Selasa, 15 Februari 2011

Mereka Beralasan dengan Takdir untuk Menganggap Baik Apa yang mereka Lakukan dari Kesyirikan.

Syubhat yang dilontarkan orang- orang Musyrik Quraisy dan selain mereka yang ada pada zaman ini, yaitu mereka beralasan dengan takdir untuk menganggap baik apa yang mereka lakukan dari Kesyirikan, Alloh Ta’ala berfirman,

“Orang- orang yang mempersekutukan Alloh akan mengatakan, “Jika Alloh menghendaki, niscaya kami dan bapak- bapak kami tidak mempersekutukan- Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatupun”. (QS. Al An’am: 148).

Alloh juga berfirman,

“Dan berkatalah orang- orang musyrik, “Jika Alloh menghendaki niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak- bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)- Nya”. (QS. An Nahl: 35).

Dan Alloh juga berfirman,

“Dan mereka berkata, “Jikalau Alloh Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (Malaikat)". (QS. Az- Zukhruf: 20).

Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahulloh berkata mengkomentari ayat pada surat Al- An’am tersebut,

“Ini adalah dialog yang disebutkan Alloh dan sebagai syubhat yang dijadikan tempat bergantung oleh kaum musyrikin untuk tetap melakukan kesyirikan dan mengharamkan apa yang mereka haramkan, Alloh akan menampakkan apa yang mereka lakukan, Alloh mampu untuk merubahnya dengan mengaruniakan kepada kita keimanan, dan memisahkan antara kita dan orang- orang kafir, dan kalaupun Alloh tidak merubahnya, hal ini sesuai dengan kehendak dan keinginan Alloh serta ridho- Nya kepada kita”.

Kemudian beliau melanjutkan,

“Hujjah yang dimiliki oleh orang- orang kafir sangatlah rapuh dan bathil karena kalau hujjah itu benar, niscaya Alloh tidak akan merasakan kepada mereka siksa yang pedih, dan tidak akan membinasakan mereka, dan tidak akan memenangkan Rasul- rasul- Nya yang mulia”.

(Katakan wahai Muhammad, “Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan) yang menyatakan Alloh itu ridho terhadap perbuatan kalian, dan apa saja yang kalian lakukan, (sehingga kelian dapat mengemukakannya kepada Kami?) yakni kalian sanggup untuk mengatakannya, dan menjelaskannya, (kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka) yakni anggapan dan khayalan, (dan kalian tidak lain hanya berdusta) berdusta atas Nama Alloh terhadap apa yang kalian meyakininya”. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz II, hal. 586- 587).

Ibnu Katsir juga mengomentari ayat pada surat An- Nahl tersebut sebagai berikut,

“Dan maksud yang terkandung dari ucapan mereka ini adalah kalau seandainya Alloh tidak suka terhadap apa yang kami lakukan, niscaya Alloh akan mengingkarinya dengan mendatangkan siksa kepada kami dan tidak justru memberi kesempatan kepada kami untuk melakukan perbuatan itu”. Alloh telah membantah syubhat semacam ini dengan firman- Nya,

“Maka tidaklah para Rasul itu kecuali orang- orang yang menyampaikan bukti dengan jelas”.

Firman- Nya,

“Sungguh Kami telah mengutus dalam setiap ummat seorang Rasul yang menyerukan hendaklah kalian menyembah Alloh dan menjauhi Thaghut, maka di antara ummat itu ada yang Alloh beri petunjuk dan ada di antara orang- orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang- orang yang mendustakan (Rasul- rasul)”. (QS. An- Nahl: 36).

Artinya: Perkaranya tidak seperti yang kalian sangka, yaitu Alloh tidak mengingkari kalian (mereka mengira Alloh tidak mengingkari kesyirikan dan mengharamkan yang mereka haramkan_red); bahkan Alloh telah mengingkari kalian dengan pengingkaran yang sangat keras, dan telah melarang kalian dengan tegas pula. Dan Alloh telah mengutus (pada setiap ummat) yakni pada setiap generasi dan kelompok manusia seorang Rasul, yang mana seluruhnya memerintahkan dan menyeru untuk menyembah kepada Alloh dan melarang beribadah kepada selain Alloh, mereka menyeru hendaklah kalian menyembah kepada Alloh, dan hendaklah kalian menjauhi thaghut.

Alloh Ta’ala terus mengutus para Rasul kepada manusia dengan membawa misi tersebut semenjak terjadinya kesyirikan di kalangan anak Adam ‘Alaihis Salam di masa Kaum Nuh ‘Alaihis Salam. Ketika Alloh mengutus Nabi Nuh ‘Alaihis Salam, dan dia (Nuh) adalah Rasul pertama yang Alloh bangkitkan untuk penduduk Bumi, hingga Alloh menutup para Rasul dengan mengutus Nabi Muhammad Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang dakwah beliau telah diserukan kepada manusia dan jin, timur dan barat, sebagaimana firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala,

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyu kan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian”. (QS. Al- Anbiya: 25).

“Dan tanyakanlah kepada Rasul- rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, “Adakah Kami menentukan tuhan- tuhan untuk disembah Selain Alloh Yang Maha Pemurah..?” (QS. Az- Zukhruf: 45).

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap ummat (untuk menyeru), “Sembahlah Alloh (saja), dan menjauhi thaghut itu”. (QS. An- Nahl: 36).

Maka bagaimana bisa seorang musyrik –setelah adanya keterangan demikian- berkata, “Jika Alloh berkehendak, niscaya kami hanya menyembah- Nya”. Maka kehendak Alloh yang syar’iyah tidak ada pada mereka, sebab Alloh telah melarang mereka dari hal tersebut melalui lisan- lisan para Rasul- Nya. Adapun mereka seperti itu secara qodar, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Dia (Ibnu Katsir Rahimahulloh) berkata,


“Kemudian Alloh Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia mengingkari perbuatan mereka dengan ancaman hukuman di Dunia setelah adanya peringatan dari para Rasul”. (Selesai Ucapan Ibnu Katsir).

Maka mereka –dengan ucapan ini- tidak ingin mencari udzur terhadap perbuatan mereka yang jelek, sebab mereka tidak meyakini bahwa perbuatan mereka adalah jelek, bahkan mereka mengira bahwa perbuatannya adalah baik. Mereka menyembah berhala (dengan tujuan) agar mendekatkan diri mereka kepada Alloh. (Sebagaimana firman Alloh Ta’ala),

“Supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat- dekatnya”. (QS. Az- Zumar: 3).

Mereka tidak menginginkan kecuali beralasan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar disyari’atkan dan diridhoi oleh Alloh. Maka Alloh membantah mereka –bahwa kalau memang keadaannya demikian- tentu Alloh tidak mengutus para Rasul untuk mengingkarinya (mereka), dan tentu Alloh tidak menghukum mereka karena perbuatannya. Wallohu A’lamu.

Sumber: ‘Hakikat Tauhid dan Makna Laa Ilaaha Illallaah”. Hal. 54- 60. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al- Fauzan. Pustaka Haura’. Yogyakarta.

Tidak ada komentar: