- orang mengetahui kedudukannya setelah kematiannya, dan agar diselenggarakan begini dan begitu saat kematiannya. Ini tanpa diragukan lagi bahwa ia akan disiksa atas perbuatannya ini dan keridhoannya terhadap tangisan keluarganya serta mewasiatkan hal itu kepada mereka.



Sedangkan seorang Muslim yang tidak ridho akan hal ini dan tidak memerintahkannya, bahkan ia memperingatkan dan melarangnya, serta ia menulis dalam wasiatnya bahwa ia berlepas diri dari hal itu, maka orang ini tidak termasuk dalam hadits tersebut. Walaupun termasuk juga, maka itu hanya dari satu sisi saja, yaitu adzab maknawi atau terganggu, seperti perkataan seseorang kepada orang lain, “Tangisanmu menggangguku”. Atau “Tangisanmu menyiksaku”, seperti dikatakan seorang ibu kepada anaknya, ketika seorang anak menangis terus sementara sang ibu tidak mengerti karena apa anaknya menangis, akibatnya ia merasa tersiksa karena derita anaknya, dan ia menangis karena tangisan anaknya.

Ini kemungkinan yang terlalu jauh. Karena hadits ini (hadits di atas_ Red) mengenai orang yang meridhoi tangisan itu, demikian pula ini berlaku untuk orang- orang yang kafir, seperti dipahami oleh ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha. Ketika mendengarnya dari ‘Abdulloh bin Umar Radhialloohu 'Anhuma, ‘Aisyah Radhialloohu 'Anha berkata,

“Semoga Alloh mengampuni Abu Abdirrahman, ia tidak berbohong, tapi ia lupa atau keliru. Yang benar bahwa Rasululloh Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita Yahudi yang sudah mati sedang ditangisi keluarganya, maka beliau Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian menangisinya, padahal ia akan diadzab di kuburnya”. Wallohu a’lamu.


Sumber: “Hadits Shahih yang Disalahpahami”. Hal.180- 182. Prof. Dr. Umar bin ‘Abdul Azizi Quraisyi. Pustaka at- Tazkia. Jakarta.

Tidak ada komentar: