Senin, 05 Maret 2012

Ancaman Berdusta atas nama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di Neraka”.

(Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (no. 110), Muslim dalam Muqaddimah Kitab Shahiih-nya (no. 3 dan 4) dan selain keduanya dengan Sanad mutawatir dari banyak para Shahabat).


Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam juga bersabda,

“Janganlah kamu berdusta atas namaku karena barangsiapa berdusta atas namaku, maka silahkan ia masuk Neraka”.

(Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh al- Bukhari (no. 106), Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahiih-nya (no. 1), Ahmad (I/83), dan at- Tirmidzi (no. 2660) dari Shahabat ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu).


Maksud berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam ialah membuat- buat omongan atau cerita yang sengaja disandarkan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam, lalu mengatakan: “Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam pernah bersabda demikian, atau melakukan hal ini dan itu”.

Para Ulama telah sepakat tentang haramnya membawakan hadits- hadits maudhu’ (palsu), yakni hadits yang diada-adakan seseorang atas nama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam dengan sengaja maupun tidak sengaja.

Diperbolehkan membawakan hadits yang palsu HANYA ketika menerangkan kepalsuannya kepada ummat agar mereka selamat dari berdusta atas nama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam.

Para Ulama Hadist berusaha mengumpulkan dan membukukan hadits- hadits lemah (dhoif) dan palsu (maudhu’) dengan tujuan agar kaum muslimin berhati- hati dalam membawakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam dan menyebarkan hadits- hadits tersebut sehingga masyarakat menganggapnya sebagai hadits yang Shahih padahal tidak, bahkan palsu.

Kendatipun sudah dimuat dan dijelaskan kelemahan dan kepalsuan hadits- hadits tersebut, tetapi masih saja kita lihat para da’i, muballigh, ustadz, kyai, dan ulama yang membawakannya tanpa menjelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Bahkan banyak pula yang dimuat dalam buku- buku dan majalah- majalah. Wallaahul musta’an.

Ancaman bagi Orang yang membawakan hadits- hadits Dha’if (Lemah).

Imam Abu Syammah asy- Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665H) mengatakan,

“Perbuatan ulama yang membawakan hadits- hadits dha’if adalah suatu kesalahan yang nyata menurut para pakar hadits, ulama ushul, dan pakar fiqih bahkan mereka wajib menerangkannya jika ia mampu. Jika ulama itu tidak mampu menerangkannya, maka ia termasuk orang- orang yang diancam oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam dengan sabdanya,

“Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, dia sangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah seorang pendusta”.


(Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh oleh Muslim (I/9 tanpa sanad), at- Tirmidzi (no. 2662), dan Ibnu Majah (no. 38) dari Shahabat Samurah Radhiyallahu 'Anhu).


Beliau Rahimahullah berpendapat bahwa seseorang tidak boleh membawakan satu hadits dha’if pun, melainkan ia wajib menerangkan kelemahannya. (lihat al- Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits (hal. 54) dan Tamamul Minnah (hal. 32-33).

Imam Ibnu Hibban Rahimahullah mengatakan,

“Di dalam kabar ini (hadits di atas) terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seseorang yang menyampaikan hadits atau meriwayatkannya yang tidak sah dari Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang lemah atau yang diada-adakan oleh manusia, sedang ia mengetahuinya bahwa itu dusta, maka ia termasuk para pendusta. Padahal zhahir hadits ini lebih keras lagi. Baliau Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, dia sangka bahwa itu dusta..” beliau tidak bersabda, “…dia yakin bahwa itu dusta..” maka setiap orang yang masih meragukan keshahihan atau kelemahan apa- apa yang disampaikan atau diriwayatkan, maka ia masuk dalam zhahir hadits ini”.

(Kitaabul Majruuhiin Minal Muhadditsiin (I/ 6-17) karya Imam Ibnu Hibban Rahimahullah, tahqiq Hamdi ‘Abdul Majid as-Salafi, Cet. I, th.1420H)).


Jika Ulama, kyai, atau ustadz tersebut TIDAK MENGETAHUI KELEMAHAN RIWAYAT HADITS TERSEBUT, TETAPI DIA MASIH MENYAMPAIKANNYA maka dia termasuk orang yang berdosa karena telah berani menisbatkan (menyandarkan) hadits atau riwayat kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam tanpa mengetahui Sumber riwayat tersebut.

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta apabila ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar”.

(Hadits Shahih, Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahiih-nya (no. 5), Abu Dawud (no. 4992), dan al- Hakim (I/ 112), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu. LIhat Silsilah al- Ahaadiits ash- Shahiihah (no. 2025)).


Imam Ibnu Hibban Rahimahullah berkata,

“Di dalam hadits ini ada ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang ia dengar sampai ia tahu dengan seyakin- yakinnya bahwa hadits atau riwayat tersebut Shahih”.

(Adh- Dhu’afaa (I/ 9). Lihat juga Tamamul Minnah (hal. 33).

Pendapat para Ulama tentang Hadits Dha’if

Syaikh Muhammad Jamaluddin al- Qasimi Rahimahullah mengatakan,

“Hadits- hadits dha’if tidak bisa dipakai secara mutlak untuk Ahkaam (hukum- hukum) maupun Fadhaa-ilul a’maal (Keutamaan Amal). Hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam Kitabnya, ‘Uyuunul Atsar, dari Yahya bin Ma’in dan dalam kitab Fat-hul Mughiits. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Bakar Ibnul ‘Arabi. Ini juga zhahir dari madzhab Imam al- Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ibnu Hazm”.

(Qawaa’idut Tahdiits min Funuuni Mushthalahil Hadiits (hal. 113) tahqiq Muhammad Bahjah al- Baithar)).


Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahullah mengatakan, “Inilah pendapat yang benar, dan saya tidak meragukan lagi kebenarannya”. (Tamaamul Minnah fii Ta’liiq ‘Alaa Fiqhis Sunnah (hal. 34). Lihat masalah hadits lemah dan palsu dalam buku penulis, ar- Rasaa-il, jilid I. pustaka ‘Abdullah- Jakarta, tahun 2004)). Wallaahu a'lam.


Sumber: ‘Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga: Bab. 13- Hadits- hadits Lemah dan Palsu Seputar Ilmu Syar’i” Hal. 289- 293. Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka at- Taqwa. Bogor.

Tidak ada komentar: