Jumat, 28 Oktober 2011

Bagaimanapun, Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta'ala membalasmu dengan kebaikan

Menerapkan Sikap Hikmah Dalam Berdakwah

Syaikh Samir az- Zuhairi (Salah Satu murid Syaikh al- Albani Rahimahulloh) menceritakan bahwa suatu kali beliau pernah mengundang Syaikh al- Albani ke rumahnya bersama beberapa rekan- rekan penuntut ilmu untuk berdialog dengan salah seorang yang sangat kolot dan benci terhadap al- Albani.

Di tengah- tengah dialog, orang tersebut mendebat Syaikh al- Albani dengan suara yang keras, lantang, dan tegang sehingga membuat Syaikh Samir jengkel dan marah. Melihat raut muka Syaikh Samir, maka Syaikh al- Albani menoleh kepadanya sambil tersenyum seraya mengatakan, “Rileks Saja”. Syaikh al- Albani menanggapi orang tersebut dengan selalu senyum, lapang dada, objektif, dan mematahkan Syubhat- syubhat orang tersebut dengan argumen Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagaimana biasanya.

Di akhir dialog, Syaikh al- Albani Rahimahulloh berkata kepada orang tadi,

“Bagaimanapun, Semoga Alloh Subhanahu Wa Ta'ala membalasmu dengan kebaikan. Saya meminta maaf kepadamu bila saya berbuat salah dan saya memohon ampun kepada Alloh atas segala kesalahan yang saya perbuat kepada seorang muslim”. Kemudian beliau menangis.


Akhirnya orang tadi luluh hatinya sehingga turut menangis, dan mencium tangan kepada Syaikh al- Albani Rahimahulloh. Sejak hari itu, dia berpegang teguh dengan manhaj Salaf dan mencintai Syaikh al- Albani Rahimahulloh hingga hari ini. (Muhaddits ‘Ashr Muhammad Nasiruddin al- Albani, Hal. 44- 45 oleh Syaikh Samin bin Amin az- Zuhairi).

Sumber: ‘Syaikh al- Albani dihujat..!: Risalah Pembelaan Atas Tuduhan dan Hujatan kh. Ali Musthofa Yaqub’. Hal 149- 150. Ust. Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As- Sidawi. Salwa Press. Depok.

Syaikh al- Albani Rahimahulloh pernah menyampaikan sebuah Wasiat, kira- kira satu tahun sebelum wafatnya beliau,

“Wasiatku untuk setiap muslim yang ada di muka bumi ini, terutama untuk saudara- saudara kami yang menisbahkan diri kepada dakwah yang penuh berkah ini – yaitu dakwah kitab dan sunnah di atas manhaj as- Salaf ash- Shalih: ... Hendaknya kita senantiasa berlemah lembut tatkala mendakwahkan manhaj ini kepada orang- orang yang berseberangan dengan kita, dan hendaknya kita selalu terus- menerus bersama firman Allah Tabaaroka Wa Ta’ala (yang artinya),

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nashihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”.

“Dan orang yang pertama kali paling berhak untuk kita sikapi dengan penuh hikmah adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap prinsip- prinsip (dakwah) dan akidah kita, agar kita tidak termasuk orang- orang yang menggabungkan antara beratnya dakwah al- haq yang telah Alloh karuniakan kepada kita,, dengan beratnya metode yang buruk dalam berdakwah kepada Jalan Alloh 'Azza Wa Jalla”. (Dinukil dari Kitab Muhaddits al- ‘Ashr Muhammad Nashiruddin al- Albani Karya Samir bin Amin az- Zuhairi, Hal. 74- 75.)


Sumber: ‘Majalah al- Furqon Edisi 4 Th. 11, Dzulqo’dah 1432H/ Oktober- November 2011: Rubrik Fiqih Dakwah: Tema : “Penerapan Sikap Hikmah dalam Berdakwah”. Hal. 56- 57. Ust. Abu Abdurrahman Abdullah Zaen, MA.

Al- Allamah Abdurrahman bin Nashir as- Sa’di Rahimahulloh menafsirkan Ayat di atas,

“Ajaklah para manusia –baik mereka yang beragama Islam maupun mereka yang non muslim- kepada jalan Alloh yang lurus dengan hikmah, yang berarti masing- masing sesuai dengan kondisi , tingkat pemahaman, perkataan, dan taraf ketaatannya. Juga dengan nasihat yang baik, yaitu: perintah dan larangan dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Adapun jika yang didakwahi tersebut menganggap bahwa apa yang dia kerjakan atau dia yakini selama ini adalah benar –padahal sebenarnya salah- maka debatlah mereka dengan cara yang baik berlandaskan dalil- dalil Syar’i maupun akal”. (Lihat Tafsir as- Sa’di, hal. 404).


Di antara contoh nyata kekuatan hikmah dan akhlak mulia dalam berdakwah yang dicontohkan oleh para ulama, diantaranya para ulama yang termasuk dalam jajaran Aimmah ad- Da’wah (para Da’i besar dakwah tauhid yang dirintis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahulloh) yang tinggal di kota Makkah adalah Syaikh Ahmad bin Isa. Beliau adalah salah satu murid pengarang kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan, Cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahulloh.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, Syaikh Ahmad bin Isa berdagang kain. Setiap tahunnya beliau membeli kain dengan jumlah besar di kota Jeddah dari seorang pedagang Sufi bernama Abdul Qadir at- Tilmisani. Kain itu seharga 1000 junaih Emas. Sebagai uang muka, Syaikh Ahmad membayar 400 junaih, sedangkan sisanya beliau cicil per bulan. Cicilan terakhir beliau berikan kepada at- Tilmisani ketika dia pergi berhaji ke Makkah.

Bertahun- tahun transaksi bisnis antara mereka berdua berjalan demikian. Dan Syaikh Ahmad selalu tepat waktu dalam membayar cicilan dan sama sekali tidak pernah terlambat dalam menunaikan hak at- Tilmisani.

Maka suatu hari at- Tilmisani berkata, “Saya telah bergaul dan bertransaksi dengan berbagai macam bentuk manusia selama empat puluh tahun, namun aku tidak pernah menemukan orang yang lebih baik dari akhlakmu wahai Wahabi! Tampaknya isu- isu buruk tentang kalian, semata- mata kedustaan dari musuh- musuh politik kalian! Mereka menuduh kalian tidak mau bershalawat kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam..!”

Serta merta Syaikh Ahmad membalas, “Subhanalloh, ini adalah kedustaan yang amat besar..! Madzhab yang kami anut (Madzhab Hambali) berpendapat bahwa orang yang tidak bersholawat kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam ketika tasyahud akhir, sholatnya tidak sah..! Aqidah yang kami anut meyakini bahwa orang yang tidak cinta kepada Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam maka dia kafir! Sebenarnya yang kami ingkari adalah sikap pengagungan yang berlebihan yang telah dilarang oleh Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam, kami juga mengingkari perbuatan istighotsah serta minta tolong kepada orang- orang yang telah mati. Seluruh ibadah itu hanya kami persembahkan kepada Alloh semata!”

Kemudian terjadilaah diskusi antara Syaikh Ahmad dengan at- Tilmisani seputar tauhid uluhiyyah selama tiga hari, hingga Alloh membuka hati at- Tilmisani untuk menerima Aqidah Salaf. Adapun dalam masalah Tauhid Asma’ Wa Shifat, maka diskusi antara mereka berdua berlangsung selama lima belas hari, karena at- Tilmisani pernah belajar di al- Azhar- Mesir, sehingga aqidah asy’Ariyyah sudah sangat mendarah daging dalam dirinya. Namun akhirnya Alloh Ta’ala membuka juga hati at- Tilmisani untuk menerima aqidah Salaf dalam masalah Asma’ Wa Shifat.

Selesai itu, Syaikh at- Tilmisani pun menjadi donatur dakwah Salaf untuk membiayai percetakan dan penyebaran kitab- kitab Salaf, serta menjadi salah satu da’i yang menyerukan kepada manhaj Salaf setelah sebelumnya beliau amat membenci dakwah Wahabi yang disetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahulloh. (Lihat ‘Ulama Najd karya Syaikh Abdulloh al- Bassam, Hal, 156- 158). Wallohu a’lam.

Sumber: ‘Majalah al- Furqon Edisi 1 Th. 11, Sya’ban - Ramadhan 1432H/ Juli- September 2011: Rubrik Fiqih Dakwah: Tema : “Penerapan Sikap Hikmah dalam Berdakwah”. Hal. 63- 65. Ust. Abu Abdurrahman Abdullah Zaen, MA.

Tidak ada komentar: